Beberapa kali hantaman angin ke jendela mengejutkan Atma. Nasi di mulutnya dikunyah perlahan. Lain darinya, Bhaga justru tetap tenang, seperti tak ada apa-apa. Kikuk, canggung, keduanya makan berhadapan nyaris tanpa bicara. Tadinya ada begitu banyak pertanyaan di kepala Atma seputar Pak Giring yang hendak dia ajukan, tapi setelah berhadapan dengan Bhaga, semua susunan kata-kata itu memudar dan menguap di udara.
Sop yang dibuat Atma pun sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya. Apakah asin, manis atau pedas, Atma tak tahu lagi, yang dia tahu saat ini dia sedang berdua saja di meja makan bersama Bhaga. Suara hujan dan angin di luar seakan menjadi lagu tema yang melengkapi keheningan mereka.
"Soal paket C ..." Akhirnya Bhaga yang memecah kesunyian, barangkali dia sudah tak tahan berlomba diam dengan Atma.
"Hm?" gumam Atma gugup.
"Aku udah cari tau syarat-syarat pendaftarannya, kamu jadi mau ikut, kan?" Bhaga menatap lurus ke dalam manik indah Atma, menciptakan sebuah gemuruh kecil di dadanya.
"O ..., soal itu ..., aku nggak yakin, Mas. Apa boleh sama ibu? Apa waktunya bisa? Apa lagi bapak lagi sakit sekarang." Atma menggaruk punggung tangannya yang tak gatal.
"Soal itu jangan dipikirin, aku akan ngomong sama ibu, pasti dikasih izin. Sekolahnya cuma tiga kali dalam seminggu, ada kelas malam juga, pasti bisa ngatur waktunya. Kamu mau, kan?" Bhaga menatap Atma dengan lebih lekat lagi.
"Tapi ..., sebetulnya aku juga nggak tau itu buat apa, Mas," aku Atma malu-malu.
Bhaga tertawa kecil. "Jangan tersinggung, Atma, tapi kamu nggak akan selamanya ikut dengan ibu kan?"
Air muka Atma sontak berubah. "Ja-jangan salah paham!" Bhaga berseru cepat. "Tolong jangan salah paham, bukan itu maksud aku. Bukan! Maksudku ..., ibu udah tua, bapak juga kamu tau sendiri keadaannya gimana. Setelah mereka nggak ada, kemungkinan kebun dan rumah ini juga akan dijual. Aku akan carikan kamu pekerjaan yang lebih bagus nanti dengan ijazah kamu."
Mata Atma memandang sayu mangkuk yang masih berisi setengah kuah sop. "Jadi ..., Mas Bhaga akan menjual rumah dan kebun nanti? Bukannya rumah ini berisi kenangan dari kakek dan nenek Mas?"
Semua yang mendengar pun bisa tahu kalau tersirat kekecewaan pada suara Atma. "Maaf, Mas, harusnya aku nggak ngomong apa-apa, maaf udah lancang," lanjutnya cepat.
"Nggak apa-apa, Atma. Tapi, ada waktunya kenangan memang harus dibunuh, aku juga udah yakin menetap dan tinggal di kota, jadi ya ..., mau bilang apa?"
Suasana menjadi lebih canggung dan sedikit tidak nyaman. Atma mempercepat menyantap makan malamnya, sebelum keluar lagi kalimat dari mulut yang tak perlu dan hanya akan membuatnya menyesal kemudian. Pikirnya, urusan rumah adalah sepenuhnya hak Bhaga sebab dia adalah sang ahli waris, mau dijual atau dihibahkan, tak sejengkal pun berurusan dengan Atma.
***
TIK TIK TIK
Bunyi jarum jam yang bergerak teratur hanya membuat kegelisahan Atma makin menumpuk. Hujan telah reda, angin kencang lenyap sudah, tapi mata Atma masih tak kunjung terpejam. Selama setengah jam matanya hanya memandangi langit-langit kamar yang putih bersih. Biasa di kamar sebelah ada Pak Giring dan Bu Sona, namun sekarang di lantai dasar hanya dia seorang, tak ada sesiapa di lantai berikutnya, dan hanya ada Bhaga di lantai yang paling atas.
Atma berusaha sekeras yang dia bisa untuk memejamkan mata, membujuk tubuhnya untuk tertidur segera, sebab besok akan ada lebih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Ketika mata lelah Atma akhirnya menurut, tiba-tiba sekali sebuah kilat besar menyambar di luar sampai cahayanya menembus gorden.
DUAR!!!!
