Share

LOVE YOU MBAK SANTRI bab 2

Setelah melewati pasar sore, kini aku ke pikiran lagi kepada santri wati tadi, yang dipanggil Udin dengan sebutan 'Dek'. Siapa dia? Wajahnya yang cantik juga manis seakan-akan menari-nari di otakku.

"Ah penyakit pikiran sudah datang." 

Apakah aku sedang jatuh cinta. Karena aku sudah lama tidak merasakan yang namanya jatuh cinta? Yang terbayang adalah alis tebal, lesung pipitnya dan juga belahan yang ada di dagunya. Ah bikin hati ini meleleh kayak lilin.

"Oh mbak santri, siapa namamu. Love You mbak santri." Kini aku dimabuk cinta. Karena memikirkan mbak santri tadi, sampai-sampai aku keterusan.

"Lah kenapa aku sampai di kelurahan," gerutuku. Setelah kupastikan aman, tidak ada kendaraan yang lewat aku langsung memutar motorku balik arah.

"Aahhh ini gara-gara mbak santri tadi, sampi kelewat jauh aku," gumamku. Sampai di pondok adzan magrib berkumandang, kustandarkan motor di depan kamarku. 

***

Selesai salat isya', kubunyikan kentungan di pondok bertanda muroja'ah di mulai. Saat aku membuka kitab, ada bayangan wajah mbak santri dan kutatap dalam-dalam. Ah, cantiknya. Aku ingin memilikimu. Apakah aku bisa memilikimu? Aku dan engkau bagaikan rembulan yang merindukan pungguk. Ah, manisnya. Sampai-sampai aku tidak sadar di hadapanku ada orang.

"Kang!" 

"Kang!" 

"Kangg!" ucapnya sedikit teriak.

"Eh iya, ada apa." Sontak saja aku kaget dan gelagapan. Bayangan mbak santri seketika hilang seperti di telan bumi.

'Ah sial ganggu saja anak ini,' kataku dalam hati.

"Aku mau setor," ucapnya. Sambil menyodorkan kitab kecil berwarna kuning yang cukup tebal.

"Oh ya mana?" Kuambil kitabnya yang sudah ia bukak halamannya, jadi aku tidak repot mencarinya lagi. Ah merdu sekali mendengarkan setiap lafadz yang ia ucapkan dengan bibirnya, bagaikan musik jaz. Kurang lebih lima menit ia ucapkan lafadz-lafadz tersebut.

"Berapa hari hapalannya?" tanyaku, seraya menutup kitabnya dan mengembalikannya.

"Satu minggu, Kang." Ia ulurkan tangnya mengambil kitabnya.

"Cepat juga kamu," ucapku kagum.

"Tapi ya gitu, belum paham. Cuman hafal-hafal saja," keluhnya. Memukul jidatnya dengan kitab kecilnya.

"Pelan-pelan saja, diulangi lagi sampai paham." Kumencoba menyemangati dia. Karena dia termasuk murid yang cerdas.

"Iya, Kang," ucapnya menunduk lesu. 

Dia ke kembali duduk di tempat semula tadi, kami murojaah di aula tengah. Satu jam sudah kami murojaah, semua santri menutup bukunya dan menaruhnya ke kamarnya masing-masing. Satu kamar berisi lima santri. Tapi aku belum selesai masih membaca kitab kuningku yang tipis, tidak ada maknanya hanya tulisan arab tanpa harakat. Di saat asyik mengaji tiba-tiba wajah mbak santri melintas. Iya tersenyum. Melambaikan tangannya. Cium jauh ia berikan padaku. Cantik, wajah polosnya itu bikin gemes, ingin kucubit rasanya.

***

Adzan subuh berkumandang, membangunkan sebagian dari santri. Tok! Tok! Tok! 

"Ayok bangun, sudah subuh!" Kuketuk pintu kamar yang masih tertutup.

Bertanda sang penghuni belum bangun. Ah, malasnya. Udara dingin di subuh hari, membuat siapa saja enggan bangun dari tidurnya, kugedor pintu berulang kalai, jika belum ada jawaban, aku tidak akan pergi.

"Iya, Kang," jawab salah satu santri yang ada di dalam kamar.

Semua santri mengantri di depan kamar mandi, berbaris rapi ada juga yang menyenderkan tubuhnya ke tembok yang sudah pudar warnanya untuk tidur. Pemandangan yang eksotis. Suasana seperti inilah, yang akan di rindukan ketika pulang dari pondok. Semuanya mengantari dan saling berbagi satu sama lain. Tolong-menolong, ada juga yang mementingkan diri sendiri tapi hanya sebagian.

***

"Kang, Kang Jono!" Karena ada yang memanggil namaku, aku yang membaca kitab langsung keluar.

"Eh, Pak Kyai." Aku langsung menunduk.

"Kamu sibuk tidak?" tanya beliau.

"Boten (Tidak), Pak," jawabku.

