Share

Tanda Sayang

“Hai, Kak Freya.” Ghea beralih pada Freya. Memeluknya erat. Dari kecil Freya dan adiknya adalah temannya, jadi mereka sangat dekat.

“Kakak semakin cantik saja.”

“Kamu juga.” Freya tersenyum.

“Pantas Kak El betah di London,” goda Ghea seraya melirik ke arah El.

Wajah Freya memerah mendengar ucapan Ghea, merasa sangat malu sekali. El tak kalah malu dengan ucapan adiknya.

“Sembarangan saja kalau bicara!” El menghampiri Ghea, tetapi gadis cantik itu justru bersembunyi di belakang Freya, membuat El dan Freya saling menatap. Entah kenapa El merasakan perasaan aneh saat menatap Freya.

Mungkin hanya perasaan malu saja.

“Kalian ini sudah lama tidak bertemu, tetap saja bertengkar,” tegur Shea.

“Apa Mommy tidak sadar jika bertengkar itu tanda sayang?” Ghea yang bersembunyi di belakang Freya menghampiri El dan memeluk tangannya. Senyum manis ditampilkan di wajah cantiknya untuk membujuk kakaknya.

“Dasar!” El mengacak-acak rambut Ghea.

“Teori dari mana itu?” sindir Shea.

“Dari Mommy,” jawab El dan Ghea bersamaan.

Shea seketika terdiam. Di saat dia berdebat dengan Bryan, hal itu yang dikatakan pada anaknya, agar anak-anaknya tidak mengira jika mereka sedang bermusuhan. “Sudah pintar ya sekarang kalian!” tegur Shea.

El dan Ghea tertawa. Membuat Bryan ikut menertawakan istrinya. Namun, saat istrinya menatap kesal, pria lima puluh tahun itu langsung menghentikan tawanya dan membawa istrinya ke dalam pelukannya. Meredakan kemarahan ibu tiga anak itu bukanlah perkara suli lagi sekarang. Semakin tua, mereka sudah saling paham masing-masing.

Pemandangan indah itu jadi tontonan, El, Freya dan Ghea. Mereka sangat senang melihat keharmonisan keluarga mereka.

Di saat sedang menikmati momen indah itu, sebuah mobil datang. Mereka semua sudah tahu mobil siapa itu jika bukan mobil Felix dan Chika.

“Freya ... “ panggil wanita paruh baya menghampiri Freya. Siapa lagi kalau bukan sang mama dengan suara cemprengnya.

“Mama.” Freya merentangkan tangan untuk memeluk mamanya. Rasanya dia begitu rindu. Terakhir dia pulang adalah dua tahun lalu. Sejak El tidak memutuskan pulang, dia ikut tidak pulang.

“Mama rindu sekali.”

“Freya juga, Ma.”

“Apa Mama saja yang dipeluk?” Felix yang keluar dari mobil, menghampiri anaknya.

“Papa ....” Freya melepas pelukan dari mamanya dan beralih pada papanya.

“Apa kabar, Sayang?” tanyanya seraya membelai lembut rambut Freya.

“Baik, Pa.”

“Sebaiknya kita langsung pulang saja, sebelum nanti diusir petugas, karena terlalu lama parkir di sini.” Bryan yang merasa sudah lama di Bandara mengajak yang lain untuk segera kembali.

“Ya sudah, ayo.” Felix melepas pelukannya dan membantu memasukkan koper milik anaknya.

El berada di dalam mobil bersama dengan kedua orang tuanya dan adiknya, sedangkan Freya bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka saling beriringan menuju ke rumah.

“Mommy begitu merindukanmu.” Shea yang berada di kursi belakang tak henti-hentinya mengungkapkan perasaan senangnya.

“Mommy sudah mengatakan itu puluhan kali,” protes Ghea. Dia melihat mommy dan kakaknya dari kaca depan.

Bryan yang fokus menyetir, tersenyum tipis. Istrinya memang begitu merindukan anak sulungnya itu. Hingga kata rindu sekali saja tak bisa menggambarkan bagaimana besar rasa rindunya.

“Nanti, kalau kamu punya anak, kamu akan merasakan,” ucap Shea menepuk kursi yang diduduki Ghea lembut.

“Nanti aku tidak akan izinkan anak aku pergi ke luar negeri seperti Mommy dan Daddy.”

Bryan dan Shea terdiam. Memang mereka melarang putri mereka ke luar negeri. Bryan yang takut terjadi apa-apa dengan anaknya, mengingat kelakuannya dulu buruk. Tak mau sampai anaknya jadi korban pria sepertinya dulu.

“Di luar negeri terlalu berbahaya untuk kamu.” Shea mencoba memberikan penjelasannya.

“Buktinya, Kak Freya bisa keluar negeri.” Ghea masih tetap dengan pendiriannya. Kesal karena tidak diizinkan ke kuliah di luar negeri seperti kakaknya.

“Bukan begitu.” Shea merasa bingung menjelaskan.

“Cari saja suami yang mau membawamu ke luar negeri. Pasti  Mommy dan Daddy akan mengizinkan, mengingat kamu sudah menjadi tanggung jawab suamimu, jadi mereka tak akan bisa melarang.” El yang mendengar perdebatan, mengambil jalan tengah.

“Itu ide bagus.”

“Kamu ini!” ucap Shea kesal melihat anaknya yang memberikan adiknya ide. Jauh dari Ghea sangatlah sulit untuk Shea, mengingat jika mereka begitu dekat. Lagi pula, Ghea anak perempuan satu-satunya yang harus dijaganya.

“Sudah-sudah, jangan berdebat.” Bryan tak mau memperpanjang masalah kecil. Semakin tua, dia semakin bijak menanggapi masalah.

“Kenapa Mommy Selly dan Al tidak datang, Mom?”

“Mommy  Selly di rumah sedang menyiapkan kedatangan kamu, sedangkan Al membantunya.”

“Wah-wah sepertinya aku sudah seperti raja Inggris disambut dengan sangat spesial.”

Bryan, Shea, Ghea memutar bola mata malas mendengar hal yang disombongkan oleh El. Namun, seketika mereka tertawa bersama. Keempat keluarga itu begitu bahagia bisa bertemu dan bercengkerama. Hanya kurang si bungsu Bian, yang sedang pergi bermain dengan teman-temannya.

***

Di mobil yang berbeda, Felix sudah seperti sopir yang mengantarkan dua atasannya yang duduk di kursi belakang. Mereka saling bercerita tentang banyak hal yang berada di London.

“Andai saja Papamu itu tidak sibuk terus, pasti Mama akan ke sana,” ucap Chika menyindir Felix.

Freya hanya tersenyum, melihat papanya mati kutu saat mamanya marah.

“Kita sudah sering ke sana saat anak-anak kecil, lalu untuk apa pergi ke sana lagi, memangnya tidak ada tempat lain yang harus dikunjungi.” Felix tak mau kalah dengan istrinya.

“Iya, tetapi apa kamu tidak ingat jika cintaku hadir di sana. Jadi tempat itu menjadi sangat bersejarah.” Chika ingat waktu masa mudanya dulu mulai menyukai suaminya saat berjalan-jalan ke London.

“Iya, aku tahu.” Felix yang sedang menyetir, melihat istrinya dari pantulan kaca depan.

Freya menepuk dahinya. Dia pikir setelah ditinggal lama, papa dan mamanya tidak akan sering berdebat. Sejenak Freya mengingat kata-kata Ghea jika bertengkar tanda sayang. Mungkin itulah yang dianggap sayang juga oleh orang tuanya.

“Ke mana Cia?” Freya mengalihkan pembicaraan menanyakan adiknya-Felicia.

“Dia sedang membuat kue.”

Mata Freya berbinar. Dari kecil adiknya itu memang jago sekali membuat kue. Hingga akhirnya dia bercita-cita menjadi chef terkenal. Lagi pula adiknya itu kelak akan melanjutkan bisnis sang nenek di bidang bakery. Toko kue dari neneknya sudah mempunya beberapa cabang dan sangat terkenal.

“Aku sudah tidak sabar untuk makan kue buatan Cia.”

“Makanlah sepuasnya nanti,” ucap Chika pada anaknya. Wanita berumur empat puluh delapan itu tersenyum. Di usianya yang hampir masuk setengah abad itu masih terlihat sangat cantik.

Mobil sampai di perumahan. Chika melihat keluar, memerhatikan tempat-tempat yang menjadi kenangan sewaktu kecil.

Mobil berhenti di depan rumah masing-masing. Namun, karena rumah mereka bersebelahan, mobil tampak terparkir berjajar di depan rumah.

