Kilat-kilat menyambar di atas cakrawala biru gelap. Angin berembus tak kalah kuat, menggugurkan daun-daun tua disusul serangan tetes-tetes air hujan. Atma berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain, mengerahkan seluruh tenaga untuk menutup jendela yang terbanting-banting oleh angin kencang. Cuaca buruk petang itu seakan tak cukup untuk membuat suasana mencekam, Bu Sona keluar dari kamar Pak Giring dan berlari naik ke lantai atas.
"Bhaga ...! Bhaga ...! Bapak sesak napas! Bhaga ...!" Kepal Bu Sona berkali-kali meninju pintu kamar Bhaga.
Selang semenit, Bhaga membuka pintu dengan rambut masih basah kuyup. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Bu!" serunya panik.
Sejenak Atma berdiri memperhatikan Bhaga menggendong Pak Giring, lantas dengan kikuk berinisiatif memayungi mereka sampai ke mobil, tak sepatah kata juga keluar dari mulut Bhaga, sedang Bu Sona sigap mencomot beberapa potong pakaian dan membawanya ke dalam tas.
"Tolong kamu jaga rumah ya, Ma!" Bu Sona berpesan sebelum dia ikut menyusul masuk ke dalam mobil.
Mobil yang dikemudikan Bhaga melaju menuruni bukit yang sedikit licin dan becek, meninggalkan Atma yang mematung di teras. Ini pertama kali dia ditinggal sendirian di rumah. Mendadak pikiran aneh menelusup ke kepalanya. Cepat-cepat Atma menutup pintu dan langsung mengunci seluruh pintu.
Ngeri. Rumah besar itu lumayan jauh dari area pemukiman warga, berada di antara kebun teh, pohon-pohon besar dan semak. Di luar cuaca sedang buruk, angin kencang, hujan turun deras, dan sebentar lagi malam akan menjelang. Sekujur tubuh Atma menjadi bergidik. Bagaimana bila ada orang iseng yang menyelinap masuk? Preman kampung? Atau si Salman? Anak Pak Kades itu kerap kali memandangi Atma dengan cara yang "aneh", Atma selalu menghindar darinya.
Jangan mikir aneh-aneh, Ma, kamu akan baik-baik aja.
Tak ada pilihan selain menghibur diri sendiri.
***
Petang telah menjemput malam, angin masih kencang dan berulang-ulang menabrak jendela sampai timbul bunyi bising, hujan belum juga reda. Atma membiarkan lampu besar di ruang tengah menyala meski tak ada sesiapa di sana, lampu di kamar pun dia nyalakan, terang-benderang untuk mengurangi rasa takut. Tubuh mungil Atma berselimut sampai ke leher, mulutnya terus komat-kamit agar tak ada gangguan dari hantu rumah. Rumah sebesar dan setua ini tentu ada penghuni tak kasat matanya, begitu teori Atma.
Bukan hanya serangan dari luar saja yang dicemaskan Atma, tapi juga serangan internal. Singkatnya, dia memang penakut. Belum ada kabar dari Bu Sona maupun Bhaga. Terakhir kali Pak Giring dilarikan ke rumah sakit, Atma ikut serta selalu, bahkan dialah yang diminta untuk menunggui di rumah sakit sehingga tak pernah ditinggal sendirian begini. Entah bagaimana malam ini akan berlalu, ditemani suasana mencekam dari luar maupun dari dalam.
TOK TOK TOK
Jantung Atma berderap. Ya Tuhan, siapa itu? Bu Sona tak mungkin, pasti pengecekan kesehatan Pak Giring butuh waktu agak lama, mungkin malah akan dirawat inap selama beberapa hari. Bhaga juga dirasa tak mungkin. Lalu siapa? Pupil mata Atma bergerak gelisah, tenggorokannya macet seolah menelan kerikil. Memberanikan diri, Atma turun dari tempat tidur. Tinjunya mengepal. Dia putuskan untuk mengintip melalui jendela, mengecek siapa yang datang. Namun, bila itu orang dengan niat jahat, harus berbuat apa? Atma sekali lagi gundah, tak ada siapapun yang bisa dimintai tolong di sekitar sini.
Sebelum kaki Atma sampai di pintu utama, sebuah suara terdengar dari teras,
"Atma?!"
Suara Mas Bhaga!
Atma menjerit dalam hati, selekas anak ayam mengejar induknya, dia berlari membukakan pintu. Angin kencang yang berembus langsung menerpa wajah dan rambut panjang Atma, membuat tubuhnya untuk beberapa detik tak bergerak dan matanya spontan terpejam. Ketika matanya terbuka, yang pertama kali dia lihat adalah Bhaga yang berdiri bingung di hadapannya, dengan rambut dan kemeja setengah basah.
