Share

7

Banyaknya orang berlalu lalang, seperti tidak berpengaruh pada wanita yang sejak beberapa menit lalu, tetap duduk di motornya tanpa berniat menyalakan mesin motor itu.

Pikiran wanita berkulit kuning langsat itu, masih terpaku kejadian beberapa saat lalu. Tentang pertemuannya kembali dengan mantan suaminya. Bukan, masih ada rasa yang tertinggal hingga dia memikirkan laki-laki itu. Namun, dia hanya merasa ... aneh?

Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Aara lantas menggeleng pelan. Mengusir pikiran yang tidak seharusnya hadir. Memutar kunci motornya, Aara bermaksud pergi dari sana, sebelum suatu hal masuk dalam penglihatannya.

Seorang gadis kecil, yang dia perkirakan berusia empat tahun celingak-celinguk, seperti sedang mencari sesuatu. Dari gesturnya yang mengusap pipi berkali-kali, Aara tahu gadis itu sedang menangis. Maka tidak menunggu lama, wanita itu segera turun dari motor untuk menghampiri gadis itu.

"Hai," sapa Aara.

Tidak ada jawaban apapun dari gadis di depannya. Gadis yang memakai gaun berwarna merah itu semakin menundukkan kepala.

Hal itu membuat Aara mensejajarkan diri dengan anak itu, agar lebih mudah baginya untuk berkomunikasi.

"Ada yang bisa tante bantu?" tanya Aara lembut.

Gadis itu mendongak, matanya menatap Aara dengan berkaca-kaca, "ma–mama hilang," ucapnya terbata.

Aara yang akan mengusap kelapa gadis itu, terperanjat, saat tiba-tiba saja sang gadis ditarik dengan kasar.

"Kamu menculik anak saya!" hadir seorang wanita sambil mendorong tubuh Aara hingga terduduk di lantai.

Aara yang masih terkejut dengan kejadian barusan, hanya diam saja. Hingga kemudian datang laki-laki yang berdiri di depannya.

"Jangan menuduh orang sembarangan!"

"Siapa kamu mau ikut campur?!"

"Saya di sini sebagai saksi, bagaimana wanita yang sudah Anda dorong, mencoba untuk menolong anak Anda yang ketakutan. Dan saya yakin anak itu hilang dari pengawasan Anda."

Aara tidak bisa melihat ekspresi laki-laki itu, tapi dari suaranya yang datar, dan kepalan tangannya. Dia bisa menebak kalau laki-laki jangkung itu berusaha menahan amarah.

"Kamu—"

"Apa? Yang saya ucapkan benar, 'kan? Apa kita perlu melihat cctv untuk mencari tahu kebenarannya?"

Tanpa menjawab pertanyaan itu, sang wanita segera berlalu sambil menarik anaknya. Fawaz—laki-laki yang membela Aara—menghela napas kasar melihat pemandangan itu. Ingin rasanya dia menolong sang gadis yang kini menoleh, menatap ke arahnya dengan air mata yang mengalir, tapi itu tidak mungkin. Karena yang ada dia bisa membuat suasana semakin keruh.

Memutuskan membalik badan, Fawaz melihat Aara yang ternyata tengah menatap yang obyek yang sama dengannya.

"Kamu gak pa-pa?" Fawaz mengulurkan tangan, bermaksud menolong wanita yang duduk di lantai itu.

Aara menatap ragu pada tangan itu, lalu mendongak untuk melihat Fawaz. Dengan senyum sungkan dia berkata, "Gak pa-pa Mas." Wanita itu berdiri tanpa menyambut tangan Fawaz.

Melihat hal itu, Fawaz berdeham kecil lalu menarik kembali tangannya. Sungguh, dia lupa kalau wanita di depannya berusaha tidak bersentuhan dengan laki-laki.

"Kenapa kamu tadi gak melawan?" tanya Fawaz kesal. Tadi dia berniat untuk masuk mobil, hingga kejadian barusan menghentikannya. Namun, yang membuat laki-laki itu kesal, wanita di depannya hanya diam saja diperlakukan seperti itu.

Aara mengerutkan kening, mendengar nada ketus Fawaz, "karena aku merasa wanita itu sedang panik, jadi itu yang membuatnya marah-marah."

Fawaz melongo. Tidak habis pikir dengan jawaban wanita bermata bulat di depannya, "kamu gak bisa mikir?"

Wanita cantik itu terperangah, kenapa dia yang dimarahi? "Maaf, tapi apa maksudnya Anda bertanya seperti itu."

"Sudah lah lupakan! Sepertinya aku telah mengambil keputusan yang salah dengan menolongmu." Fawaz berlaku begitu saja tanpa berpamitan.

Aara menggeleng pelan, bagaimana bisa Rosi berpikiran ingin menjodohkan dia dengan laki-laki yang suka marah seperti itu?

***

"Kak Fawaz!"

