Share

Buaya-Buaya Darat

“Hiiih…!” teriakku gemas, sambil mengambil ancang-ancang untuk melemparkan HPku ke dinding.

Beruntung masih bisa menahan emosi, apalagi kalau berpikir berapa harga HP seandainya aku harus membeli yang baru. Aku sudah berhenti menghitung, berapa orang yang aku hubungi untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari daftarku itu.

Tanggapan terbaik yang kudapatkan adalah, “Kebetulan ada lowongan mbak, nanti saya kirim syarat-syaratnya ya.”

Lalu tak lama kemudian aku dapatkan baris-baris kalimat yang tak ada bedanya dengan lowongan pekerjaan yang ada di koran-koran. Masalahnya saat ini aku tidak punya gelar pendidikan apa pun. Cuma ada ijazah kelulusan dari ujian kejar paket C. Sementara lowongan yang mereka tawarkan itu, rata-rata minimal membutuhkan ijazah D3.

Itu masih lumayan, nah ini yang paling mengesalkan, ada beberapa yang justru mengirimkan pesan chat, seperti yang barusan aku terima.

“Ratna, aku ingin berkenalan lebih dekat denganmu. Bolehkan?”

Ada juga beberapa pesan yang bahkan sama sekali tak ingin aku tuliskan di sini.

Intinya, kata bertuah “orang dalam” rupanya tidak berguna buatku. Ada juga memang yang menawarkan posisi tertentu di perusahaan mereka bekerja, tapi bau-bau “udang di balik batu” itu menyengat sekali dari pesan yang mereka kirimkan.

Bahkan aku sekarang jadi ragu, apakah harus memenuhi beberapa panggilan wawancara kerja yang aku terima dari beberapa orang yang ada di daftar itu.

Bisa jadi yang terlihat sopan saat ini, sebenarnya juga menyimpan motif yang tak baik di belakangnya.

“Haah …,” kulemparkan tubuhku kembali ke atas pembaringan.

Rasanya nyaman sekali, membiarkan tubuh ini terbaring begitu saja. Tak perlu mencoba, tak perlu mengejar apa-apa. Toh aku punya cukup tabungan untuk hidup sederhana.

Sebenarnya masih ada pilihan untuk membuka usaha sendiri, tapi masalahnya aku ingin meraih impianku. Masuk ke dunia reportase dan investigasi seperti idolaku. Kalau aku memilih jalur lain, sia-sia dong aku ganti nama.

Sekilas aku melirik, sebuah foto yang terpajang di dinding ruang tamu. 

Foto dia.

Aku memejamkan mata dan mengambil nafas dalam-dalam, ‘Aku harus mengejar mimpi-mimpiku. Aku berhutang itu padanya. Mas … kau lihatlah di alam sana, akan kukejar mimpi-mimpiku dan kubentuk dengan kedua tangan ini masa depanku.

‘Dengan tidak mengorbankan harga diriku!’ teriakku dalam hati.

Iya, dalam hati, aku tidak ingin tetangga nanti melapor ke pihak dinas sosial, bahwa ada janda muda yang jadi gila karena ditinggal mati suaminya.

Mataku melirik ke arah kertas dengan deretan daftar nama dan nomer telepon. Tanpa ragu lagi aku sobek-sobek kertas itu, aku remas-remas jadi gumpalan dan kubuang ke tempat sampah terdekat. Harus kuakui, di langkah pertama aku sudah melakukan kesalahan. Tergoda mencari jalan pintas untuk membuka jalan menuju cita-citaku.

Yang penting mengambil pelajaran dari tiap kesalahan yang kubuat,’ kataku pada bayanganku yang kulihat terpantul dari cermin.

Meskipun sudah punya niatan untuk melakukan yang terbaik, bukan berarti semuanya jadi mudah. 

‘Kuliah …,’ satu patah kata itu membuat jantungku berdebar-debar.

Saat ini penghalang terbesarku adalah catatan akademik-ku yang cuma berhenti di kejar paket C, alias setingkat anak SMU. Kalau aku ingin mengikuti jejak idolaku, Shana Devi, setidaknya aku harus punya gelar sarjana komunikasi atau jurnalisme. Bahkan gelar sarjana di bidang apa pun, akan jauh lebih baik dari riwayat pendidikan yang kumiliki saat ini.

Tapi …,’ aku berusaha menekan debar jantungku.

