Share

9

Fawaz melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, setelah mendapat telepon dari seorang wanita yang mengabarkan kalau saat ini sang ibu tengah sakit.

Sambil mendengarkan petunjuk dari peta digital. Fawaz berusaha untuk tetap fokus, meski hatinya dilanda rasa khawatir tentang keadaan sang ibu. Rasanya tadi pagi sang ibu baik-baik saja, dan lagi ibunya selalu menjaga kesehatan dengan olahraga dan juga makan dengan menu sehat. Jadi, kenapa tiba-tiba sang ibu sakit?

Mengamati sebentar rumah berlantai dua, apakah sudah sesuai dengan peta digital. Fawaz segera turun dari mobil, langkah besarnya melewati halaman kecil sebelum sampai pada pintu rumah yang terbuka.

"Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'laikumsalam." Suara itu terdengar bersamaan dengan munculnya seorang wanita berkulit kuning langsat. "Silakan masuk Mas."

Fawaz mengikuti langkah Aara masuk dalam ruang tamu. Laki-laki itu mengerutkan kening, begitu mengetahui sang ibu yang tampak baik-baik saja. Ah, senyum itu. Jelas dia paham maksud senyum sang ibu. Dia telah dipermainkan.

"Ayo, kita ke rumah sakit, Bun. Siapa tau ada yang mengkhawatirkan." Fawaz duduk di samping ibunya.

Bu Laras tersenyum canggung. "Tadi emang agak pusing, sekarang udah sehat. Nih, tadi dibikinin teh anget sama Aara."

Astaga. Kalau seperti ini tidak salah jika Fawaz berpikir kalau ibunya mantan bintang film. Wanita di depannya sampai tertipu.

"Yaudah, ayo pulang," ajak Fawaz.

"Memang kamu gak capek abis nyetir? Udah, istirahat di sini bentar saja. Boleh, kan, Ra?"

Aara mengangguk sebagai jawaban.

"Apaan, sih, Bun? Aku ke sini naik mobil bukannya lari. Capek dari mananya?"

Fawaz paham betul, ini hanya akal-akalan sang ibu.

"Ehm ... Mas Fawaz mau minum?" Setelah menimbang-nimbang, itulah pertanyaan yang Aara pilih. Meski agak canggung dengan situasi ini. Namun sebagai tuan rumah, dia harus bersikap baik, kan?

"Gak usah repot-repot," balas Aara.

"Eh, gak boleh gitu. Jangan nolak pemberian orang." Setelah memukul pelan paha sang anak, Bu Laras tersenyum pada Aara, "kalau ada coklat panas saja. Soalnya gak seperti kebanyakan laki-laki yang suka kopi. Fawaz ini lebih suka coklat panas atau susu coklat."

Fawaz menghela napas kasar, mendengar penuturan sang ibu.

"Oh, ada Tante. Kebetulan saya juga suka coklat."

Bu Laras bertepuk tangan heboh, matanya berbinar menatap bergantian Fawaz dan Aara. "Jangan-jangan kalian jodoh."

Aara langsung berdiri. "Kalau begitu saya ke belakang dulu," pamitnya.

"Bunda apa-apaan, sih?" tanya Fawaz begitu Aara sudah tidak terlihat.

"Bunda gak ngapa-ngapain."

Mencibir takut dosa, berdecak bisa kena marah. Akhirnya menghela napas lah, yang menjadi pilihan Fawaz. Meski kesal, dia tetap berusaha berbicara lembut pada sang ibu. "Gak ngapa-ngapain apa, sih, Bun? Tadi aku ngerasa kayak barang dagangan yang dipromosikan. Terus apa tadi? Jodoh? Jangan bilang aneh-aneh, Bun. Gak enak sama Aara."

"Emangnya salah Bunda ngomong seperti itu?"

"Bukannya begitu, tapi—" Fawaz terpaksa menelan kembali kalimatnya, karena melihat Aara memasuki ruang tamu.

"Silakan, Mas." Aara meletakkan cangkir di atas meja. Sementara nampan, dia taruh di bawah meja.

"Makasih,"

Aara mengangguk serta tersenyum sebagai jawaban. Kemudian kembali menunduk, karena tidak tahu harus bicara apa. Tadi ketika hanya berdua dengan Bu Laras dia merasa lancar saja berbicara. Namun, saat Fawaz datang, dia jadi kurang nyaman.

"Udah, cobain! Pasti enak itu," ujar Bu Laras bersemangat.

Tidak ingin sang ibu terus merecokinya, Fawaz memilih menurut. Laki-laki itu langsung menatap Aara saat minuman itu sampai di mulutnya. Bagaimana bisa rasanya seperti buatan ibunya? Tidak mungkin, kan, sang ibu mengajari Aara cara membuat minuman kesukaannya? Hubungan mereka belum sedekat itu, kan?

