Nyaris selama sepuluh menit lamanya Marko dan Dinda saling terpaku, terkunci dalam kesenyapan yang sama-sama menyiksa mereka. Udara malam yang berembus lembut meniup ujung rambut Dinda menambah canggung suasana.Marko melepas jaket denim yang dia kenakan lalu memakaikannya di atas pundak Dinda. Lantaran masih kikuk, Dinda hanya mengangguk samar sebagai ucapan terima kasih."Agak dingin di sini, mau duduk di kafe aja? Atau restoran sekalian makan?" tanya Marko memecah keheningan, pada akhirnya. "Iya ... kita duduk di kafe aja kali, ya? Aku tadi udah makan, aku mau minum kopi aja, biar badan agak hangat sedikit."Marko mengangguk cepat, lantas menyalakan sepeda motornya. Dinda masuk lagi ke dalam mobilnya, mengekor sepeda motor Marko yang sudah lebih dulu meninggalkan taman di dekat toko bunga tempat mereka tadi bertemu.*** Suasana yang tadi amat canggung dan beku perlahan mencair juga setelah Marko dan Dinda menyesap segelas kopi hangat masing-masing. Sebuah kafe indoor yang sudah s
Langit gelap sudah merajai malam. Samar-samar dari kejauhan, cahaya dari rembulan menembus kaca jendela kamar, jatuh di atas tempat tidur Biola dan Dion yang terlihat agak berantakan. Biola baru keluar dari kamar mandi ketika Dion memutuskan untuk membuka balkon, dan berencana untuk menyesap sebatang rokok di sana. Biola bergegas memakai piyama tidurnya, lalu menyusul Dion yang masih berada di balkon. Dengan manja, Biola mendekat kemudian memeluk punggung Dion. "Viona kamu masukin kerja di mana sih?" tanyanya.Dion lebih dulu mengembuskan asap rokoknya sebelum menjawab, "Toko bunga punya keluarga teman aku," jawabnya sekenanya. "Sampe sekarang ibu kami belum nyariin dia, kayaknya udah capek juga sama tingkahnya. Entah sampe kapan dia bakal di sini, aku takut dia ganggu kamu, Yang ... maaf banget ya.""Hei ... jangan ngomong gitu, keluarga kamu kan keluarga aku, adik kamu ya adik aku, santai aja kali, Yang."Biola mencium aroma sisa keringat dari punggung hangat Dion yang lebar. "
Ada yang berbeda hari ini. Tak seperti biasanya, Biola hari ini punya rencana untuk membuat kue ulang tahun. Viona yang melihat gelagat lain dari kakaknya pun lantas menghampiri gadis itu di dapur. "Kakak lagi ngapain? Hari minggu gini tumben udah sibuk aja di dapur," tanya Viona usil.Tanpa beralih dari kegiatannya, Biola menjawab, "Hari ini ulang tahun Dion, kamu pergi aja ya sama temen kamu hari ini. Nonton, kek, ngapain, kek, balik malam aja nggak apa-apa, Kakak mau kasih dia kejutan, mau makan malam berdua nanti, sekarang dia lagi di rumah orang tuanya, ada acara kayaknya, Kakak sengaja nggak ikutan," urai Biola."Giliran kayak gini aja Kakak minta aku di luar ya! Ngusir!" gerutu Viona. "Tapi nggak apa-apa deh, aku juga nggak mau ganggu kegiatan kalian! Tapi ..." Viona nyengir kuda. "Mana uangnya tapi? He he ...""Ish dasar bocah!" Biola mengeluarkan uang seratus ribuan dari saku celananya. "Kamu udah kerja masih aja minta dari Kakak! Apa nggak malu?!""Kan belum gajian juga, Ka
Biola memang bukan tipe gadis yang suka ngambek atau perajuk, dia jarang menciptakan drama dengan Dion. Dalam kesehariannya pun, amat jarang dirinya bertengkar dengan kekasihnya yang satu itu. Jika ada yang mengganjal di hatinya, Biola cenderung untuk membicarakannya secara baik-baik, menyelesaikan masalahnya berdua dengan Dion dengan kepala yang dingin. Namun, justru itulah yang membuat karakter Biola menjadi sangat rumit di mata Dion, sebab kerap menumpuk rasa jengkel di hati, hingga meledak juga di saat yang tak terduga. Seperti hari ini, emosi Biola yang lama menumpuk meledak juga akhirnya, di hari yang sangat tidak pas, yaitu tepat di hari ulang tahun Dion. Seperti lazimnya ketika Biola sedang kesal, gadis itu akan memilih untuk menyendiri dulu selama beberapa waktu, setidaknya sampai dongkol di hatinya berkurang walau hanya sedikit. Tempat yang kini dipilih Biola untuk menenangkan dirinya adalah sebuah jembatan penyeberangan atau JPO yang berada tidak jauh dari area apartem
