"Selamat, Nak! Kamu hebat! Dad sangat bangga padamu!" puji Stephen Ignatius, menyerahkan sebuket bunga mawar merah dan kuning pada putrinya yang baru saja menyandang gelar Master of Bussiness Administration dengan predikat CUMLAUDE di salah satu universitas terkemuka di Ispanika.
Suatu wilayah yang terletak di Barat Daya Benua Evropi dan terkenal sebagai salah satu negeri penghasil kayu Cork terbanyak dan berkualitas tinggi. Bangunan-bangunan kota tertata sangat rapi dan bersih. Hampir semua warganya taat dengan peraturan yang ada.
"Terima kasih, Dad! Ini semua berkat dukungan Daddy," sahut sang putri menerima buket sambil memamerkan sederet giginya yang putih cemerlang.
Dihirupnya harum semerbak bunga mawar favoritnya yang mampu menenangkan dan meningkatkan suasana hati, sebelum pandangannya melirik ke berbagai arah.
"Di mana Mom dan Gretta?" tanyanya setelah tak menemukan sosok yang ia cari.
Dengan desah tertahan, Stephen mengusap lembut puncak kepala sang putri.
"Maafkan Dad tidak bisa membawa mereka kemari."
"Aku tahu. Aku mengerti," angguk sang putri tersenyum getir sembari mendekap lebih erat buket bunga dalam pelukan.
"Jangan sedih. Dad sudah menyiapkan hadiah spesial untukmu," hibur sang ayah yang tak tahan melihat senyum putrinya memudar.
"Benarkah? Di mana, Dad?" tanya sang putri antusias. Manik violetnya yang jernih tampak berkilat-kilat.
Tanpa menjawab pertanyaan, Stephen merangkul pundak sang putri dan menuntunnya pergi dari gedung pelaksanaan wisuda kelulusan. Senyumnya terus mengembang hingga membuat sang putri semakin penasaran.
"Mau ke mana, sih, Dad?"
Masih menjaga senyuman, Stephen terus membawa putrinya menuju area parkir.
"Loh, Dad? Kita pulang?" tanya sang putri menaikkan kedua alis saat mereka semakin dekat dengan mobil berwarna putih.
Bukannya menjawab, sang ayah justru membukakan pintu penumpang dan meminta putrinya masuk. Bibir mencebik tanda protes dilayangkan sang putri. Namun, ia tetap menuruti kemauan sang ayah tersayang.
"Apa ini?" gumamnya keheranan melihat sebuah kotak hitam berukuran sedang dan asing di atas kursi penumpang.
"Bukalah!" pinta sang ayah begitu duduk di kursi kemudi.
Tanpa banyak bertanya lagi, sang putri cepat-cepat membuka kotak hitam tersebut. Dan voila! Sebuah gaun lilac berbahan satin yang lembut, bertali mirip spaghetti dengan V-neck rendah dan desain punggung terbuka. Sangat elegan.
"I-ini ... untukku?" tanya sang putri menunjuk gaun dan dirinya bergantian. Pelupuk matanya berkedip-kedip, tak percaya.
"Tentu saja, Acasha," ujar sang ayah tampak puas melihat reaksi putrinya yang terperangah. Sesuai ekspektasi.
"Ini ... indah sekali," takjub Acasha membentangkan gaun barunya di udara.
Bibirnya sedikit terbuka dan bergerak tanpa suara seolah mengucapkan kata "wow" sebagai ungkapan kekagumannya.
"Terima kasih, Dad. Aku sangat menyukainya."
"Syukurlah. Sekarang kita pulang dan bersiap-siap untuk hadiah berikutnya," sahut sang ayah kembali merebut perhatian Acasha dari gaun yang masih menggantung di udara.
"Ada hadiah lagi??"
Kini bola matanya membulat sebulat bola pingpong.
"Dad yakin, kamu pasti akan sangat suka," ujar Stephen sembari mengemudikan mobil, menembus keramaian kota yang didominasi warna merah kecoklatan di penghujung musim gugur.
Keadaan rumah terlihat sepi saat Stephen dan Acasha tiba. Tak ada seorang pun yang menyambut kedatangan mereka, padahal dapat dipastikan ada seorang ibu dan seorang gadis remaja di dalam sana.
Aroma harum pai apel menyeruak di udara, menyapa hidung dua orang manusia yang tengah dilanda rasa lapar. Acasha dan Stephen pun saling melempar pandangan. Sedetik kemudian, mereka kompak menuju aroma tersebut berasal.
"Wah, harum sekali! Jadi, ini alasan Mom tidak datang ke acara wisuda Acasha?" ujar Stephen melahap sepotong pai apel yang sudah diletakkan di atas piring dengan suka cita.
