Share

8

"Bunda mau ke toko?"

"Hem."

Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.

Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.

Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.

Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya berjuang dengan keras.

"Bunda masih marah?"

"Enggak!"

"Kalau enggak kenapa jawabnya ketus begitu?" tanya Fawaz dengan nada menggoda.

Bu Laras memelotot kepada anaknya, "iya, Bunda marah! Kamu itu, dicarikan jodoh yanv baik nolak terus! Lalu kamu mau yang kayak gimana?"

Bukannya takut karena bentakan sang ibu, Fawaz justru tersenyum senang. Ibunya telah kembali!

"Gak usah senyum-senyum gitu! Sekarang terserah, kamu mau nikah atau enggak, Bunda gak mau ikut campur lagi!"

"Bunda, jangan gitu. Aku hanya merasa belum siap."

Decakan keras keluar dari bibir Bu Laras. "Kamu itu bukannya belum siap! Tapi kamu masih berharap pada Kirana, benar, kan?"

Belum sempat Fawaz menjawab, suara langkah kali membuatnya mengalihkan pandangan dari sang ibu. Dia menghela napas mengetahui Nilam—asisten rumah tangga—datang bersama Kirana.

"Kok kalian bisa bareng?" Bu Laras melirik sekilas pada anaknya, sebelum memandang dua wanita yang baru saja datang.

"Iya, Bu. Tadi Mbak Kirana mau ke sini pas aku baru turun dari ojek," jelas Nilam yang membawa tas belanja di kedua tangannya.

"Kirana sudah makan? Ayo gabung sini," ajak Bu Laras.

"Sudah Tante."

"Yaudah duduk sini, makan camilan. Ini ada roti bakar sama bakwan." Bu Laras memandang Kirana yang sudah duduk di samping sang anak. "Agak aneh, ya, menunya?" tawa kecil lolos dari bibir Bu Laras.

"Gak pa-pa, Tante. Apapun kalau Tante yang buat pasti enak." Aara mengambil salah satu roti bakar yang sudah diberi selai coklat. "Ngomong-ngomong tadi lagi ngobrol apa? Kok kelihatannya serius sekali?"

Fawaz merasa perasaannya menjadi tidak enak, saat sang ibu tersenyum penuh makna padanya. Dia seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Tante lagi bujukin Fawaz supaya mau kenalan sama wanita yang Tante pilih, tapi dia gak mau. Coba kamu bujuk, Na. Sapa tau dia mau."

Nah, tebakan Fawaz benar!

Kirana menoleh pada Fawaz, membuat Bu Laras tersenyum penuh kemenangan. Sementara laki-laki itu, hanya bisa kembali menghela napas.

"Coba dulu aja, Kak. Aku yakin pilihan Tante pasti yang terbaik."

"Tuh, dengerin! Pilihan Bunda pasti yang terbaik," ujar Bu Laras bangga.

"Nanti aku pertimbangkan," jawab Fawaz pada akhirnya. Dia rasa itu pilihan kalimat terbaik, daripada terus-terusan didesak oleh dua wanita yang sama dia cintai itu.

"Jangan lama-lama!"

"Iya, Bun."

***

"Kenapa gak dicoba saja, sih, Kak, usul tante? Siapa tau kali ini beneran jodoh kakak."

Fawaz menoleh sebentar kepada wanita yang duduk di sampingnya, sebelum kembali fokus pada jalanan di depan. "Entah lah, aku gak tertarik."

"Kenapa?"

'Karena dia wanita yang telah kita sakiti,' jawab Fawaz dalam hati.

"Eh, malah gak dijawab. Kenapa, Kak? Dia jelek?"

Tiba-tiba bayangan wanita berkulit kuning langsat mampir di otaknya. "Cantik." Ya, Fawaz tidak munafik, jelas dia sadar kalau Aara adalah wanita yang menarik, meski dia tidak punya rasa apapun pada wanita itu.

