Share

BALIKAN

Author: Kumara
last update Huling Na-update: 2022-06-12 14:05:16

Nyaris selama sepuluh menit lamanya Marko dan Dinda saling terpaku, terkunci dalam kesenyapan yang sama-sama menyiksa mereka. Udara malam yang berembus lembut meniup ujung rambut Dinda menambah canggung suasana.

Marko melepas jaket denim yang dia kenakan lalu memakaikannya di atas pundak Dinda. Lantaran masih kikuk, Dinda hanya mengangguk samar sebagai ucapan terima kasih.

"Agak dingin di sini, mau duduk di kafe aja? Atau restoran sekalian makan?" tanya Marko memecah keheningan, pada akhirnya.

"Iya ... kita duduk di kafe aja kali, ya? Aku tadi udah makan, aku mau minum kopi aja, biar badan agak hangat sedikit."

Marko mengangguk cepat, lantas menyalakan sepeda motornya. Dinda masuk lagi ke dalam mobilnya, mengekor sepeda motor Marko yang sudah lebih dulu meninggalkan taman di dekat toko bunga tempat mereka tadi bertemu.

***

Suasana yang tadi amat canggung dan beku perlahan mencair juga setelah Marko dan Dinda menyesap segelas kopi hangat masing-masing. Sebuah kafe indoor yang sudah sepi pengunjung dengan pencahayaan redup-redup menjadi pilihan mereka, keduanya duduk di meja yang paling dekat dengan jendela.

"Kamu apa kabar akhir-akhir ini?" tanya Dinda setelah lelah berbasa-basi.

"Aku udah mulai kerja di toko buku, jadi asisten kepala toko," jawab Marko agak berbangga diri.

Mata teduh milik Dinda seketika berbinar mendengarnya. "Beneran?! Keren! Hebat! Kamu kan dari dulu emang kutu buku! Pas banget kamu kerja di toko buku! Kapan-kapan aku pasti datang mampir buat beli buku!"

Antusiasme yang ditunjukkan Dinda seketika berhasil menghangatkan hati Marko. Dia teringat, mungkin inilah yang paling membuatnya sulit lepas dari Dinda. Dinda memang seorang gadis yang baik hati dan tulus, terlepas dari perasaannya yang belum begitu jelas bagi Dinda.

"Kamu sendiri gimana? Aku dengar kamu juga udah kerja, kan?" tanya Marko balik.

"Sempat kerja buat Papa, tapi kayaknya aku nggak nyaman, jadi berhenti. Sekarang aku ngelanjutin toko bunga punya Mama, belum tau sih bakal kayak gimana jadinya nantinya, apa pun itu, aku mau coba dulu!"

Marko tertawa kecil dalam hati, gadis kaya raya seperti Dinda tentu dapat seenak hatinya untuk mencoba berbagai hal yang ingin dia lakukan, dia tak perlu takut dengan kegagalan, karena hal seperti itu tak mungkin terjadi dalam hidupnya.

Tiba-tiba, dalam kesunyian yang kembali merayapi sekitar mereka, Dinda memegang pergelangan Marko kemudian mengecup bibir pemuda itu. Singkat. Amat cepat sampai Marko tak bisa menduganya sama sekali.

Keduanya saling berpandangan selama beberapa detik setelah ciuman singkat yang mengejutkan bagai kembang api itu. Mata Marko membulat.

"Aku kangen sama kamu ... kamu kok nggak peka sama sekali, sih!" gerutu Dinda dengan manja. "Kamu nggak berusaha untuk menghubungi aku, kamu sama sekali nggak berusaha untuk tanya gimana kabar aku! Kamu kira enak apa nunggu-nunggu tanpa kepastian kayak gitu?!" bentak Dinda kesal.

"Aku kira kamu emang lagi butuh waktu sendiri--"

"Stop, Marko! Stop ngasih alasan! Aku muak dengar alasan kamu yang mengada-ngada itu! Kamu cinta nggak sih sama aku?! Kamu mau memperjuangkan aku atau enggak?! Atau hubungan ini emang cuma mainan aja buat kamu?! Hah?!" bentak Dinda menjadi lebih kesal lagi.

