Share

Labuhan Cinta
Labuhan Cinta
Penulis: Myafa

Perasaan Tenang

Di sudut tea house, seorang pria sedang duduk menikmati secangkir teh early grey yang dipesannya. Menikmati aroma teh yang begitu disukai dari minuman hangat itu. Perasaan tenang melingkupi hatinya tatkala minuman hangat masuk ke dalam tubuhnya melalui tenggorokannya.

Namun, baru saja menikmati afternoon tea-nya, suara ponsel berdering dan membuatnya meletakkan cangkir bergambar bunga yang berisi teh hangat ke atas meja.

Senyumnya tertarik saat melihat nama siapa yang berada di layar ponselnya. Tak perlu berlama-lama, dia mengangkat sambungan telepon yang berasal dari negeri seberang.

“Halo Sayang.” Suara lembut yang selalu menenangkan jiwa terdengar.

“Halo, Mommy.”

“Kapan kamu pulang?”

Pria itu terdiam mendapati pertanyaan. Seketika dia mengingat janjinya pada mommy-nya jika dia akan pulang ke Indonesia hari ini. Justin Elvaro Adion-putra pertama Bryan Adion dan Olivia Shea. Anak dari salah satu pengusaha di Indonesia itu sudah enam tahun tinggal di London.

Empat tahun, pria dua puluh lima tahun itu menempuh pendidikan di negara kerajaan Inggris itu dan dua tahun dia memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan properti di Inggris.

“Lusa aku akan pulang , Mom.”

“Apa waktu enam tahun kurang El?” tanya Shea dengan nada menyindir.

Biasanya El akan berdebat saat mommy-nya memanggil dengan nama kecilnya. El memang lebih suka dipanggil Justin dari pada El.

Menurutnya panggilan itu lebih membuatnya tampak lebih dewasa. Namun, karena kali ini sang mommy sedang marah, pria dua puluh lima tahun itu tidak mau berdebat.

“Iya, kali ini aku berjanji, Mom. Lusa aku akan pulang.”

“Dengar El, Mommy akan benar-benar marah jika kamu tidak pulang.”

Mendengar nada bicara yang tampak tak perlu bantahan dari mommy-nya, El kembali terdiam. Memberikan kesempatan mommy-nya untuk marah, meluapkan kekesalannya.

El menyadari jika orang tuanya sangat sedih saat dua tahun lalu dia memutuskan untuk tidak pulang dan justru memilih tinggal di London.

Dua tahun lalu, kakak sepupunya-Aaron Alexander Maxton atau yang biasa dipanggil Al, memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lulus kuliah, sedangkan El memilih bekerja di salah satu perusahaan properti di London.

Sejak di London, El memang tinggal dengan Al-anak pasangan Selly dan Regan Maxton. Usia El yang sama membuatnya selalu menempuh pendidikan di tempat yang sama. Lahir dengan keluarga yang begitu menyayangi, keduanya juga menyayangi dengan caranya sendiri.

“Iya, aku janji, Mom. Jika nanti aku tidak pulang Mommy boleh coret dari daftar warisan,” goda El.

“Dasar anak nakal!”

“Jangan marah, nanti cantiknya Mommy hilang.”

Shea yang di sebarang sana terdengar tertawa. Anak sulungnya memang tidak bisa membuatnya marah.

“Baiklah, kabari Mommy jika pulang.”

“Iya, nanti aku kabari agar Mommy bisa pasang red carpet untuk aku.”

“Kamu pikir kamu artis?”

El tertawa saat Mommy-nya sudah tidak lagi marah.

“Mommy akan tunggu kamu pulang.”

“Iya, Mommy Sayang.” El mengakhiri sambungan teleponnya.

Kembali melanjutkan kegiatannya, dia meraih cangkir dan menyesap teh di dalamnya. Menikmati secangkir teh yang begitu menghangatkan sambil menikmati pemandangan di balik kaca tea house.

Di balik kaca tea house menunjukan jalanan kota London. Terlihat beberapa orang lalu-lalang berjalan kaki untuk pergi ke tujuan mereka masing-masing.

El tidak menyangka jika dia sudah enam tahun berada di London. Waktu bergulir dengan cepatnya, hingga dia tidak merasakan waktu begitu cepat. Mungkin karena dia menjalani hari-harinya dengan bahagia jadi waktu tak terasa.

