Tak semudah yang dipikirkan Bhara, ternyata setelah kepergian Maya dari hidupnya pun, tak lantas membuat hatinya tenang, dia masih uring-uringan berkepanjangan. Apa yang dikatakan Maya pagi itu di Korea terus mengusik hati dan pikirannya. Nuraninya serasa telah mati.
"Apa sih mau Bapak?!"Tanpa tedeng aling-aling, Bhara
Maya tengah menyesap pelan cappucino hangat ketika seorang pria berjaket kulit duduk di hadapannya. Pandangan Maya yang semula terlempar ke luar kaca jendela kafe beralih kepada pria bertubuh sedang itu.
Langkah Luna yang semula cepat perlahan melambat lantaran disergap rasa ragu tiba-tiba ketika Alex menuntunnya masuk menuju sebuah lorong yang tampak gelap dari luar, akan tetapi terlihat bias-bias lampu neon berwarna merah terang dari dalam lorong mencurigakan itu.
"Berhenti di sini!" seru Maya yang langsung dituruti oleh Bhara.
"Siapa?"Hati Bhara berdesir lega, beberapa hari ini t
Terbilang mujur nasib Bhara, kehadiran Alisa lekas memulihkan kembali suasana hati Luna. Dua gadis itu kerap pergi bersama, nonton film atau berbelanja. Alisa selalu ada menjadi teman bicara bagi Luna, dalam tiga hari, dia sudah mau kembali ke sekolah, dan Bhara bisa kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Aku udah bilang kan, Bhar ... dia itu yang membantu aku dan bawa aku ke sini," terang Maya. Benar pikirnya, Bhara bahkan jauh lebih posesif ketimbang Dev.
"Mbok Aya mau masak makan malam?" tanya Maya sambil menghampiri.