Share

Suasana Dua rumah

Di rumah sebelah kehebohan juga tercipta. Shea dan Selly yang sudah menyiapkan makanan meminta El untuk makan terlebih dahulu, tetapi El memilih untuk menyegarkan tubuhnya terlebih dahulu.

Mau tak mau ibu-ibu harus menunggu putra mereka mandi terlebih dahulu. Mereka memilih sambil mengobrol di ruang keluarga.

El masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang sudah lama sekali dia tidak tempati. Saat masuk, El melihat kamar tampak bersih dan tertata rapi. Dia tahu sekali jika mommy-nya menjaga kamarnya dengan baik.

Tak berlama-lama, El masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang lengket ingin sekali dia segera bersihkan. Di bawah kucuran air, dia membasahi tubuhnya. Rasanya segar sekali saat air mengalir di tubuhnya.

Menyelesaikan mandi, dia keluar dari kamar. Namun, saat keluar dia dikejutkan dengan Al yang sudah berada diq kamarnya. “Kamu di sini?” tanyanya seraya mengayunkan langkahnya ke lemari, mengambil pakaian dan memakainya.

“Aku mengantarkan kopermu dan aku pikir, aku ingin merasakan kasur ini.” Al merebahkan tubuhnya di kasur empuk milik El. Sejak kecil dia suka sekali menghabiskan waktu dengan El di kamar.

El menghampiri Al. Bergabung merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

“Sepertinya kamu benar-benar betah di London?” tanya Al menoleh pada El yang berada di sebelahnya.

“Ada banyak keindahan yang tak bisa dilewatkan?”

“Termasuk tetangga sebelah?” goda Al.

Dahi El berkerut dalam mendengar ucapan Al. “Freya maksudmu?”

“Iya, siapa lagi.”

El tertawa. “Apa kamu berpikir aku di sana karena dia?”

“Iya, semua berpikir karena itu,” jawab Al.

Tawa El semakin kencang.

“Apa kamu menyukainya?” tanya Al yang penasaran.

“Kamu tahu bukan jika kita sudah berteman dengan Freya sejak kecil, aku mengganggapnya seperti Ghea dan Cia.”

“Benarkah?” Al menatap El mencari kebohongan di dalam bola matanya.

“Iya.” El mengalihkan pandangannya. Tak mau Al melihatnya.

Untung saja secara bersamaan suara pintu dibuka dan tampak Ghea masuk ke dalam kamar.

“Kalian sedang apa?”

“Tidak sedang apa-apa,” elak El.

Ghea berada di antara dua kakaknya. Membuat El dan Al memberikan celah untuk adik perempuannya itu. Tubuh Ghea yang tengkurap membuat dia bisa memandangi wajah kakaknya. “Senang sekali aku sekarang punya dua kakak.”

“Berarti mulai sekarang tugasku akan sedikit berkurang,” ucap Al.

“Tugas apa?” tanya El menatap Al bingung.

“Tugas menjaga mereka berdua,” jawab Al malas.

“Berdua dengan siapa?” tanya El masih dengan mode bingung.

“Dengan Cia. Siapa lagi? Selama ini Kak Al jadi bodyguard kami.”

El sudah bergidik ngeri membayangkan jika dia akan melakukan hal yang sama dengan Al, menjaga adik-adiknya yang super cerewet.

“Jadi mulai besok, Kak El akan bergantian menemani kami saat pergi di akhir pekan.”

“Tidak mau,” elak El.

“Harus mau!” seru Ghea.

“Kamu pergi dengan Al saja.”

“Kenapa aku? Bukannya harusnya kini giliranmu.” Al tak terima.

“Sudah-sudah jangan bertengkar untuk menemani aku. Kalian berdua boleh saja agar adil.” Ghea tersenyum puas saat mengatakan jika kedua kakaknya akan menemaninya.

Al dan El mendengus kesal. Namun, pasrah karena memang mereka berdua berkewajiban menjaga adiknya. Apa lagi adiknya adalah seorang perempuan.

Saat mengingat adiknya, El teringat dengan adiknya satu lagi. Sejak tadi datang dia belum melihat. “Ke mana Bian?” tanyanya.

Al dan Ghea saling pandang. Mereka sudah sangat hafal jika Bian sedang pergi keluar. Untuk apa lagi jika bukan untuk balapan.

“Dia sedang di sirkuit,” jawab Ghea.

“Apa balap motor?” tanya El memastikan.

“Iya, apa lagi,” jawab Ghea malas.

Enam tahun ternyata memang begitu cepat. Hingga akhirnya dia menemukan jika adiknya sudah beranjak dewasa semua. Ghea yang berusia dua puluh satu dan Bian yang berusaha delapan belas tahun.

