Langkah Luna yang semula cepat perlahan melambat lantaran disergap rasa ragu tiba-tiba ketika Alex menuntunnya masuk menuju sebuah lorong yang tampak gelap dari luar, akan tetapi terlihat bias-bias lampu neon berwarna merah terang dari dalam lorong mencurigakan itu.
"Berhenti di sini!" seru Maya yang langsung dituruti oleh Bhara.
"Siapa?"Hati Bhara berdesir lega, beberapa hari ini t
Terbilang mujur nasib Bhara, kehadiran Alisa lekas memulihkan kembali suasana hati Luna. Dua gadis itu kerap pergi bersama, nonton film atau berbelanja. Alisa selalu ada menjadi teman bicara bagi Luna, dalam tiga hari, dia sudah mau kembali ke sekolah, dan Bhara bisa kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Aku udah bilang kan, Bhar ... dia itu yang membantu aku dan bawa aku ke sini," terang Maya. Benar pikirnya, Bhara bahkan jauh lebih posesif ketimbang Dev.
"Mbok Aya mau masak makan malam?" tanya Maya sambil menghampiri.
Maya yang baru keluar dari kamar mandi berhenti mengeringkan rambutnya yang masih basah lantaran matanya jatuh pada sebuah kotak misterius yang ada di atas tempat tidur. Kotak merah muda itu dihiasi pita ungu. "Kotak apa ini?" lirihnya pelan.
"Ngapain kamu ada di sini?" Suara mama Maya sontak mencuri perhatian orang-orang yang semeja dengan mereka. Lirikannya tajam dan sinis mengarah kepada Bhara yang kikuk, bingung harus ikut bicara atau tidak.Cepat-cepat Maya berdiri dan menggandeng lengan ibunya, "Ma ... kita ngobrol di luar dulu, yuk. Malu di sini jangan ngomong kenceng-kenceng," bisiknya membujuk.Mama Maya menuruti permintaan puterinya, mereka keluar dariballroom, Bhara diam-diam menyusul tapi cuma berani memandang dari jarak dua meter."Itu Bhara yang dulu, kan? Anak miskin di kampus kamu yang dulu itu? Kamu masih berhubungan sama dia?" Sang Mama bertanya tanpa basa-basi.
Selama perjalanan di mobil menuju rumah, baik Bhara maupun Maya tak ada yang berinisiatif untuk membuka mulut lebih dulu, keduanya kompak membisu walau ribuan kata saling adu jotos di kepala mereka masing-masing.