"Boleh aku masuk?" tanya Bhaga pelan.
"Hah?" Atma melongok. "O! Ya ampun, maaf, Mas ..., aku sampe lupa, he he." Atma segera menyingkir, memberi ruang untuk Bhaga masuk lantas menutup pintu rapat agar angin tak menyerbu. "Ibu sama bapak nggak ikut pulang?"
Bhaga mengacak rambutnya untuk mengurangi jumlah air yang menempel. "Nggak bisa, bapak harus dirawat, mungkin seminggu atau kurang, bisa juga lebih. Ibu jaga di sana. Aku tadinya juga disuruh jaga tapi aku minta pulang."
"Kenapa? Mas Bhaga nggak suka bau rumah sakit?" Atma menebak.
"Nggak lah, bukan itu, tapi ..."
Sorot mata mereka kembali beradu, mendadak lidah Bhaga membeku, sulit untuk memberi tahu Atma bahwa gadis itu lah penyebab dia pulang lebih dulu. Bagaimanapun, Bhaga sadar, dirinya adalah lelaki muda, Atma pun seorang perempuan muda, mengingat hanya ada mereka berdua di bawah atap yang sama. Canggung tak bisa ditepis.
"Ya sejujurnya karna cuma kamu sendirian di rumah, tapi kalau misalnya kamu memang berani sendirian--"
"Nggak, Mas!" sambar Atma cepat, "aku ... sebetulnya aku udah ketakutan sejak tadi, jujur, aku bersyukur banget Mas Bhaga pulang, kalau nggak ..., aku nggak tau deh, mungkin malam ini nggak akan bisa tidur," sambungnya sambil menundukkan kepala. Malu.
Sebuah senyum manis mengembang di wajah tampan Bhaga. "Syukurlah aku mutusin untuk pulang tadi. Ya udah, aku naik dulu ya, mau mandi."
"Mas Bhaga mau mandi air hangat?"
"Nggak perlu."
Bhaga hendak pergi, tapi Atma menahannya kembali.
"Mau makan? Aku masakin sop daging mau? Aku kira tadi Mas Bhaga nggak pulang jadi aku nggak masak, mau aku masakin apa?"
Sorot mata Bhaga berubah. "Kamu belum makan? Kenapa?"
"Aku ..., tadi langsung sembunyi di kamar, he he." Atma nyengir malu.
"Kamu ..., setakut itu?" bisik Bhaga.
Atma mengangguk pelan.
"Ya ampun, Atma! Lain kali langsung hubungi ibu aja, ya? Jangan ditahan, belajar untuk ngungkapin perasaan kamu."
"Iya, Mas." Atma tersipu lagi, pipinya panas usai mendengar perhatian yang diberi Bhaga.
"Oke, kita makan bareng ya? Aku mandi dulu."
Selama Bhaga menaiki tangga, mata almond Atma tak mau lari juga dari punggung lebarnya yang menjauh. Hanya Tuhan saja yang tahu akan seperti apa malam ini dia lewati.
Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara. Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka. "Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma. "Hm?" gumam Atma gugup. "Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, mencipta
Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela. Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit k
Satu minggu telah berlalu, namun kondisi kesehatan Pak Giring masih sama, belum ada peningkatan yang signifikan. Dokter bilang, kemungkinan malah kondisinya akan makin memburuk, dan pihak keluarga harus siap untuk hasil yang paling jelek sekalipun. Satu-satunya hal yang barangkali masih menunggu Pak Giring adalah pernikahan Bhaga dan Jessica, dan itu pun sudah harus disegerakan. "Lihat kondisi bapak, Ga. Secepatnya ajak Jessica ke sini, supaya bapak bisa melihat kamu menikah," ucap Bu Sona pada suatu hari. Bhaga mengulum bibirnya, gundah, bingung. Sejujurnya, dalam lubuk hati paling dalam, dia masih ragu, haruskah menikahi Jessica? Keraguan itu kini timbul dan meninggi, setelah hadir Atma dalam hidupnya, yang walau masih terbilang singkat, namun begitu berkesan. Berhari-hari gundah, Bhaga sampai sengaja menghindar dari Atma, tentu untuk mengusir secuil rasa yang timbul tiap kali bertemu pandang dengan gadis cantik itu. Sebisa mungkin dia tepis dan dia padamka
Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama. Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yan
