Meski sebenarnya Atma sebal tapi tidak ada yang bisa dia lalukan. Tak mungkin pula bila dia protes. Satu-satunya hal yang bisa bisa lakukan adalah menunggu. Makan malam terpaksa dilalui sendiri oleh Atma. Lantaran tak ada kabar juga sampai pukul 9 malam, Atma akhirnya pergi tidur tanpa menunggu Bhaga dan Jessica. Sangat wajar bila dia dongkol, Jessica sendiri yang meminta dia memasak dengan alasan ingin makanan masakan rumah namun Jessica pula lah yang meminta ingin makan pasta.
Lalu bagaimana nasib nasi dan lauk yang telanjur dimasak Atma? Sejak kecil Atma diajari untuk tidak membuang-buang makanan, tapi sepertinya nilai-nilai seperti itu tidak diterapkan oleh Jessica. Kalaupun nanti makanan itu tidak mereka makan, mau bagaimana lagi, terpaksa dengan berat hati Atma harus membuangnya. Terbersit satu pikiran di benaknya, mungkinkah Jessica sengaja? Tidak menutup kemungkinan jika perempuan itu memang sengaja ingin membuat Atma kesal, atau minimal membuatnya mengerjakan sesuatu
Mobil sedan Bhaga membelah jalan yang ramai di tengah hari. Atma membiarkan kaca jendela terbuka agar angin bebas meniup lehernya yang terbuka. Bhaga memutar lagu dari salah satu album dari band favoritnya, sesekali melirik kepada Atma yang terus tersenyum lebar melempar pandangan keluar.Satu demi satu universitas swasta mereka datangi. Mengecek akreditasi, fakultas apa saja yang ada, serta yang terpenting, suasana dan fasilitas yang ada, itu yang terpenting bagi Bhaga, dia tak ingin Atma tak nyaman.Di depan salah satu gerbang kampus, berhenti sebuah truk penjual es krim. Bhaga membeli es krim coklat untuknya dan rasa stroberi untuk Atma, lalu mengajaknya ngaso sebentar di depan gerbang kampus itu. Sengatan matahari mempercepat es krim meleleh, Atma berkali-kali tertawa melihat Bhaga kewalahan menjilati es krimnya yang mencair sampai ke pergelangan tangan."Kamu sudah pikirkan mau ambil jurusan apa?" tanya Bhaga setelah es krim mereka habis.Atma menghe
Sebagai penutup yang sempurna, Bhaga mengajak Atma ke Jembatan Kota Intan yang masih berada di kawasan Kota Tua. Cahaya lampu emas dan merah terang membuat jembatan bersejarah itu tampak begitu indah. Bhaga mendongak, memandang langit tak berbintang. Tiba-tiba ingatan tentang air terjun mengisi kepalanya.Bila di desa, tiada malam tanpa bintang. Atma melirik, menyadari apa yang sedang dipandangi Bhaga. Timbul sesuatu yang mengusik hatinya, "Kenapa di sini nggak ada bintang ya? Apa langitnya lebih jauh, Mas?" tanyanya polos.Bhaga tertawa kecil, menggeleng. "Polusi, Atma. Langitnya buram. Sama kayak air sungai yang tercemar, langit juga bisa butek!" jawabnya dibarengi tawa pahit."Jadi sekarang Mas Bhaga setuju, kan? Lebih enak tinggal di desa!" cibir Atma. "Kita bisa liat bintang tiap malam, liat air yang jernih!" sambungnya.Bhaga mengangguk setuju. Dia bersandar dengan sikunya pada pagar jembatan, masih mendongak memandangi langit."Aku mau waktu
Bhaga tak bisa langsung pulang keesokan harinya. Ada pekerjaan yang mesti dia kejar pagi-pagi sekali. Atma pulang menumpang taksi, dia duga Jessica pun telah berangkat kerja pagi itu. Cuek saja Atma masuk ke dalam apartemen. Namun, ternyata Jessica masih belum berangkat. Spontan jantung Atma berdegup ganjil."Baru pulang, Atma?" Jessica menyapa dengan sebuah senyum simpul. Majalah di tangan dia tutup."Ya, selamat pagi, Mbak. Mbak sudah sarapan? Mau saya masakin apa?" Atma bertanya gugup."Nasi goreng." Jessica berdiri sembari menjawab.Senyum Jessica terlihat jauh lebih menyeramkan dari senyum hantu di film horor mana pun yang pernah ditonton Atma. Jelas dia sedang bersikap pura-pura bodoh dan baik. Dia bahkan belum bertanya kemarin Atma ke mana saja, dan kenapa tidak pulang, yang paling penting mungkin, kenapa Bhaga tidak pulang bersamanya.Pergelangan tangan Atma melemah, jemarinya sedikit bergetar memegang gagang kuali. Jessica duduk di mini ba
