"Mas Bhaga mau keliling kampung?" tanya Atma saat dia lihat Bhaga sedang mengenakan sepatu di teras. Sejak kembali, Bhaga memang belum sempat melihat-lihat sekitar.
"Ya, kamu mau ikut?"
Bhaga menghampiri Atma yang baru selesai menjemur pakaian di halaman samping, seketika seluruh tubuh Atma menjadi tegang, gugup. "Atau ..., kamu masih ada kerjaan lain?" tanya Bhaga.
"Oh, nggak ada sih Mas, tapi ...." Kepala Atma menunduk, jatuh ke rumput-rumput yang basah dengan air dari perasan pakaian.
"Tapi?"
"Emangnya boleh? Maksud aku, aku takut malah ganggu Mas Bhaga nantinya."
"Kamu ini ngomong apa?" Bhaga tertawa kecil. "Nggak ganggu lah, ayo ikut, aku mau liat-liat kebun aja, sih, sama ... ya, ketemu sama tetangga-tetangga, udah lama nggak liat kampung ini." Bhaga mengedarkan pandangannya ke hamparan kebun teh yang menghijau sampai ke bawah bukit.
Dengan ember di tangan, Atma berlari ke pintu belakang, dia tinggalkan saja ember itu di dapur lalu langsung menemui Bhaga lagi. "Ayo, Mas, aku akan tunjukin jalan juga, mana tau Mas Bhaga udah lupa, entar nyasar, lagi!"
***
Sinar mentari hangat jatuh tepat di atas kulit pucat Atma. Suhu yang tadinya terasa dingin mulai memanas pula, dua manusia dewasa muda itu berjalan berdampingan menyusuri jalan-jalan berbatu yang tak seberapa curam. Tangan besar Bhaga sesekali menyentuh daun-daun teh yang dia lewati, mengusap embun yang menari di atas permukaannya. Seperti ada yang mengunci mulut mereka, nyaris tak ada percakapan. Beberapa warga melintas, dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda atau sepeda motor, Bhaga menyapa mereka dengan sopan. Banyak yang sengaja menepi untuk menyalaminya atau berbasa-basi, bertanya dia kapan kembali, akan berapa lama di desa, bagaimana kondisi kesehatan Pak Giring, sampai bertanya apakah dia sudah menikah atau belum, dan kalau belum menikah, kapan akan menikah.
Satu lagi kualitas Bhaga yang dikagumi Atma, pria itu punya kesabaran sebesar gunung. Dengan tak jenuh-jenuh, dia menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang, bahkan Atma pun sudah muak mendengarnya. Tak keluar satu keluhan dari mulut Bhaga.
Niat hanya ingin melihat kebun teh, suasana pagi membawa mereka sampai ke area sawah. Bhaga berjalan menyusuri pematang sawah di depan, sedang Atma menyusul di belakangnya. Sesekali Bhaga berbalik badan, memastikan Atma masih di belakang, memastikan dia melangkah dengan benar.
"Mas Bhaga mau liat air terjun sekalian?" tanya Atma setelah mereka sampai di ujung area persawahan.
"Air terjun? Ada air terjun juga di dekat sini?" Alis Bhaga terangkat.
"Ya. Mas Bhaga lupa ya? Ada air terjun di dekat sini, kalau mau, kita sekalian ke sana, dekat lagi kok!"
Bhaga mengangguk cepat.
Rasa lelah dan keringat yang mengucur di kening terbayar sudah saat dengan matanya sendiri menyaksikan keindahan air yang seolah jatuh dari awan. Tanpa bicara, Bhaga melepas sepatu yang dia kenakan juga kaos kakinya. Usai menggulung ujung celana jins, dia duduk di sebuah batu besar dan memasukkan kedua kakinya ke dalam air terjun yang dingin. Atma ragu-ragu tapi ikut menyusul, menjadikan sebuah batu besar lainnya sebagai tempat untuk duduk.
"Airnya dingin banget!" kata Atma spontan saat kakinya tercelup.
"Ya iyalah, emangnya ini sumber air panas?" Bhaga tertawa kecil, matanya tak sengaja bertemu dengan sorot mata Atma, lekas Atma membuang muka.
Mereka dirajai hening kembali, cuma suara guyuran air yang mengisi telinga. "Jadi kamu udah nyaman tinggal sama ibu?" Bhaga bertanya setelah lama terdiam.
"Ya, Mas. Terlalu nyaman malah."
"Kalau ada kata-kata ibu yang nyakitin, jangan dimasukin hati, ya. Kadang ibu emang suka ceplas-ceplos."