"Di sini tempatnya?" tanya Biola sambil mengedarkan pandangan.Sebuah bar kecil di sudut kota dipilih oleh Marko. Bar itu berada pada sebuah gang sempit yang bisa dibilang nyaris tidak memiliki sumber cahaya kecuali sebuah lampu jalan yang terletak di pintu masuk gang tersebut. Bar berpintu satu itu tampak kecil dari luar, tidak tampak mewah, dengan papan nama berlampu warna neon. "Ayo masuk," ajak Marko sambil membukakan pintu untuk Biola. Meski agak canggung, Biola ikut masuk ke dalam bar. Bar itu terlihat remang, sepi, hanya terlihat beberapa pengunjung saja yang sedang memesan minuman maupun camilan. "Yo, Marko! Lama nggak ke sini lu!" sapa sang pemilik bar yang tampaknya sudah mengenal baik Marko. "Iya ... lagi agak sibuk akhir-akhir ini, Bang," jawab Marko seadanya. "Satu bir ya! Kayak biasa!" Dia beralih kepada Biola. "Kak Biola mau minum apa?" tanyanya. "Vodka!" jawab Biola seenaknya.Seketika Marko dan sang pemilik bar saling berpandangan dengan terheran-heran, terlebih
Pada meja di sudut bar itu, di bawah sinar lampu yang tampak remang-remang, bibir Biola dan Marko saling bertaut erat, bahkan kini jauh lebih berani ketimbang sebelumnya. Tangan kanan Marko yang besar sudah berada di belakang kepala Biola, menahan agar kepala gadis itu tidak menjauh darinya, sementara kedua tangan Biola memegang kedua lengan Marko tak kalah kuatnya, meremas lengan kemeja pemuda itu dengan berani. Ketika Marko melepas ciuman mereka yang panas, dia menatap mata Biola yang sudah menatapnya sayu. Mata itu menuntut lebih, mata itu jelas menginginkan sesuatu. Marko sekuat tenaga melawan hasratnya sendiri, dia tak ingin menuruti mata Biola. Pelan tapi pasti Marko menjauhkan dirinya. Ini salah, pikirnya. Dia tak bisa mengikuti naluri gilanya begitu saja, hal itu jelas akan sangat berbahaya, baik baginya maupun bagi Biola. Dia tak yakin apakah setelah malam ini dia masih bisa menatap mata Biola keesokan harinya, terutama di tempat kerja. Sebelum Marko benar-benar menjauh,
Cahaya matahari pagi menembus kaca jendela motel, dan jatuh tepat di atas muka Biola, memaksa gadis itu untuk membuka matanya yang sedari tadi terpejam. Jauh dari dugaannya, yang pertama dia temukan di sampingnya justru sosok Marko, dalam posisi masih terlelap dalam dunia mimpinya. Wajah pemuda itu tampak tenang, damai, tarikan napasnya terlihat cukup stabil. Selama beberapa detik Biola terdiam pula, kesulitan mencerna informasi yang ada di hadapannya, namun tiba-tiba saja dia berteriak histeris, "Argh ...!!!"Teriakan kencang itu mengejutkan Marko, memaksanya untuk detik itu juga membuka mata. Marko mengerjap sedetik, menatap Biola tak kalah kagetnya dengan mata yang masih membengkak. "Hng?" gumam Marko kebingungan. Sadar bahwa Marko tengah memandanginya, Biola menarik selimutnya sampai menutupi dada. Di bawah selimut yang menutupi tubuhnya, Biola tak memakai sehelai kain pun, dan semalaman dirinya tidur dalam kondisi seperti ini di hadapan Marko? Tunggu dulu!Apa yang terjadi k
Satu menit sudah berlalu sejak Marko mengungkap perasaannya di hadapan Biola. Biola masih membeku, pikirannya gamang, matanya mengerjap beberapa kali. "Ya, saya emang dari awal udah suka sama Kakak," aku Marko lagi, mempertegas ucapannya tadi. Setelah kesadarannya kembali, Biola melayangkan satu pukulan keras di lengan atas Marko. "Jadi karena itu kamu udah ngincar hari ini?! Itu yang kamu cari?! Ini yang kamu tunggu-tunggu, ya?! Sialan! Jahat kamu! Kamu kenapa egois sih?!" teriak Biola tak terima. "Bukan! Sama sekali bukan gitu, Kak! tolong jangan salah paham kayak gini, nggak mungkin saya punya niat buruk sama Kakak!" sanggah Marko. "Yang semalam ... yang semalam terjadi ..." Suara Marko mengecil, membuat Biola tambah bingung. "Terus?!""Apa Kak BIola nggak ngerasain? Kak Biola betul-betul nggak ngeh, ya?" tanya Marko pelan, matanya menatap ke dalam mata Biola dengan sendu, berharap perasaannya dapat tersampaikan dengan tepat. Kening Biola mengerut, tak paham apa maksud Marko.