Brak!
"Siapa kalian?!"
Sontak sepasang lawan jenis yang semula terlelap kini terbangun dari tidurnya, menatap sesosok pria paruh baya bermantel tebal berdiri di ambang pintu yang baru saja dibanting dengan sangat keras.
Cuaca yang begitu dingin melemahkan kewaspadaan mereka sampai tidak menyadari deruan snowmobile berhenti di depan pondok tua yang mereka singgahi.
Demian beranjak dari sofa, sedangkan Acasha masih duduk sambil berkedip-kedip di atas ranjang, mengumpulkan seluruh kesadarannya.
"Maafkan kami. Kami sudah lancang masuk ke pondok Anda tanpa izin. Kami hanya mencari tempat untuk beristirahat sejenak sampai besok pagi," jelas Demian tanpa diminta.
Sang pria paruh baya bermantel menurunkan tudungnya. Putih ubannya sudah tampak di berbagai sisi. Pelupuk keriputnya menyipit ke arah Demian, lalu Acasha bergantian.
"Sayangnya, hari ini sudah 'besok pagi'," sahutnya terdengar garang.
Demian melirik cahaya di balik pu
Lagi-lagi, Acasha dibuat keheranan tentang fakta yang mengejutkan dari seorang Demian. Terlebih, fakta tersebut ia peroleh dari orang lain yang sama-sama tidak saling kenal. Tanda tanya besar semakin memenuhi pikiran Acasha. Yang ia tahu, Demian adalah utusan dari seseorang yang memiliki wewenang. Tapi, seberapa berkuasa pemilik wewenang tersebut sampai-sampai Demian saja mampu memberikan seribu dolar secara cuma-cuma pada orang asing? Belum lagi dengan biaya yang selama ini digunakan Demian untuk hidup dan membayar tiket pesawat mereka berdua? Mendadak, Acasha merasa bodoh dan hilang muka. Berani-beraninya ia kabur dan menghanguskan dua tiket pesawat kelas satu seharga tiga ribu empat ratus dolar tanpa merasa berdosa. Apalagi, hari ini, mereka akan melakukan penerbangan yang sempat tertunda. Bagaimana Acasha akan mengganti rugi uang yang terbuang percuma untuknya itu, sedangkan lima puluh dolar pun ia tak punya? "Aku harus membujuk Demian untuk membeli tiket
Manik merah pekat sang vampir tampak berkilat-kilat saat gadis yang menjadi tawanannya mengangguk patuh tanpa ekspresi. "Bagus. Sekarang, ambil pisau di sana dan isi gelas itu. Aku sangat haus," titah sang vampir menunjuk dengan lirikan mata. Tanpa membantah, Gretta melangkah mendekati meja. Ia mencabut pisau tajam yang tertancap di apel merah. Manik cokelat sang gadis menatap hampa mata pisau tajam mengilap yang terpantul cahaya temaram sesaat sebelum satu gerakan cepat. Clashh .... Deras cairan merah pekat membanjiri telapak tangan sang gadis dari goresan memanjang yang tercipta. Tanpa merasa perih, ditampungnya cairan merah itu ke dalam stem glass. Tetes demi tetes sangat menggiurkan dan menggugah hasrat sang vampir. Bukan hanya vampir Pure Blood di kamar itu saja yang tergoda, bahkan vampir Loyal Blood di sekitar hotel terbengkalai itu pun gelisah merasakan manisnya udara yang terkontaminasi dengan harum Sweet Pea dari kamar tuannya.
Pelupuk Gretta sontak membelalak."Tidak! Pergi! Pergi dariku!" pekik Gretta berusaha meronta, tapi tetap saja tidak bisa.Hampir seluruh bagian tubuh gadis malang itu seolah lumpuh, kecuali bagian leher ke kepala. Berbanding terbalik dengan sensor di kulitnya yang masih berfungsi dengan sangat baik. Ia masih bisa merasakan setiap sensasi sejuk dan dingin yang disalurkan oleh sang pemangsa di setiap titik di tubuhnya.Hal itu disebabkan oleh kemampuan khusus yang dimiliki Orion, sang vampir Pure Blood. Dengan kemampuan ajaibnya itu, ia dapat mengendalikan pikiran, kesadaran, maupun bagian tubuh dari mangsanya sesuka hati. Kemampuan yang sangat menguntungkan untuk menaklukkan manusia yang akan menjadi bahan mainan sebelum berakhir menjadi santapan."Hmm, kenapa aku harus pergi darimu? Bukankah kau yang ingin bersamaku?""Tidak! Tidak! Menyingkir! Pergi!!"Kepala Gretta menggeleng dan mengentak kepanikan."Bagaimana aku akan pergi? Kau sendiri 'kan yang mengingink
Setelah tiga jam melalui perjalanan jalur udara, akhirnya Demian dan Acasha tiba di Ellinika. Negeri yang sangat makmur dan maju, terletak di sebelah Tenggara Benua Evropi. Negeri dengan indeks pembangunan pendapatan per kapita yang tinggi dan memiliki pengaruh besar dalam kegiatan ekspor barang produksi, berupa alat telekomunikasi, perangkat lunak dan keras, bahan makanan, dan bahan bakar.Demian dan Acasha dijemput oleh sedan mewah warna putih setibanya mereka di bandara."Demian, apa masih jauh?" bisik Acasha merasa sungkan di bangku penumpang."Tenanglah, Nona. Sebentar lagi kita akan segera sampai," sahut Demian tersenyum ringan."Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" balas Acasha dengan penuh penekanan.Acasha pun melipat tangan dan memandang ke luar jendela mobil."Hah .... Aku masih tidak habis pikir bisa pergi sejauh ini dari rumah bersama Demian. Dad, doakan aku, semoga aku baik-baik saja di sini," ungkap Acasha dalam hati, penuh harap.Tak sampai sa