Spontan Atma yang terperanjat langsung turun dari tempat tidurnya dan berlari ke lantai atas. Anehnya, Bhaga juga keluar dari kamarnya. Mereka bertemu di tangga. Kikuk.
"Mas Bhaga ..., takut petir juga?" tanya Atma pelan.
Bhaga menggeleng dibarengi tawa kecil. "Aku cuma mau mastiin kalau kamu nggak apa-apa."
Keran darah di sekujur tubuh Atma baru saja dibuka oleh Bhaga tanpa sepengetahuannya, seluruh tubuhnya berdesir seketika. Apa maksud Bhaga bicara seperti itu? Atma merenung sesaat.
"Aku ..., nggak apa-apa, Mas. Aku balik ..., balik dulu ke kamar." Atma tergagap sembari berbalik badan.
"Kamu yakin nggak apa-apa?"
Pertanyaan Bhaga sukses mengguncang tubuh Atma.
"Maksud aku bukan untuk ngajak kamu tidur bareng. No!" seru Bhaga mempertegas makna pertanyaannya barusan.
Bergegas Atma berbalik badan lagi. "Ya Tuhan, Mas Bhaga! Nggak mungkin juga aku berpikir kayak gitu. Bukan itu yang aku pikirkan sumpah! Maaf kalau aku teriak, tapi sungguh, aku nggak berpikir kayak gitu." Atma menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan muka.
Bhaga melangkah turun sampai sejajar di anak tangga yang sama dengan Atma. Dari jarak sedekat ini, Atma bisa mencium aroma sabun mandinya yang wangi, seperti bau jeruk. Segar. "Aku akan tidur di sofa, di ruang tengah."
"Hah?" Atma melongok.
"Kamu tenang aja, kamu bisa kunci pintu kamar."
"A-aku nggak berpikir juga kalau Mas Bhaga mau--"
"Iya, aku tau," sela Bhaga. "Tenang aja, cuma biar kamu lebih tenang aja. Kunci aja pintunya, aku tidur di ruang tengah nggak apa-apa, rumah ini rumah tua dan besar, wajar kalau kamu takut. Apa lagi cuaca lagi buruk kayak gini. Ketimbang kamu nggak bisa tidur sampe pagi, kan?" Bibir Bhaga menyungging senyum tulus.
Kalau ini mimpi, Atma enggan untuk terjaga. Bhaga begitu peka, penuh pengertian, tanpa diberi tahu, dia mampu membaca situasi dengan tepat dan cepat. Kalau bukan karena inisiatif Bhaga malam itu, maka barangkali Atma memang tak akan bisa tidur dengan nyenyak malam itu. Namun nyatanya, justru karena tahu ada Bhaga yang tertidur di ruang tengah untuk menjaganya, makin sulitlah mata Atma untuk terpejam.
Pada lewat-lewat tengah malam, Atma sekali-dua kali keluar untuk mengintip. Bhaga masih tidur di sofa. Ketika dia lihat selimutnya tak tertutup dengan benar, Atma ragu-ragu mendekat untuk menyelimuti kembali hingga menutup kaki.
Sebetulnya, apa arti dari semua kebaikan ini?
Habis membawa Tommy tidur bersama Bu Sona di kamar sebelah, Atma kembali ke kamar hotelnya bersama Bhaga. Bhaga masih di bawah bersama Anna, sepertinya masih asyik bercakap-cakap. Mata Atma sudah beberapa kali menarik sendiri, dia paksa untuk mandi sekejap, berganti piyama dan menyikat gigi. Setelah semua beres barulah dia naik ke tempat tidur. Namun, baru saja berbaring sekitar sepuluh menit, sebuah tangan membelai lengan Atma dengan lembut. Membuatnya terjaga perlahan. Ada Bhaga di sampingnya, memeluk dengan lembut, mencium telinganya berkali-kali. "Mas Bhaga udah mandi?" tanya Atma setengah sadar. "Udah ..." Bhaga menjawab setelah mengecup pipi Atma. Atma tahu ke mana tujuan Bhaga. Namun, mata Atma terlalu lelah untuk meladeni. "Kamu udah mau tidur ya? Atma ..., kita kan lagi di Bali! Lagi tahun baru ini!" kata Bhaga memprotes, rewel seperti anak kecil. "Ya terus kalau di Bali kenapa, Mas?" tanya Atma sambil membuka matanya
