Share

Bab 8. Kemarahan Papa Raimon

"Ayo di makan Nez, di nikmati makanannya," ucap Mama Ratih, duduk di meja makan di seberang Inez bersebelahan dengan putrinya Andien.

Tanpa Agam, karena Agam yang belum juga keluar dari kamarnya untuk ikut bergabung di meja makan.

"Iya Tante terimakasih," jawab Inez, dengan senyum termanisnya segera menyendok nasi dan lauk yang ada di depannya, di ikuti dengan Andien setelahnya.

"Tante nggak makan?" tanya Inez, karena Mama Ratih yang terdiam, hanya menatapnya dalam tak menyentuh makanan yang di sajikan.

"Nanti Tante nunggu Agam,"

"Saya makan dulu nggak papa ya Tante? perut saya sudah meronta ingin minta makan," ucap Inez terkekeh yang di ikuti dengan senyum Andien dan Mama Ratih.

"Ayo silahkan jangan sungkan-sungkan, habisin semuanya juga nggak papa Nez," jawab Mama Ratih mempersilahkan.

"Ngomong-ngomong tadi kamu nggak di kasih makan ya sama Agam? kok sampai meronta begitu perutnya?" lirih Mama Ratih mencondongkan kepalanya ke depan Inez.

"Dikasih makan kok Tante," jawab Inez, setelah menelan kunyahan makanan di mulutnya mengulaskan senyumnya.

"Dikasih tambahan darah juga Tante, sampai darah tinggi terus sama dia!" batin Inez.

"Kok lama ya Kakakmu Ndien?" tanya Mama Ratih, mengalihkan pandangan Andien yang sedang menikmati makanan menatapnya.

"Masih mandi mungkin Ma," jawab Andien sesaat sebelum menelan makanannya.

"Mama makan dulu aja," lanjut Andien.

"Ya jangan, nanti kalau Mama sudah selesai makan kakak kamu baru keluar gimana? kasihan kan kakak kamu jadi makan sendirian?" jawab Mama Ratih, segera berdiri dari duduknya.

Hendak mengayunkan langkahnya menuju kamar Agam, sebelum terdiam karena kedatangan putra laki-lakinya.

"Kemana Ma?" tanya Agam mengayunkan langkahnya mendekati meja makan.

"Mau manggil kamu Gam! lama sekali sih?" protes Mama Ratih kembali duduk di tempatnya.

Beradu pandang dengan Agam yang melangkahkan kaki hendak duduk di sebelahnya.

"Ngapain kamu?" tanya Mama Ratih menahan gerak tubuh anaknya.

"Duduk lah Ma,"

"Duduk di sana saja kamu, itu kan ada kursi kosong di sebelah Inez," perintah Mama Ratih menunjuk kursi kosong yang ada di seberangnya.

"Nggak!," jawab Agam cepat, segera duduk di kursi pilihannya, mengalihkan pandangan Inez yang masih mengunyah makanan menatapnya.

Plak

"Ya Allah..., sakit Mah!" protes Agam menyentuh lengannya yang di pukul oleh Mamahnya.

"Ada tamu nggak sopan Gam! masak ya di biarin duduk sendiri di sana dan kita bertiga disini?" lirih Mama Ratih di telinga putranya.

Mengalihkan pandangan Agam menatap adiknya.

"Ndien, pindah ke sana gih! temenin duduk teman kamu!" ucap Agam, dengan lirikan malasnya ke arah Inez.

"Kok aku? aku kan sudah dari tadi duduk disini?" protes Andien.

"Nggak papa Tante, saya disini sendiri juga nggak Papa kok," timpal Inez mengalihkan pandangan semua orang menatapnya.

Sebelum meggerakkan bola matanya untuk melirik Agam. "Selera makan saya malah hilang kalau duduk sebelah dia Tante!"

"Tuh kan Ma, dia aja nggak papa kok! lagian dia juga bukan tamu yang harus di hormati kan!" gumam Agam, seraya menyendok nasi untuk di letakkannya di atas piring mamanya yang masih kosong.

"Kalau kamu nggak bisa mengormatinya kamu harus tetap bisa menghargainya Gam! dia wanita, sama seperti Mama dan adik kamu!" protes Mama Ratih yang di sambut dengan helaan nafas Agam,  masih menyendokkan lauk untuk di masukkan ke dalam piring mamanya.

"Iya iya! Mama makan saja oke? jangan sampai telat makan hanya karena masalah sepele ini," lanjut Agam beradu pandang dengan Mama Ratih yang terdiam menatapnya.

"Mau sekalian aku suapin?" goda Agam kepada mamanya, mengalihkan pandangan Inez menatapnya.

"Nggak perlu! sudah makan sana!" jawab Mama Ratih terkekeh, menciptakan desiran aneh di hati Inez.