Pembicaraan mereka terhenti saat suara pintu kembali terbuka. Kali ini sang mommy Shea yang datang.

“Ghe ... Mommy minta kamu panggil Kak Al dan El, kamu justru ikut bersantai dengan mereka.”

“Maaf, Mom, aku lupa,” jawab Ghea polos.

“Dasar!” ucap Shea, “sudah ayo kalau begitu nenek dan kakek sudah datang. Mereka ingin bertemu denganmu.

El bangun dari tidurnya. Kemudian disusul oleh Al dan Ghea. Mereka bersama-sama menemui nenek dan kakeknya.

“Baby El, Sayang,” panggil Melisa melihat cucunya. Menghampiri El yang sedang menuruni anak tangga. Satu pelukan dia berikan pada cucu tercinta.

El malas sekali dipanggil baby El, serasa anak kecil. Al yang berada di sebelah El hanya tertawa. Perlakuan neneknya memanglah seperti itu, menganggap cucu-cucunya masih kecil.

“Apa kabar, Nek?” tanya El.

“Baik, Sayang. Kamu apa kabar?” tanya Melisa seraya melepas pelukan.

Daniel yang melihat cucunya, ikut menghampiri. Rasanya dia begitu merindukan cucunya itu. “Apa kabar, Sayang?” Dia memeluk cucu kesayangannya itu.

“Aku baik, Kek.”

“Sudah-sudah, ayo makan dulu.” Selly yang melihat suasana begitu haru mengakhirinya. Sambil meletakan makanan di atas meja, dia mengajak mereka semua memulai makan malam.

Semua berada di meja makan dan memulai makan.

“Makanlah ini, Mommy masak spesial untuk kamu.” Shea memberikan ayam kecap untuk El.

El tersenyum. Dia selalu suka ayam kecap buatan sang Mommy. Perpaduan manis dan gurih begitu memanjakan lidah. Dari sekian banyak makanan, inilah makanan yang disukai El. Dari cerita mommy-nya, dulu sewaktu hamil, mommy-nya ingin sekali makan ayam kecap, dan akhirnya daddy-nya membuatkan.

Dengan lahap El memakan makanannya. Sesekali menyelipkan cerita tentang perjalanan tadi dari London-Indonesia.

Usai makan, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Melanjutkan cerita yang memang belum selesai karena diselingi dengan makan.

“Apa kamu akan membantu Daddy-mu bekerja di Adion Company?” tanya Daniel pada cucunya.

“Tidak, Kek.”

Daniel terkejut dengan jawab cucunya. Dia pikir cucunya akan melanjutkan usahanya itu. “Lalu?”

“Aku akan membuat perusahaan sendiri. Lagi pula Daddy masih kuat mengurus perusahaan sendiri.”

Bryan tersenyum tipis. Anaknya memang sudah mengatakan akan hal ini jauh-jauh hari.

“Wah ... Daddy berasa melihat El yang begitu dewasa.” Regan yang biasa diam membuka suaranya. Merasa bangga dengan apa yang diinginkan El.

“Kenapa tidak meneruskan seperti yang dilakukan Al?” Daniel masih tak terima. Dia ingin anak dan cucunya masih bisa meneruskan usahanya.

“Al hanya sendiri, Kek. Mau tidak mau perusahaan akan jatuh ke tangannya, dan dia harus mempersiapkan diri untuk meneruskan, tetapi aku masih punya Ghea dan Bian yang kelak bisa meneruskan. Jika aku juga meneruskan, aku rasa aku akan bertengkar kelak dengan mereka karena warisan,” ucap El.

Bryan tersenyum. Anaknya begitu dewasa beda sekali dengannya dulu. Bersyukur aku memiliki istri yang bisa mengajari anakku apa arti keluarga, kelak dia akan memikirkan akan hal itu dan meredam egonya saat menyangkut keluarga.

“Aku iri denganmu,” ucap Al seraya menepuk bahu El. Sedari kecil, El selalu mengalah untuk adik-adiknya. Menghindari pertengkaran untuk menciptakan suasana damai di keluarga. Jika harus memberi, dia akan rela memberikan apa saja untuk adik-adiknya.

“Kalau kamu iri, berikan sahammu untukku.” El tertawa terbahak.

“Jangankan saham, jika bisa akan aku berikan, tetapi sayangnya itu belum milikku sepenuhnya.” Jabatan Al yang CEO Maxton Company memang masih di bawah kekuasaan daddy-nya sebagai owner.

“Itu artinya kamu tidak punya apa-apa sekarang!” El semakin tergelak, membuat semua yang ada ikut tertawa.

