“Jangan menoleh. Mereka sudah mengikuti mu.”
Suara itu begitu dekat, seolah dibisikkan langsung ke telinga Dewi. Padahal di kanan-kirinya hanya kerumunan pasar yang sibuk jual-beli. Napas Dewi memburu. Ia berusaha menoleh sekilas, cukup untuk memastikan. Dua pria asing yang semalam mengintai rumahnya kini berdiri tak jauh di belakang, pura-pura menawar sayur. Tatapan mereka menusuk, seperti singa menunggu mangsa lengah. Jantungnya berdegup kencang. Ia menggenggam amplop tipis dari lelaki tua penjual buku bekas. Isinya—tiket pesawat dengan nama “R.R.”—masih belum sepenuhnya ia percaya. “Ayah… apa benar ini petunjuk darimu?” batinnya. Keramaian pasar Belilas tak membantu. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, anak-anak kecil berlarian, aroma sate bercampur ikan asin. Semua terasa biasa, tapi bagi Dewi, dunia sudah terbalik. Ia mencoba melebur dengan kerumunan. Langkahnya dipercepat. Namun rasa diawasi itu jelas. Dua pasang mata terus mengikutinya. “Beli cabai, Neng?” seorang pedagang menyodorkan timbangan. “I-iya… seperempat,” jawab Dewi terbata, tangannya gemetar. Pedagang itu tersenyum ramah, tidak tahu bahwa gadis di depannya sedang diburu. Dewi menerima cabai, membayar sekenanya, lalu pergi dengan tergesa. Ketika ia menoleh lagi, dua pria asing itu sudah bergerak. Mereka meninggalkan lapak sayur, berjalan cepat ke arahnya. Dewi masuk ke lorong sempit antara kios. Bau kayu basah dan kertas koran memenuhi hidung. Rak buku bekas menumpuk tak teratur. Lelaki tua penjual buku muncul lagi, seolah menunggunya. “Bawa itu baik-baik,” bisiknya tanpa menatap langsung. Dewi menelan ludah. “Siapa kau sebenarnya? Dari siapa amplop ini?” Lelaki itu hanya tersenyum samar. “Jawabanmu ada di luar negeri. Jangan tanya lebih jauh. Percayalah, lebih banyak mata di sini daripada yang kau kira.” Suara langkah berat menggema di ujung lorong. Dua pria asing itu semakin dekat. “Pergi sekarang!” seru lelaki tua itu pelan tapi tegas. Dewi panik. Ia berlari melewati kios baju bekas dan tumpukan karung beras. Pedagang-pedagang berteriak kaget melihat seorang gadis berlari kencang. “Tangkap dia!” suara salah satu pria asing menggema, membuat kerumunan ricuh. Beberapa orang menyingkir, sebagian lain mencoba menolong tanpa tahu apa yang terjadi. Dewi menunduk, melindungi wajah dengan amplop, mencari jalan keluar. Lorong pasar makin sesak. Nafasnya berat, dadanya terasa terbakar. Ia menabrak seorang ibu-ibu dengan bakul sayur hingga hampir jatuh. “Maaf, Bu!” seru Dewi singkat, lalu terus berlari. Ia akhirnya keluar ke jalan utama pasar. Matahari siang menyilaukan. Orang-orang berhenti, memperhatikan gadis yang berlari panik. Dua pria asing masih mengejarnya, langkah mereka cepat, disiplin, seperti orang terlatih. Dewi menoleh sekilas. Jarak mereka semakin dekat. Ia tahu tidak mungkin terus lari tanpa arah. Dengan sisa tenaga, ia masuk ke gang kecil di samping toko emas. Jalan itu sepi, hanya dinding kusam dan pintu terkunci. Suara langkah semakin keras di belakangnya. Saat Dewi hampir putus asa, sebuah pintu kecil terbuka. Dari dalam, seorang pemuda berwajah asing melambaikan tangan. “Masuk sini kalau kau ingin selamat!” Dewi tertegun. Wajah pemuda itu tak pernah ia lihat sebelumnya. Kulit pucat, mata sipit, logatnya bukan orang Minang. “Siapa kau?” tanya Dewi dengan suara bergetar. “Cepat! Atau kau ditangkap mereka!” Tanpa pilihan lain, Dewi melompat masuk. Pintu ditutup rapat dari dalam. Ruang sempit itu gelap, bau rokok bercampur debu. Pemuda asing itu menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Aku tahu siapa kau. Lebih tepatnya… aku tahu siapa ayahmu.” Mata Dewi melebar. “Ayahku? Rizal Rahman? Kau mengenalnya?” Pemuda itu mengangguk. “Dia pernah menolong keluargaku bertahun-tahun lalu. Itu sebabnya aku di sini sekarang. Namaku Ji-hoon.” Nama asing itu langsung mengaitkan isi tiket dalam amplop: Seoul, Korea Selatan. Tiba-tiba, pintu digedor keras dari luar. “Buka pintunya!” teriak pria asing. Dewi menahan napas. Ji-hoon mengangkat jarinya, memberi isyarat diam. Ia berjalan pelan ke pintu, mengunci slot besi tambahan. “Mereka tak akan berhenti sampai dapat tiket itu,” bisiknya. “Dan kau harus putuskan sekarang. Ikut aku… atau berakhir di tangan mereka.” Dewi memandangi tiket dalam genggamannya. Pergi bersama orang asing, ke negeri yang tak ia kenal, demi ayah yang dianggap hilang—pilihan itu menakutkan. “Kenapa aku harus percaya padamu?” tanyanya tegas, meski suaranya bergetar. Ji-hoon menatap dalam. “Karena kalau tidak… kau tak akan pernah menemukan Rizal Rahman.” Pintu bergetar keras, hampir jebol. Dewi menggenggam busur kecilnya, siap melawan meski tanpa anak panah. Ji-hoon menyentuh lengannya. “Percayalah. Ini baru awal. Ayahmu meninggalkan lebih banyak dari yang kau kira.” Dewi menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Saat membukanya, matanya penuh tekad. Ia menggenggam tiket erat-erat, lalu mengangguk. “Baik. Aku ikut.” Ji-hoon tersenyum samar. Ia membuka pintu kecil di lantai kayu. Tangga sempit menurun ke lorong bawah tanah gelap. “Cepat! Lewat sini kita bisa keluar.” Dewi menelan ludah, lalu melangkah ke kegelapan. Pintu utama jebol. Teriakan pria asing memenuhi ruangan. Dewi dan Ji-hoon sudah melompat ke lorong bawah tanah. Tapi suara terakhir yang menggema membuat darah Dewi membeku: “Tangkap Dewi Rachman hidup-hidup!”“Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p
“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou
“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa
“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara
“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan
“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B