Share

Bersedekah Waktu

El memandangi langit-langit kamarnya. Saat matanya hendak terpejam, suara ponsel terdengar dan mengurungkan niatnya. Dengan malas El meraih ponselnya. Melihat siapa yang menghubunginya malam-malam.

“Hai Al ... “ sapanya saat mengangkat sambungan telepon.

“Kapan kamu pulang?” Suara datar yang mengandung seribu perhatian.

“Apa kamu merindukan aku?” goda El.

“Cih ... siapa yang merindukanmu.”

El langsung tertawa. Walaupun kakak sepupunya itu tidak mengatakan rindu, tetapi dia tahu jika sebenarnya ada kerinduan terselip, karena jika tidak, tidak mungkin pria dingin itu mau menghubungi.

“Lalu untuk apa kamu menghubungi?”

“Mommy menyuruh menanyakan.”

El tahu mommy siapa yang dimaksud oleh Al. Siapa lagi jika bukan Mommy Selly. Kakak dari daddy-nya itu memang sudah seperti ibunya sendiri. “Sampaikan pada mommy untuk menyambutku lusa.”

“Baiklah, kami akan menunggumu. Sampai berjumpa di sini."

“Iya, sampai jumpa.” El mematikan sambungan telepon dan meletakan ponselnya di nakas.

Mata yang tadi ingin terpejam, kini justru terjaga. Memandangi langit-langit kamar, El mengingat jika dua tahun lalu dia memutuskan untuk menerima pekerjaan dari temannya.

Temannya itu sama dengannya berdarah Inggris-Indonesia. Namun, bedanya dia menetap di Inggris. Temannya itu ingin membangun perusahaan properti dan El memutuskan untuk membantu. Selama dua tahun, mereka sudah bisa membangun perumahan hingga apartemen. Pencapaian yang luar biasa untuk sebuah perusahaan baru.

Kini dia akan kembali ke tanah air. Membangun perusahaannya sendiri seperti impiannya. Pria lulusan bisnis dan manajemen Universitas Oxford itu sudah merencanakan dengan matang apa yang akan dilakukannya sampai di tanah air.

Sesuai dengan rencananya kemarin, pagi ini El dan Freya pergi ke kantor El. Freya memilih untuk menunggu di lobi saat El mengambil beberapa barangnya.

El berpamitan pada karyawan dan terutama temannya. Baginya dua tahun bekerja sama begitu luar biasa. Banyak hal yang begitu penuh tantangan yang dialami El dan temannya.

Dengan membawa box di tangannya, El menuju ke lobi. Di sana sudah ada gadis manis yang menunggunya.

“Butuh bantuan?” tanya Freya.

“Jika wanita terlalu banyak membantu, aku rasa para pria akan sangat senang. Namun, sayangnya para pria yang kuat tidak akan menyusahkan wanita.”

Freya memutar bola mata malas. Entah kalimat dari mana yang didapat El. “Itu semacam penolakan dengan sedikit rayuan,” ledek Freya.

“Apa kamu tergoda?” tanya El tersenyum.

“Tidak,” jawab Freya dengan pasti.

El hanya tersenyum. Jawaban seperti itu sudah menjadi hal biasa yang diterima El, tetapi tak pernah dia permasalahkan.

Entah sejak kapan perasaan nyamannya pada Freya itu timbul. Kadang terlintas di pikiran El jika rasa yang ada di dalam hatinya itu bukan hanya sekedar rasa cinta biasa. Bertambahnya usia mereka, kini El tak memandang Freya sebagai adik lagi, tetapi sebagai seorang gadis cantik. Namun, sekuat tenaga El menepisnya. Tak mau merusak persahabatannya.

“Jangan memandangi aku seperti itu, kamu seolah terpesona padaku,” ledek Freya.

“Jika iya, apa yang kamu lakukan?”

Freya salah tingkah dengan jawaban El yang tampak serius. Biasanya El berbicara dengan nada bercanda. “Sudah ayo, banyak yang harus kita kerjakan.” Tak mau berlama-lama akhirnya Freya dan El kembali ke rumah. Mereka harus segera merapikan barang-barang mereka sebelum nanti malam, melakukan penerbangan ke Indonesia.

El mengangguk, menuruti keinginan Freya untuk pulang.