"Dinda--"

"Aku cinta banget sama kamu, Marko! Aku sayang kamu! Aku mau memperjuangkan hubungan ini sama kamu!" isak Dinda melepaskan segala yang sudah sejak tadi dia tahan.

Marko membisu mendengar pengakuan Dinda barusan, pikirannya kalut kembali, meski di satu sisi ada juga perasaan lega, setidaknya Dinda masih belum menyerah terhadap dirinya. Entah itu kabar baik atau malah kabar buruk, Marko belum yakin.

"Ko?" panggil Dinda dengan suara lembut. "Kamu kok diam aja? Gimana dengan kamu sendiri? Apa tanggapan kamu?" desaknya.

"Tanggapan apa? Tanggapan apa yang kamu mau? Aku takut malah nyakitin perasaan kamu karena nggak sesuai dengan ekspektasi kamu, Din ..."

"Ekspektasi apa yang kamu bicarain? Aku nggak berharap banyak, aku juga tau kondisi kamu sekarang lagi berat, aku cuma butuh kepastian dari kamu," pinta Dinda sambil menggenggam punggung tangan Marko.

Marko menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kepastian? Maksud kamu apa? Ini soal pernikahan lagi? Kamu kan udah tau jawabannya apa kalau itu yang kamu tanyain!"

"Bukan, Ko ... bukan itu! Maksud aku, gimana dengan perasaan kamu sendiri? Hm? Kamu cinta nggak sih sama aku?"

"Maaf banget, Dinda ... pikiran aku lagi terpecah sekarang. Kamu harus tau, prioritas aku sekarang ibu aku, jadi aku nggak punya waktu buat mikirin hal yang lain selain masalah keluarga aku."

"Aku paham itu, Ko! Aku paham banget!" Dinda mengeratkan genggamannya lebih lagi. "Tapi kamu pikir aku nggak sedih dan kecewa sama diri aku sendiri? Karena aku nggak ada di samping kamu di waktu-waktu berat kayak sekarang ini!"

Mata Dinda tampak berkaca-kaca, terpancar kekecewaan yang dalam, kian membuat Marko bimbang.

"Aku mau menemani kamu, Ko ... aku mau ada di sisi kamu, seenggaknya ngasih kamu sedikit kekuatan aja, jangan malah ngejauh dari aku atau menghindar dari aku! Tapi ... aku nggak bisa berada di dekat kamu kalau aku aja nggak tau gimana perasaan kamu ke aku," ucap Dinda dengan suara bergetar.

Marko masih diam.

"Jujur sama aku, apa kamu masih punya perasaan sama aku? Atau malah nggak ada sama sekali?" desak Dinda seakan siap untuk menumpahkan air matanya.

"Dinda, please ... jangan desak aku ..."

"Aku harus! Aku mau tau gimana perasaan kamu! Jawab aku! Kita lanjut atau nggak?! Apa kamu akan ngebiarin aku buat berada di samping kamu? Atau enggak?! Jawab jujur sekarang!" desak Dinda, suaranya sudah terdnegar agak pecah, menahan laju air matanya sekuat tenaga.

Marko menghela napas panjang. Usai menimbang agak lama, dia berucap, "Aku ..."

Bibirnya kelu, lidahnya seolah terasa lengket, seakan ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak melanjutkan kalimat. Namun Marko melawan perasaan itu, dan memaksa dirinya untuk melanjutkan kalimat, "Aku mencintai kamu, Din ... tapi situasi sekarang betul-betul lagi nggak bagus--"

Belum selesai Marko menyelesaikan kalimatnya, Dinda tiba-tiba menghambur mendekap erat pemuda itu. Senyum lebar menghias wajah cantiknya, matanya yang tadi berkaca-kaca tampak jauh lebih berkaca-kaca.

"Cukup, Ko! Cukup! Cuma itu yang mau aku dengar dari mulut kamu! Itu lebih dari cukup kok buat aku ..." isak Dinda terharu. "Aku tau semuanya lagi sulit buat kamu, tapi Ko ... izinin aku tetap di samping kamu, aku pasti bakal nunggu, pokoknya nunggu sampe kamu siap sama aku! I love you, Ko ... aku sayang banget sama kamu, aku nggak mau pisah ..."

