Wajah Maya langsung pucat pasi. "Itu siapa? Kamu ada janji ketemu orang lain?" tanyanya sambil celingak celinguk untuk mencari tempat persembunyian.
"Kenapa kamu harus panik? Kamu bisa diam aja di sini, biar aku liat siapa yang datang, aku sih nggak ada janji sama siapa-siapa selain kamu." Bhara menyahut singkat.
"Kalau ada orang liat aku di rumah kamu ...." Maya mendesis cemas.
"Jangan berlebihan, artis baru. Udah tenang aja di sini, aku keluar sebentar."
Maya menurut, dia menanti dengan tenang di dalam kamar Bhara, sedang Bhara mengecek monitor untuk melihat siapa yang datang.
Tak ada siapa-siapa di monitor. Bhara hendak kembali ke kamar tapi bel berbunyi lagi. "Sial! Mau main-main, ya?!" gerutunya sembari berjalan cepat ke pagar untuk melihat langsung siapa yang sedang mengerjai dirinya.
Begitu pagar tinggi dia buka, sebuah pukulan telak menghantam pipi Bhara sampai dia terjungkal ke belakang. "Brengsek!" pekiknya yang bahkan belum siap s
"Kenapa kamu bengong di situ?" hardik Bhara tanpa melihat lurus ke arah Alisa yang sejak tadi dia perhatikan dari ekor matanya sedang berdiri di ambang pintu.Alisa mendekat sambil menggosok kedua tangan di depan rok kerjanya. Bhara berpaling sebentar dari monitor laptopnya."Saya mau mengajukan cuti, Pak."Tangan Bhara berhenti mengetik untuk fokus mendengar permintaan Alisa. "Cuti apa?""Iya ... sepupu saya nikah di kampung minggu depan. Saya mau pakai cuti tahunan buat itu. Kebetulan jadwal Bapak juga nggak sibuk minggu depan makanya saya pikir sesuai." Alisa menjelaskan dengan gugup."Saya nggak diundang?" Bhara menopang dagu, memasang wajah menggemaskan."Emang Bapak mau datang?""Nggak boleh? Ada larangan pacar kamu nggak boleh datang?"Kalau saat ini Alisa tengah makan, sudah pasti seluruh makanan di mulutnya tersembur keluar dan tersedak. "Bapak ngomong apa sih? Kita kan bukan--""Santai aja, kali," potong Bhara.
"Silakan dimakan, Nak Bhara ... tambah lagi tuh nasinya," ujar tante Alisa ketika mereka makan malam bersama.Para laki-laki dewasa di rumah itu sudah sejak tadi makan lalu pergi ke kedai untuk bermain catur, sedang anak-anak tengah asyik menonton TV di ruang depan. Sejak pagi, baru sekarang rumah keluarga Alisa terlihat agak tenang.
"Siapa dia?" tanya Maya saat dilihatnya Luna, ekspresinya terlihat seperti orang terancam."Dia bakal mulai tinggal di sini mulai sekarang. Nanti aku ceritakan. Kamu mau ngomong, kan? Ayo." Bhara mengajak Maya untuk ikut bersamanya. "Luna, kamu makan aja apa yang ada, ya. Jangan sungkan. Itu kamar kamu di atas, sebelah kanan, nanti sisa koper Om bawain."
Luna melirik agak sinis ketika dia lihat Maya datang kembali, tapi kali ini dengan barang-barang serta beberapa koper.
Tali gaun biru yang dikenakan Alisa beberapa kali jatuh ke lengannya, dengan muka kecut dan malu, beberapa kali pula tangannya memperbaiki. Dasar gaun murahan! Bisa tenang dikit nggak sih?! Jangan bikin malu! pekiknya dalam hati.Damar yang duduk santai di hadapannya mencoba bersikap seolah tidak tahu apa-apa, takut malah membuat Alisa risih bila dia ungkit soal pakaiannya.
"Semalam kenapa tanya aku ada di mana?"
Seorang pria tinggi bermata sipit dan berkulit putih pucat berdiri di belakang Maya dengan kedua tangan berada di dalam saku mantel hitam yang dia kenakan.
Kedua kelopak mata Maya perlahan terbuka akibat sengatan sinar mentari yang masuk dan memendar tepat di wajah teduhnya. Masih belum sepenuhnya sadar, Maya mengucek mata lalu mengedarkan pandangan setengah buramnya ke sekeliling.Semua terlihat asing, tidak seperti kamar hotel yang dia singgahi. Maya langsung panik begitu di sadar bahwa tubuhnya hanya ditutup selimut yang tak begitu tebal. Jantungnya berdegup ganjil tatkala pandangannya jatuh ke pakaian yang berserakan di atas lantai. Otaknya berputar menyusun segala kemungkinan yang telah menimpa dirinya.Wajahnya makin memucat ketika telinganya akhirnya menangkap suara guyuran air dari toilet.Siapa itu? Aku di mana? Ada yang mandi, tapi ... siapa?