Malam ini adalah malam pergantian tahun, di mana kembang api akan menyala tepat pada pukul 12. Pantai menjadi lokasi paling banyak diincar untuk menghabiskan malam tahun baru. Sembari menunggu tengah malam tiba, paling nikmat ditemani hidangan laut bakar maupun daging bakar.Itu pula yang dipersiapkan oleh Bhaga. Sebuah meja panjang dia pesan di pinggir pantai, diajaknya serta keluarga Anna untuk ikut bergabung. Sekali lagi Bu Sona absen, sebab dia merasa tak akan tahan begadang sampai larut malam. Dia takut terserang flu keesokan hari. Penyakit orang tua.Bu Sona langsung izin saat pukul 10, membawa Nala serta, mereka tidur lebih awal. Tommy seharusnya juga ikut tidur lebih awal, namun bocah lelaki itu berkeras ingin melihat kembang api. Bhaga pun mengizinkan asal setelah lewat acara kembang api, Tommy langsung kembali ke hotel untuk tidur.Pukul sebelas lewat, masih ada sedikit sosi dan jagung yang bisa dibakar untuk teman menunggu tengah malam. Rohan sibuk me
Cuaca amat cerah dan panas siang itu, dengan angin laut yang tak kalah kuat. Para pengunjung pantai yang rata-rata turis tampak asyik berjemur di atas matras, hanya mengenakan bikini. Mereka sibuk mengolesi krim anti sinar UV di atas kulit mereka agar tak terbakar.Bhaga memesan sebuah pendopo di dekat pantai, yang muat untuk menjadi tempat berteduh bagi seluruh anggota keluarganya, pendopo di sebelah rupanya disewa pula oleh rombongan Anna dan sepupunya. Bu Sona tidak ikut, alasannya karena terlalu panas di pantai. Alih-alih bersantai di balkon hotel, dia malahan pergi mengeksplorasi sendirian, pergi ke tempat yang lebih sejuk seperti kuil atau pasar cendera mata.Satu yang mengusik perhatian Atma adalah pakaian Anna. Anna muncul dari hotel dengan satu set bikini berwarna merah muda, terlihat manis dan seksi di saat bersamaan. Belum lagi kepalanya ditutupi dengan topi pantai dari jerami, serta kacamata hitam, dia bisa berbaur seperti turis mancanegara lainnya. Sementa
Berkat bantuan Anna, Atma mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang dimiliki oleh kakak lelakinya. Pria yang sudah berkepala tiga itu bernama Rohan. Statusnya belum menikah. Dari sana Atma bisa tahu kalau keluarga Anna rupanya cukup berantakan.Ibu dan ayahnya telah bercerai sejak dia kecil. Rohan diasuh oleh ayahnya, sementara Anna diasuh oleh ibunya. Bisa dibilang mereka tak terlalu dekat sebetulnya. Namun, dari pertemuan pertama, Atma bisa langsung tahu kalau Rohan adalah pria yang baik, kepribadainnya hangat dan penuh pengertian.Selain Atma, ada seorang karyawan lain yang juga membawa balitanya. Anak-anak yang dibawa bisa dititipkan di lantai atas. Ada sebuah kamar bayi di lantai atas serta ruang bermain anak. Tugas Atma pun tak begitu sulit, cuma bantu-bantu di dapur sebagai asisten yang menyiapkan bahan masakan.Bila semua sudah beres, Atma pun bisa merangkap menjadi pelayan yang membantu mengantarkan pesanan atau mencatat pesanan.Kebanyakan tamu
Bhaga berbalik, lalu memutar bola matanya sambil menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih, Atma? Semua itu cuma ada di pikiran kamu. Di sini!" Bhaga menunjuk pelipisnya. "Semua itu khayalan, prasangka! Kamu liat Anna, dia bahkan bukan tipe aku! Nggak sama sekali! Dia itu udah kuanggap kayak temen cowok, tau?!" Bhaga mendekat, duduk di pinggir tempat tidur."Temen cowok? Secakep itu? Secantik dan seseksi itu? Yang benar aja, Mas! Aku ini emang cewek kampung, tapi aku nggak bodoh. Mana mungkin cewek secantik itu Mas anggap kayak laki-laki!" Kening Atma mengerut."Coba kamu pikir-pikir lagi. Kami sama-sama suka basket, sepak bola, ehm ..." Bhaga tergagap sebentar. "Pokoknya aku sama sekali nggak menganggap dia sebagai seorang perempuan. Dia itu kayak adik aja, kayak temen, kayak ... Salah satu 'bro' bagi aku."Muka Atma mengernyit. "Apa lagi itu 'bro'? Mas Bhaga udah deh, jangan ngaco! Jangan bikin-bikin alasan. Pokoknya aku nggak suka kalau Mas Bhaga masih bertema
