“Ratu tak pernah berkata sebanyak itu pada siapa pun, kecuali saat kerajaan diserang.”
Dea tersenyum lemah. “Tapi... aku hanya... seorang biasa.”
“Tidak ada yang ‘biasa’ setelah kau menyentuh hati orang yang luar biasa.”
Dea menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak malam itu... ia merasa bisa tidur tanpa takut.
***
Langit siang itu biru jernih, angin lembut menggerakkan tirai putih di paviliun makan siang kebun istana. Meja kaca panjang dengan taplak ivory dan vas bunga segar tertata rapi di tengah taman yang ditata dengan mewah, dikelilingi tanaman hias tropis dan suara lembut alunan piano dari speaker tersembunyi.
Sang Ratu duduk lebih dulu di ujung meja. Gaun kasualnya berwarna biru pucat, anggun namun santai. Tangannya mengetuk pelan permukaan meja saat seorang ajudan datang mendekat.
“Yang Mul
Ia duduk di sofa samping jendela, mengenakan kaus hangat dan celana katun longgar dari koleksi pribadi Ratu. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya tanpa riasan. Di luar, taman istana masih rapi seperti kemarin. Tapi suasana hatinya tidak.Dea menoleh saat suara pintu terbuka. Seorang perawat masuk membawa tablet kecil dan segelas jus.“Bagaimana perasaanmu hari ini, Nona Dea?”“Tubuhku baik... hatiku tidak,” jawab Dea lirih.Perawat tersenyum maklum. Ia meletakkan jus di meja dan menggeser tablet ke tangan Dea.“Ada pesan dari Ratu. Tapi hanya boleh dibuka dengan sidik jarimu.”Dea menyentuh layar tablet dengan penasaran.Ratu belum pernah mengunjunginya sejak dua hari yang lalu.Status kunjungan:Sanjaya: ditolakMeisya: ditahanYama: tidak diizinkanDea menatap bar
"Dia sudah kutempatkan di sebuah hotel dengan penjagaan ketat. Untuk sementara saya menahannya agar dia tidak menggila. Belanjaannya banyak sekali dan bawahan saya sampai tidak tahu bagaimana menyimpan semua belanjaannya."Dea tertunduk malu, Ibunya memang tidak pernah memiliki uang yang cukup untuk berbelanja. Selama ini mereka hidup dan tergolong miskin. Kesempatan berada di luar negeri adalah seperti mimpi baginya."Apa yang akan menjadi keputusan Ratu terhadap Ibuku?" tanya Dea dengan hati-hati."Ibumu dan Meisya akan segera dikirim kembali ke Indonesia.""Meisya?"Ratu mengangguk lalu menyesap tehnya perlahan."Mengenai Meisya, saya tidak berwenang menghukumnya di sini, tapi Ratu punya cukup pengaruh untuk memberinya catatan diplomatik.”Dea mengangkat wajah, penasaran.“Dengan catatan itu, ia tidak akan pernah diizinkan menginjakkan kaki lagi di negeri ini. Sekali pun.”
Tak pernah ia bayangkan akan melihat Yama, seorang penguasa di negara Matahari, seorang pewaris kerajaan, pria keras kepala itu, menangis seperti anak kecil yang kehilangan arah.“Yama…” Frans menaruh handuk di tepi ranjang, lalu perlahan duduk di sebelahnya. “Kamu tidak bisa begini terus.”Yama tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, dan suara seraknya terdengar.“Dia pasti benci aku, Frans… Ratu pun memandang rendah diriku. Semua ini… hancur. Tapi, aku begitu merindukannya.”Frans mengusap wajahnya kasar, menahan perasaan yang mulai campur aduk. “Kamu pikir aku nggak marah saat tahu Meisya menjebak kalian? Aku frustrasi karena Ratu melarangku bergerak, tapi... aku masih bisa lihat, kamu belum sepenuhnya gagal. Masih ada kesempatan.”“Kesempatan?” Yama mendongak dengan mata memerah. “Dea nggak
Nafasnya tercekat. Ia berusaha bangkit, tapi pergelangan tangannya masih terikat lemah oleh sutra biru yang menggantung di sisi tempat tidur. Ia menyentak tubuhnya, dan Yama—yang duduk tak jauh di sisi ranjang—langsung menghampiri, menindih tubuhnya perlahan.“Aku merindukanmu, Dea...”Suaranya dalam, nyaris seperti rintihan. Kedua tangan Dea ditahan di atas kepalanya.Namun bukan rindu yang membuat Dea luluh—melainkan kemarahan yang seketika naik ke ubun-ubun.“Demi apa?! Tubuhku?!” serunya tajam, mata membara. “Kau merindukan tubuhku, Yama?”Yama tercekat. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa rindunya bukan sekadar hasrat. Tapi pikirannya sendiri bimbang—karena memang, dirinya pun tidak tahu bagaimana membedakan antara rindu pada tubuh dan rindu pada jiwa.Dia menyukai keduanya. Memuja keduan
Dea menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Dia sungguh benci harus memperlihatkan sisi lemahnya kepada pria itu walau dia tidak mengerti mengapa hatinya terasa sangat nyeri pada saat yang sama.Yama hanya diam. Kedua matanya merah, bukan karena marah, tapi karena rasa bersalah yang nyaris membunuhnya.“Kenapa diam? Atau kau ingin aku membantumu?” Dea membuka kancing dress-nya satu per satu dengan tangan gemetar. “Bukankah ini yang kau mau? Tubuhku?”"Kemari, lakukanlah sepuasnya. Setelah ini, tinggalkan aku!" suara Dea bergetar seiring apa yang dia lakukan. Menanggalkan pakaiannya sendiri dengan semua rasa penghinaan yang teramat membuat hatinya luka.Air mata mulai membasahi wajahnya kembali saat dress yang dipakainya meluncur ke lantai dengan mulus, memperlihatkan tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman.Yama tersentak.Dea mulai membuka tali da