"Nggak ada kok, Mas, justru ..., kata-kata ibu udah seperti makanan pokok buat aku, rasanya kalau sehari aja ibu nggak ngoceh, aku bisa sakit."
"Gitu ya? Itu sih emang udah terlalu nyaman!" Bhaga tertawa lagi. "Kamu lulusan apa?"
"SMP. Dekat sini."
"Nggak lanjut SMA? Kenapa?"
Suasana mendadak berubah menjadi serius, muram.
"Karna ibu sakit, parah, ayah juga sakit, nggak ada yang bisa menjaga mereka selain aku. Tapi setelah mereka pergi, sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi, kadang ..., rasanya nggak ada guna waktu itu aku mengobarkan pendidikan, toh mereka juga akhirnya pergi." Mata Atma berkaca-kaca.
"Maaf, malah mengingatkan kamu sama hal yang nggak menyenangkan."
"Nggak apa-apa kok, Mas. Toh ceritanya udah berkali-kali diceritakan, dan tiap kali diceritakan, kesedihannya juga jadi berkurang."
"Gitu, ya," gumam Bhaga, "tapi kamu nggak bisa bilang gitu, kamu udah berkorban banyak, seenggaknya kamu udah berbakti sampai akhir usia mereka. Kamu anak yang hebat, kamu perempuan hebat."
Sekali lagi jantung Atma diserang gemuruh yang begitu kuat.
"Jadi, nggak ada niat untuk mengejar ketertinggalan?" Bhaga bertanya lagi.
"Ngejar gimana maksudnya, Mas?"
"Ya kamu bisa ambil paket C."
"Paket C? Apa itu?" Kening Atma mengerut.
"Kamu nggak tau itu apa? Kamu bisa ambil ijazah paket C setara SMA, kamu bisa sekolah dulu beberapa bulan terus ikut ujian," terang Bhaga.
"O ..., bisa gitu ya, Mas?"
"Bisa, kamu nggak tau beneran?"
Atma menggeleng pelan. "Nggak ada yang ngasih tau aku soal itu, Mas."
"Keluarga kamu yang lain di mana?"
"Sejak ibu dan ayah sakit, mereka mulai menjauh, mungkin karna mereka juga bingung, mau membantu juga sulit, jadi ya ..., mau bilang apa Mas? Aku juga nggak mau membebani mereka, tapi aku bersyukur ada orang tua Mas Bhaga yang begitu baik, Bu Sona dan Pak Giring benar-benar kayak malaikat buat aku, kebaikan mereka nggak akan pernah aku lupakan."
Mereka berpandangan, tapi kali ini sorot mata Bhaga justru menunjukkan simpati yang besar kepada Atma. "Kalau aku urusin, kamu mau coba ikut?"
"Hah?"
"Paket C yang tadi aku bilang."
Rupanya Bhaga masih memikirkan soal pendidikan Atma, bukannya mendengarkan soal orang tuanya yang sedang dibahas Atma. "O, bisa? Aku takut malah ngerepotin."
"Nggak, nanti aku akan coba cari tau gimana cara untuk mendaftar." Bhaga berdiri. "Ayo pulang, nanti ibu nyariin lagi, tadi kita nggak sempat pamitan."
Kilat-kilat menyambar di atas cakrawala biru gelap. Angin berembus tak kalah kuat, menggugurkan daun-daun tua disusul serangan tetes-tetes air hujan. Atma berlari dari satu ruangan ke ruangan yang lain, mengerahkan seluruh tenaga untuk menutup jendela yang terbanting-banting oleh angin kencang. Cuaca buruk petang itu seakan tak cukup untuk membuat suasana mencekam, Bu Sona keluar dari kamar Pak Giring dan berlari naik ke lantai atas. "Bhaga ...! Bhaga ...! Bapak sesak napas! Bhaga ...!" Kepal Bu Sona berkali-kali meninju pintu kamar Bhaga. Selang semenit, Bhaga membuka pintu dengan rambut masih basah kuyup. "Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Bu!" serunya panik. Sejenak Atma berdiri memperhatikan Bhaga menggendong Pak Giring, lantas dengan kikuk berinisiatif memayungi mereka sampai ke mobil, tak sepatah kata juga keluar dari mulut Bhaga, sedang Bu Sona sigap mencomot beberapa potong pakaian dan membawanya ke dalam tas. "Tolong kamu jaga rumah ya, Ma!"
Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara. Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka. "Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma. "Hm?" gumam Atma gugup. "Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, mencipta
Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela. Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit k
Satu minggu telah berlalu, namun kondisi kesehatan Pak Giring masih sama, belum ada peningkatan yang signifikan. Dokter bilang, kemungkinan malah kondisinya akan makin memburuk, dan pihak keluarga harus siap untuk hasil yang paling jelek sekalipun. Satu-satunya hal yang barangkali masih menunggu Pak Giring adalah pernikahan Bhaga dan Jessica, dan itu pun sudah harus disegerakan. "Lihat kondisi bapak, Ga. Secepatnya ajak Jessica ke sini, supaya bapak bisa melihat kamu menikah," ucap Bu Sona pada suatu hari. Bhaga mengulum bibirnya, gundah, bingung. Sejujurnya, dalam lubuk hati paling dalam, dia masih ragu, haruskah menikahi Jessica? Keraguan itu kini timbul dan meninggi, setelah hadir Atma dalam hidupnya, yang walau masih terbilang singkat, namun begitu berkesan. Berhari-hari gundah, Bhaga sampai sengaja menghindar dari Atma, tentu untuk mengusir secuil rasa yang timbul tiap kali bertemu pandang dengan gadis cantik itu. Sebisa mungkin dia tepis dan dia padamka
Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama. Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yan
Seekor cecak menempel di dinding kamar Atma selama lebih dari satu jam, dan sudah selama itu juga dia sudah memandanginya. Nyaris tak berkedip. Melamun, membiarkan pikirannya diisi berbagai narasi. Dari mulai kenapa sikap Bhaga tadi begitu aneh sampai kenapa dia setuju untuk menikahi Salman. Belum ada jawabannya. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka 12, sudah waktunya bagi Atma untuk tidur, mengistirahatkan otaknya dari segala prahara yang ada. Rasa takut terhadap hantu harus dihadapi, tubuh yang lelah akhirnya pasti akan kalah juga. Kelopak mata Atma tesentak ketika telinganya menangkap sebuah suara dari luar. Seperti ada suara langkah di teras. Atma mempertajam indera pendengarannya. Terdengar suara jendela diketuk sekarang. Salman?! Nggak mungkin!pekik Atma dalam hati. Sekilas dia denial dan memutuskan untuk tetap membawa dirinya tidur. Namun, sebuah bayangan besar yang lewat di luar jendela menyentak Atma lagi. Dirinya langsung bangkit dengan pani
Atma terjaga dengan kepala berat dan juga tubuh hanya terbalut selimut di atas tempat tidur hangat milik Bhaga. Sejenak dirinya tak sadar apa yang terjadi semalam, dan sedang di manakah dia sekarang. Dalam keadaan masih setengah tidur, sebuah tangan menyentuh lembut kening Atma. Reflek mata Atma terbelalak, dan dia menarik selimut sampai menutupi lehernya. Rupanya tangan itu milik Bhaga. Senyum manis Bhaga mengembang, dia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali mengusap puncak kepala Atma dengan lembut. "Kamu udah bangun? Mau sarapan? Aku bikin bubur ayam tadi," ucap Bhaga lembut. Belum pernah Atma melihat senyumnya merekah seperti ini, begitu semringah dan berseri-seri secerah warna tomat yang baru dipetik dari kebun. Sementara itu sikap Atma kembali bimbang. Tak semudah membalik tangan baginya untuk menerima Bhaga sebagai "kekasihnya". Dia terlihat gugup, berusaha menghindar dan menolak bubur buatan Bhaga. Sepertinya untuk berhadapan dengan Bu Sona pun, Atma tak
Suasana di rumah masih suram, mendung seperti cuaca yang belakangan sering turun hujan dengan angin kencang. Bhaga dan Atma masih saling membisu, tak ada yang mau untuk berinisiatif untuk meluruskan segala yang terjadi. Sementara Bu Sona telanjur kecewa dengan Atma, dan hal itu dinilai Atma amat wajar, bahkan kalau dirinya berakhir dipecat dan diusir dari rumah, dia pun tak akan protes. Selain menjauhkan Bhaga dan Atma, Bu Sona punya tugas lainnya, yaitu mendekatkan Atma dengan Salman. Meski Atma geli setengah mampus, tapi apa mau dikata, inilah yang harus dia terima akibat perbuatannya sendiri. "Atma, isi kulkas udah mau habis. Kamu belanja kebutuhan untuk seminggu ya, ke pasar besar. Ini udah Ibu buatkan daftar belanjaannya." Bu Sona menyerahkan secarik kertas panjang kepada Atma, berikut beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu. "Baik, Bu. Aku pergi sekarang ya, takut nggak ada ojek lagi kalau malam." "Nggak usah naik ojek, Salman yang akan