Home / Romansa / Langit dan Bumi / Bab 2 Angin Semilir

Share

Bab 2 Angin Semilir

last update Last Updated: 2021-04-06 11:14:11

Hai namaku Kania, Kania Langit Amaranata. Usiaku tujuh belas tahun. Kata orang usia yang indah untuk jatuh cinta. Nyatanya aku merasakan cinta yang indah sejak umur tiga belas tahun. Aku jatuh cinta pada kakak kelasku saat duduk di kelas satu SMP. Dia empat tahun lebih tua dariku, bernama Airlangga Sakha Handojo. Saat ada nama ini, ingatanku kembali pada saat itu.

Aku lebih suka memanggilnya Angga. Namun, karena dia selalu marah maka aku terpaksa memanggilnya Erlan. Seperti semua anggota keluarga memanggilnya. Padahal aku punya batasan, tak memanggil nama akrab teman lelaki. Ya sudahlah, aku tak mau berdebat dengannya. Terlalu makan waktu.

Siapapun panggilan Erlan, nyatanya aku telah jatuh cinta pada nama itu. Saat mendengar namanya seolah ada angin semilir bertiup di telingaku. Sejuk dan dingin. Hebat benar Bapak Handojo memberi nama anaknya. Keluarga itu memang sangat keren sih.

Siapa yang tak tahu pada keluarga Handojo? Keluarga itu sangat terkenal di kompleks perumahan perwira. Letaknya di bagian depan kesatuan. Mobil mengkilat selalu siap setiap pagi. Tentu saja dengan ajudan yang berdiri tegap menyambut Bapak Handojo. Tak lama kemudian iringan bapak ibu Handojo keluar rumah. Bapaknya ganteng putih dengan seragam yang tampak angker. Ibunya cantik anggun dengan setelan blus berwarna biru. Sedangkan, dua anaknya berseragam sekolah.

Anak pertama keluarga itu adalah perempuan bernama Alya, Mbak Alya aku memanggilnya. Lalu yang kedua tentu saja Mas Erlan. Si gimbul imut-imut kesukaanku. Inginku tertawa, memang Mas Erlan berbadan tambun saat masih SMA. Nggak nyangka sekarang bisa jadi tentara yang kurus dan atletis. Semua itu butuh proses dan perjuangan. Iya karena aku yang menemani Mas Erlan lari-lari di lapangan demi bisa masuk Akmil. Sebab aku anak pelatih fisik Mas Erlan.

Ya benar, Kania adalah anak prajurit. Bapakku Sersan Dwiandoro. Kata orang, bapak anggota favorit Bapak Handojo makanya bisa dijadikan pelatih Mas Erlan. Iya sih bapak memang pintar dalam olahraga. Nilai samapta bapak selalu bagus. Makanya bisa menarik perhatian komandan batalyon yakni Bapak Handojo.

---

Berhubungan dengan Mas Erlan tentu saja tak semudah itu. Dia memang kembang sekolah. Semua anak suka padanya. Sekolah kami memang jadi satu, SMP dan SMA yang sekompleks. Mas Erlan ditaksir semua isi sekolah mulai dari satpam sampai ibu kantin. Mulai dari anak kelas satu SMP hingga kelas tiga SMA.

Memang dia gendut, tapi wajahnya sangat ganteng. Dengan pipi chubby, wajahnya terlihat sangat lucu. Kebalikan dari sikapnya yang dingin dan tak banyak omong. Cuek selangit juga. Namun, dia selalu penuh pesona. Selain itu, dia selalu juara paralel setiap semester. Membuatnya makin terkenal saja.

Bagaimana dengan seorang Kania. Hahaha, aku mungkin cuma seperti upilnya Erlan. Iyalah aku tak ada apa-apanya dibanding dengannya. Aku cuma seorang gadis puber biasa. Uang saku pas-pasan karena cuma anak tentara. Buku paket yang kadang lupa nggak bayar. Bau badan mirip bau seng. Kadang bau matahari juga. Maklum nggak kuat beli parfum.

Wajahku biasa, kata orang sih manis. Tinggiku tak seberapa. Kulitku agak gosong karena sering pulang sekolah jalan kaki menantang matahari. Sering berkeringat karena membawa tas sekolah yang berat. Rambut lurus dikuncir kuda pakai karet gelang. Hidung biasa tak mancung dan pesek. Mata bulat dengan bulu mata panjang lentik mungkin yang agak menarik.

Lalu apa dong yang membuatku dan Mas Erlan dekat? Mungkin karena sering ketemu. Dalam suasana dan situasi apapun. Iya karena kami satu asrama, bukan. Walau dia lebih sering duduk di tribun anak-anak pejabat batalyon sih. Kalau aku ya rebutan kue sama anak prajurit yang lain pada setiap acara.

Namunn, suatu hari di acara ultah batalyon, aku ikut lomba balap karung. Siapa lawanku, Mas Erlan. Sangat lucu karena saat itu dia sudah kelas satu SMA. Aneh 'kan, masa sudah SMA main sama anak SD dan SMP? Namun, nyatanya itu terjadi. Katanya dia dihukum oleh bundanya karena nilai ulangan biologinya dapat 60. Keluarga yang unik.

Kehadiran Erlan di lapangan tentu saja kontan membuat semua anak heboh. Erlan memang terkenal ganteng, tapi juga jahat. Judesnya minta ampun. Bahkan, anak kecil selalu nangis kalau melihat wajahnya. Anak kecil itu mungkin kecuali aku.

Nyatanya, aku suka sekali melihat wajahnya. Walau katanya judes, bagiku justru lucu. Ingin galak tapi pipinya imut, aku tak takut justru gemas. Tak disangka dia lawanku di lomba balap karung. Masih kuingat, wajahnya merah padam menahan malu. Namunn, sikapnya ksatria karena menepati janjinya pada sang bunda. Sejak muda sudah berprinsip, 'kan, keren.

"Apa lihat-lihat!" gertaknya saat itu.

Aku malah tersenyum, "kapan lagi anak SMA main kayak gini. Asyik lho Mas mainan balap karung."

"He Bocah, kalau kamu berhasil kalahin aku, kukasih kamu permen satu kresek," ujarnya sombong.

"Oke, siapa takut!" jawabku sok jago.

Kamipun memasang kuda-kuda. Dia tak lagi mendengarkan olokan anak kecil yang biasanya takut. Wajah merah padamnya diganti dengan wajah penuh semangat. Oh jadi, Mas ini jagoan kandang, ya. Dia tak suka mengaku kalah atau kelihatan lemah. Iyalah saat diolokpun dia mengalihkan rasa malu pada kesombongannya padaku.

"Kamu bisa, Erlan," bisiknya pada diri sendiri.

Hm, jangan dikira aku nggak bisa ngalahin kamu, Mas.

"1 ... 2 ... 3!"

Kamipun langsung melompat dengan karung saat aba-aba terucap. Sangat melelahkan, tapi lucu. Semua bersorak, bukan padaku, tapi pada Mas Erlan. Semua tertawa karena dia mirip bola basket yang mantul-mantul. Kasihan sih, tapi biarin aja. Biar dia semangat ngurusin badan, 'kan.

"Waaa!" Sebuah teriakan membuyarkan lompatanku. Kontak kutoleh ke belakang dan menyaksikan Mas Erlan tersungkur, kira-kira 5 meter di belakangku.

"Aduh, kegendutan sih!" komentar beberapa orang sambil berbisik-bisik.

Tak lagi kulihat kesombongan itu. Justru wajah malu bak dilempar kotoran cicak. Dia sangat malu sampai merah hitam wajahnya. Iyalah anak SMA, anak komandan pula. Lantas kudatangi saja anak ganteng yang malang itu. Kuberi uluran tangan.

"Sini!" ucapku pelan.

Dia menampik keras tanganku, "nggak sudi!"

"Aku tahu kok anak gemuk susah bangun kalau terjatuh. Sini aku bantu," sambungku lagi.

"Bocah, pergi sana!" usirnya sambil menunjuk wajahku.