Menuju ke rumah, mereka menaiki bus. Bus Double Daker yang terkenal dari Inggris itu menjadi salah satu alternatif penduduk untuk transportasi harian. El mempersilakan Freya untuk duduk di dekat jendela, hal yang selalu dia suka, karena memandangi bangunan yang dilewati sepanjang jalan adalah hal yang begitu mengasyikkan.

Untuk mencapai rumah, mereka harus berjalan kaki terlebih dahulu. Sepanjang jalan, mata dimanjakan dengan rumah-rumah dengan dinding bata dengan dua lantai. Setiap rumah memiliki cerobong asap yang akan mereka gunakan saat musim dingin. Beberapa pepohonan di depan rumah membuat rumah begitu asri.

“Aku mau punya rumah seperti di sini,” ucap Freya.

Kalimat itu sudah sering El dengar. Freya memang menyukai hal berbau asri. Menurutnya rumah harus ada banyak pohon. Selain untuk menciptakan oksigen, rumah menjadi sangat nyaman.

“Tapi sayangnya tidak ada di Ibu kota.” Freya menambahi keluhannya tentang rumah di perkotaan yang memang jarang sekali ada pepohonan.

“Memang harus menepi dari Ibu kota. Karena di Ibu kota sudah tak ada lahan lagi.” Kota metropolitan memang sudah sangat padat dengan kantor dan gedung-gedung tinggi. Alih-alih menawarkan perumahan dengan pepohonan, lebih banyak apartemen yang ditawarkan untuk kepraktisan.

“Iya, kamu benar.”

Tak terasa, langkah mereka akhirnya sampai di rumah. Sejenak mereka mengistirahatkan kaki yang begitu lelah sebelum kembali mengecek barang-barang yang akan mereka bawa.

Tak membuang waktu, El dan Freya menyelesaikan beberapa barang yang mereka bawa. Mengumpulkannya di ruang tengah agar mudah untuk dibawa. Asisten rumah tangga yang selama ini tinggal di rumah, membantu El dan Freya.

“Ada lagi?” tanya El pada Freya.

“Tidak, hanya ini saja.” Freya memandangi koper miliknya yang berjumlah tiga koper dan milik El dua koper. Dia berpikir ternyata barang-barang miliknya itu masih sangat banyak. Padahal beberapa sudah dia kirim ke Indonesia bulan lalu.

“Mau menikmati teh sebelum pulang?” tanya El dan mendapatkan anggukan dari Freya.

Di taman belakang, mereka berdua menikmati secangkir teh sambil melihat bunga-bunga yang bermekaran di taman belakang. Menyesap secangkir teh membuat tubuh berelaksasi dengan baik.

“Terima kasih,” ucap Freya seraya meletakan cangkir yang baru saja dia minum.

El yang sedang menempelkan cangkir ke bibirnya, menghentikan gerakannya ketika mendengar ucapan Freya. Mata birunya langsung menatap Freya. “Terima kasih untuk apa?”

“Karena menemaniku di sini.”

“Apa kamu lupa aku bekerja di sini, bukan menemanimu?” ledek El.

“Iya, tetapi secara tidak langsung kamu menemani aku.” Freya menyadari jika tidak ada El di kota London ini, mungkin dia akan sendiri. Walaupun mungkin perjalanan kuliahnya sisa dua tahun, dengan kesendirian pasti akan sangat membosankan.

“Anggap saja aku bersedekah waktu padamu.” El masih dengan mode tertawa.

Freya langsung melempar bantal yang berada di punggungnya. El selalu saja tidak bisa serius dan itu sangat menyebalkan. Tawa El justru menular pada Freya. Membuat dua insan itu saling membalas tawa. Namun, sejenak mereka menghentikan aksi mereka. Melanjutkan menikmati sore dengan secangkir teh.

Di balik cangkir yang sedang disesapnya, El memandangi Freya. Dua tahun lalu di saat yang tepat, El mendapati tawaran pekerjaan. Padahal seharusnya dia pulang bersama Al dan meninggalkan Freya sendiri. Mungkin begitulah takdir, datang di saat yang tepat. Sambil bekerja, El bisa menjaga Freya. Menemani gadis itu yang masih melanjutkan kuliahnya.

Malam hari, Freya menarik kopernya meninggalkan rumah yang sudah empat tahun ditinggalinya. Banyak hal yang sudah dilalui di rumah ini.

Menyusul El dan Al untuk kuliah, dia mengingat bagaimana di merengek untuk kuliah di London pada papanya. Menurut papanya lebih baik dia kuliah di Jakarta saja karena banyak universitas yang bagus yang bisa menjadi pilihan.