"Hmm. Benar-benar lezat," ungkapnya memuji, kemudian memberikan potongan selanjutnya pada Acasha.
Acasha tersenyum, lalu menyambut pai apel yang masih hangat itu ke dalam mulut.
"Sangat lezat," pujinya mengangguk-angguk. "Terima kasih, Mom."
"Ya .... sebenarnya aku membuat pai ini untuk Gretta. Aku harap, dia tidak keberatan kamu mencicipinya sedikit," cibir Varra Ignatius seketika membuat lumatan pai tertahan di kerongkongan sang gadis yang baru saja merayakan kelulusannya.
"Mom!" gertak Stephen dengan suara rendah.
"Apa? Memang benar, kok! Sudahlah. Dia sudah lulus, kan? Sudah dapat hadiah juga, kan? Apa salahnya aku membuatkan pai apel untuk putri kesayanganku?" timpal Varra melirik sinis buket bunga mawar dan kotak hitam yang dibawa gadis beriris violet itu.
"Setidaknya, berikan ucapan selamat, Mom! Ini hari kelulusannya," ucap Stephen masih menjaga suaranya tetap rendah.
"Benarkah? Lalu, kapan dia akan lulus dari sini?"
"Mom!"
Seketika Acasha menahan lengan sang ayah.
"Sudah, Dad. Tidak apa-apa," lirihnya tersenyum tipis.
Varra yang melihat respon Acasha pun memutar bola mata, seolah mengejek. Lalu, melenggang pergi menjauh dari meja makan.
Stephen mendesah perlahan. "Maafkan sikap Mom, ya, Sayang."
"Iya, Dad. Jangan khawatir. Eum ... Acasha masuk ke kamar sekarang, Dad," pamit Acasha setelah melihat gurat ketegangan di wajah sang ayah mulai mengendur.
Baru lima langkah berjalan, Stephen memanggil putrinya. "Acasha ...."
"Yes, Dad?" sahut Acasha memalingkan wajah ke belakang.
"Jangan lupa nanti malam."
"Tentu."
Setengah berlari Acasha melewati anak tangga. Ia melesat masuk dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Langkah kakinya melambat saat dirinya sampai di tepian ranjang miliknya.
Bruk.
Tubuhnya terempas bersamaan dengan buket bunga dan kotak hitam di kanan-kirinya, di atas ranjang. Dalam posisi telungkup, Acasha terisak tanpa suara. Menumpahkan bongkahan kesedihan yang sejak tadi tertahan. Begitu berat dan menyesakkan dada.
Dalam tangisnya, Acasha terus memikirkan ucapan Varra. Sejak kecil, ia sudah merasa diperlakukan sangat berbeda oleh ibunya dan hanya sang ayah yang selalu berada di sisinya.
Acasha pernah berpikir bahwa perbedaan fisiknyalah penyebab Varra dan Gretta menjaga jarak darinya. Tak jarang, mereka juga bersikap kurang menyenangkan. Tapi, Acasha tak pernah mengeluh dan menahan kesedihannya dengan topeng senyuman karena ia tak ingin membuat Stephen khawatir.
Dan kini, ia sudah lulus. Sudah seharusnya ia hidup mandiri dan meringankan beban kedua orang tuanya. Selain itu, Acasha sangat ingin merasakan pelukan hangat dan belaian lembut dari ibunya, seperti Gretta. Ya. Acasha sedikit iri dan menginginkan kasih sayang dari Varra.
Perlahan, isak tangisnya mereda. Disekanya bulir-bulir yang membasahi kedua pipi. Acasha pun bangkit sembari menghela dalam-dalam aroma mawar yang menenangkan.
"Hah ... Begini lebih baik," gumamnya merasa lebih lega. Dalam hatinya pun Acasha menguatkan tekad. "Benar. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan dan membahagiakan Mom, Dad, juga Gretta. Dengan begitu, kuharap, Mom tidak lagi marah padaku."
***
"Loh?! B-bagaimana bisa?? Tidak. Aku yakin tadi masih bersih. Kenapa ... kenapa sekarang seperti ini??"
Acasha panik membolak-balikkan gaun satin miliknya yang sudah ternoda tumpahan cat minyak warna hijau dan hitam hampir setengah bagian. Padahal, ia hanya pergi sebentar untuk mandi dan ketika ia kembali, tiba-tiba saja gaun elegan yang semula berwarna lilac itu, kini sudah tak terlihat seperti gaun, tapi kain lap bekas alas mengecat.
Acasha terduduk lesu di lantai, menggenggam gaun pemberian ayah yang tak lagi indah. Cat minyak yang masih basah pun menempel di kedua telapak tangannya.
Sedih, kesal, dan marah merongrong benaknya. Dalam satu entakan, Acasha bangkit dan menenteng gaun keluar kamar, menuju pintu kamar bercat merah di seberang kamarnya.