Frans mengganti jasnya dengan mantel panjang berwarna navy dan mengenakan kacamata hitam. Penampilannya jauh dari kata flamboyan kali ini.Darah bangsawan yang mengalir di dalam dirinya membuatnya terlihat tampan dann maskulin dengan rambut sedikit kemerahan dan mata berwarna biru.Tak kaIa ia keluar dari mansionnya yang berada tak jauh dari istana tanpa pengawalan besar, hanya membawa satu ajudan yang tak tahu harus berkata apa saat melihat pangerannya melangkah cepat ke arah mobil.Di dalam mobil, Pangeran Frans mengepalkan tangannya.“Aku tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini. Tidak untuk Yama. Tidak untuk Dea.”***Frans menekan gagang pintu kamar yang selama ini dijaga ketat oleh pasukan istana. Tapi dengan nama belakangnya, tak ada yang berani bertanya, apalagi menghalangi.Dea menoleh cepat saat pintu terbuka. Matanya melebar, tubuhnya refleks menegang. Dia mengenali Frans, tentu
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Frans merasakan sesuatu yang asing. Sesuatu yang mendesir halus di dadanya—mendebarkan tapi menenangkan. Wajah Dea begitu dekat, matanya yang bening memantulkan keraguan dan kemarahan, tapi juga kelembutan yang tertahan.Frans menelan ludah. “Kau… tidak apa-apa?”Dea buru-buru menarik diri. “Aku bisa berdiri sendiri.”Frans mundur, tangannya masih terasa hangat. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang tak biasa di pipinya. Ia, yang biasa dikelilingi wanita, yang selalu bersikap flamboyan dan percaya diri—kali ini justru gugup. Tangannya sempat gemetar.“Aku… aku harus pergi,” katanya tergesa, hampir terdengar konyol.“Begitu cepat?” tanya Dea curiga.Frans tersenyum kecil, menahan canggung. “Aku hanya ingin tahu... bagianmu. Dan s
"Lapor, Yang Mulia.""Katakan.""Pangeran Frans mengurung diri di kamar dan ini sudah hampir malam. Dia menolak makanan dan minuman. Kami mengkhawatirkan kesehatannya," lapor salah seorang ajudan kepada sang ratu."Mari kira pergi menemui Dea dan mendengar pendapatnya.""Baik, Yang Mulia."***Langkah-langkah Ratu terdengar mantap menyusuri lorong-lorong istana yang senyap. Di balik senyum kalemnya, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang menggantung sejak sarapan pagi. Ia sudah terlalu lama memimpin untuk mengabaikan isyarat kecil seperti ekspresi gugup, kata-kata yang meleset, dan sorot mata yang menyimpan cerita.Dia ingin tahu—bukan sebagai ratu, tapi sebagai seorang pengasuh Pangeran Frans. Pria flamboyan itu diasuhnya sejak Kakaknya meninggal. Pangeran Frans memang sedikit feminim, tetapi hatinya sangat lembut dan Ratu sangat memahaminya. Bagaimanapun ceritanya, tidak ada seorang pun yang bisa menolak fakta bahwa
“Saya bersedia.”Satu kalimat dari Dea. Ringan di bibirnya, tapi berat seperti batu karang di dada Yama.Tangannya yang memegang gelas bergetar. Getaran kecil yang hanya Meisya di sampingnya yang bisa rasakan.“Yama…” bisik Meisya lembut, menggenggam lengannya. “Tenanglah... Semua orang sedang melihat…”Tapi Yama tidak mendengar. Dia menunduk, menatap lantai marmer di bawah kakinya. Hatinya seperti dihantam ribuan pisau kecil—perlahan, tapi pasti mematikan.Meisya segera mengambil alih gelas yang dipegangnya agar tidak terjatuh.Tamu-tamu tertawa, musik berganti irama menjadi lebih cepat, champagne dituangkan lagi dan lagi. Namun bagi Yama, dunia menjadi sunyi. Ia merasa tidak berada di pesta. Ia merasa terjebak dalam neraka sunyi miliknya sendiri.Senyum palsu menyebar di seke
Karena keterbatasan waktu, Pangeran Frans membuat gaun yang lebih sederhana tetapi sangat elegan di banding gaun sebelumnya.Sebuah kalung berlapiskan permata biru melingkar di leher Dea. Betapa cantik dirinya saat ini dengan riasan make up yang natural.Pelayan berdiri terpaku. Bahkan mereka tak mampu menyembunyikan kekaguman. Tapi wajah Dea? Pucat. Matanya sedikit bengkak. Bibirnya diam, seolah menolak untuk ikut merayakan. Make up artist terpaksa menampakan gincu merah pada bibirnya supaya wajahnya terlihat lebih cerah.Seorang petugas mendekat dengan ponsel, bisik-bisik. Layar kecil itu menunjukkan siaran langsung dari pernikahan Yama.“Yama-sama… sudah tiba di altar…” lapor pelayan, setengah takut, namun itu adalah perintah Ratu. Ratu ingin Dea sadar bahwa pernikahannya hari ini adalah langkah yang benar karena pria yang dia harapkan juga melakukan hal yang sama.