Karena Agam yang dikenalnya Br*ngsek, dingin, cuek dan seenaknya sendiri ternyata mempunyai sisi manis dan hangat, dengan perasaan sayang yang terlihat jelas dari sikapnya.

Mengingatkannya kepada Abian, Kakak laki-laki yang sangat di sayangi dan di kaguminya.

Yang tak segan menunjukkan rasa sayangnya kepada Mamanya dan dirinya, dengan sikap manis dan hangat namun tetap tegas sesuai dengan kondisinya.

"Kenapa Nez?" tanya Andien menyadari keterdiaman Inez yang menatap dalam kakak dan Mamanya.

Menyentakan hati Inez, membuatnya terkejut segera membuang pandangannya ke sembarang arah.

Berbarengan dengan mengalihnya pandangan Agam dan Mama Ratih menatapnya.

"Ng... nggak papa Ndien," Jawab Inez, berusaha menutupi sikap kikuknya kembali menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Lima belas menitpun berlalu semua orang telah menyelesaikan makan malamnya, terlihat Inez dengan senyum termanisnya menanggapi obrolan Mama Ratih dan temannya Andien.

Terkecuali Agam yang terlihat tak senang, hanya menekuk wajahnya memainkan ponselnya.

Ingin sekali meninggalkan meja makan, kalau saja tak di larang oleh Mama Ratih yang menyuruhnya untuk tetap duduk di tempatnya.

Bukan karena dirinya yang tak mau berkumpul bersama adik dan Mamanya, tapi karena rasa kesal yang masih tersimpan di hatinya, untuk Inez gadis yang dianggapnya bau kencur yang terus saja menguji kesabarannya yang gak seberapa.

"Assalamualaikum...," ucap Fahmi, mengayunkan langkahnya mendekati meja makan mengalihkan pandangan semua orang menatapnya.

"Waalaikum salam...," jawab semua orang kompak.

"Kok malam kesininya Fa? ayo duduk, sudah makan malam belum kamu?" tanya Mama Ratih.

"Sudah Tante, ini mau minta izin sama Agam," jawab Fahmi.

"Izin apa?" tanya Agam, beradu pandang dengan Fahmi yang telah duduk di sebelah Inez.

"Aku izin cuti seminggu ya Gam?" jawab Fahmi, menyentakkan hati Agam yang reflek menegakkan duduk menatapnya dalam.

"Gila kamu ya? nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba izin seminggu!" protes Agam, tak mengetahui Mama dan adiknya yang saling lirik merasa senang.

"Adik iparku yang ada di luar kota nikah Gam! jadi aku sama istriku harus kesana,"

"Ya nggak harus seminggu kali Fa! kan bukan kamu yang kawin?" protes Agam masih tak bisa terima dengan alasan Fahmi.

"Kamu sendiri tahu Minggu ini kita lagi sibuk-sibuknya!" lanjut Agam.

"Kamu minta bantuan Inez aja, sama seperti tadi, hanya untuk sementara sampai aku kembali," ide Fahmi membulatkan mata Agam, merasa tak percaya dengan kalimat sahabatnya.

"Lha benar itu Kak...Inez kan juga butuh penelitian buat skripsinya, sekalian saja terjun langsung ke perusahaan kamu Kak, gimana Nez? kamu setuju kan?" timpal Andien beradu pandang dengan temannya yang terdiam.

"Nggak! aku nggak setuju!" sewot Agam.

"Hanya seminggu Gam dari pada kamu keteteran!" ucap Fahmi.

"Aku masih bisa mengatasi semuanya!"

"Setidaknya ada yang menemani kamu Gam! terutama ada yang menolong kamu saat kamu....," ucap Fahmi terpotong karena kode dari tatapan Agam yang menyuruhnya untuk diam.

"Saat apa Fa?" tanya Mama Ratih bingung, menatap Agam dan Fahmi secara bergantian.

"Oh itu Tante...," jawan Fahmi menggantung, karena dirinya yang bingung hampir saja keceplosan.

"Saat aku kerepotan Ma," timpal Agam.

"Lha itu maksud saya Tante, saat Agam kerepotan," lanjut Fahmi dengan perasaan leganya.

"Beneran hanya itu? nggak ada yang kalian sembunyikan dari Mama kan?" selidik Mama Ratih, menolehkan kepalanya menatap Agam yang tengah minum segelas air di sebelahnya.

"Nggak ada Ma," jawab Agam melegakan hati Mama Ratih segera mengalihkan pandangannya menatap Inez.

Ingin memanfaatkan kesempatan untuk bisa mendekatkan gadis cantik di depannya ini untuk bisa bersama dengan anak laki-lakinya.