Bryan dan Regan menatap anak mereka. Melihat dua pria muda yang tubuh dengan nasib berbeda, tetapi menyikapi dengan santai. El yang harus berbagi tak pernah mempermasalahkan, sedangkan Al yang memiliki sendiri tak pernah pamer dengan apa yang dimiliki.

***

Saat sedang asyik mengobrol, tampak Bian datang. Pria delapan belas tahun itu tampak membawa helm dan menghampiri keluarganya.

“Lihatlah siapa yang datang, pembalap kita!” seru El. Adiknya itu adalah adik bungsunya. Tadi mereka sudah saling bercerita tentang Bian. El baru tahu jika ternyata daddy-nya memintanya masuk ke klub balapan yang sudah terdaftar. Daddy-nya menyalurkan hobi Bian dengan benar agar tidak terjadi hal buruk. Apalagi menyebabkan orang lain meninggal.

“Kakak sudah sampai,” ucapnya seraya memeluk kakaknya.

“Iya, dan kamu tidak menyambutku.”

“Maaf, aku tadi ada pertandingan.”

“Apa kamu menang?” teriak Ghea yang sedang membantu mommy-nya membawa camilan.

“Tentu saja!” ucap Bian. Tangannya mengambil makanan yang dibawa oleh Ghea. Namun, urung dilakukan saat tangannya dipukul oleh mommy-nya.

“Cuci tanganmu dulu sebelum makan!” ucap Shea.

Bian mendengus kesal tak boleh mengambil makanan.

“Mandi sana, dan cepat makan.” El menepuk bahu adiknya.

Tak menunggu lama, Bian berbalik. Tubuhnya memang begitu lengket jadi dia ingin segera membersihkan.

Sepeninggal El, Daniel menatap El yang hendak duduk. “Apa kamu yakin adikmu bisa mengurus perusahaan?”

“Pa ... “ tegur Selly. Dia menatap papanya yang sedang berusaha membandingkan anak adiknya. Memutar kembali ingatan, Bryan muda juga sangat buruk dan itu karena sang papa yang suka membandingkan.

“Aku hanya khawatir saja,” elak Daniel.

“Aku tahu bagaimana mendidik anak, tidak perlu Papa takut. Kalau pun nanti dia tidak bisa meneruskan perusahaan, aku akan mengurusnya hingga nanti ajal menjemputku.”

Bryan sangat tidak suka anaknya dibandingkan satu dengan yang lain. Dia sadar betul memiliki tiga anak, pasti akan timbul rasa iri. Bersama dengan istrinya-Shea, dia mendidik anaknya sesuai dengan bakat dan minat dan tidak membandingkan.

“Ada aku juga, Kakek tidak perlu khawatir.”

“Iya-iya.” Daniel pasrah. Sebagai orang tua dia hanya khawatir, mengingat Bryan yang membebaskan dan justru mendukung anaknya untuk balapan.

“Sudah-sudah, kita cerita yang lain saja.” Melisa yang melihat kondisi sudah mulai tegang, mengakhiri agar tidak terjadi perdebatan panjang.

Sama dengan rumah El yang sedang tegang membahas Bian, di rumah Freya juga terjadi ketegangan. Freya yang dipaksa adiknya untuk makan kue inovasinya.

“Mana enak itu kue coklat jahe?” tanya Freya yang bergidik ngeri dengan inovasi aneh adiknya.

“Coba dulu, Kak, baru nanti beri komentar.”

“Tidak mau!”

“Ayo coba dulu!”

Freya berlari saat adiknya memaksa memakan kue aneh buatannya. Di belakang sang papa dia bersembunyi. “Pa, Freya tidak mau makan kue buatan Cia.”

Felix tertawa. Dia sudah jadi korban anak bungsunya, jadi dia tidak justru membantu Cia menangkap Freya. Berbalik, Felix menangkap tubuh Freya agar Cia bisa memasukkan kue buatannya ke dalam mulut kakaknya.

“Papa, kenapa membantu Cia?”

“Biar kamu merasakan seberapa kami tersiksa memakan makanan aneh buatan Cia.”

“Papa!” seru Cia saat papanya mengatakan makanannya aneh. Karena kesal, dia langsung memasukkan kue buatannya.

Freya berusaha menutup rapat mulutnya, tetapi Cia begitu memaksa hingga akhirnya membuat Freya pasrah dan membuka mulut. Rasa manis coklat pada kue bercampur rasa pedas jahe begitu aneh di lidahnya.