Dengan satu tarikan kilat, tubuh Acasha ambruk dalam dekapan Demian. Pupil violet Acasha sontak melebar maksimal beberapa detik, sebelum akhirnya mengerjap kaku mendengar detak dan embusan napas normal."Demian ....""Bisakah Nona berbaring dan istirahat saja?" bisik Demian di telinga Acasha.Beberapa saat kemudian, dekapan Demian merenggang. Cepat-cepat Acasha bangkit dan menyelipkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajah ke belakang telinga."Kau menipuku?" Ekspresi wajah Acasha tampak bingung dan keheranan. "Tapi, jantungmu tadi—"Demian beranjak duduk sambil mendesahkan napas cepat."Silakan Nona beristirahat. Saya ada keperluan sebentar. Permisi," ujar Demian, bergegas bangkit dari ranjang, lalu menyeberangi kamar.Tepat saat Demian membuka pintu, terdengar celetukan Acasha."Bukankah sudah kukatakan, jangan memanggilku dengan sebutan nona?"Tanpa membalas, Demian tetap melanjutkan langkah dan meninggalkan Acasha di kamar itu seorang diri.Masih m
Dengan segenggam keberanian, Acasha menegakkan pandangan, menatap pria bermanik amber di sampingnya. Selang helaan napas panjang, ia kembali membuka suara."Tuan, saya tahu, Tuan-lah yang memiliki wewenang di sini. Sudikah kiranya Tuan menjawab pertanyaan saya?"Debar jantung di dada semakin tidak terkendali. Acasha meremas dress ungu yang dikenakannya sambil menggigit bibir, tanpa berpaling dari wajah memesona sang pria bermanik amber.Saat itulah Acasha tersadar, senyum ramah yang terlukis di wajah menawan itu tersimpan kepalsuan. Lensa ambernya yang berkilau menyiratkan kesenduan dan kesepian. Seolah pria itu sedang merindukan seseorang yang tidak pernah ditemuinya untuk sekian lama."Daripada Demian, sebenarnya ada orang yang lebih lama mengenal Stephen," ujar sang pria tampan mengawali kalimatnya setelah keheningan beberapa saat.Acasha menegakkan punggung, lalu memusatkan perhatian penuh pada pria di sampingnya."Dari merekalah ... kami semua, kecuali Chesy,
Demian mendadak beku di tempatnya. Ia membiarkan sentuhan hangat itu menempel di dahinya untuk beberapa saat.Acasha memiringkan kepala. "Tidak. Suhu tubuhmu normal." Ia pun menarik tangannya dari dahi Demian. "Apa kamu menderita suatu penyakit serius?""Tidak." Demian meminum tablet merah dengan air mineral."Apa itu semacam vitamin?" tanya Acasha masih penasaran."Ya. Semacam itu. Kau sudah selesai? Aku akan segera membereskannnya," ucap Demian beringsut mengemasi piring kosong di atas meja."Ah, tunggu!" Cepat-cepat Acasha mengambil gelasnya yang belum tersentuh sama sekali dan menandaskan minumannya. "Ah .... Sudah. Sini, biar aku bantu." Acasha menyentuh baki yang di pegang Demian."Tidak perlu. Kamu duluan saja ke kamar dan bersiap-siap. Aku yang akan membereskan ini." Demian mengambil gelas kosong di tangan Acasha."Kamu sudah menyiapkan sarapan untukku. Sekarang, biarkan aku membantumu sebagai ucapan terima kasihku," bujuk Acasha masih menahan baki dalam
"Bagaimana mungkin? Jadi, Demian sebenarnya seorang presiden direktur?? Yang menolongku, yang membawaku kemari, yang menyiapkan makananku?? Pantas saja, dia bisa dengan mudah meninggalkan sejumlah uang saat di pondok. Tapi, jika Demian yang seperti ini saja seorang presiden direktur, lalu bagaimana dengan Athan?? Bukankah dia lebih daripada Demian??" terka Acasha di dalam benak. Alisnya sampai berkerut-kerut dan tanpa sadar menggeleng dengan sendirinya."Acasha, ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Demian sudah berdiri di samping Acasha sambil menenteng beberapa dokumen di tangan.Pundak Acasha berkedik. "Ah, maaf. Tidak. Eum, apa yang harus saya kerjakan di sini, Presdir?" tanyanya canggung.Demian tersenyum sambil mendesahkan napas pelan. "Jadi, sekarang Nona kembali berbahasa formal dan memanggilku dengan sebutan 'Presdir'?""Eum, ya. Tentu saja. Kamu, ah, maksudku Presdir—""Sudah, jangan terlalu memaksakan diri. Toh, kita sudah cukup mengenal. Panggil aku seperti