Share

2. Insiden Akhir Musim Gugur

Author: Qwindive
last update Last Updated: 2021-08-20 14:42:14

Sebelah alis tersangka utama bernama Gretta terangkat.

“Apa itu kain lap?” tanyanya datar.

Acasha mendenguskan napas cepat dan mengertakkan gigi.

“Hanya kau yang memiliki hobi mencoret-coret kanvas di rumah ini.”

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Minggir!” cetus Gretta, mengibaskan sebelah tangan.

Acasha seketika memundurkan tumpuan.

Gretta menarik kenop pintu dan terlihat dari sana dua botol transparan cat minyak berwarna hijau dan hitam yang sama persis dengan cat yang menodai gaun Acasha, terbuka menganga di atas meja lukis.

Acasha pun menerobos masuk dan melihat dua botol cat minyak yang hampir kosong itu.

“Hey, Orang Tua! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” seru Gretta, menatap sinis sang kakak.

“Kenapa kamu melakukan ini padaku, Gretta? Apa lagi salahku?” tanya Acasha dengan suara tercekat.

Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal yang baru saja menimpanya. Setiap kebahagiaan yang baru saja dirasa, selalu direnggut dan berujung dengan kesedihan.

“Ck! Bukankah sudah jelas? Aku tidak suka dengan gaun barumu itu. Terlalu monoton. Jadi, aku menambahkan sedikit sentuhan agar gaunmu itu lebih berwarna. Bagaimana? Cantik, bukan?” ujar Gretta melangkah mendekat dan mengamati rambut putih sang kakak yang panjang terurai. “Terlebih, rambutmu ini—”

“Bilang saja kamu iri,” celetuk Acasha. Emosi yang selama ini terpendam sudah mencapai puncaknya.

“Apa, huh? Aku iri?”

“Ya. Kau iri karena gaun ini pemberian Dad. Benar, kan?”

Manik abu-abu Gretta sontak melebar, tangannya mengepal. “Beraninya—”

“Kenapa? Bukankah kamu sudah berkali-kali menerima gaun yang bahkan lebih indah dari ini? Dari Mom, Dad. Semuanya. Semuanya sudah kamu dapatkan. Kamu bahkan mendapatkan seluruh kasih sayang dari Mom. Apalagi yang kurang?”

Lepas sudah semua ganjalan yang bertahun-tahun telah memenuhi ruang batin sang kakak yang selalu mengalah dan menerima perlakuan buruk dari adiknya.

“Keluar! Keluar dari kamarku!” pekik Gretta mengacungkan telunjuknya pada pintu yang masih terbuka. Pupil matanya bergetar, memelototi iris violet jernih Acasha yang memancarkan ketegasan.

Acasha menyeberangi kamar dan lorong dengan langkah tenang. Ia juga menutup pintu kamarnya tanpa deritan. Dengan kekecewaan memenuhi ruang batin, Acasha menyandarkan punggungnya di pintu dan mendesahkan napas panjang yang terus berulang.

“Bahkan, aku belum sempat mencobanya. Apa yang harus kukatakan pada Dad nanti?” gumamnya menahan kesedihan seraya mendekap gaun yang tak mungkin bisa dikenakan.

***

Acasha menatap pantulan dirinya di cermin, memastikan bahwa penampilannya malam ini tidak terlalu mengecewakan Stephen.

Ia mengenakan sweater slim fit warna marun—sangat kontras dengan warna kulitnya yang seputih salju—dengan turtle neck yang cukup hangat dan nyaman. Rok panjang berbahan flanel motif kotak dengan warna yang sedikit lebih gelap, juga boots hitam yang menutupi sampai pergelangan kakinya. Rambut putih lurusnya yang panjang ia biarkan terurai begitu saja.

Tok tok.

"Acasha, kau sudah siap?" panggil Stephen di balik pintu kamar yang tertutup.

"Tunggu sebentar, Dad!"

Buru-buru Acasha merapikan polesan merah di bibirnya yang tebal.

"Daddy tunggu di mobil, ya!"

"Oke, Dad!" 

Acasha menyambar tas kecilnya di gantungan. Setelah sekali lagi menatap pantulannya di cermin, segera ia melesat keluar kamar. Tepat saat pintu dibuka, tampak Gretta bersandar di ambang pintu bercat merah sambil bersedekap.

