Di sebuah rumah sederhana dengan desain kuno, Luna tampak sedih menatap ibunya yang terbaring lemah di tempat tidur.
“Ibu harus banyak istirahat, kata dokter obatnya harus habis,” ucap Luna khawatir.
“Iya, Lun,” sahut ibunya lemah. “Apa kamu izin tidak masuk kerja?”
“Aku sudah resign Bu…”
“Kenapa?” wanita renta itu bertanya sambil terbatuk-batuk.
“Perusahaan tidak menginginkan suami istri ada dalam satu perusahaan, jadi Luna yang mengalah keluar. Ibu tak usah khawatir, aku tetap akan membantu biaya pengobatan ibu,” jelas Luna sambil tersenyum, menutupi kegelisahannya mengenai biaya pengobatan ibunya.
“Syukurlah, jadi kamu bisa lebih fokus menemani Mora di rumah,” jawab sang ibu.
Luna mengangguk, lalu keluar kamar.
“Aku mendengar percakapan Mbak Luna dengan ibu. Sayang sekali harus keluar,” ucap Alif, adik Luna.
“Ini bukan keinginanku, Lif. Kalau perusahaan tidak menginginkan keberadaanku, apa yang bisa aku perbuat?”
Alif mendengus. “Lalu bagaimana dengan biaya kuliahku Mbak? Apa Mas Imran mau membiayai kuliahku?”
Luna menggigit bibir. “Aku akan pikirkan jalan keluarnya,” katanya. “Sementara, apa kamu bisa cari kerja paruh waktu? Dulu Mbak waktu kuliah juga begitu—”
“Tuh ‘kan ujung-ujungnya malah menyuruhku kerja!” sela Alif kesal. Pria muda itu cemberut sambil menghempaskan tubuhnya di kursi.
“Mbak harus memprioritaskan pengobatan ibu, Lif. Sebelum mendapatkan pekerjaan baru, Mbak akan menyisihkan uang belanja dari Mas Imran untuk pengobatan ibu.”
“Alif nggak mau tahu, pokoknya uang kuliah dan saku harus Mbak Luna yang pikirkan!” ujar pemuda itu.
Luna berusaha menahan amarahnya. “Aku akan usahakan mendapatkan pekerjaan.”
Luna lantas bangkit dari duduknya meraih tasnya yang tergeletak di meja, lalu berpamitan pada sang ibu di kamar.
“Luna pulang dulu, Bu.” Luna meraih tangan sang ibu dan menciumnya.
“Lun… jangan paksa Alif bekerja. Bicaralah pada Imran supaya mau membiayai kuliah Alif sampai selesai… Anggap saja berhutang. Kelak jika Alif sudah bekerja, semua kebaikan Imran pasti dibalasnya,” pesan wanita renta itu penuh kecemasan.
Luna tidak mengatakan apapun. Ia terlalu lelah untuk berdebat.
“Seandainya Mas Darwin masih hidup, tentulah Alif tidak kesulitan dengan biaya kuliahnya.”
Luna tampak tidak senang ketika ibunya menyebut nama ayah tirinya itu. “Sudah jangan sebut pria itu lagi.”
“Kamu masih saja membencinya. Bahkan ketika dia sudah meninggal, kamu belum menerimanya sebagai ayah,” kata ibunya sedih.
“Pria itu meninggalkan anak dan istrinya demi ibu. Luna tidak suka pria itu, Bu,” kata Luna pelan.
“Luna, ingat yang membiayai uang kuliah dan makanmu sehari-hari adalah Mas Darwin. Suka tidak suka pria itu bertanggung jawab pada kehidupan kita.”
“Sudahlah, Bu, jangan bahas ini lagi,” kata Luna.
Ia masih ingat jelas saat istri Pak Darwin datang ke rumah mereka. Wanita itu mengutuk jika ia akan mengalami nasib serupa dengannya. Luna takut karma itu benar-benar akan menimpa dirinya dan Mora.
Hari sudah gelap saat Luna tiba di rumah. Ternyata Mbok Sumi masih menunggunya karena Imran belum pulang.
Setelah berbincang singkat, wanita paruh baya itu langsung pamit begitu Luna mengizinkannya.
Luna berjalan mendekati Mora yang sedang menyantap makan malamnya.
“Ma, tadi Papa telepon Mora, katanya hari ini lembur.”
Luna mengernyit heran. “Kenapa Papa tidak menghubungi Mama?”
“Nggak tahu, Ma,“ jawab Mora dengan polosnya.