"Kalau gitu nanti ke sawah ya, memanen padi. Ajak beberapa pengurus," pesan pak kyai lagi.

'Aku ajak semua aja.' Dalam hatiku. Aku mengajak lima santri seumuranku. Memakai pakaian umumnya orang ke sawah, memakai topi dari anyaman bambu dan tidak lupa celurit untuk memanen padi nanti. 

***

Panasnya di siang hari membuat tenggorokanku kering, karena lelah kami putuskan untuk istirahat sejenak. Ah, pemandangan sawah yang indah, hamparan padi yang menguning siap untuk di panen. Kami di sawah di bantu para pekerja lain, kami yang memotong mereka yang memasukkan padinya ke mesin. Kami melihat dari kejauhan, ada rasa iba di hati melihat mereka bekerja keras agar asap di dapur terus mengebul. 

"Ini Kang makanannya," tawar Kang Rois.

Membuat lamunanku hilang. Aku membuka tas yang tadi aku bawa dan mengeluarkan isinya, mengambil satu potong gorengan tempe lalu kutawarkan pada yang lain.

"Ah enak juga ya, makan di sawah. Makan sambil menikmati pemandang dan juga angin yang semilir, menyejukkan," ucap Ucup sambil memasukkan roti kering ke mulutnya.

Aku yang menikmati pemandangan tiba-tiba teringat dengan mbak santri kemarin. Wajah polos nan cantik menari-nari di kepalaku.

"Kang!" 

"Kang!" Rois menyenggol pinggangku dengan sikunya.

"Iya, Kang," jawabku.

"Melamuni apa sih, sampai di panggil tidak dengar," ucap Rois.

"Gak ada, Kang," elakku. Kalau aku cerita bisa malu aku.

"Ah yang bener?" ejeknya.

"Terus cewek itu gimana?" celetuk Kang Hendra.

"Jangan mengada-ngada, ntar kalau ada yang dengar bisa heboh pondok hahaha," jawabku.

"Ya iyalah heboh, Kang Jono yang terkenal jomblo akut tiba-tiba punya pacar hahaha," ucap Ucup.

"Senang sekali kalian melihat temannya menderita," jawabku santai.

"Mungkin jodohmu belum lahir, Kang" timpal Hendra.

"Kenalin gitu," candaku pada mereka.

"Yang muda apa yang tua?" tanya Hendra.

"Ya kalau yang ada yang mudalah."

"Kalau ada aku pesan satu, Kang," celetuk Ucup.

"Kan kamu sudah punya," ucapku sembari menatapnya curiga. 

"Baru satu Kang hahaha," jawabnya.

"Memang mau berapa?" tanyaku.

"Kan di agama kita boleh punya istri empat." 

"Kamu mau punya istri empat?" potongku cepat.

"Aduh Kang, gak berani aku haha." 

"Aku kira mau punya istri empat, satu aja belum punya kok ngimpi punya istri empat hahaha."

"Hahahahah." 

Kami tertawa bersama, melepaskan beban yang di kepala, apa lagi kalau bukan hapalan. Soal jodoh nomor sepuluh. Tapi senggaknya aku punya seseorang yang membuat hati ini kelayung-layung.

'Tunggu aku mbak santri,' kataku dalam hati. Karena sudah siang kami siap-siap untuk pulang. Sebagian dari pekerjaan diselesaikan para buruh.

***

"Mau ke mana, Kang?" tanya seseorang dari arah belakang. Kutengok ternyata Kang Rois.

"Mau mandi, bau asem," ucapku cengengesan.

"Ayok mandi di sungai," tawarnya.

"Ayok." Kami berjalan beriringan menuju sawah.

"Kok bawa jaring buat apa, Kang?" tanyaku heran.

"Jaring jodoh hahaha." 

"Kalau dapat nanti aku pinjam jaringnya ya." 

Setelah sampai di sungai kuletakkan baju di batu agar tidak kecipratan air. Kang Rois berjalan ke bawah mencari sesuatu.

"Mau jaring ikan ya Kang?!" teriakku.

"Iya." Kudekati dia.

"Ikan kecil-kecil gitu." 

"Kalau mau besar ya sana di laut," cerocosnya tanpa menoleh ke arahku. Matanya masih fokus pada ikan. Dengan kecepatan kilat ia arahkan jaring ke pada ikan.

"Ini Kang dapat." Dengan gembira dia menunjukkan ke padaku.

"Hebat kamu Kang," pujiku.

"Mana aku juga mau." Kuserobot jaringnya tanpa seizinnya. Pelan-pelan kuarahkan jaring ke ikan dan byur! 

"Dapat juga aku Kang." 

Meskipun ikannya kecil-kecil tapi lumayan untuk makan malam nanti. Setelah mendapat cukup banyak, kami putuskan untuk mandi. Kalau tidak begitu tidak akan ada rasa bosan mencari ikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status