Share

PESONA ATMA

Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela.

Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit kecoklatan. Usianya baru memasuki dua puluh tahun. Ibarat buah, dia sedang matang dan ranum, ibarat kembang sedang mekar di taman bunga. Rambutnya sepunggung, tebal dan hitam alami, kulitnya kuning langsat bersih, serta dagingnya berisi, pas. Tidak gemuk, tidak kurus, tak pula terlalu tinggi, tak bisa juga dikatakan kurus. Bila berhadapan dengan Bhaga yang tinggi, Atma setara dengan dadanya, dia tampak begitu mungil. Atma juga selalu tampak modis meski sederhana, rambutnya dikuncir atau dikepang rapi, tubuhnya dibalut gaun-gaun mini yang menunjukkan keanggunannya. Sekilas Bhaga mengingat Jessica, kekasihnya itu adalah gambaran wanita modern masa kini, dan tak ada yang salah dengan itu, hanya saja dia adalah kebalikan dari Atma. Mata elang Bhaga berhenti di ujung gaun mini berbunga yang dikenakan Atma, gaun satin itu diayun-ayun angin dengan lembutnya, membuat kainnya menari di betis Atma yang cantik.

Saat Bhaga terlalu fokus memandangi kaki Atma, Atma berbalik badan, sejurus mata mereka bertemu. Kagok, Bhaga langsung membuang muka. Segera pria itu mengacak rambutnya. Aku pasti udah gila, apa yang baru aja aku pikirin? Dirinya membatin gundah. Barusan, untuk sekilas, dia jatuh, jatuh kepada pesona Atma, dan dia menyesalinya.

***

"Nanti aku minta ibu untuk pulang ya? Biar kami gantian, aku yang akan jaga bapak nanti." Bhaga berucap sembari menerima bekal yang telah disiapkan Atma. Sudah waktunya untuk kembali ke rumah sakit.

Sejak kejadian memalukan tadi pagi, Bhaga tak berani lagi menatap mata Atma, sebisa mungkin dia mengalihkan pandangan ke arah yang lain.

"Tapi kalau ibu mau jaga di sana juga nggak apa-apa kok, Mas. Aku bisa sendiri, malam ini pasti nggak turun hujan lagi. Semoga bapak cepat sembuh ya, aku titip salam."

Bhaga mengangguk pelan, masih menghindar dari tatapan Atma. Sementara Atma yang sudah telanjur terbiasa menatap Bhaga, menjadi bingung. Apakah dirinya telah melakukan kesalahan sehingga Bhaga tak mau menatapnya, atau karena apa, dia tak mengerti, dan hatinya bertanya-tanya.

"Kalau gitu, aku pergi dulu, kalau ada apa-apa, langsung telpon ibu. Kunci semua pintu kalau sudah gelap, kita nggak pernah tau-tau kan niat orang." Bhaga berjalan santai mendekati mobil yang terparkir di halaman.

Tanpa beranjak dari teras, Atma berseru, "Mas!"

Bhaga berbalik. Akhirnya mata mereka bertemu kembali.

"Apa ..., aku udah melakukan kesalahan?" lirih Atma.

"Hah? Nggak! Nggak ada apa-apa, Atma." Bhaga menggeleng.

"Cuma mau tanya itu aja, Mas."

Walau ada berbagai pertanyaan dan kebingungan di benaknya, Bhaga menepis semuanya, dia tak mau sampai tenggelam dalam keasyikan bercakap-cakap dengan Atma. Cinta selalu dimulai dari komunikasi, Bhaga harus membatasi dirinya, terlebih hanya ada mereka berdua saat ini.

"Bye, Atma."

"Hati-hati, Mas Bhaga."

Mobil Bhaga melaju menuruni bukit, tapi kali ini rasanya sangat berbeda dari sebelumnya, ada sesuatu yang dia tinggalkan di bukit sana. Entah itu Atma, atau hatinya.