Di saat sang kakak sepupu-Al pulang dan sudah mulai membangun bisnis di negara sendiri, El justru masih bekerja di perusahaan orang lain. Namun, untungnya orang tuanya mengizinkan. Asalkan masih bisa dipertanggungjawabkan apa yang menjadi keputusan, mereka mempersilakan El melangkah sesuai keinginan.

Secangkir teh yang dia tuang dari poci sudah habis, tetapi orang yang ditunggunya sedari tadi belum juga datang. Tak mau menunggu terlalu lama, El meraih ponselnya, mencoba menghubungi.

Baru saja El menempelkan ponselnya, dia mendengar lonceng di pintu masuk berbunyi, tanda jika pengunjung baru saja masuk.

"Welcome,"  sapa pramusaji.

Dari kejauhan El melihat seorang gadis yang dia kenal masuk ke tea house.Tampak sang gadis melihat ke sekeliling mencarinya. Saat menemukan di mana El berada, dia melangkah menghampiri.

El terpaku saat gadis cantik itu menghampiri. Rambut hitamnya yang tergerai, bergerak mengikuti gerakan tubuh saat sedang berjalan, membuatnya begitu  terpesona. Dengan mantel berwarna coklat, gadis itu menutupi tubuh mungilnya. Ankle boots dengan warna senada menunjukkan seberapa fashionable-nya wanita itu.

Freya Callandra Julian-anak pertama dari Chika dan Felix Julian. Papa Freya bekerja di perusahaan Adion. Perusahaan yang merupakan milik dari Bryan Adion-daddy El.

Empat tahun yang lalu Freya memutuskan untuk kuliah di London menyusul El dan Al yang lebih dulu. Dia mengambil jurusan bisnis, sama dengan El dan Al. Selama di London, dia tinggal bersama El dan Al di rumah kediaman Maxton. Sejak dua tahun lalu hanya El dan Freya yang tinggal di rumah itu, karena Al memilih kembali lebih dahulu.

“I’m sorry,” ucapnya seraya menarik kursi. Senyum manis menghiasi wajahnya saat permintaan maaf terlontar.

“Kamu hanya ingin bertemu denganku bukan pejabat. Aku sudah terbiasa melihatmu dengan wajah jelek, jadi untuk apa berdandan lama.” El sudah tahu apa yang menyebabkan gadis di hadapannya lama datang.

“Ayolah, El. Aku malu jika orang melihatku dengan keadaan jelek.”

El tersenyum tipis. Setiap pergi dengan Freya, wanita itu selalu panik saat ada orang yang melihatnya. Dia beranggapan jika tampilannya jelek. Entah mungkin ankle boots tidak serasi dengan mantelnya, atau mungkin wajahnya yang ada noda. Ada saja yang membuat Freya panik. “Jangan takut orang menilaimu jelek. Karena mereka tidak tahu seperti apa dirimu.”

“Tapi, El—“

“Orang punya kacamatanya sendiri untuk melihat kita. Jadi di mata orang satu dengan yang lain tidak sama. Jangan jadikan pandangan orang lain menggubahmu menjadi seperti yang orang lain inginkan.”

Freya memutar bola mata malas. El memang pria humoris, tetapi saat dia memberikan nasehat, dia seolah melihat sosok papanya pada El.

El langsung tertawa melihat wajah kesal Freya. “Apa aku sudah mirip Papa Felix?” Kedekatan El dengan keluarga Freya memang terjalin karena daddy-nya berteman. Karena kedekatan itu, El memanggil “papa” pada Papa Freya, sama persis seperti yang dilakukan oleh Freya.

“Menyebalkan sekali.” Baru otaknya berpikir hal itu, tetapi El sudah bisa menebak apa yang di pikirkan.

Freya selalu malas mendengarkan nasihat papanya yang begitu panjang. Apalagi saat ingin pergi ke London. Seharian papanya memberikan nasehatnya. Dari mulai tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus begini, harus begitu. Hal itu membuat Freya pusing.

Di saat sedang kesal, seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan. Tadi El sudah berpesan, jika temannya datang, teh dan snack bisa diantarkan. Secangkir white tea, tersaji di meja. Kemudian beberapa snack seperti muffin, cupcake dan butter cookies tersaji.

“Apa kita akan tea party?” tanya Freya yang melihat begitu baca makanan.

