"Bunda mau ke toko?"
"Hem."
Fawaz menelan makannya dengan susah payah. Meskipun hari ini sang ibu menyiapkan menu favoritnya, soto ayam. Namun, hal itu tidak lantas membuatnya menjadi berselera makan. Dikarenakan wanita yang dihormatinya itu seperti sedang mengajak perang dingin.
Sedari subuh tadi, ibunya sangat diam. Jika biasanya, sang ibu akan selalu mengomentari apa saja, cerita ini itu, tapi hari ini semua terasa berbeda. Sang ibu hanya menjawab sekenanya saat Fawaz bertanya.
Bahkan saat tadi Fawaz mencomot tempe goreng tanpa cuci tangan, Bu Laras hanya diam. Padahal jika dalam suasana hati biasa, sudah dipastikan Fawaz akan diberi nasehat panjang lebar tentang pentingnya menjaga kebersihan.
Hal ini tentu saja menimbulkan rasa bersalah dalam hati laki-laki berkaca mata itu. Yatim dari kecil, membuat Fawaz sangat dekat dengan sang ibu. Ketika beranjak dewasa, dia berjanji pada dirinya sendiri, untuk menjaga sang ibu. Mengingat bagaimana dulu, ibunya berjuang dengan keras.
"Bunda masih marah?"
"Enggak!"
"Kalau enggak kenapa jawabnya ketus begitu?" tanya Fawaz dengan nada menggoda.
Bu Laras memelotot kepada anaknya, "iya, Bunda marah! Kamu itu, dicarikan jodoh yanv baik nolak terus! Lalu kamu mau yang kayak gimana?"
Bukannya takut karena bentakan sang ibu, Fawaz justru tersenyum senang. Ibunya telah kembali!
"Gak usah senyum-senyum gitu! Sekarang terserah, kamu mau nikah atau enggak, Bunda gak mau ikut campur lagi!"
"Bunda, jangan gitu. Aku hanya merasa belum siap."
Decakan keras keluar dari bibir Bu Laras. "Kamu itu bukannya belum siap! Tapi kamu masih berharap pada Kirana, benar, kan?"
Belum sempat Fawaz menjawab, suara langkah kali membuatnya mengalihkan pandangan dari sang ibu. Dia menghela napas mengetahui Nilam—asisten rumah tangga—datang bersama Kirana.
"Kok kalian bisa bareng?" Bu Laras melirik sekilas pada anaknya, sebelum memandang dua wanita yang baru saja datang.
"Iya, Bu. Tadi Mbak Kirana mau ke sini pas aku baru turun dari ojek," jelas Nilam yang membawa tas belanja di kedua tangannya.
"Kirana sudah makan? Ayo gabung sini," ajak Bu Laras.
"Sudah Tante."
"Yaudah duduk sini, makan camilan. Ini ada roti bakar sama bakwan." Bu Laras memandang Kirana yang sudah duduk di samping sang anak. "Agak aneh, ya, menunya?" tawa kecil lolos dari bibir Bu Laras.
"Gak pa-pa, Tante. Apapun kalau Tante yang buat pasti enak." Aara mengambil salah satu roti bakar yang sudah diberi selai coklat. "Ngomong-ngomong tadi lagi ngobrol apa? Kok kelihatannya serius sekali?"
Fawaz merasa perasaannya menjadi tidak enak, saat sang ibu tersenyum penuh makna padanya. Dia seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Tante lagi bujukin Fawaz supaya mau kenalan sama wanita yang Tante pilih, tapi dia gak mau. Coba kamu bujuk, Na. Sapa tau dia mau."
Nah, tebakan Fawaz benar!
Kirana menoleh pada Fawaz, membuat Bu Laras tersenyum penuh kemenangan. Sementara laki-laki itu, hanya bisa kembali menghela napas.
"Coba dulu aja, Kak. Aku yakin pilihan Tante pasti yang terbaik."
"Tuh, dengerin! Pilihan Bunda pasti yang terbaik," ujar Bu Laras bangga.
"Nanti aku pertimbangkan," jawab Fawaz pada akhirnya. Dia rasa itu pilihan kalimat terbaik, daripada terus-terusan didesak oleh dua wanita yang sama dia cintai itu.
"Jangan lama-lama!"
"Iya, Bun."
***
"Kenapa gak dicoba saja, sih, Kak, usul tante? Siapa tau kali ini beneran jodoh kakak."
