Fathi segera menarik Dea ke pelukannya. Ia merasakan tubuh wanita itu gemetar, penuh kekhawatiran. “Tenang, Sayang… aku akan mencarinya. Serahkan semuanya padaku.”
“Tapi…”
“Ssstt…” Fathi menyentuh bibir Dea, menenangkannya. “Kamu sekarang fokus pada satu hal. Istirahat yang cukup. Makan yang sehat. Dan lahirkan anak ini dengan selamat.”
Tangis Dea pecah di dada Fathi, namun suara pria itu tetap lembut dan penuh ketegasan.
“Kamu harus kuat. Karena kamu akan memberikan anak ini kepada Yama. Kamu akan berdiri di hadapannya dengan kepala tegak, bukan sebagai Lady, tapi sebagai seorang ibu. Seorang perempuan yang melahirkan dari cinta.”
Dea menggenggam pakaian Fathi erat-erat, seolah tak ingin terjatuh dalam badai yang tiba-tiba datang menggulung hidupnya.
“Aku takut, Fathi&hell
Meisya mengangguk. “Kamu tampak kuat, tapi kamu mudah terjatuh kalau diberi tempat yang hangat dan pelukan yang kamu butuhkan. Aku tahu kamu sedang hancur, dan aku hanya… membuka pintu. Kamu sendiri yang memasukinya.”"Dan Dea, kamu mengenal dia lebih dari Yama, bukan?""Tapi, kamu lalu merayuku, dan aku... membutuhkan belaian dari seseorang yang kuat dan bisa memuaskanku, seperti dirimu."Meisya melingkarkan tangannya ke leher Sanjaya dan membiarkan bagian depannya menempel di dada telanjang pria itu.Menatap kedua mata Sanjaya lalu ke bibirnya.Sementara bagi Sanjaya, kalimat itu menusuk lebih dalam daripada semua tuduhan yang pernah dilontarkan Melia padanya. Ia berdiri dalam diam, merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara batin. Meisya melihat sisi dirinya yang bahkan tidak ia sadari. Meisya hanya menginginkan belaian dan kepuasan bathinnya sebagai wanita dewasa, tidak lebih. Dan dirinya, lebih tepat, tu
Meisya mengerjapkan mata, lalu berbalik badan, menyender ke sisi ranjang. “Aku tahu,” katanya datar. “Kamu terlalu baik untuk bisa benar-benar melupakan mereka, bahkan dalam pelukanku. Bahkan saat kamu berpacu atasku, aku tahu... kamu memikirkan mereka.”Sanjaya menoleh cepat. “Kalau kamu tahu, kenapa kamu tetap mengajakku liburan ini dan memaksaku untuk...”Meisya tersenyum, tajam. "Dan kamu menikmatinya, bukan?"Sanjaya terdiam. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dia menikmati semua yang diberikan oleh Meisya untuknya.“Sayang," bisik Meisya. "Karena aku tahu kamu butuh pelarian. Dan aku tahu aku bisa memberikannya, maka kamu ada di sini, bersamaku.”Sanjaya mengernyit. Kata-kata itu bukan sekadar godaan. Ada sesuatu yang mengganjal, menyusup seperti duri dalam daging.“Aku penasaran, Meisya,” ujarnya perlahan, mengubah posisi h
Jumlah yang tak masuk akal bagi pria sepertinya. Dua kali lipat dari semua tabungan yang ia miliki, dan sisa uang dari Meisya sebelumnya hampir habis untuk perawatan darurat dan penginapan Melia. Ia tahu ini akan datang, tapi tetap saja... melihat angka itu di atas kertas seperti menerima vonis mati secara perlahan.Dengan jari gemetar, Sanjaya menghubungi Meisya. Butuh tiga kali napas dalam sebelum dia menekan tombol “call.”Tak butuh lama, Meisya menjawab. Suaranya cerah, seperti sedang menikmati teh sore di balkon hotel.“Sanjaya… akhirnya kamu telepon juga.”“Aku… butuh bantuan lagi.”Meisya tertawa kecil.“Tentu. Aku sudah menduga. Berapa kali kau jatuh, selalu aku yang menangkapmu, bukan? ”Sanjaya menelan ludah. “Tagihan rumah sakit naik jadi dua ratus juta…”Di seberang,
Saat pintu apartemen Meisya tertutup di belakangnya, tubuh Sanjaya limbung. Kakinya bergetar hebat, dan ia terpaksa berpegangan pada dinding koridor hanya agar tidak jatuh.Pinggangnya terasa seperti retak, tulangnya seolah patah dalam diam. Otot-otot tubuhnya menjerit. Tapi bukan hanya tubuhnya yang sakit, jiwanya pun retak, diseret di antara dua dunia yang sama-sama membinasakan.Namun satu hal membuatnya tetap berdiri: kerinduannya pada Melia dan anaknya.Dengan sisa tenaga, ia menuruni lift, menuju mobilnya yang diparkir di basement. Meski tubuhnya nyaris roboh, ia tetap mengemudi. Setiap kali gas diinjak, tubuhnya menegang karena rasa nyeri.Namun pikirannya sudah melayang jauh ke rumah sakit, ke wajah anaknya yang belum sempat ia peluk benar-benar, dan ke Melia yang sempat memaafkannya tanpa tahu bahwa suaminya baru saja menjual kehormatan demi sebuah tagihan.Di lampu merah, Sanjaya bersandar di seti
Ia melempar gelas ke lantai, membuat pecahannya tersebar dan anggur merah mengalir seperti darah di marmer putih. Sanjaya terkejut, namun dia tidak berani bergerak apa lagi berbicara.“Kamu pikir kenapa aku akhirnya menoleh padamu?” lanjutnya dengan suara gemetar, menahan amarahnya sendiri.“Karena kamu! Kamu yang pertama menggoda. Kamu yang datang dengan senyum licik, dengan tatapan berani, dan tubuhmu yang... perkasa.” Ia menatap tubuh Sanjaya dari atas ke bawah, penuh intensitas.“Kamu menaklukkan hatiku. Jangan pura-pura lupa!”Sanjaya terdiam. Ia tahu setiap kalimat dari Meisya adalah ledakan dari luka lamanya, dan sekaligus peluru kendali untuk mengikatnya lebih dalam. Tapi ia juga tahu bahwa ia harus tetap waspada, jangan sampai emosi wanita itu menyeretnya kembali ke dalam peran sebagai mainan malam.Ia mencoba mengalihkan, menarik napas panjang. &ld
Beberapa jam sebelumnya, ia dipanggil oleh pihak administrasi rumah sakit. Di balik meja kaca dan kertas-kertas tagihan, seorang petugas perempuan menjelaskan dengan datar.“Untuk biaya operasi caesar, perawatan intensif, dan pemakaian inkubator selama tiga hari pertama, total tagihannya mencapai 73 juta, Pak Sanjaya. Itu belum termasuk biaya harian berikutnya. Kami butuh konfirmasi pembayaran dalam 24 jam.”Sanjaya membeku. Penghasilannya jelas tidak mencukupi. Tabungannya hampir habis karena kebutuhan kehamilan Melia dan... tentu saja, gaya hidup bayangan yang harus ia jalani untuk memenuhi ekspektasi Meisya selama ini. Wanita itu selalu membeli barang, bahkan hal-hal yang tidak dia butuhkan.Ia merasa seperti ditikam di dada. Baru saja ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mengakhiri semuanya, menjadi suami dan ayah seutuhnya, meninggalkan Meisya dan dunia gelap itu. Tapi kenyataan finansial menyeretnya k