Felix yang melihat anaknya, tak tega dan melepaskannya. Dapat melepaskan diri, Freya buru-buru mengambil minum. Rasa jahe yang terkandung dalam kue begitu banyak, hingga membuat Freya kepedasan.

“Berapa banyak kamu beri jahe tadi?”

“Aku tidak menakarnya.”

Freya menepuk dahinya. Adiknya benar-benar menyebalkan. Membuat kue tanpa takaran sama sekali.

Di saat sedang kesal, Liana-nenek Freya datang. Freya yang melihat begitu berbinar. Kemudian menghampiri neneknya.

“Cucu Neneknya sudah pulang.” Liana memeluk Freya erat meluapkan rasa rindunya.

“Aku merindukan Nenek.” Freya senang sekali bisa bertemu dengan orang-orang yang disayanginya.

“Nenek juga merindukanmu.” Liana membelai lembut rambut cucunya.

“Nenek bawa apa?” Freya yang melihat tas kecil yang dibawa neneknya, bertanya.

“Bawa kue.”

“Wah ... pasti ini kuenya enak,” ucap Freya seraya melirik adiknya.

“Cih ... menyebalkan.” Cia yang melihat kakaknya sedang menggodanya kesal.

“Tapi sepertinya lebih enak kue buatan Cia,” lanjut Freya.

Wajah kesal Cia seketika berganti senang.

“Iya, asal tidak banyak jahenya,” ucap Freya seraya memeluk adiknya.

“Kalau begitu ayo makan lagi.”

Dengan wajah pasrah, akhirnya dia memakannya. Namun, tetap saja setelahnya dia berlari mengambil air minum.

Pemandangan itu begitu seru hingga membuat Chika, Felix dan Liana tertawa.

Setelah tadi makan malam dan berlanjut bercerita, Freya masuk ke dalam kamar. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi El. Dia ingin tahu apa yang dilakukan oleh pria itu.

“Halo, El ...,“ panggil Freya.

“El sedang di kamar mandi.”

Suara datar terdengar dan Freya tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika buka Al. Pria yang tadi ditemui saat mengambil barang.

“Ada yang ingin di sampaikan?” tanya Al.

“Tidak, aku hanya ingin tahu dia sedang apa.”

“Oh ... baiklah, kalau begitu aku akan sampaikan jika kamu menghubungi ... bye.”

Freya terkejut Al ingin mematikan sambungan telepon. Saat jarang sekali mendengar suara Al, dia ingin sekali mendengar lebih lama suara pria di seberang sana. “Kak Al ...,“ panggil Freya.

“Iya.” Al yang ingin mematikan sambungan telepon, mengurungkan niatnya.

“Tidak, tidak jadi.” Freya bingung untuk apa dia mencegah Al untuk mematikan sambungan telepon.

“Baiklah, aku matikan kalau begitu.”

“Baiklah.” Freya pasrah saat Al mematikan sambungan telepon.

Freya terdiam, melihat layar ponselnya. Dia merasa aneh dengan apa yang dirasakannya.

Saat sedang asyik melihat ponselnya, suara adiknya terdengar dan membuat Freya menoleh. Cia yang membuka pintu masuk ke dalam kamar.

“Aku mau tidur dengan Kakak.” Cia naik ke atas tempat tidur, menyusul Freya.

Melihat Freya sedang memegang ponselnya, Cia menggoda, “Sedang telepon Kak El?”

“Hah ....” Freya terkejut dengan pertanyaan yang tanpa filter dari Cia.

“Kakak ada hubungan dengan Kak El?” Cia tersenyum menyeringai.

“Sembarangan. Kami hanya berteman.”

“Oh ....” Cia mengangguk-anggukan kepalanya, tetapi masih tidak percaya.

Freya yang teringat dengan Al yang mau berbicara, merasa heran dan penasaran. Akhirnya dia memilih bertanya pada adiknya, “Apa Kak Al sekarang banyak bicara?”

“Kak Al?” tanya Cia memastikan.

“Iya, tadi aku menghubungi El, tetapi dia yang mengangkat. Aku hanya merasa dia sekarang jauh lebih banyak bicara.”

“Oh itu ... wajar dia banyak bicara. Karena setiap hari bersama aku dan Ghea.” Cia tertawa membayangkan hari-hari Al yang dipenuhi dengan dua wanita cerewet itu.

“Apa kalian itu semacam virus yang menular, sampai bisa membuat Kak Al, berbicara banyak.”

“Mungkin.”

Freya merasa tidak mungkin, Al bisa berubah seperti itu. “Sudah ayo tidur, aku lelah.” Tak mau memikirkan akan hal itu, Freya memutuskan untuk tidur. Tubuhnya yang lelah karena perjalanan sudah tak tertahankan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status