Tok tok tok.
Acasha menunggu si empu kamar membuka pintu. Tapi, tidak ada tanda-tanda suara dari dalam.
"Gretta, bisakah kamu buka pintunya?" panggil Acasha mengetuk pintu untuk kedua kali.
"Sedang apa di situ?" celetuk gadis berambut cokelat sebahu yang tiba-tiba muncul di puncak anak tangga.
Acasha memutar badan dan menunjukkan gaun yang sudah tak jelas rupanya.
"Kamu 'kan yang melakukan ini?" tanya Acasha tanpa menahan diri.
Sebelah alis tersangka utama bernama Gretta terangkat. “Apa itu kain lap?” tanyanya datar. Acasha mendenguskan napas cepat dan mengertakkan gigi. “Hanya kau yang memiliki hobi mencoret-coret kanvas di rumah ini.” “Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Minggir!” cetus Gretta, mengibaskan sebelah tangan. Acasha seketika memundurkan tumpuan. Gretta menarik kenop pintu dan terlihat dari sana dua botol transparan cat minyak berwarna hijau dan hitam yang sama persis dengan cat yang menodai gaun Acasha, terbuka menganga di atas meja lukis. Acasha pun menerobos masuk dan melihat dua botol cat minyak yang hampir kosong itu. “Hey, Orang Tua! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” seru Gretta, menatap sinis sang kakak. “Kenapa kamu melakukan ini padaku, Gretta? Apa lagi salahku?” tanya Acasha dengan suara tercekat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal yang baru saja menimpanya. Setiap kebahagiaan yang baru saja dirasa, se
Truk menabrak sangat keras dan menggulingkan mobil putih Stephen hingga terseret berpuluh-puluh meter. Kendaraan sekitar yang berhasil membanting setir tak urung berhenti. Seketika, lalu lintas kendaraan di jalan itu pun lumpuh. "Dad!! Daddy!!!" Acasha lari tunggang-langgang menuju mobil Stephen yang sudah ringsek. Pecahan kaca berceceran di sepanjang aspal yang dilaluinya. Hampir semua sisi mobil berlekuk sangat parah. Cairan kental merah darah pun mulai mengalir dan menggenang bercampur dengan cairan bensin di bawah mobil yang terbalik. "Dad!! Dad!! Aku akan menyelamatkanmu! Dad!! Bertahanlah!!" Derai kesedihan membanjiri pipi Acasha. Dengan sekuat tenaga ia terus berusaha membuka pintu mobil yang terkunci demi menyelamatkan Stephen Ignatius, sang ayah tersayang. "Nona! Pergi dari sana!" "Hey, seseorang! Tolong bawa gadis itu pergi!" "Berbahaya, Nak! Kau harus menjauh!" Suara orang-orang gaduh yang terus mengganggu ko
"Bukankah tadi ... Nyonya bermaksud untuk menyampaikan hal ini pada Nona Acasha terlebih dahulu?" tanya sang pria utusan, khawatir salah dengar. Varra duduk kembali di sofa. "Ya, memang. Tapi, kurasa ... dia pasti akan setuju. Ya. Dia pasti setuju. Apa lagi yang akan dia lakukan selain menikah?" desah Varra menaikkan kedua alis dan tersenyum lebar. "Begitu rupanya," gumam sang pria utusan, meluruskan punggung. "Jadi, kapan kira-kira Nyonya siap untuk menikahkan putri Nyonya?" Kelopak Varra berkedip cepat mendengar pertanyaan yang begitu mendadak. Lagi-lagi, bibirnya melengkungkan senyum manis. "Secepatnya." Sang pria utusan tersenyum miring. "Bagaimana kalau besok? Bukan. Dua hari lagi?" tanya sang pria tampan membuat Varra dan Gretta kompak terperangah. "Apa? Hahaha. Anda tidak bercanda, kan? Bagaimana mungkin kita bisa mempersiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua hari?" gelak Varra menggelengkan kepala, tak percaya. "Nyonya
Tubuh Acasha terpaku, manik violetnya bergetar, tak berkedip. Kedua tangannya menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Ia pun menelan saliva yang terasa gersang dengan susah payah. "G-gaun siapa ini? Kenapa ... ada gaun pernikahan di sini?" Ia pun memundurkan langkah dan kembali menarik kenop pintu untuk menunjukkan benda asing yang berada di kamarnya pada ibunya. Namun, begitu pintu terbuka ... "Ah! Mom!" Acasha sontak terperanjat dan meloncat ke belakang. "Maaf, Mom .... Aku terkejut," gugup Acasha, menepuk-nepuk jantungnya yang berdegup kencang. Varra yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kamar Acasha pun masuk ke dalam kamar dan melipat tangan di depan dada, memandangi manekin bergaun pengantin putih. "Bagaimana? Kamu suka, kan?" tanya Varra sontak melebarkan kelopak mata Acasha yang baru saja tertunduk. "Apa maksudnya suka, Mom?" Acasha mengerjap tak mengerti. Varra memutar bola mata, lalu menatap gadis yang kebingunga
