Share

3. Tanpamu

Truk menabrak sangat keras dan menggulingkan mobil putih Stephen hingga terseret berpuluh-puluh meter. Kendaraan sekitar yang berhasil membanting setir tak urung berhenti. Seketika, lalu lintas kendaraan di jalan itu pun lumpuh.

"Dad!! Daddy!!!"

Acasha lari tunggang-langgang menuju mobil Stephen yang sudah ringsek. Pecahan kaca berceceran di sepanjang aspal yang dilaluinya. Hampir semua sisi mobil berlekuk sangat parah. Cairan kental merah darah pun mulai mengalir dan menggenang bercampur dengan cairan bensin di bawah mobil yang terbalik.

"Dad!! Dad!! Aku akan menyelamatkanmu! Dad!! Bertahanlah!!"

Derai kesedihan membanjiri pipi Acasha. Dengan sekuat tenaga ia terus berusaha membuka pintu mobil yang terkunci demi menyelamatkan Stephen Ignatius, sang ayah tersayang.

"Nona! Pergi dari sana!"

"Hey, seseorang! Tolong bawa gadis itu pergi!"

"Berbahaya, Nak! Kau harus menjauh!"

Suara orang-orang gaduh yang terus mengganggu konsentrasi. Suara orang-orang yang hanya bisa berteriak tanpa bertindak. Tak sekali pun menyurutkan niat Acasha untuk terus memperjuangkan kehidupan orang terkasih. Bahkan, salju pertama yang turun di awal musim dingin pun luput dari perhatian Acasha.

"Dad ... bertahanlah," lirih Acasha di sela tangisnya. 

Setengah frustasi, ia pecahkan kaca yang tersisa di jendela dengan potongan bagian mobil yang berserak.

"A-ca-sha ... per-gi ...," desah Stephen setengah sadar, suaranya sangat lemah, tubuh dan wajahnya bersimbah darah. Posisi tubuhnya terbalik dengan sabuk pengaman yang masih melekat kuat.

"Tidak, Dad! Dad harus ... harus selamat. Dad ... tidak boleh meninggalkanku!"

Terus berurai air mata, Acasha mengulurkan tangan ke arah Stephen.

"Dad, lepaskan sabuknya dan raih tanganku."

"Per-gi ...."

Percikan api mulai timbul dan saat itulah seorang pria menarik tubuh Acasha menjauh dari mobil yang tak bisa lagi diselamatkan.

Sedetik kemudian, ledakan dahsyat akibat kebocoran saluran bahan bakar pun menyulut habis mobil beserta Stephen di dalamnya.

"TIDAK!! DAD!! TIDAK!!!"

Acasha terus menangis histeris dan berteriak memanggil-manggil sang ayah. Tubuhnya terus meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria yang terus menahannya berlari mendekati kobaran api di mana mobil Stephen berada. Membuat pilu hati orang-orang yang melihat dan berusaha menenangkan gadis cantik itu.

Genangan kepedihan semakin menumpuk, begitu menyakitkan, mengaburkan, dan menghilangkan kesadaran. Membawa luka dan duka yang teramat dalam di awal musim dingin.

***

Sudah hampir seminggu Acasha mengurung diri di dalam kamar. Kamar bernuansa pastel yang semula hangat, kini terasa dingin. Pintu dan jendela balkon dibiarkan terbuka begitu saja hingga tak jarang butiran salju yang tertiup angin pun terbawa masuk dan membasahi karpet. Acasha pun tidak merasa terganggu dengan hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang.

Kamar yang semula selalu bersih dan tertata rapi, kini porak-poranda. Bantal, guling, selimut, buku-buku, dan barang-barang lain bertebaran di atas lantai. Tak ada rasa risih sedikit pun bagi Acasha yang terbiasa dengan segala kesempurnaan tata ruang yang selama ini dianutnya.

Bunga mawar yang semula senantiasa segar, kini telah layu dah kehilangan harumnya. Bahkan air dalam vas pun keruh karena tidak pernah diganti. Padahal, tak pernah sekali pun Acasha tega membiarkan bunga mawar favoritnya tergenang di air yang sama setiap hari berganti.

Gurat kemasygulan terus bergelayut dan menenggelamkan Acasha pada lubang duka yang teramat dalam. Tanpa pernah lagi mengurus diri, tanpa pernah lagi mencintai diri. Kepergian Stephen di depan matanya membuat semesta kebahagiaan Acasha runtuh seketika.

Tak ada lagi ayah yang memanggil namanya, tak ada lagi ayah yang perhatian padanya, tak ada lagi ayah yang selalu mendukungnya, tak ada lagi ayah yang selalu menjadi tempat keluh kesahnya, dan tak ada lagi ayah yang sangat tulus menyayanginya. Hanya ada dirinya. Acasha Ignatius seorang.

Tapi, bukankah Acasha masih punya ibu dan saudari? Memang benar. Namun, tak pernah sekali pun mereka menyukai ataupun menyayangi Acasha. Mereka tak pernah peduli pada Acasha. Mereka membencinya. Apa pun yang selama ini Acasha lakukan adalah kesalahan, termasuk salah satunya ialah bernapas.

“PEMBUNUH! Pergi dari rumahku! Seharusnya kau saja yang mati! Bukan suamiku!!”

“DASAR CEWEK PUCAT EGOIS! Kau pikir, hidupmu lebih berarti daripada hidup Daddy-ku, hah?!”

“ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG! TIDAK TAHU TERIMA KASIH! KAU PANTAS MATI!”