Ia berbalik cepat, melangkah keluar tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan keheningan yang menyiksa. Bahkan gaun itu tidak diambilnya. Gaun mahal itu dibuang seperti layaknya kotoran tak berharga.Para desainer tak tahu harus berkata apa. Beberapa mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk dengan kertas sketsa. Yang lain hanya menunduk, memberi waktu agar Dea bisa menenangkan diri. Atau menunggu perintah selanjutnya. Mereka benar-benar bingung harus melakukan apa.Dea berdiri mematung. Beberapa pelayan segera memberikan handuk untuk membersihkan wajah dan tubuh Dea dari muntahan, tetapi Dea masih juga tidak percaya apa yang sudah diucapkan Pangeran itu.Dadanya naik turun cepat, antara menahan malu, sakit hati, dan perasaan hancur yang sulit dijelaskan. Ia memegangi perutnya. Kandungan menjijikkan? Apakah itu yang orang pikirkan tentang bayi yang tumbuh dalam rahimnya?Air mata mulai menggenang di pelupu
Yama membaca setiap kata dalam berita itu seperti sedang menelan racun bersamaan dengan mata belati yang tajam. Pandangan matanya mengeras. Sesuatu dalam dirinya berdesir. Sakit yang dipendam terlalu lama mulai meledak dalam bentuk yang tak terkontrol.“Baik,” ujarnya datar. “Lakukan saja.”Meisya langsung memeluk lengan Yama, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih... terima kasih, Yama. Aku janji akan menjadi istrimu yang paling setia...”Yama tidak memeluk balik. Ia hanya membiarkan Meisya bersandar di bahunya, sementara dirinya membeku seperti patung. Tatapannya kosong, dan tubuhnya seolah bukan miliknya sendiri.***Malam itu, Dea menangis dalam tidurnya. Ia bermimpi melihat Yama berjalan menjauh darinya di lorong istana yang gelap. Ia berlari, memanggilnya, tapi suara tak keluar. Hanya gema langkah Yama yang menjauh, dan tiba-tiba... tangan Meisya menggenggam tangan Yama dan menariknya pergi. Semua begitu jelas.Saat ia terbangun, bantalnya basah oleh air mata. Tapi tak ada yang tah
"Anak yang tidak bersalah itu harus mendapat kedudukan di kerajaan daripada menjadi budak bagi Nenek munafik itu!" geramnya.Ratu mulai memikirkan taktik untuk tetap mempertahankan Dea di sisinya."Atur pernikahan Dea dengan Pangeran Frans dalam dua hari lagi!" perintahnya kepada seorang asistennya.***Dea menghela napas panjang saat lagi-lagi langkahnya dibatasi oleh bayangan hitam para pengawal kerajaan. Di mana pun ia berada, entah itu taman belakang istana, ruang baca, bahkan lorong menuju kamarnya, selalu ada setidaknya dua pasang mata yang mengawasi. Entah sada berapa banyak pengawal yang berkeliaran di dalam rumah besar yang dia tempati saat ini.Ia tahu maksud Ratu baik. Pengawalan itu adalah bentuk perlindungan, katanya. Alasannya adalah karena Dea adalah seorang Lady yang dihormati dan akan memiliki status tinggi saat menikah dengan Pangeran Frans.Tapi bagi Dea
Pintu terbuka, seorang pelayan masuk, membawa kabar bahwa Yama sudah selesai terapi pagi dan sedang membaca buku di taman.Wanita tua itu segera menenangkan ekspresinya lalu memberikan isyarat dengan tangan agar pelayan itu kembali ke posisinya.“Kamu boleh pergi sekarang,” katanya pada pria itu. “Dan pastikan laporan ini tidak bocor ke siapa pun, termasuk Meisya.”"Baik, Nyonya."Setelah ruangan kembali sepi, wanita tua itu duduk dengan perlahan di kursi empuknya. Rasa lelah mulai merambat ke seluruh tubuhnya, tapi pikirannya terus bekerja. Ia tidak akan membiarkan satu momen pun luput dari perhitungannya.***Tiba-tiba, telepon antik di meja berdering. Nenek Yama mengangkatnya dengan cepat.“Ya?”“Yang Mulia Ratu Inggris ingin berbicara,” ujar suara di ujung sana.
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy