Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.
Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?
Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka.
"Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."
Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja. Ah, senyum itu. Jelas dia paham maksud senyum sang ibu. Dia telah dipermainkan.
"Ayo, kita ke rumah sakit, Bun. Siapa tau ada yang mengkhawatirkan." Fawaz duduk di samping ibunya.
Bu Laras tersenyum canggung. "Tadi emang agak pusing, sekarang udah sehat. Nih, tadi dibikinin teh anget sama Aara."
Astaga. Kalau seperti ini tidak salah jika Fawaz berpikir kalau ibunya mantan bintang film. Wanita di depannya sampai tertipu.
"Yaudah, ayo pulang," ajak Fawaz.
"Memang kamu gak capek abis nyetir? Udah, istirahat di sini bentar saja. Boleh, kan, Ra?"
Aara mengangguk sebagai jawaban.
"Apaan, sih, Bun? Aku ke sini naik mobil bukannya lari. Capek dari mananya?"
Fawaz paham betul, ini hanya akal-akalan sang ibu.
"Ehm ... Mas Fawaz mau minum?" Setelah menimbang-nimbang, itulah pertanyaan yang Aara pilih. Meski agak canggung dengan situasi ini. Namun sebagai tuan rumah, dia harus bersikap baik, kan?
"Gak usah repot-repot," balas Aara.
"Eh, gak boleh gitu. Jangan nolak pemberian orang." Setelah memukul pelan paha sang anak, Bu Laras tersenyum pada Aara, "kalau ada coklat panas saja. Soalnya gak seperti kebanyakan laki-laki yang suka kopi. Fawaz ini lebih suka coklat panas atau susu coklat."
Fawaz menghela napas kasar, mendengar penuturan sang ibu.
"Oh, ada Tante. Kebetulan saya juga suka coklat."
Bu Laras bertepuk tangan heboh, matanya berbinar menatap bergantian Fawaz dan Aara. "Jangan-jangan kalian jodoh."
Aara langsung berdiri. "Kalau begitu saya ke belakang dulu," pamitnya.
"Bunda apa-apaan, sih?" tanya Fawaz begitu Aara sudah tidak terlihat.
"Bunda gak ngapa-ngapain."
Mencibir takut dosa, berdecak bisa kena marah. Akhirnya menghela napas lah, yang menjadi pilihan Fawaz. Meski kesal, dia tetap berusaha berbicara lembut pada sang ibu. "Gak ngapa-ngapain apa, sih, Bun? Tadi aku ngerasa kayak barang dagangan yang dipromosikan. Terus apa tadi? Jodoh? Jangan bilang aneh-aneh, Bun. Gak enak sama Aara."
"Emangnya salah Bunda ngomong seperti itu?"
"Bukannya begitu, tapi—" Fawaz terpaksa menelan kembali kalimatnya, karena melihat Aara memasuki ruang tamu.
"Silakan, Mas." Aara meletakkan cangkir di atas meja. Sementara nampan, dia taruh di bawah meja.
"Makasih,"
Aara mengangguk serta tersenyum sebagai jawaban. Kemudian kembali menunduk, karena tidak tahu harus bicara apa. Tadi ketika hanya berdua dengan Bu Laras dia merasa lancar saja berbicara. Namun, saat Fawaz datang, dia jadi kurang nyaman.
"Udah, cobain! Pasti enak itu," ujar Bu Laras bersemangat.
Tidak ingin sang ibu terus merecokinya, Fawaz memilih menurut. Laki-laki itu langsung menatap Aara saat minuman itu sampai di mulutnya. Bagaimana bisa rasanya seperti buatan ibunya? Tidak mungkin, kan, sang ibu mengajari Aara cara membuat minuman kesukaannya? Hubungan mereka belum sedekat itu, kan?
"Gimana enak?" tanya Bu Laras dengan penasaran. Wajahnya sedikit maju, untuk melihat sang anak lebih jelas.
"Enak."
"Nah! Bunda bilang juga apa, Aara ini pinter masak juga, lo. Bahkan nastar yang kamu puji enak dulu, itu juga bikinan Aara."
Wajah Aara memanas. Wanita itu yakin, pasti sekarang pipinya sudah memerah. Dipuji terang-terangnya seperti itu, jelas membuat Aara salah tingkah. Hingga dia memilih mengedarkan pandangan kemana pun, asal bukan ke arah ibu dan anak di depannya.
***
"Pokoknya kamu harus mau, ya, sama Aara."
Fawaz yang baru saja memasuki ruang makan, hanya menatap sekilas pada ibunya. Ini masih pagi, dan sang ibu masih saja membahas topik yang sama. "Aku pikirkan dulu, Bun."
"Mikir terus dari beberapa minggu lalu," gerutu Bu Laras, yang kini tengah mondar-mandir menyiapkan makanan.
"Nikah, kan untuk selamanya, Bun. Jadi harus dipikirin baik-baik."
"Alasan saja kamu! Eh, siapa itu yang datang? Cepet buka pintunya!" perintah Bu Laras begitu mendengan bunyi bel rumah mereka.
Dengan malas-malasan, Fawaz melangkah menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. Iya, sebentar." Fawaz membuka pintu, matanya menyipit begitu mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu. "Aara?"
"Pagi, Mas. Saya mau antar pesanan."
"Kok gak ke toko?"
"Sama Tante Laras suruh ke sini Mas."
"Siapa yang datang? Kok gak disuruh masuk? Lho, Aara, kenapa kamu di sini?" tanya Bu Laras bertubi-tubi.
"Dia bilang, Bunda yang nyuruh ke sini, ngantar pesanan."
Bu Laras memukul keningnya, "duh, kok bisa lupa, ya? Aara ayo masuk. Fawaz kamu minggir, biar Aara bisa masuk."
Fawaz menggeleng pelan, melihat sang ibu menggandeng atau lebih tepatnya menarik Aara. Hingga wanita bergamis merah muda itu, tampak kesulitan menyeimbangkan langkah kakinya.
"Kak?"
Fawaz berdecak, saat suara familiar itu masuk dalam telinganya. Dia menoleh dan menemukan Kirana sudah berdiri dengan senyum lebarnya.
"Hai, Na. Ada apa?"
Kening Kirana mengkerut, "biasanya tiap pagi aku ke sini. Kenapa kakak kayak gak suka gitu?"
'Karena di dalam ada wanita yang berhubungan denganmu, dan bisa saja setelah ini, dia akan menjadi masa depanku,' batin Fawaz.
"Mungkin perasaanmu saja. Kamu mau masuk?"
"Kak Fawaz aneh! Jelas lah aku mau masuk." Tanpa mempedulikan laki-laki berkaca mata yang pagi ini tampak aneh. Kirana melangkah menuju rumah yang sejak kecil terbiasa dia datangi.
Namun, langkah wanita cantik itu terhenti. Tubuhnya terpaku, menyaksikan keakraban tetangganya dengan wanita yang tidak disukainya.
"Lho, Kirana?"
"Eh—iya Tante." Kirana melirik sekilas wanita yang tadi juga menatapnya terkejut.
Dengan pelan, Kirana berjalan ke arah kursi. Matanya berusaha tidak menatap ke arah wanitu berkulit kuning langsat itu.
"Ikut sarapan di sini, ya?" Bu Laras tersenyum kepada Kirana.
"Sebenarnya aku mau ngajak Kak Fawaz olahraga Tante," ujar Kirana, menatap Fawaz yang kini sudah duduk di sampingnya.
"Ehm, olahraganya kapan-kapan saja, ya? Ini ada tamu masak mau ditinggal."
"I—iya gak pa-pa Tante." Kirana menatap Aara, yang dibalas wanita itu dengan senyuman. Hingga mau tidak mau Kirana pun ikut tersenyum. "Ehm, memangnya Mbak ini siapa?"
Kirana tahu, pertanyaannya mungkin terkesan konyol. Namun, dia tidak peduli. Lagipula, tidak mungkin, kan, dia mengatakan telah mengenal Aara?
Bu Laras tersenyum lebar. Matanya menatap Aara dan Fawaz bergantian. "Ini calonnya Fawaz."
Pernyataan Bu Laras sukses membuat Aara dan Fawaz yang sedang minum, tersedak bersamaan. Mereka terbatuk hebat, hingga air mata keluar dari mata masing-masing.
"Duh, kalian ini! Tersedak saja bareng, semoga nantinya bakal tinggal bareng." Bu Laras tertawa. Akan tetapi, dalam hati dia meng-aamiin-kan ucapannya.
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia