“Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” suara Adam Lloris terdengar tegas meski ada getar di ujungnya. Pemuda 22 tahun itu berdiri kaku, matanya menyapu lingkaran pria-pria bersenjata yang tiba-tiba mengepung mereka.
Tangan Adam refleks menggenggam pergelangan Rachel dan menariknya ke belakang tubuhnya. Gadis itu—teman kuliah sekaligus kekasih yang telah bersamanya dua tahun—hanya bisa menahan napas, wajahnya pucat diterpa cahaya senja di ufuk barat. Adam menyelipkan beberapa lembar kertas ke genggaman Rachel. “Simpan ini baik-baik,” bisiknya cepat. Dia tahu, apa yang ada di tangannya bisa menentukan segalanya. Rachel, putri tunggal seorang kurator museum internasional di Irlandia, menatapnya bingung tapi tetap mengangguk. Di depan mereka, para pria bertopeng hitam berdiri diam, kecuali satu orang yang berani menampakkan wajahnya—pemimpin mereka, tampaknya. "Serahkan benda itu, Rachel." Pria maskulin itu mengulurkan tangannya untuk meminta kertas tersebut, tangan satunya lagi menodongkan pistol ke arah Rachel. Dari penampilannya bisa dipastikan mereka ini adalah sekelompok mafia. "Kau mengenalnya? Kenapa dia bisa tahu namamu, katakan ada apa ini, Rachel?" tanya Adam tanpa melepaskan pandangan ke arah pria di depannya. Gadis itu nampak ragu-ragu. Namun setelah pria asing itu mengeluarkan sebuah foto orang tua Rachel, gadis itu perlahan berjalan menuju pria yang mengenakan setelan hitam itu. "Maafkan aku, Adam. Aku terpaksa melakukannya." Adam tak percaya bahwa dia dikhianati oleh Rachel yang bersamanya sejak dua tahun belakangan ini. Ternyata ketulusan yang dia berikan tidak menjamin seseorang akan berkhianat. "Tapi kenapa, Rachel? Hanya tinggal beberapa langkah lagi, kenapa?" "Hahahaha. Itu pertanyaan bodoh, Adam Lloris. Benar itu namamu, kan, atau aku salah dalam penyebutannya," potong pria tersebut. Kini perhatian Adam tertuju pada pria yang saat ini menggenggam kertas yang berisi data-data penyelidikan yang mengungkap pelaku pembunuhan orang tuanya dahulu, serta file kuno yang banyak dicari orang. "Oh, iya, benar. Maaf aku belum memperkenalkan diri. Supaya kau tidak mati penasaran, ingat baik-baik, namaku August, pemimpin organisasi The Myth." The Myth merupakan organisasi hitam yang bekerja di balik bayangan. Mereka sering disewa oleh kelompok tertentu yang berambisi untuk memuluskan jalan tanpa ada gangguan. Organisasi ini kadang bekerja sendiri mengumpulkan kekuatan dari benda-benda kuno yang berhubungan dengan sihir. Disinyalir, benda kuno itu digunakan untuk tujuan tertentu yang menyangkut reputasi The Myth. "Lalu apa hubungannya denganku. Bukankah data-data itu tidak ada hubungannya dengan kalian?" August tersenyum mengejek menanggapi pertanyaan Adam barusan. Dia beranggapan dengan memberi sedikit petunjuk akan membuka kembali ingatan Adam di masa lalu. "Tentu saja ada, Adam Lloris. Kau ingat ini?" ujar August sembari menunjukkan tato lingkaran hitam di pergelangan tangannya. Adam terdiam sejenak. Dia ingat pernah melihat tato itu sebelumnya, tapi lupa kapan waktu pastinya karena sudah sangat lama sekali. Dia tahu itu lambang gerhana bulan dari buku kuno yang dia baca di perpustakaan, tapi dia pernah melihat juga di tempat lain. "Kau, kau yang membunuh orang tuaku!" Ingatannya kembali pulih, itu adalah tato milik pembunuh yang membantai kedua orang tuanya dulu. Saat itu Adam yang berusia 5 tahun menyaksikan di depan matanya sendiri ayah dan ibunya bersimbah darah. Adam berhasil kabur dan diselamatkan oleh seorang suster yang bekerja di panti asuhan. Di sana dia dirawat, tumbuh besar dan disekolahkan. "Akhirnya kau ingat juga. Sampaikan salamku untuk ayah dan ibumu jika kalian bertemu di neraka," ujar August tanpa ekspresi. Melihat August bersiap menembak Adam, Rachel lalu bangkit berusaha merebut pistol dari tangannya tapi