Aku langsung meraih lengan gemuknya. Dengan kekuatan bocah yang kupunya, kutarik tubuhnya. Ada kelegaan di wajahnya. Namun, justru ini puncaknya. Dengan santai kulepaskan lagi pertolonganku. Kontan dia terjatuh, lagi. Tertawa dalam hati aku melihatnya.

Sambil tertawa aku berkata, "makanya Mas olahraga biar nggak kayak bola bekel. Jangan sombong dan sok serem deh. Hai Mas imut, namaku Kania."

"Ha ... ha ... ha." Sorak tawa berderai di seluruh lapangan. Sampai pada akhirnya ajudan Bapak Handojo membubarkan semua termasuk aku yang langsung berlari.

Kasian deh, tapi aku sengaja melakukannya. Masih kuingat wajahnya yang seperti bom akan meledak. Pastilah dia murka karena dikerjai anak SMP sepertiku kok. Makanya jangan sombong. Tahu rasa deh. Aku jahat ya? Tidak, aku cuma suka menggodanya. Aku suka melihatnya marah, lucu dan imut.

---

Kuingat mata tajam itu seperti laser yang menyala. Tajam menyeringai dan hendak mencabikku berkeping-keping. Mata siapa lagi kalau bukan mata Mas Erlan. Benar, keesokan hari setelah hari memalukan itu, aku dicegat di belakang sekolah. Dia sendirian saja bersama ajudan galaknya. Rasanya mau dicekik sama dia saat tangan ini ditarik oleh tangan gemuknya.

"Apa maksudmu malu-maluin aku kemarin? Kamu nggak tahu aku siapa, ya?" ujarnya penuh kemarahan.

Mendengar suaranya seperti ada angin semilir menerpa tengkukku, "suara Mas terlalu bagus buat marah-marah."

"Kamu nggak tahu takut, ya? Kurang ajar kamu, ya!" gertaknya makin parah.

"Aku cuma nggak mau Mas jadi orang yang galak."

"Kamu bocah tahu apa," bentaknya.

"Aku memang masih anak SMP, tapi aku suka sama Mas Erlan," ucapku begitu saja.

"Amit-amit deh disukai sama anak kayak kamu," ujarnya sombong.

"Memangnya kenapa, aku 'kan normal suka sama cowok. Lagian masa Mas Erlan nggak kenal aku sih. Aku Kania, anaknya Pak Dwi yang ngelatih Mas lari."

"Aku nggak tahu kamu siapa. Yang jelas aku benci sama kamu. Untung kamu cewek, kalau cowok udah kugampar," ujarnya masih penuh kebencian.

"Biarin aja Mas benci sama aku. Yang penting aku udah permalukan Mas di depan umum."

"Apa ... kamu nggak takut aku, ya?" ulangnya lagi.

"Apa yang harus ditakutkan. Makin Mas Erlan marah, justru aku makin gemes. Mas Erlan lucuuu banget," ucapku seraya menyentuh pipinya.

Wajahnya merah, meraaaah sekali. Jelas dia malu. Tuh 'kan, kubilang juga apa. Dia cuma galak di luar saja. Aslinya lucu, 'kan. Makin sukalah aku mengganggunya. Galak-galak imut. Asyiklah semoga bisa ikut bapak ngelatih dia. Biar aku bisa terus mengganggunya. Pasti kejudesannya itu runtuh.

"Mas malu, 'kan, ya ... awas naksir, ya!" ujarku sok percaya diri sambil berlalu saat dia terkesima.

Lalu kudengar teriakannya saat itu, "hei yang suka sama aku lebih cantik daripada kamu. Amit-amit suka sama kamu. Najis!"

Aku hanya tersenyum simpul. Angin semilir menerpa wajahku, ah aku bahagia.

***

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langit dan Bumi   Bab 30 Kilas Balik Penuh Kenangan

    Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k

  • Langit dan Bumi   Bab 29 Buaian Samudera

    Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi

  • Langit dan Bumi   Bab 28 Satu Dunia

    Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak

  • Langit dan Bumi   Bab 27 Pintu Rahasia

    Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi

  • Langit dan Bumi   Bab 26 Membersamai Samudera

    Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga

  • Langit dan Bumi   Bab 25 Melangkah Bersama

    Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status