Share

Pilihan Sulit

Rayen berjalan dengan langkah lemas, suara Anna terus menggema ditelinganya.

“Tidurlah denganku, jika kau berkeras ingin membalas Budi.” Anna semakin memperjelas ucapannya, padahal Rayen yakin ia salah dengar saat itu. Tapi ternyata dugaannyalah yang salah, Anna benar-benar mengucapkan kalimat itu.

“Aahhh.. sadarlah Rayen.” Rayen menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk pipinya hingga memerah, suara Anna bahkan membuat dirinya gemetar. Pertama kalinya Rayen bertemu dengan wanita seperti itu, yang mengeluarkan uang sebanyak itu dalam sekejap mata dan mengajaknya untuk tidur bersama bahkan dikali pertama mereka bertemu.

Saat kemudian dia tiba di lorong kecil tempat rumahnya berada, Rayen terkejut melihat banyak orang berkumpul dirumahnya. Ia mulai bertanya-tanya sedang apa orang sebanyak itu dirumahnya yang kecil dan sempit. Sampai suara teriakan Sely terdengar menyayat hati. Rayen yang sempat menghentikan langkahnya sontak berlari sekuat tenaga. Benar saja, saat dia tiba tubuh lelaki tua renta dan kurus itu kini terbaring pucat didalam rumah dengan nafas yang amat berat.

“Kakaaaakkk.” Teriak Sely saat melihat Rayen tiba, ia berlari dan langsung menghambur ke arah sang kaka. Ia menangis sesenggukan didalam pelukan Rayen, sementara Rayen hanya terdiam menatap kosong ke arah tubuh ayahnya yang pucat dan lemah. Diremasnya kotak berisi kalung berlian itu.

“Tolong bantu saya membawa ayah saya kerumah sakit.” Kata Rayen kepada beberapa tetangga yang datang. Sepertinya mereka takut untuk membawa ayah Rayen dan Sely kerumah sakit karena Rayen sang kakak tertua tidak ada dirumah, hanya ada sang adik yang terus menangis disamping tubuh sang ayah.

**

Anna terduduk dikursi kantornya, ia menyandarkan tubuhnya dengan tarikan nafas. Dipejamkannya matanya yang terasa berat dan lelah. Hampir semalaman dia tidak tidur nyenyak karena harus membuat desain pakaian untuk anak salah satu petinggi negeri yang akan melangsungkan pernikahan dua bulan lagi.

“Nona, apa Anda tidak sebaiknya beristirahat hari ini? Anda sudah bekerja keras belakangan ini.” Marlin salah satu pegawai sekaligus orang kepercayaan Anna dibutik miliknya itu terlihat khawatir. Perlahan Anna membuka matanya.

“Tidak Marlin, aku baik-baik saja.” Kata Anna. Marlin sepertinya ragu dengan ucapan Anna, tapi ia tidak bisa membantah bosnya begitu saja.

“Ahh ini nona, ini kalung berlian yang Anda pesan untuk nyonya.” Katanya sembari menyodorkan kotak kepada Anna, Anna meraih kotak itu dengan wajah tanpa ekspresi. Seketika kotak itu mengingatkannya pada pria muda yang mencuri kalung di toko siang tadi.

“Aahh, tidak seharusnya aku mengatakan itu padanya.” Ucap Anna dengan suara penyesalan.

“Iya nona?” Marlin bertanya karena mendengar Anna berbicara, tapi sedetik kemudian Anna menggelengkan kepalanya dan menyuruh Marlin untuk meninggalkan ruangannya.

Anna membuka kotak itu, sebuah kalung berlian dengan bandul berbentuk seperti butiran Air, kalung itu begitu berkilau. Anna lagi-lagi teringat pada Rayen. Masih teringat jelas dalam ingatan saat Anna melihat Rayen memasukkan kalung itu ke saku jaketnya, namun Anna menangkap raut ketakutan dan ragu-ragu diwajah Rayen seakan-akan itu kali pertama dia berbuat demikian. Bahkan sepintas ia tampak melakukannya dengan terpaksa, tangannya pun terlihat gemetar saat memegang kalung itu.

Pada saat perbuatannya ketahuan, Anna awalnya enggan terlibat, tapi kemudian wajah memelas Rayen entah mengapa menggerakkan hati Anna. Ini kali pertama Anna peduli pada hidup orang lain selain dirinya dan keluarga. Sejurus kemudian Anna membayangkan, seandainya saja benar Rayen setuju untuk menghabiskan malam dengannya, entah apa yang akan dilakukannya selanjutnya.

Anna tanpa sadar mengatakan hal konyol karena pikirannya yang sedang kacau hari ini, alasannya karena Robert tampak tidak begitu peduli dengan keluarga Anna terutama ibunya. Dia bahkan sering kali terlihat tidak berkutik dengan titah dari istri pertamanya. Begitu pula dengan hari ini saat Anna meminta agar Robert ikut bersamanya membeli hadiah dan memberikan hadiah itu kepada ibunya, tapi Robert justru menolak ajakan Anna dengan alasan harus tetap tinggal dirumah sang istri pertama karena anaknya yang sedang sakit.

“Nonaaa!!” Teriak Marlin yang tiba-tiba menghambur masuk keruangan Anna dengan wajah panik, membuat Anna tersentak kaget. “Nyonya Jeslin..” ucapan Marlin membuat raut wajah Anna berubah pucat, dengan cepat ia bangkit dan berlari keluar. Marlin mengikutinya dari belakang, Anna lupa kalau ponselnya lobet sejak tadi.