Semua keluar dari mobil masing-masing. El  membuka pintu dan  keluar dari mobil. Di depan rumah Al yang sedang berusaha membuka party popper. Wajah Al kelihatan kesal sekali karena ternyata semburan kertas itu tidak keluar.

“Al, mana?” tanya Selly. Dialah yang memberikan ide memberikan kejutan pada El.

“Iya, Mom, sebentar.” Dari awal Al memang tidak mau menggunakan alat-alat tidak jelas itu. Namun, apa boleh buat karena titah sang mommy tidak bisa ditolak.

Akhirnya setelah bersusah payah, tepat saat El keluar party popper itu menyemburkan kertas-kertas. El yang sedari tadi di dalam mobil tersenyum. Sudah tahu ide siapa itu.

“Terima kasih, Mom.” El langsung menghampiri Selly yang sudah menyambutnya. Wajah wanita paruh baya itu hampir sama dengan mommy-nya yang masih sangat cantik di usia yang hampir setengah abad.

Sambil memeluk Selly, dia melihat Al yang tampak kesal. Sudah bisa dia pastikan jika kakak sepupunya itu sedang kesal harus mengikuti ide kejutan dari mommy-nya.

“Apa kamu sehat-sehat saja, Sayang?” tanya Selly seraya melepas pelukannya. Tangannya menangkup wajah El.

“Aku sehat, terlampau sehat mungkin,” ucapnya seraya memamerkan otot tangannya.

“Lihatlah tubuhmu bengkak semua,” goda Selly.

“Ini atletis,” elak El dan mendapati tawa dari semua yang ada. Saat sedang tertawa El melihat Regan yang menghampiri. Wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi saat berjarak dekat dengan El, dia tersenyum.

“Apa kabar El?” tanyanya seraya memeluk.

“Baik, Dad.” Bagi El, Regan adalah daddy keduanya setelah Bryan. Dari kecil, dia memang diasuh oleh dua pasang suami istri. Selly yang merupakan kakak daddy-nya, membuat hubungan begitu dekat.

Mommy Shea selalu mengatakan jika Al adalah kakaknya, karena El dan Al saudara sepersusuan juga.

Al yang sedari tadi diam, mengayunkan langkahnya, menghampiri El. “Hai, Bro,” sapanya seraya memeluk El. Pria dua puluh lima tahun itu tampak tersenyum tipis pada adiknya.

“Hai ....” El mengeratkan pelukan. “CEO Maxton ternyata sekarang tampan sekali,” pujinya seraya menyelipkan canda.

Aaron Alexander  Maxton atau biasa dipanggil Al adalah CEO di Maxton Company. Dia meneruskan perusahaan yang dibangun oleh kakeknya. Pria tampan dengan darah Inggris itu sangat cakap dalam memimpin perusahaan. Terbukti perusahaan begitu semakin maju.

Setahun yang lalu, Al juga mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha muda terbaik karena hasil kerjanya begitu nyata. Beberapa mal dengan apartemen dibangunnya dan penjualan apartemennya laris manis di kalangan pasangan muda.

Namun, berbeda dengan El, Al lebih diam. Dia tak suka banyak bicara, tetapi sangat menyangyangi adik-adiknya. Sebagai kakak tertua, penjaga paling depan.

Selly yang melihat kedekatan kakak-adik itu merasa senang. Sebagai orang tua dia berharap anak-anaknya rukun dan saling sayang.

Saat melihat Freya, dia menghampiri gadis cantik itu. “Sayang, tidak menyangka kamu cantik sekali sekarang,” ucapnya seraya menautkan pipinya.

“Terima kasih, Mom.”

“Anak siapa dulu, cantik. Kalau sudah bilang cantik, jadikan calon mantu,” goda Felix.

Chika langsung memukul legan Felix karena berbicara tidak jelas.

“Dengan siapa saja nanti Freya, itu pasti yang terbaik.” Regan menjawab apa yang di ucapkan Felix. Dia mengulurkan tangan pada Freya. “Apa kabar?”

“Baik, Dad.” Dari ayah El dan Al, pada Reganlah Freya merasa sungkan-daddy dari Al.

Regan tersenyum. Kemudian mengajak semua untuk masuk ke dalam rumah masing-masing. Membiarkan anak-anak untuk beristirahat.

Semua orang membubarkan diri. Keluarga El masuk ke dalam rumah sendiri, sedangkan keluarga Freya juga melakukan hal yang sama.

“Biar aku saja yang ambil kopermu, El. Masuklah!” Al tak tega melihat adiknya yang pasti sangat lelah karena perjalanan.