"Cih! Harusnya aku mengecat semua pakaianmu," gerutu Gretta licik. "Kamu mau ke mana dengan, Dad?"

Alih-alih menjawab, Acasha mengunci pintu kamar dan berlalu menuruni tangga.

"Hey! Kenapa diam saja? Kamu tuli, ya? Kamu gagu?" pekik Gretta tidak terima diabaikan oleh Acasha yang sudah mencapai dasar tangga.

Dan ... brak!!

Terdengar sangat keras suara pintu dibanting dari lantai dua. Acasha hanya menggeleng, kemudian menyusul Stephen yang sudah menunggunya di dalam mobil.

"Apa yang terjadi dengan gaunnya?" tanya Stephen melihat pakaian yang dikenakan putrinya.

"Eum, gaunnya ... lebih kecil dari yang terlihat, Dad. Sepertinya, aku harus diet," bohong Acasha, menggigit bibir bagian bawah.

Selama beberapa detik, Stephen menatap pancaran kegelisahan dari raut cantik putrinya.

"Badannya sudah sangat ramping dan ideal. Aku juga sudah meminta bantuan rekan perancang busana dengan membawakan beberapa pakaian miliknya sebagai acuan. Tidak mungkin gaun itu tiba-tiba menyusut begitu saja. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sudah terjadi," pikir Stephen menganalisa. 

"Baiklah. Lain kali, Dad akan belikan gaun yang lebih pas untukmu," ujar Stephen tersenyum sembari menarik pedal gas.

"Terima kasih, Dad," sahut Acasha merasa lega, tanpa menyadari bahwa sang ayah sebenarnya tahu dia menyembunyikan kebenaran tentang gaun tesebut. 

***

"Aku bosan," gumam Acasha, jemarinya memainkan ujung rambut yang sudah hampir keriting. 

Sudah hampir dua jam ia berada di tengah-tengah pesta rekan kantor Stephen. Makan malam bersama, berkenalan dengan anak-anak mereka, berbincang, dan menikmati segala hidangan yang tersedia hingga ia merasa sesak dengan atmosfer yang penuh dengan aroma alkohol dan kepulan asap rokok.

"Aku sudah tidak tahan. Aku harus keluar dari sini. Dad ada di mana, sih?" keluh Acasha mulai mencari-cari keberadaan sang ayah.

"Sudahlah. Aku tinggalkan pesan saja."

Acasha melangkah meninggalkan lantai pesta, menjauhi hingar bingar dentuman musik, mencari ketenangan dan angin segar.

"Wah, udaranya sudah semakin dingin!" ujar Acasha begitu berada di luar gedung, kepulan napas hangat keluar dari mulutnya. Ya, wajar saja udara mulai dingin karena ini adalah akhir musim gugur.

Lensa violetnya mengedar ke segala penjuru dan berhenti ketika melihat plang sebuah taman berjarak sekitar kurang dari seratus meter dari sana. Acasha tersenyum, lalu berjalan santai menuju taman tersebut.

Acasha Ignatius bukanlah seorang yang betah berlama-lama dalam keramaian. Ia lebih nyaman berada di tempat yang lebih tenang dan tidak banyak orang. Baginya ketenangan sangat baik untuk melatih fokus dan kesehatan mental.

Acasha duduk di sebuah bangku taman yang kosong. Hanya ada beberapa orang dewasa dan beberapa pasangan muda-mudi tengah bercengkrama di bangku taman lainnya. Ia pun menyandarkan punggungnya yang kaku dan menatap langit yang redup.

"Akhirnya ...," desah Acasha menikmati semilir angin yang berembus. Pelupuk matanya pun terpejam, terbuai oleh kedamaian.

Tanpa ia sadari, seorang pria bermata biru tengah duduk tanpa suara di bangku yang sama dengannya.

"Di mana, ya?" gumam gadis berambut putih, mengaduk-aduk isi tas kecil di pangkuan. Alisnya berkerut, pelupuk matanya masih terpejam. "Seharusnya ada di sini," gumamnya lagi.

"Apa yang Nona cari?"

"Botol parfum."

"Bunga Gardenia?"

"Iya."

Deg.

Acasha sontak membuka mata dan melompat bangkit dari bangku ketika sadar dengan suara berat pria yang berbicara padanya.

"Siapa Anda?" tanya Acasha meremas strap bag, menatap waspada sang pria bermanik biru.

"Ini milik Anda?" tanya sang pria manik biru, menyerahkan botol parfum kaca transparan pada si gadis beriris violet.

Acasha mengangguk seraya menerima botol parfum tersebut. "Terima kasih."

Sang pria mengulas senyum. "Kalau begitu, saya pergi sekarang. Sampai jumpa, Nona." Ia pun pergi melewati Acasha.

Acasha terpaku dalam pijakannya. Menatap botol parfum yang entah bagaimana bisa dalam genggaman pria berlensa biru itu.

"Namanya? Siapa namanya?"

Acasha berpaling, meneliti setiap wajah pria yang ada di setiap sudut taman. Namun, sosok tampan itu sudah tidak terlihat di mana pun.

"Ah, dia sudah pergi," sesal Acasha, membersut.

"Bodoh sekali. Kenapa yang kuingat justru wajah tampan dan mata birunya? Seperti tidak pernah lihat pria bermata biru saja. Tapi ... Ah, tidak, tidak. Apa, sih, yang aku pikirkan?"

Tririring. Tririring.

Terdengar dering ponsel memecah dunia khayalan Acasha.

"Oh, Dad!"

"Kau sedang apa sampai tidak sempat membaca pesan dari Dad? Dad sudah dari tadi menunggumu di seberang."

"Oh, Dad. Maafkan aku. Aku akan segera ke sana."

"Pelan-pelan saja."

Acasha bergegas keluar dari area taman untuk menemui Stephen. Dengan senyum mengembang, ia melangkah riang.

Tepat saat langkah Acasha sampai pada anak tangga ketiga, tiba-tiba muncul sebuah truk bermuatan logistik melaju dengan kecepatan tinggi hilang kendali di jalur seberang.

Supir truk yang panik terus menginjak pedal rem kuat-kuat agar bisa menghentikan truknya. Namun, semuanya sia-sia belaka. Kabel rem terputus, entah karena lapisan kabel yang sudah usang atau ada seseorang yang sengaja mencelakai.

Acasha langsung sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan sang ayah. Ia sontak berlari menuruni anak tangga dan memperingati Stephen yang tengah menunggunya di dalam mobil, yang menepi di jalur seberang. Namun, langkahnya tertahan oleh lalu-lalang kendaraan yang terus melintas.

"Dad! Keluar dari mobil sekarang! Dad! Keluar dari mobil!"

Namun, Stephen tak mendengar jelas teriakan Acasha. Dan dalam hitungan detik ...

DUARR!! BRAKK!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   82. Membuka Tabir

    "Kurang ajar! Beraninya kau pada Tuan Orion!" teriak Gretta yang sejak tadi bersembunyi di balik bayangan Orion. Ia melesat cepat untuk melayangkan serangan kepada Acasha yang berdiri membelakanginya.Namun, dengan gesit, Acasha berpindah dari sana tanpa berhasil tersentuh barang seujung kuku. "Gretta, berhentilah! Aku tidak ingin menyakitimu."Mendengar ucapan Acasha, tubuh Gretta seketika menjadi kaku, kedua kakinya melekat erat dengan lantai dan anggota tubuhnya benar-benar tidak dapat digerakkan sama sekali."Ugh ... kenapa aku nggak bisa gerak? Apa yang kau lakukan padaku?! Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku!!" teriak Gretta sangat lantang."Gretta, apa tuanmu yang sudah mati itu tidak pernah mengajarimu sopan santun? Aku yakin dia sudah pernah mengajarimu, tapi sepertinya otakmu tidak sanggup menyerap pelajaran dengan baik," ucap Acasha dengan ekspresi dan suara bernada datar."Jaga bicaramu! Kau pikir, aku akan bersopan-santun padamu? Cih, jangan harap! Kau bukan Tuan Orion! Me

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   81. Dalam Genggaman

    Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   80. Gerhana Super Blood Moon

    Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   79. Pemandangan Macam Apa?!

    "Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   78. Sayangnya, Dia Sudah Mati

    Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak

  • LOVE BITE : SLEEPING VAMPIRE (INDONESIA)   77. Evakuasi

    "Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status