Share

BALIKAN

Nyaris selama sepuluh menit lamanya Marko dan Dinda saling terpaku, terkunci dalam kesenyapan yang sama-sama menyiksa mereka. Udara malam yang berembus lembut meniup ujung rambut Dinda menambah canggung suasana.

Marko melepas jaket denim yang dia kenakan lalu memakaikannya di atas pundak Dinda. Lantaran masih kikuk, Dinda hanya mengangguk samar sebagai ucapan terima kasih.

"Agak dingin di sini, mau duduk di kafe aja? Atau restoran sekalian makan?" tanya Marko memecah keheningan, pada akhirnya.

"Iya ... kita duduk di kafe aja kali, ya? Aku tadi udah makan, aku mau minum kopi aja, biar badan agak hangat sedikit."

Marko mengangguk cepat, lantas menyalakan sepeda motornya. Dinda masuk lagi ke dalam mobilnya, mengekor sepeda motor Marko yang sudah lebih dulu meninggalkan taman di dekat toko bunga tempat mereka tadi bertemu.

***

Suasana yang tadi amat canggung dan beku perlahan mencair juga setelah Marko dan Dinda menyesap segelas kopi hangat masing-masing. Sebuah kafe indoor yang sudah sepi pengunjung dengan pencahayaan redup-redup menjadi pilihan mereka, keduanya duduk di meja yang paling dekat dengan jendela.

"Kamu apa kabar akhir-akhir ini?" tanya Dinda setelah lelah berbasa-basi.

"Aku udah mulai kerja di toko buku, jadi asisten kepala toko," jawab Marko agak berbangga diri.

Mata teduh milik Dinda seketika berbinar mendengarnya. "Beneran?! Keren! Hebat! Kamu kan dari dulu emang kutu buku! Pas banget kamu kerja di toko buku! Kapan-kapan aku pasti datang mampir buat beli buku!"

Antusiasme yang ditunjukkan Dinda seketika berhasil menghangatkan hati Marko. Dia teringat, mungkin inilah yang paling membuatnya sulit lepas dari Dinda. Dinda memang seorang gadis yang baik hati dan tulus, terlepas dari perasaannya yang belum begitu jelas bagi Dinda.

"Kamu sendiri gimana? Aku dengar kamu juga udah kerja, kan?" tanya Marko balik.

"Sempat kerja buat Papa, tapi kayaknya aku nggak nyaman, jadi berhenti. Sekarang aku ngelanjutin toko bunga punya Mama, belum tau sih bakal kayak gimana jadinya nantinya, apa pun itu, aku mau coba dulu!"

Marko tertawa kecil dalam hati, gadis kaya raya seperti Dinda tentu dapat seenak hatinya untuk mencoba berbagai hal yang ingin dia lakukan, dia tak perlu takut dengan kegagalan, karena hal seperti itu tak mungkin terjadi dalam hidupnya.

Tiba-tiba, dalam kesunyian yang kembali merayapi sekitar mereka, Dinda memegang pergelangan Marko kemudian mengecup bibir pemuda itu. Singkat. Amat cepat sampai Marko tak bisa menduganya sama sekali.

Keduanya saling berpandangan selama beberapa detik setelah ciuman singkat yang mengejutkan bagai kembang api itu. Mata Marko membulat.

"Aku kangen sama kamu ... kamu kok nggak peka sama sekali, sih!" gerutu Dinda dengan manja. "Kamu nggak berusaha untuk menghubungi aku, kamu sama sekali nggak berusaha untuk tanya gimana kabar aku! Kamu kira enak apa nunggu-nunggu tanpa kepastian kayak gitu?!" bentak Dinda kesal.

"Aku kira kamu emang lagi butuh waktu sendiri--"

"Stop, Marko! Stop ngasih alasan! Aku muak dengar alasan kamu yang mengada-ngada itu! Kamu cinta nggak sih sama aku?! Kamu mau memperjuangkan aku atau enggak?! Atau hubungan ini emang cuma mainan aja buat kamu?! Hah?!" bentak Dinda menjadi lebih kesal lagi.

"Dinda--"

"Aku cinta banget sama kamu, Marko! Aku sayang kamu! Aku mau memperjuangkan hubungan ini sama kamu!" isak Dinda melepaskan segala yang sudah sejak tadi dia tahan.

Marko membisu mendengar pengakuan Dinda barusan, pikirannya kalut kembali, meski di satu sisi ada juga perasaan lega, setidaknya Dinda masih belum menyerah terhadap dirinya. Entah itu kabar baik atau malah kabar buruk, Marko belum yakin.

"Ko?" panggil Dinda dengan suara lembut. "Kamu kok diam aja? Gimana dengan kamu sendiri? Apa tanggapan kamu?" desaknya.

"Tanggapan apa? Tanggapan apa yang kamu mau? Aku takut malah nyakitin perasaan kamu karena nggak sesuai dengan ekspektasi kamu, Din ..."

"Ekspektasi apa yang kamu bicarain? Aku nggak berharap banyak, aku juga tau kondisi kamu sekarang lagi berat, aku cuma butuh kepastian dari kamu," pinta Dinda sambil menggenggam punggung tangan Marko.

Marko menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kepastian? Maksud kamu apa? Ini soal pernikahan lagi? Kamu kan udah tau jawabannya apa kalau itu yang kamu tanyain!"

"Bukan, Ko ... bukan itu! Maksud aku, gimana dengan perasaan kamu sendiri? Hm? Kamu cinta nggak sih sama aku?"

"Maaf banget, Dinda ... pikiran aku lagi terpecah sekarang. Kamu harus tau, prioritas aku sekarang ibu aku, jadi aku nggak punya waktu buat mikirin hal yang lain selain masalah keluarga aku."

"Aku paham itu, Ko! Aku paham banget!" Dinda mengeratkan genggamannya lebih lagi. "Tapi kamu pikir aku nggak sedih dan kecewa sama diri aku sendiri? Karena aku nggak ada di samping kamu di waktu-waktu berat kayak sekarang ini!"

Mata Dinda tampak berkaca-kaca, terpancar kekecewaan yang dalam, kian membuat Marko bimbang.

"Aku mau menemani kamu, Ko ... aku mau ada di sisi kamu, seenggaknya ngasih kamu sedikit kekuatan aja, jangan malah ngejauh dari aku atau menghindar dari aku! Tapi ... aku nggak bisa berada di dekat kamu kalau aku aja nggak tau gimana perasaan kamu ke aku," ucap Dinda dengan suara bergetar.

Marko masih diam.

"Jujur sama aku, apa kamu masih punya perasaan sama aku? Atau malah nggak ada sama sekali?" desak Dinda seakan siap untuk menumpahkan air matanya.

"Dinda, please ... jangan desak aku ..."

"Aku harus! Aku mau tau gimana perasaan kamu! Jawab aku! Kita lanjut atau nggak?! Apa kamu akan ngebiarin aku buat berada di samping kamu? Atau enggak?! Jawab jujur sekarang!" desak Dinda, suaranya sudah terdnegar agak pecah, menahan laju air matanya sekuat tenaga.

Marko menghela napas panjang. Usai menimbang agak lama, dia berucap, "Aku ..."

Bibirnya kelu, lidahnya seolah terasa lengket, seakan ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak melanjutkan kalimat. Namun Marko melawan perasaan itu, dan memaksa dirinya untuk melanjutkan kalimat, "Aku mencintai kamu, Din ... tapi situasi sekarang betul-betul lagi nggak bagus--"

Belum selesai Marko menyelesaikan kalimatnya, Dinda tiba-tiba menghambur mendekap erat pemuda itu. Senyum lebar menghias wajah cantiknya, matanya yang tadi berkaca-kaca tampak jauh lebih berkaca-kaca.

"Cukup, Ko! Cukup! Cuma itu yang mau aku dengar dari mulut kamu! Itu lebih dari cukup kok buat aku ..." isak Dinda terharu. "Aku tau semuanya lagi sulit buat kamu, tapi Ko ... izinin aku tetap di samping kamu, aku pasti bakal nunggu, pokoknya nunggu sampe kamu siap sama aku! I love you, Ko ... aku sayang banget sama kamu, aku nggak mau pisah ..."

Dinda terus bergumam penuh kata-kata cinta yang terdengar semanis madu, tapi Marko hanya diam membisu. Entah kenapa, hatinya bergejolak, seakan sulit mengamini ucapan Dinda.

Bukan ... sudah jelas bukan hal seperti ini yang dia harapkan.

Kenapa jadi begini? batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status