Share

2. Insiden Akhir Musim Gugur

Sebelah alis tersangka utama bernama Gretta terangkat.

“Apa itu kain lap?” tanyanya datar.

Acasha mendenguskan napas cepat dan mengertakkan gigi.

“Hanya kau yang memiliki hobi mencoret-coret kanvas di rumah ini.”

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Minggir!” cetus Gretta, mengibaskan sebelah tangan.

Acasha seketika memundurkan tumpuan.

Gretta menarik kenop pintu dan terlihat dari sana dua botol transparan cat minyak berwarna hijau dan hitam yang sama persis dengan cat yang menodai gaun Acasha, terbuka menganga di atas meja lukis.

Acasha pun menerobos masuk dan melihat dua botol cat minyak yang hampir kosong itu.

“Hey, Orang Tua! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” seru Gretta, menatap sinis sang kakak.

“Kenapa kamu melakukan ini padaku, Gretta? Apa lagi salahku?” tanya Acasha dengan suara tercekat.

Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal yang baru saja menimpanya. Setiap kebahagiaan yang baru saja dirasa, selalu direnggut dan berujung dengan kesedihan.

“Ck! Bukankah sudah jelas? Aku tidak suka dengan gaun barumu itu. Terlalu monoton. Jadi, aku menambahkan sedikit sentuhan agar gaunmu itu lebih berwarna. Bagaimana? Cantik, bukan?” ujar Gretta melangkah mendekat dan mengamati rambut putih sang kakak yang panjang terurai. “Terlebih, rambutmu ini—”

“Bilang saja kamu iri,” celetuk Acasha. Emosi yang selama ini terpendam sudah mencapai puncaknya.

“Apa, huh? Aku iri?”

“Ya. Kau iri karena gaun ini pemberian Dad. Benar, kan?”

Manik abu-abu Gretta sontak melebar, tangannya mengepal. “Beraninya—”

“Kenapa? Bukankah kamu sudah berkali-kali menerima gaun yang bahkan lebih indah dari ini? Dari Mom, Dad. Semuanya. Semuanya sudah kamu dapatkan. Kamu bahkan mendapatkan seluruh kasih sayang dari Mom. Apalagi yang kurang?”

Lepas sudah semua ganjalan yang bertahun-tahun telah memenuhi ruang batin sang kakak yang selalu mengalah dan menerima perlakuan buruk dari adiknya.

“Keluar! Keluar dari kamarku!” pekik Gretta mengacungkan telunjuknya pada pintu yang masih terbuka. Pupil matanya bergetar, memelototi iris violet jernih Acasha yang memancarkan ketegasan.

Acasha menyeberangi kamar dan lorong dengan langkah tenang. Ia juga menutup pintu kamarnya tanpa deritan. Dengan kekecewaan memenuhi ruang batin, Acasha menyandarkan punggungnya di pintu dan mendesahkan napas panjang yang terus berulang.

“Bahkan, aku belum sempat mencobanya. Apa yang harus kukatakan pada Dad nanti?” gumamnya menahan kesedihan seraya mendekap gaun yang tak mungkin bisa dikenakan.

***

Acasha menatap pantulan dirinya di cermin, memastikan bahwa penampilannya malam ini tidak terlalu mengecewakan Stephen.

Ia mengenakan sweater slim fit warna marun—sangat kontras dengan warna kulitnya yang seputih salju—dengan turtle neck yang cukup hangat dan nyaman. Rok panjang berbahan flanel motif kotak dengan warna yang sedikit lebih gelap, juga boots hitam yang menutupi sampai pergelangan kakinya. Rambut putih lurusnya yang panjang ia biarkan terurai begitu saja.

Tok tok.

"Acasha, kau sudah siap?" panggil Stephen di balik pintu kamar yang tertutup.

"Tunggu sebentar, Dad!"

Buru-buru Acasha merapikan polesan merah di bibirnya yang tebal.

"Daddy tunggu di mobil, ya!"

"Oke, Dad!" 

Acasha menyambar tas kecilnya di gantungan. Setelah sekali lagi menatap pantulannya di cermin, segera ia melesat keluar kamar. Tepat saat pintu dibuka, tampak Gretta bersandar di ambang pintu bercat merah sambil bersedekap.

"Cih! Harusnya aku mengecat semua pakaianmu," gerutu Gretta licik. "Kamu mau ke mana dengan, Dad?"

Alih-alih menjawab, Acasha mengunci pintu kamar dan berlalu menuruni tangga.

"Hey! Kenapa diam saja? Kamu tuli, ya? Kamu gagu?" pekik Gretta tidak terima diabaikan oleh Acasha yang sudah mencapai dasar tangga.

Dan ... brak!!

Terdengar sangat keras suara pintu dibanting dari lantai dua. Acasha hanya menggeleng, kemudian menyusul Stephen yang sudah menunggunya di dalam mobil.

"Apa yang terjadi dengan gaunnya?" tanya Stephen melihat pakaian yang dikenakan putrinya.

"Eum, gaunnya ... lebih kecil dari yang terlihat, Dad. Sepertinya, aku harus diet," bohong Acasha, menggigit bibir bagian bawah.

Selama beberapa detik, Stephen menatap pancaran kegelisahan dari raut cantik putrinya.

"Badannya sudah sangat ramping dan ideal. Aku juga sudah meminta bantuan rekan perancang busana dengan membawakan beberapa pakaian miliknya sebagai acuan. Tidak mungkin gaun itu tiba-tiba menyusut begitu saja. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sudah terjadi," pikir Stephen menganalisa. 