Dinda terus bergumam penuh kata-kata cinta yang terdengar semanis madu, tapi Marko hanya diam membisu. Entah kenapa, hatinya bergejolak, seakan sulit mengamini ucapan Dinda.

Bukan ... sudah jelas bukan hal seperti ini yang dia harapkan.

Kenapa jadi begini? batinnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • LOVE SICK    DELIMA

    Ketika Viona tahu soal rencana pernikahan Biola dan Marko, gadis itu menjerit histeris, murka luar biasa. Dengan membabi buta, Viona mengambil vas bunga yang berada di dekat lemari TV kemudian melemparkannya sampai pecah di dinding. Sontak Biola terperangah."Viona! Kamu tau kan kalau Dion udah cukup berbaik hati mau ngasih kita waktu tinggal di sini sampe Kakak dapat kos yang murah, jangan kamu malah ngulah, bisa-bisa kita diusir!!" bentak Biola berang."Kakak egois!! Aku nggak peduli! Sekalian ini rumah aku bakar juga aku nggak bakal peduli, kok!" "Kakak yang kamu sebut egois?!! Kamu yang egois, kamu kenapa nggak terima kalau Kakak bakal nikah sama Marko? Kamu pikirin gimana nasib janin yang lagi Kakak kandung sekarang, ini emang anak Marko, Viona!"Mendengar Biola menegaskan hubungannya dengan Marko justru membuat hati Viona kian geram dan panas. "Aku nggak mau dengar!! Aku nggak mau tau soal itu!!"Selama beberapa menit, Biola terhenyak, memandangi adiknya yang tampak seperti o

  • LOVE SICK    PERSETUJUAN

    Marko menyeret langkah gontai keluar dari ruang rawat inap tempat ibunya terbaring, kondisi sang ibu memang kian lemah, menambah rasa sesal yang menyesaki hatinya, namun tak ada yang bisa dia perbuat. Belum lagi saat ini dirinya tengah dijauhi oleh keluarga bahkan adiknya sendiri, dia tak tahu harus pergi ke mana di saat seperti ini. Bahkan sekadar datang ke Toko Buku untuk bekerja saja rasanya sangat canggung baginya, kakinya terasa berat untuk melangkah ke sana.Mata Marko terbelalak begitu kakinya menapak di teras rumah sakit. Sesosok yang tak asing muncul di hadapannya, secara tak terduga. "Bi ... Biola?" desis Marko seraya mendekat. "Kak Biola kok ada di sini? Nyari aku?"Biola mengerling tajam, "Nggak usah kepedean deh, aku baru aja dari poli kandungan!" jawab Biola ketus. Seketika mata Marko berbinar mendengar jawaban Biola, "Habis cek kandungan? Apa kata Dokter? Apa janinnya baik-baik aja?" tanya Marko antusias. "Apa urusannya sama kamu? Kamu urus aja diri kamu sendiri!" pu

  • LOVE SICK    KITA SELESAI

    "Aku nggak nyangka kalau kamu sebrengsek ini, Dion!!" teriak Biola begitu dia dan Dion kembali ke apartemen. Tanpa terlihat merasa bersalah, Dion malah balas berkata, "Aku? Aku yang kamu sebut brengsek? Kamu nggak mau ngaca dulu gitu? Masih nggak punya malu kamu?"Dengan mata yang telah membendung air, Biola menggigit bibir bawahnya dengan pilu. "Aku tau aku salah ... tapi apa perlu kamu sejauh ini, Dion? Perlu kamu sampe harus ngancurin kebahagiaan orang lain? Pernikahan mereka batal! Apa lagi Ibu Marko lagi sakit keras gitu, kalau tadi tiba-tiba dia pingsan, tiba-tiba dia kena serangan jantung atau apa pun itu, kamu siap tanggung jawab?!!" "Halah ... nggak usah sok ngalihin topik deh kamu! Intinya, kamu emang hamil anak si bajingan itu, kan?!!" teriak Dion berang, matanya yang tajam tampak berkilat-kilat. Tangan Biola sudah terkepal di sisi gaunnya, rasanya dia ingin sekali mengelak, ingin memukul Dion dengan keras, marah, tapi nyatanya, semua itu memang benar, kini dia memang te