“Nikmati London sebelum kita pulang besok.” El tersenyum.

Freya mengangguk dan menikmati teh dalam cangkir. Kekesalannya seketika menguap saat menikmati aroma teh. Itulah yang disuka saat menikmati teh. Perasaan tenang.

***

El dan Freya menikmati kudapan sore ini sambil bercerita banyak hal. Tea house semakin ramai, saat beberapa orang mulai datang. Menikmati teh di sore hari sudah menjadi kebiasaan orang Inggris. Biasanya mereka akan datang ke beberapa tea house yang menyajikan teh andalan mereka.

Beberapa cangkir yang menarik terkadang menjadi daya tarik mereka untuk datang.

“Jadi kamu akan mengambil barang-barangmu besok?”

“Iya.” Hari ini sebenarnya hari terakhir El bekerja, tetapi karena dia sudah membuat janji dengan Freya, dia menunda mengambil barang-barangnya.

“Lalu ke mana kita hari ini?” tanya Freya dengan semangat.

“Menikmati London malam hari.” El memberikan ide pada Freya.

“Baiklah, kita nikmati London malam ini.” Freya tersenyum senang. Pergi dengan El adalah hal menyenangkan baginya. El yang memiliki darah Inggris membuatnya tampak sama dengan mereka penduduk asli. Jadi Freya merasa tenang saat pergi bersama dengan El.

Usai menikmati teh dan beberapa kudapan, mereka keluar dari tea house. Menyusuri jalanan kota London menuju ke sungai Thames.

Sepanjang jalan mata dimanjakan dengan pemandangan kota London. Deretan hotel, toko dan restoran dengan bangunan kuno berjajar di sepanjang jalan.

Jangan salah, walaupun terlihat bangunan itu kuno di luar, tetapi interior di dalamnya sangat modern. Bangunan itu adalah penggabungan dua hal yang begitu menakjubkan.

“Apa kamu tahu, apa yang aku suka dari bangunan-bangunan ini?” tanya El seraya menunjuk bangunan-bangunan di sebelahnya.

Freya menoleh pada El, tetapi kemudian beralih pada bangunan kuno di sebelahnya. “Apa?” tanyanya ingin tahu.

“Jika bangunan ini adalah manusia, dia adalah manusia yang dipandang sebelah mata oleh orang.”

“Kenapa bisa begitu?” Dahi Freya berkerut dalam.

“Bayangkan saja bangunan begitu terlihat kuno dan orang pasti menganggap jika di dalamnya juga sama kunonya dengan yang di luar. Padahal di dalam begitu sangat menakjubkan.

Sama halnya dengan manusia yang dipandang sebelah mata oleh orang. Mereka tidak pernah tahu jika sebenarnya di balik pandangan mereka ada kelebihan yang sengaja tidak diperlihatkan.”

Freya mengangguk-anggukan kepalanya. “Apa kamu juga menyembunyikan kelebihanmu?”

“Aku, apa yang aku sembunyikan. Semua sudah terpampang nyata.”

“Apa yang terpampang?” Freya tidak mengerti apa yang ada pada El.

“Ketampananku, ini sudah terpampang nyata.” Senyum puas terukir di wajah pria dua puluh lima tahun itu.

Freya memutar bola matanya malas. Walaupun sejujurnya dia mengakui jika El memang tampan, tetapi dia tak mau mengatakannya. Wajah El yang blasteran Inggris-Indonesia memang begitu memesona. Mata birunya begitu indah saat menatap. Tinggi badannya yang standar orang Inggris memang memperlihatkan jika dia tak berbeda dengan penduduk asli di negara kerajaan Inggris itu.

“Kamu terlalu percaya diri!” cibir Freya.

“Apa kamu tidak sadar jika banyak wanita menyukaiku?” Dengan bangganya El memamerkan pada Freya.

Freya akui jika banyak yang menyukai El. Apalagi teman-teman yang sekelas dengannya. Beberapa dari mereka menitipkan salam padanya untuk El. Ada yang secara terang-terang mengajak El untuk menikmati malam, tetapi Freya tidak menyampaikan hal itu. Dia tidak rela El tidur dengan wanita yang tidur dengan banyak pria.

“Iya, kecuali aku.” Freya menjulurkan lidahnya, meledek El. Kemudian berlari meninggalkan El.