“PENYIHIR PUTIH SERAKAH! Belum puas kau rebut perhatian Dad dariku, sekarang kau renggut nyawanya juga!!”

Hinaan, umpatan, makian, dan sumpah serapah. Semua sudah biasa diterima Acasha sejak kecil. Tapi, itu semua bukan masalah besar bagi gadis albino itu. Semua berkat kasih sayang yang luar biasa dari ayah.

Dulu, ada ayah yang selalu menjadi tempat bersandar dan sumber kekuatan untuk bertahan, ada ayah yang selalu memberi semangat dan harapan. Namun, sekarang ayah sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Meninggalkan Acasha bersama ibu dan saudari yang tidak kenal lelah mencurahkan kedengkian.

Acasha menikmati setiap kenangan yang tersisa bersama mendiang Stephen semasa hidupnya. Termasuk gaun satin, hadiah terakhir yang diberikan ayah di hari kelulusannya.

Meskipun kebahagiaannya sempat dirusak oleh Gretta, tapi dia masih punya gaun ini. Tak peduli seperti apa rupanya, tak peduli pantas ataupun tidak. Acasha terus mengenakan gaun satin itu setiap waktu sambil meringkuk di sudut kamar, memeluk potret dirinya bersama mendiang sang ayah.

***

Ting tong. Ting tong.

Suara bel pintu berbunyi. Namun, selang sepuluh detik, tidak seorang pun terlihat membukakan pintu.

Ting tong. Ting tong.

Bel berbunyi lagi. Derap langkah cepat terdengar menuruni anak tangga, menuju pintu yang menunggu untuk segera dibuka.

"Siapa, sih, yang datang malam-malam begini?" gerutu Gretta, menarik kenop pintu dengan kesal.

“Selamat malam. Benarkah ini rumah Nyonya Ignatius?” sapa pria berwajah tampan, berdada bidang, dan tinggi menjulang.

Rambutnya hitam dengan ombre abu-abu di setiap ujungnya, hidungnya mancung, matanya gelap kemerahan, alisnya menukik tajam, senyumnya sungguh menawan.

Gretta terpana menatap pria di hadapannya hingga beberapa lama. Sampai-sampai tak menyadari bahwa ranumnya sedikit terbuka.

Sang pria tampan menaikkan sebelah alis sambil tersenyum. "Mungkinkah saya salah alamat?"

Seketika Gretta tersadar dan langsung berkedip cepat. "O-oh. Eum, ya. Benar. Ada perlu apa, ya?" sahut Gretta tergagap, salah tingkah.

"Bolehkah saya masuk?" 

"Tentu. Tentu."

Pria tampan itu tersenyum dan duduk dengan sopan di salah satu sofa berbahan kulit sintetis bernuansa hijau di ruang tamu. Sedetik kemudian, ia menatap Gretta yang masih terpaku di tumpuannya.

"Oh, silakan tunggu sebentar. Saya akan segera kembali," gugup Gretta, menunjuk-nunjuk ke arah samping. Ia pun bergegas menemui ibunya.

Tak berapa lama, Varra muncul menemui pria tampan itu. Mereka duduk berseberangan dengan perasaan canggung, sedangkan Gretta mengintip di balik dinding pembatas ruangan.

"Maaf. Sebelumnya, Anda siapa? Ada kepentingan apa Anda ingin bertemu saya?" tanya Varra, menelisik setiap sudut ketampanan pria di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tanpa sadar, ia pun menelan saliva.

"Perkenalkan, saya adalah utusan Tuan Orion Remo yang dikirim kemari untuk melamar putri Anda, Nyonya," ucap sang pria tampan menunduk hormat, tangan kanannya menyilang di depan dada.

Sontak Varra dan Gretta terperanjat mendengar ucapan sang pria tampan. Gretta yang bersembunyi di balik dinding pun membelalakkan mata bulat sempurna.

"Tunggu. Gretta masih semester empat. Lalu, siapa Tuan Orion Remo? Apakah dia kenalan ... atau rekan bisnis mendiang suami saya?" sahut Varra mencondongkan kepala ke depan, antusias.

"Maaf, sepertinya Nyonya salah sangka. Akan saya katakan lebih jelas. Tuan Orion Remo ingin melamar dan menikahi putri Ignatius yang memiliki rambut albino," ralat sang pria utusan mengabaikan pertanyaan Varra.

Kedua alis Varra bertaut. "Acasha?" Ia pun memundurkan tubuh.

"Oh, jadi namanya Nona Acasha?" Sang pria utusan mengangguk-angguk, kedua sudut bibirnya terangkat. "Bolehkah saya bertemu dengannya dan menyam—"

"Tidak!"

Sebelah tangan Varra spontan terangkat di depan dada. Sadar dengan gerak refleksnya, Varra pun menurunkan tangan perlahan.

"Bukan. Maksud saya, biar saya yang menyampaikan hal ini padanya," lanjutnya memelankan intonasi.

"Hm. Baiklah. Saya akan menunggu di sini," ujar pria utusan menyandarkan punggung di sandaran sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Seketika, muncul kerutan halus di dahi Varra, menatap sang pria utusan dengan raut kebingungan.

"Nyonya, saya tidak akan kembali dengan tangan kosong," imbuh sang pria utusan menanggapi.

Paham dengan ucapan sang pria utusan, Varra mengeratkan rahang dan beringsut bangkit dari sofa. Baru dua langkah berjalan, mendadak dia berhenti dan berbalik menatap sang utusan tampan.

"Saya setuju. Saya menyetujui lamaran ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status