"Gimana enak?" tanya Bu Laras dengan penasaran. Wajahnya sedikit maju, untuk melihat sang anak lebih jelas.

"Enak."

"Nah! Bunda bilang juga apa, Aara ini pinter masak juga, lo. Bahkan nastar yang kamu puji enak dulu, itu juga bikinan Aara."

Wajah Aara memanas. Wanita itu yakin, pasti sekarang pipinya sudah memerah. Dipuji terang-terangnya seperti itu, jelas membuat Aara salah tingkah. Hingga dia memilih mengedarkan pandangan kemana pun, asal bukan ke arah ibu dan anak di depannya.

***

"Pokoknya kamu harus mau, ya, sama Aara."

Fawaz yang baru saja memasuki ruang makan, hanya menatap sekilas pada ibunya. Ini masih pagi, dan sang ibu masih saja membahas topik yang sama. "Aku pikirkan dulu, Bun."

"Mikir terus dari beberapa minggu lalu," gerutu Bu Laras, yang kini tengah mondar-mandir menyiapkan makanan.

"Nikah, kan untuk selamanya, Bun. Jadi harus dipikirin baik-baik."

"Alasan saja kamu! Eh, siapa itu yang datang? Cepet buka pintunya!" perintah Bu Laras begitu mendengan bunyi bel rumah mereka.

Dengan malas-malasan, Fawaz melangkah menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. Iya, sebentar." Fawaz membuka pintu, matanya menyipit begitu mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu. "Aara?"

"Pagi, Mas. Saya mau antar pesanan."

"Kok gak ke toko?"

"Sama Tante Laras suruh ke sini Mas."

"Siapa yang datang? Kok gak disuruh masuk? Lho, Aara, kenapa kamu di sini?" tanya Bu Laras bertubi-tubi.

"Dia bilang, Bunda yang nyuruh ke sini, ngantar pesanan."

Bu Laras memukul keningnya, "duh, kok bisa lupa, ya? Aara ayo masuk. Fawaz kamu minggir, biar Aara bisa masuk."

Fawaz menggeleng pelan, melihat sang ibu menggandeng atau lebih tepatnya menarik Aara. Hingga wanita bergamis merah muda itu, tampak kesulitan menyeimbangkan langkah kakinya.

"Kak?"

Fawaz berdecak, saat suara familiar itu masuk dalam telinganya. Dia menoleh dan menemukan Kirana sudah berdiri dengan senyum lebarnya.

"Hai, Na. Ada apa?"

Kening Kirana mengkerut, "biasanya tiap pagi aku ke sini. Kenapa kakak kayak gak suka gitu?"

'Karena di dalam ada wanita yang berhubungan denganmu, dan bisa saja setelah ini, dia akan menjadi masa depanku,' batin Fawaz.

"Mungkin perasaanmu saja. Kamu mau masuk?"

"Kak Fawaz aneh! Jelas lah aku mau masuk." Tanpa mempedulikan laki-laki berkaca mata yang pagi ini tampak aneh. Kirana melangkah menuju rumah yang sejak kecil terbiasa dia datangi.

Namun, langkah wanita cantik itu terhenti. Tubuhnya terpaku, menyaksikan keakraban tetangganya dengan wanita yang tidak disukainya.

"Lho, Kirana?"

"Eh—iya Tante." Kirana melirik sekilas wanita yang tadi juga menatapnya terkejut.

Dengan pelan, Kirana berjalan ke arah kursi. Matanya berusaha tidak menatap ke arah wanitu berkulit kuning langsat itu.

"Ikut sarapan di sini, ya?" Bu Laras tersenyum kepada Kirana.

"Sebenarnya aku mau ngajak Kak Fawaz olahraga Tante," ujar Kirana, menatap Fawaz yang kini sudah duduk di sampingnya.

"Ehm, olahraganya kapan-kapan saja, ya? Ini ada tamu masak mau ditinggal."

"I—iya gak pa-pa Tante." Kirana menatap Aara, yang dibalas wanita itu dengan senyuman. Hingga mau tidak mau Kirana pun ikut tersenyum. "Ehm, memangnya Mbak ini siapa?"

Kirana tahu, pertanyaannya mungkin terkesan konyol. Namun, dia tidak peduli. Lagipula, tidak mungkin, kan, dia mengatakan telah mengenal Aara?

Bu Laras tersenyum lebar. Matanya menatap Aara dan Fawaz bergantian. "Ini calonnya Fawaz."

Pernyataan Bu Laras sukses membuat Aara dan Fawaz yang sedang minum, tersedak bersamaan. Mereka terbatuk hebat, hingga air mata keluar dari mata masing-masing.

"Duh, kalian ini! Tersedak saja bareng, semoga nantinya bakal tinggal bareng." Bu Laras tertawa. Akan tetapi, dalam hati dia meng-aamiin-kan ucapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status