"Sudah lah, kita bahas yang lain saja. Gimana kerjaan?" tanya Fawaz untuk mengalihkan pembicaraan.

"Lancar."

"Ada masalah?" lanjut Fawaz, begitu mendengar nada ragu pada suara lembut itu.

Aara mengalihkan pandangan pada jendela di sampingnya. "Bukan masalah pekerjaan, hanya saja ... Mas Dafa."

Fawaz mencekram erat setir. Suara getir Kirana, membuat amarahnya timbul. Kenapa juga Dafa harus hadir dalam hidup Kirana?

"Aku harus bagaimana, Kak?" lirih Kirana. Dia mengusap pelan, air mata yang dengan lancang turun ke pipinya.

"Kalau aku menyuruh kamu menyerah, pasti kamu gak mau, kan? Jadi aku gak punya solusi apapun. Semua terserah padamu."

Hening. Kirana tidak membalas kalimat laki-laki di sampingnya. Karena jauh dalam lubuk hatinya, dia sadar apa yang dikatakan laki-laki itu memang benar.

Sementara Fawaz, dia merasa lelah. Cinta tidak berbalas, juga curahan hati sang pujaan tentang laki-laki lain, membuat hatinya merasa capek. Dia sayang Kirana, tapi kalau wanita itu tidak merasakan hal yang sama dengan dirinya, dia bisa apa?

Sepertinya dia harus mengikuti saran sahabatnya. Untuk memulai membuka hatinya pada orang lain, tapi siapa? Haruskah dia menerima tawaran sang ibu?

Tidak! Kalaupun pada akhirnya dia serius ingin membuka hati, dia tidak mau wanita berkulit kuning langsat itu yang menjadi pelabuhan terakhirnya.

***

"Tante Laras?" Kening Aara mengkerut, begitu mengetahui tamu yang hadir di rumahnya pada jam tujuh malam.

"Tante boleh masuk?"

"Duh, maaf, Tante. Ayo, silakan masuk." Aara membuka pintu lebih lebar.

Bu Laras berjalan ke arah sofa sambil menyisir pandangan. Dia tersenyum cerah, mengetahui Aara yang berhasil menciptakan suasana rumah yang nyaman.

Sebetulnya sejak turun dari taksi, dia sudah kagum dengan rumah Aara. Memang rumah Aara tidak seluas rumahnya. Namun, penataan yang bagus, membuat siapapun yang berada di sini pasti betah.

Bu Laras kagum, bagaimana halaman kecil Aara yang terletak di depan. Bisa dihiasi berbagai macam bunga. Bahkan di tembok ditempel beberapa pot gantung. Sedangkan di dalam ruang tamu, tidak begitu banyak barang. Hanya sofa, serta rak kayu yang ada di pojok, berfungsi untuk menaruh tanaman.

"Rumah kamu nyaman," puji Bu Laras, begitu duduk di sofa coklat.

"Terima kasih, Tante. Oya ... Tante mau minum apa?"

Bu Laras melambaikan tangan. "Gak usah repot-repot, Tante tadi dari daerah dekat sini. Makanya sekalian mampir. Buat kamu." Bu Laras memberikan bingkisan pada Aara.

"Terima kasih banyak Tante, kok repot-repot, sih?"

"Gak repot sama sekali."

Hampir satu jam wanita beda generasi itu berbincang. Banyak hal yang telah mereka diskusikan, dari menu masakan, tanaman, sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Entah mengapa, keduanya merasa nyaman dan cocok satu sama lain.

Hingga pembicaraan terasa begitu lancar. Namun tiba-tiba, Aara merasa panik saat Bu Laras mengeluh pusing. Di tengah kebingungannya, Aara menuruti semua ucapan Bu Laras. Mengambil ponsel, wanita berkulit kuning langsat itu mengubungi nomor yang telah disebutkan Bu Laras.

"Assalamu'alaikum," ucap Aara begitu panggilannya sudah diangkat.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status