"Baiklah. Lain kali, Dad akan belikan gaun yang lebih pas untukmu," ujar Stephen tersenyum sembari menarik pedal gas.

"Terima kasih, Dad," sahut Acasha merasa lega, tanpa menyadari bahwa sang ayah sebenarnya tahu dia menyembunyikan kebenaran tentang gaun tesebut. 

***

"Aku bosan," gumam Acasha, jemarinya memainkan ujung rambut yang sudah hampir keriting. 

Sudah hampir dua jam ia berada di tengah-tengah pesta rekan kantor Stephen. Makan malam bersama, berkenalan dengan anak-anak mereka, berbincang, dan menikmati segala hidangan yang tersedia hingga ia merasa sesak dengan atmosfer yang penuh dengan aroma alkohol dan kepulan asap rokok.

"Aku sudah tidak tahan. Aku harus keluar dari sini. Dad ada di mana, sih?" keluh Acasha mulai mencari-cari keberadaan sang ayah.

"Sudahlah. Aku tinggalkan pesan saja."

Acasha melangkah meninggalkan lantai pesta, menjauhi hingar bingar dentuman musik, mencari ketenangan dan angin segar.

"Wah, udaranya sudah semakin dingin!" ujar Acasha begitu berada di luar gedung, kepulan napas hangat keluar dari mulutnya. Ya, wajar saja udara mulai dingin karena ini adalah akhir musim gugur.

Lensa violetnya mengedar ke segala penjuru dan berhenti ketika melihat plang sebuah taman berjarak sekitar kurang dari seratus meter dari sana. Acasha tersenyum, lalu berjalan santai menuju taman tersebut.

Acasha Ignatius bukanlah seorang yang betah berlama-lama dalam keramaian. Ia lebih nyaman berada di tempat yang lebih tenang dan tidak banyak orang. Baginya ketenangan sangat baik untuk melatih fokus dan kesehatan mental.

Acasha duduk di sebuah bangku taman yang kosong. Hanya ada beberapa orang dewasa dan beberapa pasangan muda-mudi tengah bercengkrama di bangku taman lainnya. Ia pun menyandarkan punggungnya yang kaku dan menatap langit yang redup.

"Akhirnya ...," desah Acasha menikmati semilir angin yang berembus. Pelupuk matanya pun terpejam, terbuai oleh kedamaian.

Tanpa ia sadari, seorang pria bermata biru tengah duduk tanpa suara di bangku yang sama dengannya.

"Di mana, ya?" gumam gadis berambut putih, mengaduk-aduk isi tas kecil di pangkuan. Alisnya berkerut, pelupuk matanya masih terpejam. "Seharusnya ada di sini," gumamnya lagi.

"Apa yang Nona cari?"

"Botol parfum."

"Bunga Gardenia?"

"Iya."

Deg.

Acasha sontak membuka mata dan melompat bangkit dari bangku ketika sadar dengan suara berat pria yang berbicara padanya.

"Siapa Anda?" tanya Acasha meremas strap bag, menatap waspada sang pria bermanik biru.

"Ini milik Anda?" tanya sang pria manik biru, menyerahkan botol parfum kaca transparan pada si gadis beriris violet.

Acasha mengangguk seraya menerima botol parfum tersebut. "Terima kasih."

Sang pria mengulas senyum. "Kalau begitu, saya pergi sekarang. Sampai jumpa, Nona." Ia pun pergi melewati Acasha.

Acasha terpaku dalam pijakannya. Menatap botol parfum yang entah bagaimana bisa dalam genggaman pria berlensa biru itu.

"Namanya? Siapa namanya?"

Acasha berpaling, meneliti setiap wajah pria yang ada di setiap sudut taman. Namun, sosok tampan itu sudah tidak terlihat di mana pun.

"Ah, dia sudah pergi," sesal Acasha, membersut.

"Bodoh sekali. Kenapa yang kuingat justru wajah tampan dan mata birunya? Seperti tidak pernah lihat pria bermata biru saja. Tapi ... Ah, tidak, tidak. Apa, sih, yang aku pikirkan?"

Tririring. Tririring.

Terdengar dering ponsel memecah dunia khayalan Acasha.

"Oh, Dad!"

"Kau sedang apa sampai tidak sempat membaca pesan dari Dad? Dad sudah dari tadi menunggumu di seberang."

"Oh, Dad. Maafkan aku. Aku akan segera ke sana."

"Pelan-pelan saja."

Acasha bergegas keluar dari area taman untuk menemui Stephen. Dengan senyum mengembang, ia melangkah riang.

Tepat saat langkah Acasha sampai pada anak tangga ketiga, tiba-tiba muncul sebuah truk bermuatan logistik melaju dengan kecepatan tinggi hilang kendali di jalur seberang.

Supir truk yang panik terus menginjak pedal rem kuat-kuat agar bisa menghentikan truknya. Namun, semuanya sia-sia belaka. Kabel rem terputus, entah karena lapisan kabel yang sudah usang atau ada seseorang yang sengaja mencelakai.

Acasha langsung sadar akan bahaya yang mengancam keselamatan sang ayah. Ia sontak berlari menuruni anak tangga dan memperingati Stephen yang tengah menunggunya di dalam mobil, yang menepi di jalur seberang. Namun, langkahnya tertahan oleh lalu-lalang kendaraan yang terus melintas.

"Dad! Keluar dari mobil sekarang! Dad! Keluar dari mobil!"

Namun, Stephen tak mendengar jelas teriakan Acasha. Dan dalam hitungan detik ...

DUARR!! BRAKK!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status