Fawaz menoleh sebentar kepada wanita yang duduk di sampingnya, sebelum kembali fokus pada jalanan di depan. "Entah lah, aku gak tertarik."
"Kenapa?"
'Karena dia wanita yang telah kita sakiti,' jawab Fawaz dalam hati.
"Eh, malah gak dijawab. Kenapa, Kak? Dia jelek?"
Tiba-tiba bayangan wanita berkulit kuning langsat mampir di otaknya. "Cantik." Ya, Fawaz tidak munafik, jelas dia sadar kalau Aara adalah wanita yang menarik, meski dia tidak punya rasa apapun pada wanita itu.
"Sudah lah, kita bahas yang lain saja. Gimana kerjaan?" tanya Fawaz untuk mengalihkan pembicaraan.
"Lancar."
"Ada masalah?" lanjut Fawaz, begitu mendengar nada ragu pada suara lembut itu.
Aara mengalihkan pandangan pada jendela di sampingnya. "Bukan masalah pekerjaan, hanya saja ... Mas Dafa."
Fawaz mencekram erat setir. Suara getir Kirana, membuat amarahnya timbul. Kenapa juga Dafa harus hadir dalam hidup Kirana?
"Aku harus bagaimana, Kak?" lirih Kirana. Dia mengusap pelan, air mata yang dengan lancang turun ke pipinya.
"Kalau aku menyuruh kamu menyerah, pasti kamu gak mau, kan? Jadi aku gak punya solusi apapun. Semua terserah padamu."
Hening. Kirana tidak membalas kalimat laki-laki di sampingnya. Karena jauh dalam lubuk hatinya, dia sadar apa yang dikatakan laki-laki itu memang benar.
Sementara Fawaz, dia merasa lelah. Cinta tidak berbalas, juga curahan hati sang pujaan tentang laki-laki lain, membuat hatinya merasa capek. Dia sayang Kirana, tapi kalau wanita itu tidak merasakan hal yang sama dengan dirinya, dia bisa apa?
Sepertinya dia harus mengikuti saran sahabatnya. Untuk memulai membuka hatinya pada orang lain, tapi siapa? Haruskah dia menerima tawaran sang ibu?
Tidak! Kalaupun pada akhirnya dia serius ingin membuka hati, dia tidak mau wanita berkulit kuning langsat itu yang menjadi pelabuhan terakhirnya.
***
"Tante Laras?" Kening Aara mengkerut, begitu mengetahui tamu yang hadir di rumahnya pada jam tujuh malam.
"Tante boleh masuk?"
"Duh, maaf, Tante. Ayo, silakan masuk." Aara membuka pintu lebih lebar.
Bu Laras berjalan ke arah sofa sambil menyisir pandangan. Dia tersenyum cerah, mengetahui Aara yang berhasil menciptakan suasana rumah yang nyaman.
Sebetulnya sejak turun dari taksi, dia sudah kagum dengan rumah Aara. Memang rumah Aara tidak seluas rumahnya. Namun, penataan yang bagus, membuat siapapun yang berada di sini pasti betah.
Bu Laras kagum, bagaimana halaman kecil Aara yang terletak di depan. Bisa dihiasi berbagai macam bunga. Bahkan di tembok ditempel beberapa pot gantung. Sedangkan di dalam ruang tamu, tidak begitu banyak barang. Hanya sofa, serta rak kayu yang ada di pojok, berfungsi untuk menaruh tanaman.
"Rumah kamu nyaman," puji Bu Laras, begitu duduk di sofa coklat.
"Terima kasih, Tante. Oya ... Tante mau minum apa?"
Bu Laras melambaikan tangan. "Gak usah repot-repot, Tante tadi dari daerah dekat sini. Makanya sekalian mampir. Buat kamu." Bu Laras memberikan bingkisan pada Aara.
"Terima kasih banyak Tante, kok repot-repot, sih?"
"Gak repot sama sekali."
Hampir satu jam wanita beda generasi itu berbincang. Banyak hal yang telah mereka diskusikan, dari menu masakan, tanaman, sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Entah mengapa, keduanya merasa nyaman dan cocok satu sama lain.
Hingga pembicaraan terasa begitu lancar. Namun tiba-tiba, Aara merasa panik saat Bu Laras mengeluh pusing. Di tengah kebingungannya, Aara menuruti semua ucapan Bu Laras. Mengambil ponsel, wanita berkulit kuning langsat itu mengubungi nomor yang telah disebutkan Bu Laras.
"Assalamu'alaikum," ucap Aara begitu panggilannya sudah diangkat.
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan