Share

DINDA

"Kerjaan apa di tempat kayak gini?"

Hal itu menjadi yang pertama kali ditanyakan oleh Viona saat dirinya turun dari mobil Dion.

"Jangan langsung berpikir negatif dulu, ini tempat kerjanya dekat sama toko buku tempat Biola kerja, jadi gampang kalian bisa pergi dan pulang bareng." Dion berjalan masuk ke toko bunga itu mendahului Viona.

Toko Bunga Daisy, memang berada tidak jauh dari toko buku tempat Biola bekerja. Dan berhubung masih pagi hari, toko bunga itu tampaknya sedang siap-siap untuk buka.

"Permisi ..." Dengan santainya Dion membuka pintu kaca toko bunga itu, dan seorang wanita muda segera menyambut mereka.

"Ya, Mas? Ada yang bisa kami bantu? Tapi maaf sebelumnya, kami belum buka untuk sekarang," sapa karyawan perempuan itu dengan sopan.

"Oh, bukan ... kami bukan mau beli bunga, tapi saya mau ketemu sama ownernya, ada?" jawab Dion.

"Mbak Dinda? Mohon tunggu sebentar ya, Mas."

Karyawan perempuan itu naik ke lantai atas, meninggalkan Dion dan Viona berdua saja. Selama menunggu, Viona mengedarkan pandangannya, memandangi satu per satu macam bunga yang dijual di sana.

"Toko bunga ini punya orang tua dari teman Abang, om-tantenya sih lebih tepatnya. Kami udah kenal lama, dari sejak kami SMP, tapi sekarang yang mengelolanya kayaknya sih adik sepupu teman Abang, kami juga bisa dibilang lumayan dekat," ujar Dion memecah kesunyian.

"Tapi aku nggak begitu paham soal bunga, Bang ... aku nggak yakin loh, mau ngerjain apaan di sini, takutnya aku malah ganggu, lagi! Lagian, dari awal niat aku kan bukan untuk kerja, kenapa malah harus kerja, sih?" Viona memprotes.

"Nggak apa-apa, pasti ada yang bisa kamu kerjain, minimal jadi kasir, ya kan?" Dion mencoba menghibur. "Jangan salah paham ya, Viona ... Abang sama kakak kamu pengin kamu kerja supaya kamu nggak terlalu fokus sama urusan kamu sama keluarga di rumah, biar kamu nggak bosan juga. Punya kegiatan di luar rumah itu menyenangkan loh, kamu pasti bakal suka nanti."

Viona memilih untuk tidak menanggapi perkataan Dion agar tidak berakhir dengan perdebatan panjang karena jelas, Viona sama sekali tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Dion.

***

"Bang Dion?"

Suara halus menyapa, menarik perhatian Viona dan Dion. Seorang perempuan muda menuruni anak tangga dan menghampiri mereka. Perempuan itu dibalut gaun musim panas berwarna kuning terang dengan motif bunga krisan putih, rambut panjangnya dibiarkan terurai menutupi bahunya yang ramping.

Viona sampai takjub menyaksikan betapa cantiknya perempuan muda itu. Dia ibarat bunga yang tengah merekah tepat pada musimnya, begitu anggun dan sensual, dengan sorot mata teduh yang mampu membuat lawan bicaranya menjadi lemah tak berkutik.

"Dinda! Apa kabar?!" sahut Dion seraya memeluk gadis bernama Dinda itu dengan ramah. "Kamu apa kabar?! Ya ampun, udah keliatan dewasa aja, baru kemarin keliatan masih kayak bocah ingusan, sekarang udah bikin pangling aja!" Dion melempar pujian.

"Bisa aja ah, Bang Dion ... ada apa nih, Bang?" tanya Dinda tersipu.

"Ini ... yang kemarin Abang bicarain sama kamu lewat telepon! Ini adik pacar Abang, Viona. Kamu masih butuh karyawan kan, ya?" Dion beralih pada Viona yang sedari tadi diam saja di tempat.

"Oh! Masih butuh, Bang! Aku masih butuh kasir, kami cuma ada florist aja di sini!" jawab Dinda antusias.

Mendengar sambutan baik itu, Viona langsung berinisiatif menjulurkan tangannya ke depan Dinda. "Viona, maaf telat ngenalin diri, Kak."