Luna lantas berjalan menjauh dari Mora dan menghubungi Imran. “Halo, Mas. Hari ini Mas lembur?” tanyanya memastikan.
Suara Imran terdengar berat di seberang sana. “Iya, Lun, lebih baik kamu tidur duluan, nggak usah tunggu aku,” jawab suaminya itu.
“Oke…,” jawab Luna.
Wanita itu lantas menutup ponselnya. Luna teringat akan gelang yang ditemukan Mbok Sum, yang katanya akan dihadiahkan untuk ulang tahunnya.
“Ulang tahunku kurang beberapa hari lagi, tapi gelang itu … bukan ukuran tanganku,” gumam Luna.
Ia menghela napas panjang. Entah mengapa, Luna merasa ada yang disembunyikan darinya.
**
Keesokan harinya, Luna bangun lebih dulu. Ia duduk di tepi kasur, menunggu Imran yang baru bergerak dari tidurnya.
Pria itu tampak meregangkan otot yang kaku sambil menggeram pelan. Ia terlihat lelah.
“Tampaknya kamu capek sekali Mas, tadi malam ke mana?” tanya Luna.
“Aku lembur. Aku kan sudah bilang,” sahut Imran dengan suara serak khas bangun tidur.
Sepasang mata Luna memicing. ”Aku sudah lama bekerja di WR Company, dan yang aku tahu tidak ada karyawan bagian manapun yang lembur sampai jam satu dini hari,” timpalnya.
Imran menggaruk kepalanya. “Kamu benar, aku lembur sampai jam delapan malam, lalu sisanya aku nongkrong bersama teman-teman SMA-ku,” jawabnya lalu beranjak menuju kamar mandi.
Lagi-lagi, Luna hanya bisa menghela napas melihat sikap suaminya yang kelewat santai, tapi ia juga tidak punya tenaga untuk berdebat.
Hanya saja, Luna tidak dapat menampik perasaan aneh melihat Imran akhir-akhir ini. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia tidak tahu apa.
Mobil jeep Omar menuju kediamannya, setelah beberapa menit ia sampai di pintu pagar, Omar turun dari mobilnya dan berjalan ke pintu depan, ia membuka pintu lalu setelah terbuka Omar masuk, suasana rumah sepi, pembantu paruh waktu telah pulang, dan Dewi yang biasanya menyambut tidak ada, Omar merebahkan di sofa dan mengedarkan matanya menelusuri ruangan, berharap semua adalah mimpi dan Dewi masih menyambut kedatangannya, tapi tiba-tiba ia terfokus pada sebuah kunci almari yang tergeletak di lantai ruang tengah, perlahan Omar, bangkit dan mendekati kunci lalu meraihnya dari lantai.“Ini adalah kunci almari, kenapa ada di sini, apa ada pencuri masuk,” gumam Omar lalu bergegas masuk ke kamar dan memeriksanya almarinya, tidak ada hal mencurigakan, semuanya masih rapi, barang berharga berupa surat-surat penting masih ada juga perhiasan masih ada.“Ah…mungkin aku lupa menjatuhkan ini, “ gumam Omar.Omar menyimpan kunci kembali, lalu ke dapur untuk membuat makan malam sederhana.Sebuah ket
“Benar, kamu bisa melakukannya, jangan sampai orang lain tahu, ini adalah rahasia kita berdua,” Luna menyakinkan Mora.“Baik Mah, Mora akan berhati-hati, pasti bisa,”“Oke, kalau begitu lakukan akhir pekan ini, kamu harus menginap di rumah Papah,” suruh Luna.“Oke,” jawab Mora dengan yakin.Luna tersenyum, putri kecilnya sudah bisa diandalkan saat ini. Lalu Luna berpamitan pergi ke kantor.Sesampainya di kantor, Luna terlihat heran, karena ia tak mendapati Omar berada di kantor.Staf bilang jika Omar izin tidak datang ke kantor untuk beberapa hari ke depan.Dan itu membuat Luna sedih. Masalahnya semakin rumit, disisi lain Dewi terus mendesaknya sementara disisi lain ia takut terjadi hubungan emosional antara dirinya dan Omar.Dengan wajah lesu, Luna berjalan ke meja kerjanya, sampai disana ia terkejut karena Dewi duduk di kursi kerjanya begitu melihat Luna, wanita berpenampi