Laki-laki yang hendak menutup gerbang rumahnya itu  mendongak, mendengar panggilan dari rumah yang tepat berada di depan rumahnya. Di sana terdapat Dania—tetangga barunya—yang kini tengah berjalan ke arahnya.

"Baru pulang?" Dania yang sudah berada di depan Fawaz tersenyum lebar.

"Iya. Kamu sendiri dari mana?" Fawaz memperhatikan Dania yang masih memakai baju semi formal, gaun kuning selutut yang dilapisi blazer warna hitam.

"Iya, baru meeting dengan klien."

Fawaz mengangguk sebagai jawaban. Dia terlalu malas berbasa-basi, lelah dengan pekerjaan dan juga entah mengapa kekesalan yang disebabkan wanita berhijab lebar tadi, masih tersisa hingga sekarang. Menjadikan suasana hatinya sedikit berantakan.

Dia bersyukur tadi tidak sampai salah memeriksa pasien, meski tidak bisa bersikap ramah seperti biasanya. Kalau dipikir-pikir hal itu sama sekali bukan urusannya, lalu kenapa dia jadi kesal?

Fawaz berdecak keras, menyadari pikirannya ruwet dan tidak masuk akal.

"Mas Fawaz kenapa?" Dania merasa ada yang aneh dengan laki-laki di depannya, yang tiba-tiba saja rautnya menjadi keruh.

Fawaz tersenyum canggung, "oh ... lagi capek." dustanya.

Dua manusia itu menoleh secara bersamaan ke arah kiri, saat terdengar bunyi mesin mobil berhenti. Terlihat Dafa dan Kirana keluar dari mobil berwarna hitam tersebut.

Tidak ingin suasana hatinya bertambah buruk, akibat melihat wanita yang dicintainya bersama laki-laki lain. Bergegas Fawaz pamit pada mereka, masa bodoh lah dengan pandangan heran yang ditunjukkan padanya. Saat ini dia hanya ingin segera tidur.

"Dania baru pulang?" tanya Kirana, setelah memastikan punggung lebar Fawaz telah menghilang.

"Iya, Mbak."

"Kamu masuk, gih." Dafa tersenyum lembut pada Kirana, lalu beralih pada adiknya. "Tolong, kamu bukakan gerbang."

Dania mengangguk, lantas berjalan kembali menuju rumah mereka.

Setelah memastikan Kirana masuk dalam rumah, senyum yang sedari tadi dia perlihatkan pada Kirana langsung luntur. Masuk dalam mobil, Dafa menyandarkan kepala ke kursi. Mengusap wajah berkali-laki, laki-laki berkulit coklat itu menarik napas panjang. Berharap dengan itu bayangan wajah mantan istrinya bisa pergi.

"Sial!" Dafa memukul stir mobil. Dia marah! Karena ternyata tidak bisa membohongi diri sendiri. Aara masih begitu berpengaruh dalam hidupnya.

***

"Bunda kenapa belum tidur?" Fawaz mendudukkan diri di sebelah ibunya, yang tengah menyaksikan sinetron yang banyak sekali dibicarakan orang-orang. Bahkan rekan kerjanya, juga kerap kali membicarakan alur sinetron itu.

Baru saja mata Fawaz akan terpejam, sebuah tepukan di lengan kembali menyadarkannya. "Apaan, sih, Bun? Sakit."

"Mandi dulu sana!"

"Aku sudah mandi di rumah sakit," gerutu laki-laki berusia tiga puluh tahun itu.

"Yaudah ganti baju sana!"

Fawaz berdecak pelan karena pengusiran sang ibu.

"Eh, tunggu sebentar." Bu Laras memegang tangan Fawaz, ketika anak laki-lakinya akan beranjak.

"Kenapa lagi, sih, Bun?"

"Hei, kalau ngmong sama Bunda, kok, wajahnya ditekuk gitu? Gak ikhlas?"

Fawaz tersenyum masam. "Ada apa Bunda sayang?"

Bibir Bu Laras mencebik, mengerti jika senyum sang anak adalah hal yang terpaksa. "Kamu sayang Bunda, kan?"

Fawaz berusaha keras tidak memutar bola matanya. Sadar betul, kalau sang ibu sudah bertanya demikian, pasti ada maunya. Namun, tidak urung dia tetap menjawab, agar ibunya senang, "itu sudah jelas jawabannya, Bun. Aku sayang banget sama Bunda."

Senyum miring sang ibu, membuat Fawaz was-was. Dia harus mempersiapkan diri dengan keinginan sang ibu, yang terkadang di luar nalar.

"Aara?"

Fawaz segera bangkit, karena sang ibunya menatapnya dengan cara yang ... pokoknya itu adalah jenis tatapan yang membuat Fawaz tidak tega menolak permintaan sang ibu.

"Hei! Mau ke mana? Bunda belum selesai bicara!"

"Mau ganti baju, terus tidur. Selamat malam, Bun." Fawaz berlari menaiki tangga.

"Awas kamu, ya," gerutu Bu Laras saat sang anak sudah tidak ada lagi di jangkauan matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status