  • LOVE SICK    PENGAKUAN MENGGEMPARKAN

    Suasana yang tadinya sakral seketika berubah ricuh, mulai terdengar suara bisik-bisik dari segala arah, mata para tamu silih berganti mengarah pada Dion lalu beralih kepada Marko.Plak!!!Suasana kacau itu tak bisa menjadi lebih buruk saat satu tamparan keras dilayangkan Biola tepat di pipi Dion. Semua terpana kembali. Air mata Biola sudah membendung hebat di pelupuk matanya, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Dion. "Dion ..." lirih Biola pedih.Rahang Dion mengeras, matanya berkilat-kilat, tak terlihat sedikit pun rasa bersalah, hanya tersisa rasa muak, benci, amarah."Apa-apaan ini?! Apa maksudnya ini semua?!" pekik Dinda panik, ditatapnya Marko dengan muka tak percaya. "Please Ko ... please kasih tau aku kalau semua ini nggak benar, ini semua bohong!" teriak Dinda memohon. Alih-alih memberi jawaban tegas, sikap diam Marko justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar. Mata Marko nanar, kemudian sorot matanya meredup, Dinda langsung mengerti apa sebe

  • LOVE SICK    JANJI SUCI YANG TERNODA

    Sejak semalam Dinda tak bisa memejamkan matanya barang sejenak, hatinya gundah gulana tak tentu arah saking antusiasnya dia memikirkan tentang pernikahannya dengan Marko yang akan berlangsung hari ini. Wajah gadis cantik itu berseri dari ujung kuping kiri ke kuping kanan, senyum lebar tak bisa pudar dari paras indahnya. Bayangan soal pernikahan impian sudah terbayang begitu jelas dan jernih di benaknya. Sebentar lagi semua itu akan terwujud. Sebaliknya, Marko justru tak bersemangat sama sekali. Dia terus mengumpati dirinya sendiri, marah karena merasa tak punya cukup keberanian untuk menghentikan semuanya sebelum terlambat. Kegundahan yang sama pun melanda Biola pula, dia tak tahu harus pergi atau tidak ke pesta pernikahan Marko. "Kak Biola tau kan kalau hari ini Marko nikah?"Suara Viona memecah lamunan Biola, namun Biola lekas bersikap biasa saja. Gadis itu masih pura-pura asyik menonton televisi meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. "Hm ... tau, kenapa?" Biola bal

  • LOVE SICK    TERIMA KENYATAAN

    Keringat dingin sudah membanjiri muka serta punggung Biola, sedangkan mulutnya kaku, lidahnya kelu, dia tak tahu harus berkata apa, dan entah bagaimana juga Dion bisa tahu soal dirinya dan Marko. "Dion ..." Hanya kata-kata lirih yang bisa meluncur dari bibir pucat Biola. Dengan mata berkaca-kaca, Biola mengangkat kedua tangannya, hendak memegang lengan Dion, berusaha untuk membujuk kekasihnya itu, namun Dion tampak tak bergeming, amarah masih menguasai akal sehatnya. "Kenapa? Kok diam?" tanya Dion dingin. "Apa yang aku omongin betul, kan? Kamu sekarang bingung cara ngebantahnya? Hm?" "Sayang ... aku ..." Biola terbata-bata. "Jangan panggil aku 'sayang'!!!" teriak Dion tambah murka. "Jangan berani-berani kamu mau membujuk aku pake muka kotor kamu itu!!" bentak Dion kasar. "Aku ...""Jawab aku!! Anak siapa yang kamu kandung itu?! Anak siapa?!!" bentak Dion.Kedua tangan Dion mencengkeram kuat kedua lengan Biola, rahangnya lebih mengeras lagi. "Jawab aku, Biola ... jangan bikin ak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status