Mulai saat ini, jika ada yang berani mengatakan, sudah tidak ada lagi orang baik di dunia ini, aku akan mengenalkannya pada Nyonya Burhan.
Kemarahanku yang salah sasaran tidak membuat dia marah, malah kemarahanku itu memancing empatinya. Dengan penuh kelembutan seorang ibu dan simpati sesama wanita, dia menghiburku. Singkat kata, Nyonya Burhan menawariku untuk tinggal bersama dia di Jakarta.
"Rumahku sekarang jadi sepi sejak kepergian Ryan. Kebetulan aku dengar dari beberapa teman, kolega almarhum suaminya juga, kalau keadaanmu saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaanku.
Jadi, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku.
Kudengar kau tertarik untuk bekerja di bidang jurnalisme, kebetulan aku kenal seseorang yang bekerja di sebuah Stasiun TV nasional. Aku bisa coba tanyakan, kalau-kalau ada lowongan." Demikian kata Nyonya Burhan setelah kami mengobrol cukup lama.
Sebulan kemudian, di sinilah sekarang aku tinggal, di rumah Nyonya Burhan.
“Jangan sungkan-sungkan ya, makan yang banyak Dewi, badanmu kan bagus, ga perlu diet buat nurunin berat badan. Beda ama aku.” ujar Nyonya Burhan.
“Siap tante, jangan kuatir. Nafsu makanku selalu bagus kok. Omong-omong menurutku berat badan Tante sekarang ini sudah ideal juga lho,” jawabku sambil menambah lauk.
Baru seminggu lebih aku tinggal di sini, tapi rasanya seperti sudah jadi rumah sendiri. Nyonya Burhan yang ramah dan suka mengobrol, membuatku cepat betah. Usia Nyonya Burhan sudah tidak muda lagi, tapi semangatnya untuk hidup masih bersaing ketat denganku yang masih muda.
Dalam waktu yang singkat, kami menemukan banyak kecocokan di antara kami berdua.
Tiap pagi kami jogging bersama, dan awalnya aku sempat kaget, Nyonya Burhan bukan cuma latihan kardio, dia juga punya satu set dumbbell warisan suaminya yang dia pakai berlatih tiap hari. Sebaliknya Nyonya Burhan juga terkagum-kagum melihat rutinitas latihan pencak silatku setiap pagi.
Malamnya kami akan nonton acara berita, baik berita nasional, maupun berita internasional. Berdebat dengan Nyonya Burhan itu menyenangkan, dia siap mendengar dan ketika mendebat, argumen-argumen yang dia ajukan selalu membuatku harus berpikir masak-masak sebelum menjawab. Lagipula dia tidak punya sifat mau menangnya sendiri, tidak jarang perdebatan kami berakhir dengan persamaan pendapat yang mengakomodasi pendapat kami berdua.
Perdebatan pertama kami adalah soal sebagai apa aku tinggal di rumahnya. Awalnya Nyonya Burhan menolak untuk menerima uang sepeser pun dariku. Menurutnya dia butuh teman, dan seharusnya justru dia yang membayarku untuk menemani orang tua sepertinya.
Tentu saja aku menolak, tak mau aku menjadi benalu di rumah orang, meskipun atas persetujuan pemiliknya.
Aku ngotot untuk nge-kost saja di rumahnya. Ada uang kost yang harus aku bayarkan tiap bulannya. Jumlahnya pun menjadi topik perdebatan di antara kami berdua.
Lucunya tidak seperti tawar menawar antara pemilik dan anak kost pada umumnya, Nyonya Burhan sebagai pemilik kost berusaha menawar serendah-rendahnya, sementara aku berusaha menawar setinggi-tingginya. Berbekal survey harga kost di wilayah itu dan fasilitas yang diberikan Nyonya Burhan, tapi juga dengan perhitungan bahwa Nyonya Burhan membutuhkan seseorang untuk menemaninya, akhirnya kami berdua mencapai kata sepakat soal uang bulanan yang harus kubayarkan.
“Jangan ajari aku untuk jadi benalu Tante,” kira-kira demikian jawabku waktu itu.
Dan Nyonya Burhan menghormati keinginanku itu.
Satu-satunya yang sedikit mengecewakan adalah masalah karier. Itu pun tidak bisa kukatakan mengecewakan sebenarnya, yang kecewa sebenarnya adalah Nyonya Burhan, bukan aku.