***

Sebuah sepeda motor kumbang berwarna merah tua berhenti di halaman depan pada sore hari. Pengemudinya seorang pemuda berpenampilan flamboyan yang terlihat seperti bandit yang baru keluar dari film tahun 80-an. Kemeja berwarna kuning bermotif bunga krisan, celana berbahan dasar, rambut disemir dan ditata rapi, serta sepatu pantofel hitam mengkilap. Aroma parfum murahan menguar dari tubuhnya. Meski penampilannya tampak jadul, dia diberkahi wajah yang cukup tampan dengan kulit sawo matang cenderung gelap yang menawan.

"Salman!" Atma mengeluh setelah mengintip siapa yang datang dari balik gorden jendela.

Pemuda bernama Salman itu berjalan ke teras dengan gaya yang menurut Atma sangat memuakkan, lalu mengetuk pintu. "Atma? Atma? Aku tau kamu ada di dalam ..., bisa kita bicara sebentar?" tanya Salman dengan senyum nakal menyungging di bibir tebalnya.

Dada Atma kembang-kempis, dia punya segudang pengalaman buruk mengenai Salman. Anak tunggal Pak Kades itu kerap menguntitnya. Di sawah, di sungai, di kebun teh, ke mana Atma pergi, dia sering memantau seperti mandor saja. Mereka sebaya, tapi Salman berlagak seperti om-om genit. Bikin Atma geli setengah mati.

"Atma ...? Aku tau nggak ada siapa-siapa di rumah, anak bos kamu sudah pergi, kan? Ayolah ..., mumpung nggak ada siapa-siapa di rumah, kita bisa bicara berdua." Salman masih terus mengoceh, tak kunjung menyerah.

"Tolong, Salman! Aku tau ayah kamu berjasa sama aku, tapi tolong, jangan ganggu aku, jangan ngikutin aku terus!" teriak Atma dari dalam rumah.

"Aku ..., aku nggak berniat mengganggu kamu, cantik. Aku cuma mau kita ..., kita bicara sebagai teman, kita kan dulu satu sekolah juga, kenapa kamu memperlakukan aku kayak orang asing?" Salman tergagap.

"Aku nggak mau berteman sama kamu!" tegas Atma.

"Kamu lupa? Kalau bukan karna ayah aku, mana mungkin keluarga Pak Giring mau menerima kamu di rumah mereka! Sudah waktunya kamu balas jasa, menikah dengan aku!" Kesabaran Salman habis sudah.

Atma terdiam sesaat. Darahnya serasa mendidih, kalau saja dia bernyali, ingin sekali dia hantam kepala si Salman saat ini juga. "Kalau itu tujuan kamu, ngomong sama Bu Sona, mereka udah jadi wali aku." Namun, amarah itu harus diredam.

Salman tertawa pelan, puas hatinya. Perkataan Atma barusan bagai lampu hijau baginya. Itu artinya, Atma bersedia untuk dipinang, namun harus melalui Bu Sona selaku pihak wali Atma.

"Kalau gitu mau kamu, oke, aku akan bicara sama ayah aku, meminta kamu untuk dilamar!" kata Salman kemudian.

"Jangan sekarang, Pak Giring lagi dirawat di rumah sakit." Atma beralasan, semata untuk mengulur waktu. Toh dia pun sadar, cepat atau lambat, Salman akan mengajukan lamaran.

"Iya, aku tau. Aku akan sabar menunggu, sampai kamu ..., jadi milikku."

Sekujur tubuh Atma reflek merinding. Ditepuknya jidatnya, menyesali apa yang tadi telah dia katakan. Salman bisa pergi untuk sekarang, tapi Atma tahu benar, pria itu akan datang kembali secepatnya dengan lamaran serta. Atma mesti segera mencari alasan lain untuk setidaknya menunda.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yanti D
Hi ratu adult romance wkwkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status