El tak menolak tawaran dari Al, mengingat dia ingin sekali segera duduk manis di rumah.

Di saat semua orang masuk ke dalam rumah, Al mengambil koper dari bagasi. Dia berpapasan dengan Freya yang sedang mengambil sesuatu di dalam mobil.

“Hai, Frey ... “ sapa Al.

Freya terpaku. Dia hafal betul jika selama ini Al jarang sekali berbicara dengannya. Saat di London saja, dia hanya akan bicara hal-hal penting saja. Sangat jarang dia berbasa-basi.

Mata birunya yang begitu tajam menatapnya membuat Freya tak dapat menjawab.

“Kakak ... “ panggil Cia-adik Freya. Dia berlari menghampiri Freya. Tadi dia sibuk membuat kue. Saat mama dan papanya masuk, dia mencari keberadaan kakaknya yang ternyata masih di luar.

Cia langsung memeluk Freya, meluapkan kerinduannya. “Kita lama sekali tidak bertemu. Kakak jahat sekali liburan, tetapi justru pergi jalan-jalan dengan Kak El.”

Freya terdiam, matanya masih fokus pada El.

“Kak ... “ panggil Cia.

“Iya,” jawab Freya.

“Aku berbicara, tetapi kakak tidak menjawab.”

“Iya, aku juga merindukanmu.”

Cia tersenyum, kemudian menyadari jika ada Al di sampingnya. “Kak Al ambil apa?”

“Ambil koper El.”

“Kakak, ingat ya nanti harus coba kue baru buatan aku?” celetuk Cia.

“Aku harap tidak akan gagal seperti tempo hari.”

Cia tersenyum memamerkan deretan giginya. Setiap libur, Al, Ghea dan Bian adalah sasarannya mencicipi kue inovasinya. Resep baru selalu saja perlu beberapa kali percobaan hingga benar-benar sempurna. “Tenang, kali ini aman.”

Al tersenyum tipis. “Ajaklah Kakakmu itu dulu mencicipi kue buatanmu,” ucap Al menatap Freya.

“Tentu, dia akan jadi korbanku selanjutnya,” jawab Cia tersenyum.

“Korban?” Freya bingung dengan obrolan dua orang di depannya.

“Masuklah!” perintah Al seraya meninggalkan Freya dan Cia. Menarik koper milik El ke dalam rumah.

Freya masih terpaku, melihat Al. Entah magnet apa yang membuatnya memandangi pria yang berbeda dua tahun darinya itu.

“Ayo, Kak masuk!” ajak Cia menarik tangan Freya.

Mereka masuk ke dalam rumah. Menyusul papa dan mamanya yang sudah lebih dahulu berada di dalam rumah.

Freya langsung masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya yang lengket ingin segera dia segarkan.

Membuka pintu kamarnya, Freya tersenyum. Rasanya dia rindu sekali dengan kamar yang menjadi tempatnya menghabiskan hari.

“Kamarmu masih tetapi sama. Mama tidak boleh aku masuk karena takut merusak barang-barangmu.” Cia yang berada di belakang Freya memberitahu kakaknya itu.

“Iya, kamu selalu saja rusuh,” ledek Freya.

Cia mendengus kesal mendengar kakaknya meledek.

Freya masuk dan mengambil handuk. Namun, langkahnya terhenti saat hendak ke kamar mandi. “Kamu sepertinya dekat dengan Kak Al?” tanyanya berbalik menatap Cia.

“Siapa aku?” tanya Cia menunjuk dirinya.

“Memang siapa lagi yang di kamar ini?”

Cia tertawa. “Karena kami sering sekali berkumpul.”

“Berkumpul?” Dahi Freya berkerut dalam. Seingatnya di London, Al tipe yang tidak suka berkumpul dengan orang lain.

“Lebih tepatnya menjaga aku dan Ghea.”

“Menjaga?” tanyanya bingung.

“Iya, aku dan Ghea sering sekali pergi, dan Kak Al yang menemani kami, sesuai permintaan Mommy Shea.”

Freya baru mengerti bagaimana cara adiknya itu bisa dekat.

“Cepat mandi, aku mau Kakak mencoba kue buatanku.” Cia mendorong tubuh Freya untuk masuk ke kamar mandi.

“Iya,” jawab Freya malas. Dia masuk ke kamar mandi dan melanjutkan niatnya untuk mandi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status