"Gimana Nez? apa kamu mau menjadi Sekretaris sementara anak Tante? hanya untuk seminggu,"

"Ma...!" protes Agam, mengalihkan pandangan Mama Ratih menatapnya.

"Mama nggak ingin kamu kerepotan Gam, harus ada orang yang membantu kamu!"

"Aku nggak kerepotan Ma!" melas Agam.

"Lha tadi Fahmi bilang harus ada yang nolong kamu saat kerepotan!" jawab Mama Ratih, beradu pandang dengan Agam yang terdiam, menghela nafas kasar kembali menenggak sisa air yang ada di gelasnya.

"Gimana Nez?" tanya Mama Ratih lagi kepada Inez.

"Saya harus menyelesaikan skripsi saya Tante,"

"Kamu tenang saja Nez! Kak Agam bisa membantu skripsi kamu, dan kamu bisa membantu Kak Agam, kan jadi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan buat kamu dan Kak Agam," timpal Andien dengan wajah semringahnya,  membulatkan mata Agam menatapnya.

"Apa kakakmu ini kekurangan pekerjaan sampai harus bantuin skripsinya dia?" sewot Agam.

"Ya nggak Papa kan Gam? kamu kan pinter, anak Sholehnya Mama, biar ilmu yang ada di otak kamu itu bermanfaat buat membantu orang!" timpal Mama Ratih tak ingin kehilangan kesempatan.

"Gimana Nez?" tanya Mama Ratih lagi, beradu pandang dengan Inez yang terdiam menatapnya.

Karena pikiran Inez yang melayang, menimbang-nimbang antara keuntungan dan kerugian yang akan di dapatkannya saat menjadi Sekretaris sementara Agam.

"Boleh Tante," jawab Inez akhirnya, dengan senyum miringnya menatap Agam yang berdecak kesal menatapnya tajam.

Karena keuntungan yang akan di dapatkannya, bisa membuat skripsi dengan di bantu oleh ahlinya langsung.

Hanya saja dia harus menyiapkan kesabaran yang lebih untuk menyambut sikap Agam yang terus saja membuatnya darah tinggi.

***

Langit menggelap karena malam yang semakin larut, dengan taburan bintang yang tampak Indah menemani sang rembulan yang bersinar terang dengan bentuk sabitnya.

Terlihat Inez, sudah turun dari mobil yang di kendarai supir pribadi Agam, mengayunkan langkahnya hendak masuk ke dalam rumah sesaat setelah menyapa security yang bertugas di depan rumahnya.

Kembali mengayunkan langkahnya, sebelum terdiam karena tatapan tajam Papa Raimon yang menyambut kedatangannya.

Dengan wajah datar tanpa ekpresi, berdiri tegak di pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah menatapnya tajam.

"Assalamualaikum Pa...," lirih Inez, dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, kembali mengayunkan langkahnya pelan mendekati Papanya.

"Waalaikum salam, dari mana kamu?" jawab Papa Raimon, dengan wajah datarnya menyelidik putri bungsunya.

"Makan malam di rumah Andien, tadi aku sudah bilang sama Mama," lirih Inez, karena rasa takutnya melihat kemarahan di wajah papanya.

"Sudah kenyang sekarang?" lanjut Papa Raimon yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Inez.

"Bisa jawab pertanyaan Papa?"

Lagi-lagi Inez hanya mengangguk pelan untuk menjawab kalimat Papanya.

"Siapa pacar kamu?" tanya tegas Papa Raimon, menatap tajam Inez yang memejamkan matanya dalam menundukkan kepalanya.

"Angkat kepala kamu Nez! jawab pertanyaan Papa!" sentak Papa Raimon, berbarengan dengan panggilan Mama Desi yang mengayunkan langkah mendekatinya bersama dengan Abian putra sulungnya.

"Biarkan Inez masuk dulu Pa, dia baru datang," ucap Mama Desi, tak menegakkan kepala Inez, masih menundukkan kepala memikirkan jawaban yang harus di berikannya.

"Tegakkan kepala kamu Nez! lihat Papa!" sentak Papa Raimon, dengan deru nafasnya yang sedikit memburu mengacuhkan kalimat istrinya.

Karena anaknya yang terdiam, menundukkan kepala tak kunjung memberikan jawaban yang di butuhkannya.

"Inez!!!" pekik Papa Raimon Akhirnya, menyentakkan hati Inez, segera mengangkat kepalanya cepat beradu pandang.

Dengan matanya yang memerah, menahan tangis yang tak ingin di keluarkannya, berusaha membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Papanya.

Sebuah jawaban yang dia sendiri pun tak mengetahuinya, karena kebohongan yang di buatnya, hanya untuk harapannya agar bisa membatalkan rencana pertunangannya dengan Andre laki-laki yang tak pernah ada di hatinya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status