Share

Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab
Lamaran untuk Bayi Tak Bernasab
Author: Duarta

Cuma Minum?

“Kasian ya mbak, dedeknya diajak ikut panas-panasan begini. Ke mana suaminya?” tutur salah seorang peserta job fair dengan sorot mata dan nada bicara yang mengejek. 

Sejak kedatangannya di tempat itu beberapa saat yang lalu, semua orang berfokus pada perutnya yang membuncit. Anin sadar betul akan hal itu, ia sudah berusaha menutupinya sayangnya tak berdampak banyak.

Kini Anin harus membiasakan diri untuk menerima tatapan sinis orang-orang terhadapnya juga mendengar kalimat sindiran. Seperti sekarang ini, ia mendengar seseorang menyebut kata ‘bunting nganggur.’

“Ayo, Nin. Masa udah jauh-jauh datang ke sini lo cuma minum air putih doang? Cobain nih, aman kok.” 

Ucapan terakhir yang ada di memori Anin sebelum dirinya terbangun di dalam kamar hotel tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Jika saja malam itu ia tak menuruti permintaan temannya untuk datang ke acara ulang tahun tersebut, tentu nasibnya tak akan senaas ini. Ia tak akan hamil tanpa suami dan diberhentikan secara tidak hormat dari tempat kerjanya.

“Lihat deh, hamil besar gitu bukannya istirahat malah sempet-sempetnya ikutan job fair yang ramai begini. Gak kasihan apa, dengan bayinya sendiri?”

Belum selesai dengan sindiran tadi, kini terdengar kembali bisikan-bisikan dari wanita yang sedang duduk di seberangnya. Anin yakin sindiran itu ditujukan untuknya, karena dia satu-satunya pelamar yang sedang hamil. 

Ia pura-pura tidak mendengar, mencoba tetap tersenyum meskipun hatinya terasa panas. Anin tak bermaksud menyakiti buah hatinya, ia hanya berusaha untuk mendapatkan kehidupannya lagi. Keinginan terbesarnya adalah kembali memiliki penghasilan seperti sebelum ia berbadan dua.

Sebelumnya, Anin sudah mencari pekerjaan ke sana-sini, sayangnya semua lamaran Anin diabaikan atau ditolak mentah-mentah dengan alasan wanita itu tengah mengandung. 

[LOWONGAN PEKERJAAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR] 

Sambil  berusaha mengabaikan tatapan-tatapan sinis yang tertuju padanya. Anin mencoba fokus ke tujuannya datang ke job fair ini, dan akhirnya menemukan sebuah lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pengalamannya. 

Netranya berbinar kala ia melihat bukan hanya satu, tapi beberapa perusahaan, dengan lowongan pekerjaan yang dia inginkan dan selaras dengan yang tertulis di CVnya.

“Mudah-mudahan ini rezeki kita ya, Nak,” ujarnya berharap sambil mengelus perutnya yang membesar.

Dengan percaya diri, Anin ikut mengantri di barisan pelamar yang akan mendaftar di perusahaan tersebut. Satu persatu maju ke depan untuk melakukan wawancara. Menurutnya, tidak ada pertanyaan yang sulit, pertanyaan yang dilontarkan oleh staff perusahaan cenderung umum.

Hal tersebut membuat Anin semakin yakin jika ia memiliki kesempatan untuk bekerja di sana. Setelah menunggu cukup lama, kini tibalah giliran Anin. Kedua staff tersebut sibuk memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Karena terus ditatap oleh dua orang tersebut, Anin pun mengoreksi penampilannya.

Rambut panjang tidak diikat, wajah polos tanpa make up, baju sedikit kusut, perut menonjol, celana hitam yang tampak kekecilan serta flat shoes murah kesayangannya. Penampilannya berbanding terbalik dengan pelamar lainnya. Meski begitu, ia tetap yakin bisa  diterima kerja di perusahaan tersebut.

“Silakan duduk,” ujar salah satu dari mereka yang tak enak hati karena membuat Anin berdiri lama. Anin menurut, ia duduk di kursi yang sudah disediakan, selanjutnya ia menyerahkan amplop coklat berisi data dirinya.

“Mbak, yakin mau melamar di perusahaan kami? Apalagi dengan kondisi Mbak yang lagi hamil begitu,” ujar salah satu staff yang mengomentarinya bahkan tanpa melihat berkas-berkas yang terisi dengan berbagai pengalaman kerjanya.  

“Saya yakin, Pak. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Meskipun saya memang sedang mengandung, tapi saya sudah cukup berpengalaman, dan masih bisa bertanggung jawab atas pekerjaan saya” jawab Anin, masih berusaha menunjukkan kepada dua orang di hadapannya bahwa kehamilannya tidak akan menjadikan hambatan untuk dirinya mencari nafkah.

“Oh, begitu. Tapi, pekerjaan di perusahaan kami juga cukup berat, Mbak. Selain ada target, Mbak juga harus siap dinas ke luar kota,” ujar staff yang lain menimpali.