“Dimana?” tanya Anna ditengah langkahnya yang kacau.

“Dirumah sakit A nona.” Jawab Marlin dengan cepat.

Setibanya dirumah sakit, Anna langsung berlari menuju ke IGD, benar saja ibunya sudah terbaring disana dengan wajah yang sangat pucat.

“Mii.” Panggil Anna dengan raut wajah panik.

Jeslin membuka matanya pelan, Ia masih bisa tersenyum ke arah putrinya dibalik rasa sakit yang dirasakannya. Jeslin memang memiliki tubuh yang lemah, dia bahkan masih harus menjalani operasi kedua setelah operasi pertamanya 4 bulan yang lalu. Jeslin mengusap keringat yang mengalir diwajah Anna.

“Pasti kamu kesini dengan berlari ya? Dasar anak ini.” Ucap Jeslin dengan suara lirih dan senyuman teduhnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Marlin dan langsung tersenyum kepada Marlin, Marlin tampak menunduk memberikan hormat.

“Mami kenapaaa? Aku sampai hampir jantungan mendengar kabar mami pingsan dirumah.” Kata Anna dengan suara manja dan penuh kekhawatiran. Selama ini ia memang sangat manja kepada ibunya.

“Mami hanya kelelahan saja.” Jawab Jeslin pelan.

“Kan aku sudah bilang, mami bisa tinggal bersama aku dan Robert. Meskipun dirumah itu ada pembantu tapi tetap saja aku tidak tenang meninggalkan Ibu sendiri. Belum lagi Pekerjaanku dibutik...” Jeslin meraih tangan Anna, membuat Anna menghentikan celotehan nya.

“Mami baik-baik saja. Padahal tidak perlu sampai dibawa kerumah sakit.” Kata Jeslin pelan.

“Tetap saja, sebaiknya memang harus dibawa kerumah sakit.” Sergah Anna.

“Ayaaaaahhhh.” Suara teriakan anak kecil mengagetkan mereka, tampaknya itu suara yang berasal di salah satu bilik IGD.

“Kak, kenapa ayah tidak bisa sembuh? Kita sudah membawa ayah kerumah sakit kan? Kata kakak ayah bisa sembuh kalau ayah dibawa kerumah sakit.”

Anna menatap ke arah bilik yang tak jauh dari tempat ibunya saat ini, bilik itu tertutup oleh tirai. Semua pandang kini tertuju pada asal suara.

“Kami akan membawa jasad ke ruangan lain pak.” Kata seseorang yang sepertinya perawat. Sejurus kemudian tirai itu tersibak.

Ssrreeeekkk..

Terlihat dua perawat mendorong ranjang dengan tubuh kaku yang tertutup dibalik selimut putih, Disampingnya berdiri seorang pria dan seorang anak kecil. Mereka berjalan beriringan dengan jadad yang akan dibawa keruang berbeda. Anna memicingkan matanya, sosok itu entah kenapa terlihat tidak asing.

Saat kemudian mereka melewati ranjang tempat ibunya Anna terbaring, barulah Anna bisa melihat jelas bahwa sosok itu benar adalah Rayen terlihat raut kesedihan namun tak ada air mata disana, mungkin saja dia mencoba untuk tetap terlihat tegar didepan anak kecil itu. Rayen sempat menoleh, ia bertemu tatap dengan Anna, Anna tertegun melihat pemandangan ini.

“Sebab inikah dia berani mencuri?” batin Anna menerka-nerka. Rayen tampak kaget, namun kesedihan membuatnya hanya bisa berlalu meninggalkan ruang IGD tanpa sebuah sapaan untuk Anna.

“Nona..” Panggil Marlin mengagetkan Anna.

“Suster..” panggil Anna. Seorang suster lalu berhenti dihadapan Anna.

“Kalau boleh tahu orang itu sakit apa yah?” Anna menyimpan rasa penasarannya sendiri.

“Penyakit paru bu. Sepertinya mereka terlambat membawa pasien kesini hingga tidak bisa tertolong.” Jawab suster itu sebelum pergi, Anna lagi-lagi termenung rupanya pria itu terlambat membawa kalung itu.

“Kamu kenal keluarga itu Anna?” tanya ibunya.

“Ahh, tidak mi. Anna hanya penasaran saja.” Sahut Anna, ia seketika langsung merasa iba pada Rayen. Kini Anna ikut menyesal, seandainya saja kejadian tadi terjadi lebih cepat, mungkin ayahnya masih bisa tertolong saat ini dengan kalung tersebut.

“Sungguh Malang.” Gumam Anna pelan.

Disudut lain rumah sakit, Rayen tampak memegang kotak berlian itu dengan tatapan nanar. Ternyata tidak hanya perawatan untuk sembuh yang mahal, tapi juga pengurusan jasad sang ayah juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kini Rayen berdiri dalam tiga pilihan sulit, mengembalikan kalung itu seperti rencana awalnya atau dia menerima kalung itu dan menjualnya tanpa rasa sungkan. Tapi Rayen bukanlah orang yang senang berhutang Budi, meski hidup miskin ia diajarkan untuk tidak memanfaatkan orang lain.

“Haruskah aku melakukan seperti yang dimintanya?” Batin Rayen. Ditatapnya Sely yang masih duduk dengan isak tangisnya. Rasa kehilangan membuatnya sulit menerima keadaan. Pemandangan itu semakin membuat hati Rayen pilu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status