"Hari ini aku mungkin pulang malam. Kamu masak untuk kamu aja ya, Sayang." Bhaga berujar pada suatu hari, sebelum dia berangkat kerja.Atma yang sedang menyedot debu di sofa langsung menatapnya heran, alisnya menukik tajam. "Belakangan ini Mas Bhaga pergi terus, ke mana sih? Mau ngapain lagi?" tanyanya agak dingin."Ada acara makan-makan dari kantor. Jadi yah ..., kemungkinan kami akan minum juga sampai jam 12 lewat."Sejak mereka kembali dari desa beberapa bulan yang lalu, tiap malam Bhaga hampir tak pernah pulang tepat waktu. Selalu saja ada alasan. Sementara Atma tak bisa ke mana-mana sebab dia mesti mengurus Nala yang masih belum genap 6 bulan.Bukan berarti Bhaga tidak peduli dengan urusan rumah sama sekali. Bila di akhir pekan, dia masih sering menjaga Nala, terkadang membuatkan susu, mengganti popok, namun tetap saja, tingkah polanya belakangan terlihat begitu berbeda. Atma tak bisa bersikap acuh tak acuh lagi, mesti ada sesuatu yang tidak dia keta
"Papa bangun ...! Papa ...!" Tommy kecil naik ke atas tempat tidur di mana Bhaga masih terlelap dengan tubuh telungkup.Sejam yang lalu, Atma telah bangun lebih dulu, langsung mandi lalu menyiapkan sarapan. Bhaga sepertinya masih lelah akibat kegiatan yang menguras energinya semalam."Papa ...! Ayo bangun, dong ...! Hari ini kita mau keliling kampung ...!" teriak Tommy seraya duduk di atas punggung lebar Bhaga.Bhaga terjaga lalu langsung menggendong Tommy meski kesadarannya masih belum seutuhnya pulih."Mama lagi masak, ya?" tanyanya setelah mencium aroma bumbu nasi goreng. "Kamu bau! Kita mandi dulu, yuk?" katanya masih dalam kondisi setengah sadar.Sehabis mandi bersama Tommy, Bhaga turun ke dapur menemui Atma yang juga telah rapi memakai gaun mininya. Atma baru selesai menyusui Nala."Sarapan dulu, Mas. Kita hari ini mau ngajak Tommy keliling kampung." Atma berkata sambil membuka tudung saji di atas meja."Mau ke mana? Mau liat ap
Keputusan untuk menitipkan Tommy kepada Bu Sona sudah bulat. Tentu berita baik itu disambut dengan tangan terbuka oleh Bu Sona. Justru itulah yang telah dia nanti-nanti. Sebelumnya, disangkanya Tommy baru bisa dia rawat setelah menginjak usia belasan, masuk SMP atau SMA.Namun, Bhaga mempercepat rencananya sebab dia tak mau Tommy telanjur nyaman hidup di kota. Nantinya akan lebih sulit bagi bocah lelaki itu untuk menyesuaikan diri hidup di desa. Meski begitu, Tommy sesekali merengek, tak mau berpisah.Seperti yang terjadi hari ini, saat sebulan menjelang kelahiran anak kedua Atma dan Bhaga. Si kecil Tommy memeluk perut Atma begitu lama."Aku nggak mau pisah sama adik, Ma ..." rengeknya manja."Jadi, Tommy nggak mau nemenin Nenek? Gitu?" Bu Sona yang sedang menyedot debu sofa bertanya, sengaja memancing."Bukan gitu juga, Nek! Kenapa sih Nenek nggak tinggal di sini aja? Atau kita semua ikut tinggal sama Nenek?" tanya Tommy polos."Nggak bisa,
"Cucu Nenek ...!" Bu Sona berseru sembari membuka kedua tangannya lebar-lebar.Tommy berlari penuh semangat, senyumnya secerah sinar matahari siang itu. "Nenek! Aku kangen ...!" balasnya manja."Sama, Sayang ..., Nenek juga kangen banget sama kamu! Ya Tuhan! Liat kamu! Udah setinggi apa! Udah besar, udah jadi cowok gede!" Bu Sona mengacak lembut rambut Tommy.Tommy nyengir bangga. "Iya, dong! Kan sering minum susu!"Selepas Bu Sona melepas dekapannya, dia tatap Tommy. Sekilas dia heran kembali, kenapa pupil mata Tommy kian tampak biru. Saat bayi dia kira itu akan berubah seiring waktu seperti warna mata bayi kebanyakan, namun sampai sekarang, mata Tommy masih tampak sama saja. Meski begitu, ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."Atma ...! Bhaga ...!" Bu Sona beranjak memeluk putera dan menantunya.***Waktu berlalu secepat angin, kandungan Atma kini berusia 7 bulan.Untuk syukuran kehamilan 7 bulan Atma, mereka mengadak