Seekor cecak menempel di dinding kamar Atma selama lebih dari satu jam, dan sudah selama itu juga dia sudah memandanginya. Nyaris tak berkedip. Melamun, membiarkan pikirannya diisi berbagai narasi. Dari mulai kenapa sikap Bhaga tadi begitu aneh sampai kenapa dia setuju untuk menikahi Salman. Belum ada jawabannya. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka 12, sudah waktunya bagi Atma untuk tidur, mengistirahatkan otaknya dari segala prahara yang ada. Rasa takut terhadap hantu harus dihadapi, tubuh yang lelah akhirnya pasti akan kalah juga. Kelopak mata Atma tesentak ketika telinganya menangkap sebuah suara dari luar. Seperti ada suara langkah di teras. Atma mempertajam indera pendengarannya. Terdengar suara jendela diketuk sekarang. Salman?! Nggak mungkin!pekik Atma dalam hati. Sekilas dia denial dan memutuskan untuk tetap membawa dirinya tidur. Namun, sebuah bayangan besar yang lewat di luar jendela menyentak Atma lagi. Dirinya langsung bangkit dengan pani
Atma terjaga dengan kepala berat dan juga tubuh hanya terbalut selimut di atas tempat tidur hangat milik Bhaga. Sejenak dirinya tak sadar apa yang terjadi semalam, dan sedang di manakah dia sekarang. Dalam keadaan masih setengah tidur, sebuah tangan menyentuh lembut kening Atma. Reflek mata Atma terbelalak, dan dia menarik selimut sampai menutupi lehernya. Rupanya tangan itu milik Bhaga. Senyum manis Bhaga mengembang, dia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali mengusap puncak kepala Atma dengan lembut. "Kamu udah bangun? Mau sarapan? Aku bikin bubur ayam tadi," ucap Bhaga lembut. Belum pernah Atma melihat senyumnya merekah seperti ini, begitu semringah dan berseri-seri secerah warna tomat yang baru dipetik dari kebun. Sementara itu sikap Atma kembali bimbang. Tak semudah membalik tangan baginya untuk menerima Bhaga sebagai "kekasihnya". Dia terlihat gugup, berusaha menghindar dan menolak bubur buatan Bhaga. Sepertinya untuk berhadapan dengan Bu Sona pun, Atma tak
Suasana di rumah masih suram, mendung seperti cuaca yang belakangan sering turun hujan dengan angin kencang. Bhaga dan Atma masih saling membisu, tak ada yang mau untuk berinisiatif untuk meluruskan segala yang terjadi. Sementara Bu Sona telanjur kecewa dengan Atma, dan hal itu dinilai Atma amat wajar, bahkan kalau dirinya berakhir dipecat dan diusir dari rumah, dia pun tak akan protes. Selain menjauhkan Bhaga dan Atma, Bu Sona punya tugas lainnya, yaitu mendekatkan Atma dengan Salman. Meski Atma geli setengah mampus, tapi apa mau dikata, inilah yang harus dia terima akibat perbuatannya sendiri. "Atma, isi kulkas udah mau habis. Kamu belanja kebutuhan untuk seminggu ya, ke pasar besar. Ini udah Ibu buatkan daftar belanjaannya." Bu Sona menyerahkan secarik kertas panjang kepada Atma, berikut beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu. "Baik, Bu. Aku pergi sekarang ya, takut nggak ada ojek lagi kalau malam." "Nggak usah naik ojek, Salman yang akan
Suara kuah sop yang mendidih mengisi dapur yang hening. Bu Sona memotong daun bawang dengan hati yang remuk, matanya masih bengkak sisa tangis semalam. Jessica mendekat setengah tak yakin lalu duduk di salah satu kursi makan, memperhatikan gerak tangan Bu Sona yang begitu piawai mengendalikan pisau."Aku akan pulang, Bu," ucap Jessica pelan.Gerak Bu Sona otomatis terhenti, dia berbalik dan menatap Jessica lekat. "Kamu akan meninggalkan Ibu dan Bhaga dalam situasi kayak gini? Kamu akan meninggalkan kami? Atau ..., kamu putus sama dia?" selidik Bu Sona."Nggak. Kami nggak putus, kok. Cuma kan, bapak udah nggak ada, udah nggak ada artinya juga mempercepat pernikahan, cuti aku juga udah habis," jawab Jessica cuek.Bu Sona meninggalkan pantri dan ikut duduk di samping Jessica, meraih tangannya dengan lembut. "Jess, hubungan kamu dengan Bhaga baik-baik aja, kan?"Jessica mengangguk sekali. "Gimana dengan Ibu sendiri? Gimana dengan ...," Jessica tampak r