Setelah mendengarkan penjelasan, dan menyimpan berkas itu, Rosa pergi , ia mengendarai mobilnya menuju Yayasan Bahagia, dimana Basuki bekerja disana.Wajah Rosa tegang dan terlihat sangat kesal, begitu sampai ia langsung menuju ruang kerja Basuki.Pintu ruang dibuka kasar dan ditutup keras, Basuki yang melihat itu sempat meradang, tapi ia tahu jika putriya sedang marah.“Rosa sayang, ada apa, kenapa kamu marah?” Basuki mendekati sang putri.“Papah, kenapa Papah jahat sekali, kenapa Papah mengkhianati Mamah, bermain gila dengan Agnes!”“Rosa itu tidak benar,” bantah tegas Basuki.“Ini adalah berkas test DNA milik Papah dan Erik, hasilnya menyatakan jika kalian memiliki hubungan darah, ini adalah bukti nyata.” Rosa menangis.Seketika Basuki memeluk putrinya dan meraih kertas itu.“Maafkan Papah, jangan bilang Mamah, Papah akan mengakhiri hubungan ini, Papah janji, Rosa, jangan
Omar menatap kosong lahan yang akan dibangun apartemen, matanya tertuju pada proyek tapi pikirannya hanya ada Luna.Omar pun meninggalkan proyek tanpa berpamitan pada staf termasuk Luna, dan itu membuat Luna semakin serba salah.“Pak Omar pergi, tanpa berpamitan, apa menurutmu ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ina pada Luna.“Aku harap semua baik-baik saja.” Luna menarik napas panjang lalu melanjutkan ucapannya.”Bu Ina ada sesuatu yang terjadi antara kami.” Luna berkata dengan pelan dan hati-hati.“Lun…jangan bilang kalian ada hubungan gelap, ingat Pak Omar pria beristri,” cerca Ina.“Aku tahu Bu Ina, tapi Dewi, istri Pak Omar yang tak lain adalah sahabatku, menjodohkan kami.”“Apa…jadi istrinya pak Omar menjodohkan kalian, maksudmu kamu dijadikan madunya begitu?”“Dewi, mandul, ia berharap Pak Omar memiliki keturunan, oleh karena itu memintaku untuk menjadi istri kedua Pak Omar, tentu aku menolaknya, tapi Dewi memiliki rencana lain, Dewi, menginginkan rahimku, untuk sel telurnya dan
Dewi kembali menatap gambar Luna di layar ponselnya.“Kamu harus bersedia menikah dengan Omar, lalu melakukan bayi tabung, benihku dan Omar, setelah kamu melahirkan bayi, kamu akan memenuhi kebutuhan biologis Omar,“ gumam Dewi dengan derai air mata.Tidak ada wanita yang bersedia di madu tapi dalam kasus ini, Dewi dengan suka rela membiarkan Omar menikah lagi demi kebahagian pria yang dicintainya, dan demi mendapatkan keturunan.***Sementara itu di tempat lain, Rosa dengan pelan masuk ke kamar orang tuanya, rumah dalam keadaan sepi, lalu gadis itu mengambil sikat gigi tapi ia bingung.“Yang mana sikat gigi Papah?” Rosa mengaruk kepalanya yang tak gatal itu seraya menatap dua sikat gigi di depannya.Rosa lalu beralih menuju meja rias di sudut kamar disana memang ada helaian rambut, tapi Rosa juga kembali bingung rambut mana milik Basuki.“Apa aku harus mencabut langsung rambut papah, aah tidak
Kedua pasang suami istri itu pun berjalan masuk ke dalam rumah dan menuju kamar. Omar berupaya mengalihkan perhatian pada Dewi, karena akhir-akhir ini bayangan wajah Luna selalu memenuhi kepalanya, perlahan diraihnya pinggang Dewi dan dipelukanya erat, ciuman mesra mendarat di bibir wanita yang sudah bersamanya 5 tahun ini. Pelukan hangat mereka beralih ke tempat tidur. Ini hubungan intim yang Dewi dan Omar lakukan setelah Dewi menjalani operasi pengangkatan rahim, dan Omar merasakan perbedaan, Dewi juga merasakan gairahnya menurun dalam berhubungan intim, bahkan tidak bisa merasakan nikmatnya bercinta rasanya hambar.Dewi hanya menahan rasa perih di area sensitifnya lalu ia meminta Omar menyudahi permainannya. Omar kecewa, ini pertama kali dalam pernikahannya ia merasa kecewa dalam berhubungan intim, tapi Omar mencoba tersenyum dan dan bersikap biasa dihadapan Dewi.“Maaf, jika kamu belum sehat, kita lakukan lain kali,” ucap Omar.“Maaf Omar, aku membuatmu kecewa, ada hal besar yang