El tak terkejut dengan aksi Freya itu. Mengejar Freya, dia berusaha untuk mendapatkan wanita itu.

Ankle boots milik Freya yang mempunyai ketinggian enam centimeter itu memang tak bisa membuat wanita itu berlari cepat. Hingga akhirnya El dapat menangkap tubuh mungil yang berbalut mantel itu. Membawanya ke dalam pelukannya.

“Suatu saat kamu akan menyukai aku.”

“Itu tidak akan pernah terjadi.” Freya tertawa.

Tawa lepas yang selalu dilihat El sedari kecil. Wajah cantik Freya begitu membuat El terpesona. Saat sedang sibuk memandangi wajah Freya, El melonggarkan pelukannya. Hingga akhirnya membuat Freya dapat terlepas dan berlari meninggalkan El yang masih diam terpaku.

Teng! Teng! Teng!

Denting Big Ben terdengar membuat Freya yang berlari, berhenti. Membuat El yang sedari terfokus pada Freya, beralih pada ikon kota London itu. Mata tak berhenti memandangi keindahan dari jam yang diklaim sebagai jam paling akurat itu. Konon katanya jam itu tidak pernah berhenti berdetak selama satu abad lamanya.

Freya mengayunkan kembali langkahnya ke tempat di mana dia meninggalkan El. Bergabung dengan El yang sedang terpesona tanpa berkedip melihat jam terbesar itu.

“Aku serasa ingin membawa London bersamaku.” Freya menatap Big Ben. Masih begitu berat meninggalkan kota yang sudah ditinggalinya empat tahun ini.

“Aku akan bawa London ke Indonesia untukmu.”

Freya memutar bola matanya malas. Sudah begitu hafal dengan ucapan El yang tidak serius. Secara logika Freya, mana bisa membawa London.

“Ayo, jangan sampai kita kehilangan langit sore yang indah.” Freya menarik tangan El, mengajaknya melanjutkan perjalanan menuju ke London Eye. Dari atas saja, Freya ingin menikmati langit sore yang indah.

El pasrah saat tangan lembut menariknya. Membawanya ke tempat yang Freya suka. Begitulah El, membiarkan Freya mengajaknya ke mana dia suka, dengan alasan asalkan Freya bahagia.

El dan Freya masuk pada kapsul yang akan membawanya ke atas untuk melihat pemandangan kota London dari atas. Bersama dengan beberapa orang di dalamnya, mereka menikmati kota London dari ketinggian.

Dari atas, terlihat kota London sejauh 25 mil atau 40 kilometer. Langit sore begitu indah saat dilihat dari atas. Serasa berada di antara burung-burung beterbangan yang berada di langit.

“Kapan kita akan kemari lagi?” tanya Freya menatap El.

“Nanti saat kita bulan madu.”

Freya membulatkan matanya. Kemudian memukul lengan El. Kesal karena saat sedang serius, El justru bercanda, tetapi El justru tertawa. Menggoda Freya begitu mengasyikkan.

Puas melihat langit sore dari London Eye, mereka memilih untuk makan malam di restoran biasa mereka makan. Menikmati makan malam terakhir di kota tempat mereka tinggal beberapa tahun belakangan ini.

“Apa barang-barangmu sudah kamu kemasi?” tanya Freya saat makan.

“Belum, nanti setelah pulang dari sini saja, karena sudah beberapa aku kemasi.”

“Kalau begitu aku akan mengemasi juga malam ini.”

“Besok pagi juga masih ada waktu. Kamu bisa mengemasi saat aku pergi ke kantor.”

“Aku ingin ikut kamu ke kantor.” Freya menatap penuh permohonan.

El tersenyum. Freya memang sudah biasanya menyusulnya ke kantor saat pulang dari kampus. Gadis cantik itu beralasan tidak mau di rumah sendiri. Tak menolak, El mengangguk. Lagi pula besok dia hanya akan mengambil barang-barangnya yang memang sudah dirapikannya.

Puas menikmati makan malam, mereka memilih untuk segera pulang. Rasa lelah begitu mendera ketika mereka harus berjalan kaki dari halte bus ke rumah.

“Selamat malam,” ucap El sebelum menuju ke kamarnya. Kamarnya berada tepat di samping Freya.

“Malam El.” Freya tersenyum dan masuk ke dalam kamar. El masuk ke dalam kamarnya. Membersihkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Ketemu babang di rumah baru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status