"Ehem. Kami akan turun. Silakan panggil kami jika kalian butuh sesuatu," deham Varra seraya menarik lengan Gretta yang terpana melihat ketampanan calon kakak ipar. "Ayo, turun!" bisik Varra pada gadis yang masih enggan beranjak. "Mom! Gretta!" panggil Acasha yang tak nyaman ditinggalkan berdua saja dengan calon suami yang tidak dikenalnya. Namun, apa daya? Ibu dan saudarinya sudah lenyap dari pandangan. Mau tidak mau, Acasha harus tetap berada di tempatnya bersama pria rupawan yang menjulang di hadapannya. Tak lama setelah derap langkah tak lagi terdengar, mendadak pintu kamar menutup pelan dengan sendirinya. Tak ada angin ataupun seseorang yang mendorong pintu yang semula terbuka lebar itu. Seketika bulu roma Acasha meremang. Ia pun melempar pandang pada sang calon suami yang kini tersenyum lebar menampakkan gigi taringnya yang tajam. Pupilnya yang merah terlihat semakin menyala terang. "Apa aku salah lihat?" batin Acasha. Ia tersenta
Acasha mendesahkan napas dan refleks tersenyum miring."Masa depanku?" gumamnya sembari menutup tirai.Tanpa keraguan, Acasha melangkah mendekati pintu, membuka kunci dan melebarkannya. Udara dingin berembus tatkala pintu terbuka, menerbangkan setiap helaian rambut putih Acasha yang panjang terurai. Saat itulah sosok pria bermata biru terlihat sangat jelas di hadapannya.Iris birunya secerah langit di musim panas, wajahnya oval dengan rahang yang kuat, kulitnya seputih gading, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna cokelat karamel. Tubuhnya dibalut mantel musim dingin warna hitam yang cukup hangat.Sang pria menatap ramah gadis yang mengenakan dress piyama bermotif bunga mawar."Senang bisa bertemu lagi dengan Nona," sapanya menyunggingkan senyum manis.Selang sedetik, Acasha membalas dengan senyum datar dan tatapan garang. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Anda seorang penguntit, ya?" tanya sang gadis penuh selidik."Maaf jika kedatangan saya membuat
"Oh, atau mungkin dia sudah di bawah? Ya, ya. Mungkin saja," cetus Varra beranjak melewati Gretta yang membenarkan posisi handuk di kepala. Belum sempat menginjakkan langkah di anak tangga pertama, Varra memutar tubuh. "Gretta, ikut Mom. Bantu Mom cari anak tidak tahu diri itu!" titahnya kemudian. "Mom, aku belum mengeringkan rambut. Kenapa harus repot-repot mencarinya, sih? Dia tidak mungkin berani kabur dari rumah, Mom. Mungkin dia sedang jalan-jalan di luar," sahut Gretta meruncingkan bibir. "Oh, jalan-jalan di luar, ya? Kalau begitu, sekarang cari dia di luar!" perintah Varra beringsut menuruni anak tangga. "Apa, Mom? Mom tidak salah bicara, kan? Di luar sedang turun salju. Masa iya aku ke luar sekarang? Tidak, aku tidak mau," tolak Gretta menyusul langkah ibunya menyusuri lorong. "Cari sekarang atau tidak ada sarapan!" ancam sang ibu terus melangkah cepat. "Mom ...," rengek Gretta mencebik bibir. Ia pun mengentakkan kaki s
Acasha menggigit bibir dan terus menatap boarding pass di tangan. Sebentar lagi dia akan meninggalkan Ispanika, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga Ignatius karena dia memilih untuk pergi bersama seorang pria yang baru dua kali ditemuinya bernama Demian, demi menghindari pernikahan yang tidak diinginkan. Ya. Acasha memang pengecut. Dia lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi masa depan yang sudah ditentukan sepihak oleh ibunya. Tapi, bukankah hal itu wajar dilakukan untuk seseorang yang ingin memperjuangkan impian dan cita-cita yang belum tercapai, sementara pendapatnya tidak didengar? Tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini sepadan dengan kekecewaan yang harus diterima oleh keluarga dan calon suami yang sudah berharap penuh padanya? Bagaimana jika ibu dan saudarinya semakin membenci Acasha? Tapi, bukankah itu semua adalah konsekuensi yang sudah dipertimbangkan sebelumnya oleh Acasha? Lalu, mengapa baru sekarang ia khawatir? Mengapa sek