Malam itu, tanpa mengetahui kepergian Jessica, Bhaga pulang dengan semangat membara. Dia bawa sekotak pizza serta sebuah selebaran. Selebaran itu dia dapat dari salah satu sekolah masak terbaik di dekat apartemen. Tak sabar ingin melihat respons Atma, dia tunjukkan selebaran itu bahkan tanpa memperhatikan raut muka sedih Atma."Coba kamu baca, Atma! Kamu liat, apa yang menarik? Di situ lengkap kelas-kelasnya, spesifikasi, sampe biaya! Kamu liat dulu, mana tau kamu berminat, kita bisa mendaftar cepat!" Bhaga membuka kotak pizza di atas meja.Atma terdiam sesaat. "Mbak Jessica udah pergi," katanya lirih, "dia nggak ngasih tau Mas? Tadi kami berantem besar."Seperti video yang tiba-tiba dijeda, gerak tubuh Bhaga pun seketika berhenti. Raut bahagia dari mukanya lenyap sudah. Namun, tak lama kemudian dia kembali tersenyum."Itu bagus, kan? Akhirnya dia sendiri yang mengerti. Tapi, Atma ..., kamu baik-baik aja? Dia menyakiti kamu nggak?"Atma teringat de
Seperti datangnya musim semi sehabis musim dingin yang panjang, hubungan Bhaga dengan Atma berjalan lancar dan mulus, merekah bak bunga-bunga di taman yang indah.Masa lalu soal Jessica sepakat mereka lupakan, sekarang yang penting adalah masa depan. Mendapat restu Bu Sona adalah tujuan mereka bersama. Juga, rencana sekolah masak yang akan diikuti Atma. Bila semua lancar jaya, maka pernikahan akan segera dilaksanakan.Hari itu Bhaga mengajak Atma pergi, melihat rumah yang tengah dia bangun. Sedikit lagi selesai. Atma sudah terbayang, akan dia tanam apa di halaman. Bhaga pun sudah berangan-angan, pulang disambut oleh istrinya tercinta, Atma, dengan anak-anak mereka yang lucu.Namun, badai pun kadang terjadi di musim semi. Saat semua telah berjalan lancar, sebagaimana semestinya, Jessica kembali di waktu yang tak terduga. Saat jelang Atma pulang ke desa, Jesssica kembali dengan air mata berurai, meminta sedikit waktu untuk bicara dengan Bhaga."Maaf, Jess.
Belum ada sinyal damai dari Atma. Pun Bhaga, tak mau mendesak dia untuk membuat keputusan. Seminggu lebih Atma meragu, pulang ke desa dia tunda dengan berbagai alasan. Bu Sona sendiri belum tahu apa yang terjadi di Jakarta.Timbul dalam benak Atma, jika Nabila, anak Adam saja bisa dia terima (bahkan pernah terpikir untuk menjadi ibunya), kenapa Atma tak bisa menerima anak Jessica nantinya?Atma sadar, secara naluriah, dia memiliki insting seorang ibu yang baik, dia suka anak-anak. Namun, anak Jessica akan berbeda. Anak itu bisa menjadi jembatan bagi Jessica dan Bhaga. Siapa yang akan berani jamin kalau Jessica tak akan mengusik mereka lagi? Kalau di masa depan, Jessica tidak akan menuntut apa-apa?Kepala Atma rasanya mau pecah.***"Kenapa emangnya kamu belum mau pulang, Ma?"Suara Bu Sona terdengar parau dari ujung telepon, katanya dia memang sedang terserang flu."Aku lagi liat-liat sekolah yang bagus, Bu. Aku mutusin mau a
Langit seolah ikut mengantar kepergian Jessica ke Singapura dengan hadirnya awan-awan sitrus yang menggantung lembut di cakrawala. Cuaca cerah. Semangat baru mengisi hati Bhaga dan Atma yang menemani Jessica sampai ke bandara."Janji sekali lagi, Jess. Kamu akan menjaga anak itu baik-baik." Bhaga mengingatkan sekali lagi."Tenang aja. Anak ini anak kalian." Jessica menyentuh lembut perutnya yang masih datar. "Lebih baik sekarang kalian juga siap-siap untuk menikah. Sebelum bayi ini lahir, kalian sudah harus datang nyusul aku.""Sesuai rencana kita. Santai. Semuanya akan berjalan lancar. Orang-orang nggak akan tau itu anak kamu." Bhaga memegang kuat bahu Atma. Dia tahu Atma yang paling gugup.Seluruh rencana memang telah dipersiapkan Bhaga dengan matang. Sebelum kelahiran anak Jessica nantinya, Bhaga dan Atma akan datang menyusul, seolah anak itu dilahirkan Atma di Singapura. Hanya saja, yang menjadipe-erbarangkali adalah bagaimana Atm
Darah Atma untuk beberapa detik seolah tersumbat. Demi Tuhan, dia bersyukur tak lupa memakai bantalan perut meski sedang tidak berada di luar rumah. Keringat jatuh di pelipisnya begitu cepat."Kamu kenapa, Ma? Kok pucat? Kamu lupa makan? Atau ada gangguan di janin kamu?" Bu Sona berubah cemas. "Ibu datang di waktu yang tepat, ya. Pas kamu butuh seseorang untuk menjaga kamu." Lantas berjalan masuk ke dalam apartemen meski Atma belum bicara apa-apa sejak kehadirannya yang tak terduga."A ..., Atma cuma kaget aja, Ibu datang nggak bilang-bilang dulu."Atma berdalih sambil terduduk lemas di sofa. Dia masih syok berat."Bentar. Biar Ibu ambilkan minum untuk kamu.""Jangan, Bu! Harusnya kan Atma yang bikin minuman buat Ibu.""Situasinya lagi beda. Kamu kan lagi hamil, Ma. Kamu duduk aja di situ, oke?" Bu Sona bersikeras. "Bhaga lagi kerja, ya?" Bu Sona meletakkan tas kopernya serta hadiah yang dia bawa lalu berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air pu