“Saya akan melakukan semua kewajiban saya, Pak. Saya berjanji akan bekerja keras sehingga tidak mengecewakan perusahaan.” 

Mendengar jawaban Anin, kedua staff perusahaan itu hanya mengangguk pelan dengan ekspresi datar sambil  menumpuk surat lamaran Anin di atas meja. Mereka mempersilakan perempuan muda itu untuk meninggalkan tempatnya. Anin lantas berdiri, di dalam tasnya masih ada beberapa amplop coklat yang dia siapkan untuk mendaftar ke perusahaan lain. Ia duduk di luar ruangan, menunggu hasil wawancara yang baru saja dia lakukan.

Ia keluar dengan rasa percaya diri, tak gentar dengan, para pelamar perempuan yang berpenampilan lebih baik darinya. “Sepertinya aku menang pengalaman,” pikirnya. Anin memang tidak memiliki ijazah sarjana karena dirinya berhenti kuliah. Dengan ilmu yang sedikit itu, ia memutuskan untuk berani bersaing dengan mereka semua.

“Atas nama Mbak Anindia Paramastri” Seorang wanita berpakaian putih dan hitam kembali memanggilnya untuk masuk kembali. Anin merasa gugup, penasaran dengan hasil wawancara tadi.

Anin kembali duduk di depan staff perekrut pegawai perusahaan manufaktur yang sebelumnya mewawancarainya. Wajahnya menunjukkan raut penuh harap.

“Saya senang bertemu dengan Mbak Anin, Mbak sudah memiliki pengalaman bekerja untuk waktu yang lama. Tetapi, berhubung usia kehamilan mbak sudah mendekati hari kelahiran maka mohon maaf, kami tidak bisa menerima Mbak Anin untuk bekerja di perusahaan kami” tolak staff tersebut dengan bahasa sopan dan jelas. Anin mengangguk paham, ia lantas mengundurkan diri, diambilnya kembali amplop coklat tersebut.

Tak menyerah, Anin kembali mencari perusahaan yang mau mempekerjakan dirinya. Matanya menyipit membaca deretan perusahaan yang sekiranya cocok untuknya. Wajahnya pun kembali berseri setelah menemukan satu perusahaan garment. Kali ini, Anin sangat yakin jika dirinya akan diterima di sana karena perusahaan tersebut tengah mencari pegawai harian. 

Anin segera masuk dalam antrian, kali ini ia bisa bernapas lega. Penampilannya tak jauh berbeda dengan pelamar yang lain. Antrian kali ini lebih panjang daripada sebelumnya, membuat kaki Anin terasa sakit, begitu pula dengan perutnya yang mulai terasa kram.

“Sabar ya Nak, tinggal satu lagi. Habis ini kita istirahat ya,” ujarnya dalam hati, ia mengusap perutnya sekadar menenangkan janinnya. 

Sebenarnya, tak hanya istirahat yang dibutuhkan oleh Anin, tapi juga makanan. Wanita lupa bahwa perutnya belum terisi apapun selain air. Pasalnya sejak semalam, Anin hanya mengganjal perutnya dengan sepotong roti dan sebuah pisang. Mau bagaimana lagi, selama ia belum mendapatkan pekerjaan maka perempuan itu harus bisa menghemat pengeluarannya. 

“Selamat siang, Bu.” sapa Anin kepada staf perwakilan perusahaan tersebut. Seperti yang sudah-sudah, ia memperkenalkan diri kemudian menyerahkan berkas lamarannya. Mereka memeriksa dengan seksama.

“Begini Bu Anindia, karena anda sudah memiliki pengalaman bekerja maka kami menyarankan anda untuk datang langsung ke perusahaan kami,” kata staff tersebut. “Kami akan memberikan surat pengantar.”

“Maksudnya bagaimana ya Bu? Saya langsung diterima kerja?” tanya Anin antusias.

“Untuk pelamar yang sudah memiliki pengalaman bekerja, lebih baik datang langsung ke perusahaan karena akan diadakan interview dan tes tersendiri,” urai staff satu lagi seraya menyerahkan secarik kertas berkop perusahaannya. Anin tersenyum lebar, ini harapan  baru untuknya. Ia segera pamit dari hadapan keduanya, kaki kurusnya melangkah keluar dari gedung dengan cepat.

Tujuannya adalah halte bus, ia tak mempermasalahkan jaraknya yang jauh. Anin tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang datang padanya.  Ia masih terus berjalan di bawah terik matahari yang menyengat kulit pucatnya.

Bunyi klakson bus mengejutkan Anin, dengan gerakan lambat wanita berambut sepunggung itu menoleh ke arah belakang.  Anin mempercepat  langkah kakinya, kala ia melihat bus tujuannya semakin dekat ke arah halte.

“Tunggu Pak ... Tunggu ....”

Ia tak mau jika harus tertinggal dan menunggu lebih lama lagi. Yang ada di benaknya adalah segera sampai ke perusahaan tersebut. Karena tak memperhatikan jalan, perempuan itu tersandung sebuah batu, menyebabkan dirinya jatuh membentur aspal yang keras.

“Aduh! Perutku ....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status