"Heh, gini-gini, Dinda ini setahun lebih muda dari kamu!" damprat Dion.

"Eh, sorry ... sorry ..." Viona tergagap.

"Nggak apa-apa, santai aja, kali. Halo, Viona ... aku Dinda. Berhubung kita masih termasuk sebaya, ngobrolnya santai aja kali! Anggap aja ngobrol ama teman sendiri!" ujar Dinda santai. "Ngomong-ngomong, bisa kerja mulai hari ini atau kapan bisanya?"

"Hari ini juga bisa, kok!" sambut Viona menyanggupi.

Mulanya, Viona memang tak yakin apakah bekerja dengan Dinda adalah sebuah ide yang baik, tapi setelah melihat betapa cantik dan anggunnya perempuan itu, hati Viona luluh dalam sekejap, rasanya dia ingin mengenal sosok Dinda lebih lagi.

***

Konsentrasi Marko pecah, pasalnya tiba-tiba saja Dinda menelponnya setelah hampir satu bulan tak ada kabar sama sekali.

Setelah ragu-ragu antara mengangkat atau tidak, Marko memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Hm? Halo?" Suaranya terdengar padam, canggung.

Beberapa lamanya tidak ada sahutan dari ujung panggilan, memaksa Marko untuk bertanya sekali lagi, "Dinda? Halo?"

"Oh! Halo Marko! Maaf, aku kira kamu belum angkat!" sahut Dinda dari ujung telepon, terdengar sangat canggung, tidak seperti biasanya.

"Ya ... ada apa?"

"Euhm ... aku ganggu waktu kerja kamu, nggak? Kamu lagi sibuk nggak sekarang?" Dinda bertanya dengan hati-hati, terdengar sangat canggung sekali.

"Nggak sih, ada apaan emangnya?" Marko tidak sabar untuk segera tahu apa maksud Dinda menelponnya saat ini. "Langsung ke intinya aja, Din," pintanya.

"Maaf ... aku cuma pengin ketemu sama kamu. Maaf ya, satu bulan ini aku ngilang, maaf kalau sikap aku kayak anak-anak, aku perlu ngomong sama kamu."

Marko terdiam agak lama, berpikir, menimbang. Tepat pada saat itu, dia tak sadar bahwa Biola baru saja masuk ke dalam ruang office, tempat Marko kini sedang berbicara via telepon dengan Dinda.

Langkah Biola tertahan di ambang pintu, ragu-ragu untuk masuk, tapi ragu-ragu juga untuk keluar kembali, seolah ada magnet raksasa yang menahannya untuk tetap berada di sana.

"Hm ... ya, kita bisa ketemu, kapan? Di mana?" tanya Marko akhirnya.

"Kamu bisa jemput aku? Nanti malam?"

Marko mengusap dagunya secara spontan. "Malam ini, ya? Harusnya sih aku nemenin Riko jaga Ibu, tapi nggak apa-apa, nanti aku usahain, nanti aku hubungi kamu lagi, ya."

"Oke, maaf ya kalau aku ganggu."

"Nggak sama sekali, kok."

"Kalau gitu aku tutup dulu telponnya, bye ..."

Rasanya aneh dan canggung sekali, Marko membatin, saking canggungnya, sampai dadanya rasanya teramat sesak, ibarat seperti dadanya dihantam batu besar.

Tepat ketika Marko berbalik badan usai menutup sambungan telepon, dia bertemu pandang secara lurus dengan Biola, dan terlalu terlambat bagi Biola untuk kabur saat ini.

Tubuh gadis itu mematung di ambang pintu dengan muka melongo seperti orang bingung.

"Maaf! Saya nggak bermaksud untuk nguping! Sorry, sorry!" seru Biola panik setelah sadar dengan posisi dirinya sendiri.

"Nggak apa-apa, Kak ... toh memang salah saya, ini kan office, harusnya saya nggak telponan secara pribadi di sini."

Biola cengo tapi kemudian mengangguk mengiyakan. "Ya ... maaf banget ya ... omong-omong, kamu mau makan siang?"

Marko terkejut, apa dia tidak salah dengar? Barusan ... justru Biola yang mengajaknya untuk makan siang bersama?

"Ya ... mau makan siang bareng?" ulang Biola tanpa ragu.

"Ya! Saya mau!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status