Namun, Freya yang selalu mendapatkan cerita dari El tentang bagaimana London membuatnya begitu jatuh cinta.

Benar saja, saat dia tinggal, dia dibuat jatuh cinta dengan jatuh cinta. Akan tetapi, kini dia harus segera kembali untuk bertemu dengan mama, papa dan adiknya. Meneruskan bisnis yang kakeknya berikan.

“Ayo,” ajak El.

Mereka masuk ke dalam mobil yang mengantarkan ke Bandara. Sepanjang jalan, Freya masih memandangi jalanan yang dilalui, sedangkan El sibuk dengan ponselnya. Sedari tadi adiknya mengiriminya pesan, jadi dia menjawab pesan tersebut, padahal di Indonesia sudah jam dua belas malam.

Pesawat lepas landas di jam tujuh malam waktu London. Diperkirakan perjalanan akan memakan waktu enam belas jam. El dan Freya menikmati waktu selama perjalanan.

“Apa yang akan kamu lakukan sesampainya di Indonesia?” tanya El pada Freya.

“Bekerja di perusahaan kakek.”

“Jadi kamu akhirnya menerima?” tanya El. Dia tahu pasti jika hubungan antara papa Freya dengan kakeknya tidak baik. Papa Felix sengaja tidak mau menjadi CEO di Julian Company. Alih-alih menjadi CEO, dia justru masih setia bekerja di Adion Company.

“Mama membujuk papa untuk mengizinkan aku. Lagi pula hanya anak papa yang bisa mengurus perusahaan itu.”

El mengangguk-anggukan kepalanya. Dia berpikir tidak mungkin adik Freya yang melanjutkan, mengingat adiknya itu melanjutkan usaha bakery sang nenek.

“Lalu kamu?” tanya Freya.

“Membangun perusahaan baru.”

“Kamu tidak mau melanjutkan usaha Daddy Bryan?”

“Tidak, aku akan buat perusahaan sendiri.”

Freya mengangguk. Dia sangat tahu keahlian El memang tidak perlu diragukan lagi. Pengalaman El bekerja pada temannya sudah bisa membuat El membangun perusahaannya sendiri.

Perjalanan dilalui oleh El dan Freya dengan bercerita rencana-rencana yang akan mereka lakukan nanti.

Tak terasa enam belas jam berlalu. Pesawat mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional. Waktu menunjukan jam tiga sore saat El dan Freya datang.

Perubahan cuaca yang drastis membuat tubuh harus menyesuaikan. Terbiasa dengan udara dingin London, mereka harus merasakan panasnya Ibu kota.

Dibantu oleh porter, mereka keluar dari Bandara. Sepanjang jalan, mereka mencari keluarga yang menjemput. Namun, sayangnya mereka tidak menemukan siapa-siapa.

“Apa mereka lupa kita pulang?” tanya Freya pada El.

El mengedikkan bahunya. Tidak tahu harus berkata apa. Seingatnya dia sudah mengatakan pada keluarganya, terutama adik perempuannya.

Tak mau menunggu lama, akhirnya El menghubungi mommy-nya. Karena jika tidak ada yang menjemput, dia akan memilih menaiki taxi saja.

“Halo, Mom, kalian di mana?” tanya El.

“Di rumah.”

“Di rumah? Apa mommy tidak menjemputku?”

“Bukannya kamu sampai di Bandara jam tujuh?”

El menepuk dahinya karena ternyata mommy-nya mengira jika pesawat mendarat jam tujuh.

“Kata Ghea kalian sampai jam tujuh malam.”

El benar-benar merutuki kebodohan adiknya. Semalam dia membahas jika dia berangkat jam tujuh malam, tetapi tampaknya adiknya itu salah tangkap dan mengira dia dan Freya sampai jam tujuh.

“Aku sudah di Bandara, Mom.”

“Astaga, Sayang. Kamu sudah sampai.” Shea tampak panik mendengar ucapan El.“Bagaimana Ghea ini, salah memberitahu?”

“Sudahlah, aku dan Freya akan naik taxi saja.”

“Tunggulah saja, Mommy akan ke sana.” Shea udah panik mendengar anaknya akan naik taxi.

“Sudahlah, Mom. Kami akan naik taxi saja. Kita bertemu di rumah saja.”

“Tapi—“

“Sudah, Mom. Aku akan segera pulang.” El buru-buru mematikan sambungan telepon agar tak berlama-lama di Bandara.

“Kenapa?” tanya Freya.

“Mereka mengira jika kita sampai jam tujuh malam.” El tampak kesal karena ternyata tak ada satu orang pun yang menjemputnya.

“Tapi jika mommy dan daddy salah, bukannya harusnya papa dan mama tidak salah.” Seingat Freya, dia sudah mengatakan jika jam tiga sore sudah tiba Bandara, tetapi tak tampak juga mereka.

Akhirnya, El dan Freya memilih untuk menaiki taxi saja. Tak mau berlama-lama di Bandara. El mencari taxi, tetapi saat ingin menghentikan taxi, dia melihat sebuah mobil berhenti di depannya.

“Kejutan ... “ ucap Ghea saat membuka kaca mobil. Dia yang duduk di kursi belakang memasang wajah polosnya.

El malas sekali saat tahu ternyata sedang dikerjai.

“Sayang ....” Shea langsung keluar saat melihat anaknya. Satu pelukan dia berikan pada El yang masih berdiri kesal.

Perasaan kesal yang dirasakan El, seketika menghilang setelah dapat pelukan hangat dari mommy-nya. Pelukan itu tetap sama dari dulu, selalu memberikan ketenangan layaknya teh yang biasa dia minum di sore hari.

Tangan El mendekap kembali tubuh ibunya. Rasa rindunya memang teramat sangat besar. Dua tahun ini, dia memang tidak pulang. Cuti kuliahnya dia pakai untuk pergi berjalan-jalan dengan Freya.

“Mommy rindu.” Air mata Shea mengalir saat memeluk putranya. Tubuh kecil yang dulu berada di dalam dekapannya sekarang menjadi sangat besar, hingga membuat tangannya tak muat lagi.

“Mom, jangan menangis, aku paling tidak suka.” El melepaskan pelukannya dan menatap wajah mommy-nya. Wajah cantik yang sekarang dihiasi guratan kecil, menandakan jika dia sudah mulai menua.

“Iya, Mommy tidak akan menangis.” Shea menghapus air matanya.

“Kakak ....” Ghea turun dari mobil dan memeluk kakaknya. Gadis dua puluh satu tahun itu sangat merindukan kakaknya.

El balas memeluk Ghea. Rindu dengan adiknya yang super iseng. “Ini idemu bukan?” tanyanya mengeratkan pelukan karena gemas.

“Siapa lagi jika bukan aku.” Ghea tertawa puas, mengerjai kakaknya.

Shea yang melihat Freya langsung menghampiri. “Halo anak Mommy.” Satu pelukan dia berikan pada Freya.

“Halo, Mommy Sayang.”

“Apa mama dan papa datang?” tanyanya ragu-ragu.

Shea melepas pelukannya dan melihat ke arah mobil datang, tetapi tidak tampak temannya itu datang. “Sepertinya mereka terjebak kemacetan.”

Freya mengangguk dan menunggu.

Di saat Freya sedang menunggu papa dan mamanya. Bryan turun menghampiri anaknya. “Hai, Boy.”

“Dad ....” El memeluk Bryan. Orang yang dirindukannya setelah mommy-nya adalah daddy-nya.

“Tubuhmu sepertinya tambah kekar saja.” Bryan tertawa melihat anaknya yang makin hari makin seperti binaragawan.

“Aku tidak mau kurus seperti Daddy.”

“Jangan salah, kurus-kurus begini Daddy masih bisa beberapa ronde.”

“Sayang ... “ panggil Shea. Pipi wanita paru baya itu memerah malu.

“Anak kita sudah besar, Sayang. Lambat laun dia juga akan mengerti.”

“Tetap saja tidak bisa begitu.”

“Bisa.” Bryan masih keyakinannya.

El menggeleng melihat perdebatan kecil antara kedua orang tuanya. Dia pikir setelah bertahun-tahun, mereka akan berhenti. “Apa mereka masih tetap seperti itu?” bisiknya bertanya pada Ghea.

“Itu tanda cinta.”

El membulatkan matanya, mendengar adiknya membahas cinta. “Tahu apa kamu cinta?” tanyanya.

“Cinta itu sesuatu perasaan di dalam hati yang perlu diungkapkan.”

“Cih ....” El tak menyangka adiknya sudah mengerti cinta. “Kuliah yang benar!” Tangan El menyentil dahi adiknya.

“Aku sudah benar kuliah,” jawabnya polos.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status