gagal. "Jangan, aku mohon hentikan. Bukan begini perjanjiannya," kata Rachel penuh harap. "Minggir !" Sebuah tamparan dari tangan kiri sudah cukup membuat Rachel terhuyung dan jatuh tersungkur. Pipinya terasa pedih akibat tamparan itu, nampak wajah sebelah kanannya memerah di kulitnya yang putih. "Rachel!" Adam hendak mendekat tapi gerakannya dihentikan dengan moncong pistol dan memaksanya untuk mundur. "Diam di tempat. Untuk apa kau mengkhawatirkan seorang pengkhianat seperti dia," ucap August yang setelahnya melihat tangan Rachel merangkul kakinya dengan harapan agar August tidak melukai Adam. Tanpa sepengetahuan August yang perhatiannya tertuju pada Rachel, diam-diam Adam meraih ponsel dan menekan tombol panggilan atas nama Gregor. Dia adalah teman Adam di panti asuhan dan teman kuliahnya. Dia ingin meminta bantuan Gregor untuk membantunya keluar dari situasi ini. Tak lama kemudian, dia mendengar nada dering yang familiar dari salah satu pria yang memakai penutup kepala. Memang nada dering itu bisa siapa saja yang menggunakan, tapi entah kenapa dia merasa tidak asing. Pria tersebut lantas mengambil ponselnya dan menatap layar. Lalu, dia menunjukkan tampilan layar tersebut dan nama Adam tertera di sana. "Tidak mungkin. Katakan aku salah. Kau bukan Gregor, kan. Dari mana kau mendapatkan ponsel miliknya, apa kau sudah membunuhnya?" tanya Adam dengan nada tinggi. Pria itu tidak menjawab, tapi segera dia membuka penutup kepalanya sendiri. Adam seketika terduduk bertumpu pada kedua lutut yang terasa lemas. Sahabat semasa kecil yang berbagi penderitaan, kini di depan mata atas dasar ideologi yang berseberangan. "Gregor. Kenapa?"Dua setengah tahun Adam menahan diri di dalam hutan Arkhivum. Hutan itu bukan sekadar tempat pelatihan, melainkan juga penjara yang mengurungnya dari dunia luar. Ia belajar mengendalikan Orion—daya kuno yang bersemayam dalam dirinya—tanpa campur tangan sihir. Nuada pernah berpesan: *“Hanya dengan menguasai dirimu di tempat di mana sihir tidak berlaku, kau akan benar-benar memahami arti kekuatan.”*Hari-hari Adam dipenuhi keringat, luka, dan kesunyian. Ia melawan kelelahannya sendiri, mengasah ketajaman indra, membiasakan tubuhnya dengan ritme alam. Tidak ada lawan selain dirinya sendiri. Tidak ada suara selain bisikan dedaunan dan tarikan napas yang berat. Namun dari situ, Adam lahir kembali.Ketika akhirnya ia keluar dari hutan, tubuhnya berbeda—lebih berisi, gerakannya lebih terkendali. Mata yang dulu penuh keraguan kini memancarkan tekad dingin. Dunia di luar menantinya, dan di sanalah hutang lama belum terbayar.Salah satu yang pertama ada di benaknya: Rachel.Adam menelusuri kota
Di tempat lain, di dasar jurang tempat Adam dulu terjatuh, Nuada duduk bersila dengan mata terpejam. Posisinya menghadap ke arah pintu masuk gua seperti tengah menunggu kedatangan seseorang.Suasana di luar goa diguyur hujan badai, kilat menyambar, ombak berdebur keras menghantam karang menjadi pertanda akan hadirnya seseorang dengan kekuatan jahat.Di saat petir melintas, mulut gua yang tadinya gelap dalam sekejap menjadi terang. Menampilkan bayangan hitam seseorang berdiri di ambang pintu dengan pongah, tatapan matanya tajam menusuk seseorang hingga membuat nyalinya menciut."Kau sudah datang rupanya, wahai muridku," sapa Nuada kepada sosok pria yang baru saja datang entah dari mana. Kedatangannya seolah beriringan dengan petir. Cepat, dan muncul dalam sekejap.Dia bukanlah Adam, melainkan seseorang yang pernah dilatih Nuada. Sosok pria yang diceritakan kepada Adam, tentang seorang penjaga yang lalai hingga menyebabkan David Lloris tewas.Pria misterius yang mengenakan jubah dengan
Sementara itu saat Adam melakukan perjalanan menuju Hutan Arkhivum tidak mudah. Jalannya berliku, melewati tebing dan lembah yang dipenuhi kabut. Namun semakin dekat ia berjalan, semakin terasa suasana asing di sekelilingnya. Pepohonan seperti memiliki mata yang mengawasinya setiap saat, ranting-ranting seperti tangan yang sigap menyergap kapan mereka mau.Udara di sana berat, seolah-olah setiap langkah menurunkan daya magis yang melekat pada tubuh. Cahaya Orion yang biasanya berkilau di balik kulitnya, kini terasa meredup. Adam merasakan kejanggalan: setiap kali ia mencoba mengeluarkan energi, kekuatannya lenyap begitu saja, seakan diserap oleh tanah.“Aneh… jadi begini maksudnya,” pikir Adam. “Tidak ada sihir yang bekerja di sini. Tapi… mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain?”Sesampainya di tengah hutan, Adam duduk bersila di sebuah batu besar. Ia memejamkan mata, mencoba masuk ke dalam meditasi. Lalu sesuatu terjadi. Kabut tipis muncul, bukan dari luar, melainkan dari dalam dir
Adam duduk termenung di tepi sungai kecil yang alirannya tenang, namun dalam hatinya tidak ada ketenangan sedikit pun. Bayangan wajah August menghantui pikirannya. Tatapan dingin pria itu, gerakan tangannya yang cepat, serta kekuatan yang seakan melampaui batas manusia biasa, semuanya berulang kali muncul dalam benaknya seperti lukisan kelam yang tidak bisa dihapus.Kekalahan itu bukan sekadar luka fisik, melainkan pukulan pada harga dirinya. Adam yang selama ini berlatih keras di bawah bimbingan Nuada merasa runtuh karena kenyataan pahit: ketika benar-benar menghadapi pertempuran nyata, ia tak mampu berbuat banyak.“Aku gagal…,” gumamnya lirih.Nuada, yang memperhatikan muridnya dari kejauhan, menghela napas panjang. Ia tahu Adam tidak kekurangan semangat, namun pengalaman bertarungnya masih mentah. Pertemuan dengan August—yang seharusnya baru terjadi ketika Adam matang—datang terlalu cepat.“Adam,” panggil Nuada sambil berjalan mendekat. “Menyesal itu manusiawi. Tetapi jangan biarka
August tertawa, suara dingin yang menggema. “Kau masih sama saja. Terjebak pada murid, pada harapan yang sia-sia. Apa kau pikir dia mampu menahan badai yang akan datang? Kau salah, Nuada. Sangat salah.”Pertarungan berlangsung sengit. Adam berusaha menyerang August, tapi setiap tebasannya hanya mengenai bayangan. Sekali dorongan dari August, tubuh Adam terpental menghantam pohon besar. Nafasnya hampir putus, tulang rusuknya nyeri. Ia tahu dirinya tidak sebanding.Nuada pun terdesak. Walau sihir tingkat tinggi dikuasainya, kekuatan August terlalu mengerikan. Seakan waktu sendiri tunduk pada lelaki itu. Tongkat Nuada patah sebagian, darah mengalir di sudut bibirnya. Namun ia tidak menyerah. Ia menyalurkan seluruh kekuatan ke tanah, menciptakan gempa kecil yang membuka celah untuk melarikan diri.“Adam! Sekarang!” teriak Nuada sambil menarik muridnya bangkit.Mereka berlari, tubuh limbung dan penuh luka. Hutan terasa tak berujung, tapi Nuada tahu jalur rahasia yang hanya ia pahami. Di be
Malam itu bulan hanya terlihat separuh, cahayanya redup dan terhalang kabut tipis. Adam kehabisan napas setelah berlari sekuat tenaga, sementara di belakangnya Nuada mengayunkan tongkat kayu yang sesekali memancarkan cahaya biru sebagai perisai untuk berjaga-jaga. Mereka sudah menempuh perjalanan panjang, dan malam ini bukanlah pengecualian. Nafas Adam memburu, tubuhnya masih terasa gemetar setelah sihir Nuada membuka jalan keluar dari hutan berliku yang dipenuhi jebakan gaib.Namun semua itu buyar saat suara berat dan penuh wibawa terdengar dari balik kegelapan.“Jadi akhirnya aku bertemu kalian.”Adam mematung, jantungnya berdentum keras. Nuada menoleh, matanya melebar seakan melihat hantu dari masa lalu. Dari balik kabut, muncul seorang pria berpakaian hitam dengan mantel panjang menjuntai hingga tanah. Rambutnya hitam pekat, wajahnya tegas, dan sorot matanya menusuk. Di belakangnya, tiga orang lain berjalan dengan tenang, membawa aura mencekam: Geovani, Elber, dan Krul, para petin