Sejak aku terpaksa berhenti sekolah dan menikah. Membayangkan bersekolah, apalagi kuliah, seperti membawa trauma tersendiri buatku. Ada rasa takut akan dipermalukan. Rasa minder karena aku menikah, ketika teman-temanku yang lain masih bersekolah dan mengejar impian mereka.

'Dewi, kamu tak boleh takut! Ya … aku Tak boleh takut. Masih ada waktu hampir 9 Bulan sebelum tahun ajaran baru dimulai.

Dari embryo sampai jadi bayi yang siap lahir, butuh waktu yang kurang lebih sama.

Sambil menunggu tahun ajaran baru dimulai, inilah waktuku untuk bertransformasi.

Berubah, untuk lahir menjadi manusia yang baru dan meninggalkan masa lalu.'

Tanganku mengepal keras, entah kenapa tapi mengepalkan tangan keras-keras selalu membantuku membakar semangat. Ketika dari sudut mataku aku melihat foto Mas Bambang, hatiku bergetar dan hampir-hampir kehilangan semangat kembali.

'Tidak! Tak boleh ada apapun, atau siapapun yang menghalangiku untuk merengkuh masa depanku!' geramku pada diri sendiri.

Sambil menatap tajam ke arah foto Mas Bambang aku berkata padanya, "Kau cuma hantu masa lalu. Kau yang ingin mengakhiri pernikahan kita kan?

Semuanya sudah terjadi tepat seperti yang kau inginkan.

Kau puas sekarang?"

Tentu saja foto itu hanya membisu, memandangiku dengan ekspresi yang kaku. Mas Bambang memang tak tahu bagaimana berpose di depan kamera.

"Jadi …, selamat tinggal Mas Bambang, aku akan meninggalkanmu, menghapuskan semua torehan penamu dalam sejarah hidupku." Suaraku lirih menahan perasaan perih, tapi tekadku sudah kukuh untuk pergi menjauh, dan memulai segala sesuatunya baru.

Omong-omong, aku tidak percaya dengan segala mumbo jumbo tentang Law Of Attraction dan segala macam tahayul modern.

Hanya saja terkadang harus kuakui, sesekali sesuatu sepertinya terjadi tepat saat aku membutuhkannya.

Demikian juga hari itu, tepat pada saat aku mengucapkan selamat tinggal pada Mas Bambang. Atau mungkin lebih tepatnya pada fotonya, karena kelak di kemudian hari, aku harus mengakui kalau aku tidak bisa benar-benar melupakannya.

Belum berapa lama aku menutup mulut, aku mendengar nada panggil dari HPku.

Dengan marah aku meraih dan mengangkatnya, "Dengar ya! Aku mungkin seorang janda muda, bukan berarti aku tertarik dengan tawaran-tawaran yang menjijikkan itu!

Aku mencari pekerjaan, bukan karena aku kelaparan!

Kalaupun aku kelaparan, aku lebih baik mati kelaparan daripada menjadi simpanan kalian!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, aku tutup panggilan itu, dan dengan kesal aku lempar HPku.

Ke atas sofa tentunya.

Baru saja HP itu berhenti bergerak, dia sudah berbunyi lagi, memainkan nada panggilan yang sama.

"Gila! Siapa sih ini!" geramku sambil sekali lagi meraih HPku.

Kali ini mataku dengan tajam menyambar. Melihat foto yang tampil, seorang laki-laki tua yang sedang memeluk isterinya. Keduanya tersenyum ramah di situ.

"Dasar tua-tua keladi!" dengusku kesal.

Sedetik kemudian aku membaca nama yang tampil di situ: "Nyonya Burhan (ibunya Ryan)"

Otakku membeku sekejap dua kejap, sebelum berputar dengan kencan membongkar ingatan-ingatan yang bertumpuk tak karuan. Dengan musik latar belakang suara dering panggilan dari HP, perlahan aku menemukan informasi tentang nama itu dari salah satu sudut otakku.

Ryan adalah salah seorang kolega Mas Bambang yang ikut bersamanya pergi ke Jakarta.

Aku bertemu Nyonya Burhan, ibunya, di acara pemakaman Mas Bambang.

Dengan tangan gemetar aku menerima panggilan itu, "Tante … maaf tante … tadi …."

Wajahku terasa panas memerah, sementara otakku membeku tak bisa berpikir.

Waaaa ..., rasa malunya sungguh tak tertahan, aku berharap bumi terbuka dan menelan aku ke perutnya, daripada harus menghadapi Nyonya Burhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status