Tadinya Nyonya Burhan berharap, karena yang dia kenal adalah salah satu orang dekat pemilik perusahaan, dia akan dengan mudah meloloskan aku untuk mendapatkan posisi yang cukup bagus di perusahaan media cetak dan TV tersebut. Tapi ternyata untuk mendapatkan entry level position pun, ijazah yang aku punya tidak menunjang dan ada aturan yang ketat mengenai hal itu.
Kalau aku sebaliknya, aku justru lega bahwa aku tidak mendapatkan posisi yang tak sesuai dengan ijazahku.
Meskipun sekarang ini aku hanya mendapat posisi “pesuruh kantor” yang tugasnya benar-benar merambah semua lini, justru di posisi ini aku merasa aku bisa belajar banyak.
Apalagi tugas utamaku adalah menjadi “kurir” yang mengantar dokumen-dokumen, dari satu departemen ke departemen yang lain. Selama beberapa hari aku bekerja, ada banyak pengalaman yang aku dapatkan.
Juga makian.
Meski rasanya sedih juga kalau menerima makian, tapi sejauh ini aku masih bisa menerimanya. Memang kenyataannya, aku sendiri merasa aku masih perlu banyak menyesuaikan diri dengan irama kehidupan kantor yang cukup cepat.
Lagipula, pandanganku selalu kutujukan jauh ke depan. Posisi ini hanyalah sementara, demikian mantraku sehari-hari. Masihlah dibantu oleh Nyonya Burhan, aku sudah mulai mencari-cari perguruan tinggi yang bisa menunjang karier-ku ke depan nanti. Selain bermutu, biayanya juga harus sesuai dengan deposito-ku yang terisi warisan almarhum orang tua dan suamiku.
Jadi tidak ada alasan untuk merasa rendah diri. Suatu saat, aku akan berdiri sejajar dengan mereka.
Bahkan lebih tinggi dari mereka. Tentu saja pikiran-pikiran itu tidak aku ucapkan keras-keras, cukup kusimpan dalam hati, sambil mengingat wajah-wajah mereka yang bersikap seenaknya pada OB.
Tidak banyak yang seperti itu, jadi cukup mudah untuk mencatat nama mereka dalam otakku ini.
‘Lihat saja nanti,’ ujarku dalam hati, sambil tersenyum manis saat bertemu dengan orang-orang seperti itu.
"Tante, aku berangkat!" ujarku penuh semangat setelah selesai membantu Nyonya Burhan mencuci piring dan membereskan meja.
Di luar rumah, ramainya suara kendaraan, debu, dan bau asap knalpot sudah siap menyambutku.
Untuk sesaat aku rindu Kota Malang yang dingin dan irama kehidupan-nya yang merayap ringan, di sini, di Jakarta, aku merasa selalu dikejar-kejar.
Hanya sesaat saja, dan sesaat berikutnya aku sudah melangkahkan kaki dengan cepat dan ringan menuju halte bus terdekat.
"Masa depan, aku datang!"
------
Di luar sepengetahuan Ratna, atau yang sekarang kita panggil Dewi, sesuai dengan yang dia inginkan, seorang bapak-bapak tua mengamatinya dari kejauhan.
Bapak-bapak tua itu berjalan perlahan dengan kepala setengah tertunduk.
Matanya tak pernah diam, tatapan matanya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan akhirnya selalu berhenti pada sosok Dewi.
Sesekali dia membandingkan Dewi dengan sebuah foto yang ada di HP-nya.
Entah dari mana dia mendapatkan foto itu. Di foto itu Dewi mengenalkan baju berkabung warna putih, berada di antara beberapa orang, sedang menaburkan bunga di atas makam.
Ketika Dewi melompat ke salah satu bus yang berhenti, bapak tua itu pun berjalan meninggalkan tempat itu.
Di tempat yang sepi, jauh dari keramaian, dia menelepon seseorang.
"Dengar aku sudah menemukannya," kata bapak tua itu, dari HP itu terdengar suara seperti robot membalasnya.
Bapak tua itu tampak menggertakkan gigi saat mendengarkan lawan bicaranya, kemudian menjawab dengan suara geram,"Ya, ya, aku yakin dia isteri arkeolog terkemuka itu.
Dengar …, kami masih menyimpan bukti-bukti yang bisa mengacaukan rencanamu.
Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan, tapi jika kau ingkar pada janjimu. Kau akan menyesal."
"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya
Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp
"Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma
"Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu
Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku