Masuk
“Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.”
Kalimat itu selalu terngiang di kepala Dewi. Entah desas-desus di warung kopi, bisikan tetangga, atau sekadar mimpi—semuanya bercampur. Yang pasti, sore itu ia kembali merasakan kekosongan yang sama. Desa Batu Taba di lereng Gunung Singgalang tampak damai, tapi bagi Dewi, ketenangan itu hanyalah selimut tipis yang menutupi rahasia kelam keluarganya. Gudang tua di belakang rumah panggung menyambutnya dengan bau kayu lapuk. Di sana tergantung busur panah usang—peninggalan terakhir Ayahnya, Rizal Rahman. “Kenapa Emak nggak pernah membuang?” gumam Dewi sambil menyentuh busur. Klik. Suara mekanis terdengar. Dari celah tersembunyi jatuh sebuah logam bundar seukuran koin, berukir pola aneh. Bersamanya, selembar kertas lusuh. Tulisan tangan membuat napas Dewi tercekat: “Jika kau membaca ini, berarti waktuku habis. Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri. Cari kebenaran lewat tanda ini.” “Ayah… apa maksudmu?” bisiknya. Belum sempat mencerna, terdengar ranting patah di luar. Dua pria asing berdiri di halaman. Wajah serius, gerak-gerik kaku—jelas bukan orang kampung. Salah satunya menempelkan jari ke telinga, seakan menerima instruksi dari alat komunikasi. Tatapannya lurus ke arah rumah Dewi. Busur di tangannya terasa berat. Logam kecil itu berdenyut panas di telapak. Langkah mereka makin mendekat. Malam itu, untuk pertama kalinya, Dewi sadar—ia bukan lagi gadis biasa. Ia buru-buru masuk rumah, menyembunyikan logam dan kertas ke saku baju. Saat melangkah ke dapur, Mak Rini menoleh. “Dari mana kau? Basah kuyup begitu,” tegurnya. “Dari… kebun belakang, Mak,” jawab Dewi cepat. Tatapan ibunya tajam, seolah tahu ada yang ia sembunyikan. Tapi Mak Rini hanya mendesah. “Jangan keluyuran malam-malam. Dunia sekarang beda.” Dewi ingin bertanya soal Ayah, tapi takut. Kata-kata di kertas—bahkan darah sendiri—membuat lidahnya kelu. Malam semakin larut. Dewi menyalakan lampu kecil di kamar, mengamati logam bundar itu. Pola ukirannya berkilau tipis, seperti hidup. Kertas lusuh masih ia genggam, kalimat “bahkan darah sendiri” berulang kali ia baca. Pikirannya kacau. Bagaimana kalau pria asing tadi ada hubungannya dengan pesan ini? Bagaimana kalau Mak Rini juga tahu? Ia mencoba mengetik simbol itu di ponselnya, tapi hasil nihil. Hanya QR code biasa. Rasa frustasi membuatnya menggigit bibir. Sekitar tengah malam, suara ketukan pelan terdengar di jendela. Dewi terlanjur. Ia membuka tirai sedikit—tak ada siapa-siapa. Hanya hujan. Tapi di sela jendela, terselip kertas basah. Tangannya gemetar saat membacanya: “Kami tahu kau menemukannya. Jangan melawan.” Dewi buru-buru menyembunyikan kertas itu di bawah bantal. Jantungnya berpacu. Ada orang yang mengawasi setiap geraknya sejak ia menemukan busur. Esok paginya, pasar Belilas ramai seperti biasa. Anak-anak berlarian, pedagang berteriak. Dewi mencoba tenang, membeli beras dan cabai. Tapi tatapannya terus mencari. Lalu ia melihat mereka. Dua pria asing itu berdiri di kerumunan, pura-pura berbelanja, tapi mata mereka tajam, mengikuti setiap langkahnya. Dewi panik, menyelinap ke lorong sempit pasar. Tapi langkah cepat terdengar dari belakang. Mereka mengejar. Lorong buntu. Nafas Dewi tercekat. Saat bingung mencari jalan keluar, seorang lelaki tua penjual buku bekas menghampiri. “Ini titipan. Cepat bawa,” bisiknya, menyerahkan amplop tipis. “Dari siapa, Pak?” Lelaki itu menghilang begitu saja. Dengan tangan gemetar, Dewi membuka amplop. Matanya membelalak: tiket pesawat ke Seoul. Nama penumpang: R.R. “Rizal Rahman…” suara Dewi bergetar. Jeritan keras memecah suasana pasar. “Tangkap dia!” Dewi menoleh. Dua pria asing menerobos kerumunan, langsung menuju ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Dewi lari sekencang-kencangnya, menggenggam tiket itu erat. Suara gaduh pasar berubah jadi arena perburuan. Dan saat langkahnya hampir goyah di jalanan licin, Dewi tahu satu hal: hidupnya sudah tidak akan pernah sama lagi. Kerumunan pasar makin riuh. Orang-orang berteriak heran melihat Dewi berlari. Seorang pedagang sampai menjatuhkan dagangannya karena tersenggol. “Kenapa dikejar?” teriak salah satu warga, tapi Dewi tak sempat menjawab. Ia hanya fokus menjaga tiket itu tetap aman. Nafasnya tersengal ketika masuk ke gang belakang pasar. Dinding sempit berlumut, aroma anyir menusuk. Ia menempelkan tubuh ke tembok, berusaha mengatur napas. Langkah sepatu berat mendekat. Suara pria asing itu terdengar jelas. “Dia nggak mungkin jauh. Cari ke setiap lorong!” Dewi menutup mulut dengan tangan, menahan suara. Jantungnya berdegup kencang, seakan bisa terdengar sampai ke luar. Tiba-tiba, suara lain muncul di belakangnya. “Kau cari jalan keluar lewat sini.” Dewi menoleh cepat. Seorang pemuda berpakaian lusuh menunjuk pintu kayu kecil di antara kios tertutup. Ia tak mengenalnya. “Siapa kau?” tanya Dewi waspada. Pemuda itu mendesah, “Bukan waktunya tanya-tanya. Kalau kau tetap di sini, mereka bakal menemukanmu. Ayo cepat.” Ragu hanya sebentar. Dewi akhirnya mendorong pintu kayu itu dan masuk ke lorong gelap yang tembus ke jalan samping pasar. Saat ia menoleh kembali, pemuda tadi sudah menghilang. Di jalan samping, suasana lebih sepi. Dewi berlari keluar, baru berhenti setelah cukup jauh dari keramaian. Lututnya lemas, keringat bercampur dengan hujan tipis. Ia membuka amplop lagi, memastikan tiket itu nyata. Tanggal keberangkatan tertera jelas—dua hari lagi. Maskapai internasional, tujuan Incheon, Seoul. “Kenapa ke Korea… dan kenapa atas nama Ayah?” gumamnya. Semua terasa terlalu aneh. Busur rahasia, logam misterius, pesan ancaman, sekarang tiket pesawat. Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka. Satu kalimat pendek membuat darahnya membeku: “Kalau kau ingin tahu kebenaran Ayahmu, naiklah ke pesawat itu.” Dewi menatap layar lama, mulutnya kering. Ia bahkan tidak tahu siapa pengirim pesan. Nomornya asing, tak ada identitas. “Ini jebakan?” bisiknya. Tapi dalam hatinya, ada dorongan kuat. Ayah. Semua ini pasti berkaitan dengan Ayah. Langkah kaki mendekat lagi dari arah pasar. Dewi buru-buru menyimpan tiket ke dalam baju, lalu menunduk berjalan cepat ke arah rumah. Kali ini ia sadar, hidupnya benar-benar diawasi. Dan ia tidak bisa lagi menganggap semua hanya bayangan atau gosip. Begitu sampai di rumah, Mak Rini sudah menunggunya di beranda. Wajahnya cemas. “Kau dari mana? Orang-orang bilang kau dikejar-kejar di pasar. Apa yang terjadi, Dewi?” Dewi menelan ludah. “Nggak… nggak ada, Mak. Cuma salah paham.” Tatapan ibunya dalam, seolah mencari kebenaran. Tapi Dewi memilih diam. Ia tak bisa menceritakan tiket, logam, atau pesan ancaman. Kata-kata Ayah di surat masih terngiang: “Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri.” Malam itu, Dewi duduk di kamarnya dengan jendela tertutup rapat. Tiket pesawat ia genggam erat-erat. Ia sadar satu hal: jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Entah jebakan atau jalan menuju kebenaran, ia harus melangkah. Dan di luar rumah panggung itu, dua pria asing masih berdiri di bawah pohon. Salah satunya berbicara dingin lewat alat komunikasi: “Target sudah menerima umpan. Perintah selanjutnya?” Tiba-tiba, dari belakang pasar terdengar teriakan menggema. “Tangkap dia!” Dewi membeku. Tiket di tangannya bergetar, dan sebelum sempat berpikir, dua pria asing itu sudah menerobos kerumunan—tepat ke arahnya.“Terkadang, bahaya terbesar bukan yang mengejarmu…tetapi yang berdiri tepat di belakangmu saat kau memilih.”Dewi membeku.Tangan dingin itu menggenggam pergelangannya—kokoh, tenang, dan terasa… nyata. Bukan seperti ilusi cahaya di ruang lingkaran. Semua suara cahaya, semua kesadaran digital, bahkan gema ayahnya—mendadak redup. Seolah sosok yang memegangnya memiliki otoritas lebih tinggi di ruang ini.Dewi berbalik perlahan.Dan nafasnya hampir patah.Seorang pria berdiri di sana. Tinggi, berwajah teduh namun misterius, tubuhnya memantulkan cahaya seolah ia bukan manusia… tapi bukan pula entitas data. Matanya hitam pekat, tanpa bayangan, seakan menelan seluruh cahaya ruang itu.Kesadaran Ayah Dewi bereaksi pertama kali.“Kau… tidak seharusnya ada di sini.”Suara Rizal retak, terdistorsi seolah ruangan menolak kehadiran pria itu.Sosok itu tidak menoleh.Ia hanya menatap Dewi.“Jika kau memilih salah satu dari tiga takdir itu… dunia akan hancur lebih cepat dari yang mereka rancang.”D
“Setiap badai punya pusat.Dan di pusat itulah… kebenaran berhenti bersembunyi.”Cahaya hijau keemasan memeluk tubuh Dewi seperti kabut hidup saat ia melangkah ke dalam lingkaran itu. Angin berhenti. Waktu seolah terbelah. Di luar, markas NURANI seperti dunia yang terjebak dalam jeda, membeku antara teriakan dan kepanikan.Namun di dalam lingkaran itu, Dewi merasa seperti memasuki ruang yang tak tunduk pada hukum bumi.Hanya ada bisikan.Hanya ada gema masa depan.Dan suara yang sama—suara yang memanggilnya sejak badai pecah.Dewi membuka mata. Ia berdiri di sebuah ruang lingkaran luas yang tampak seperti perpustakaan hampa dengan dinding berisi aliran cahaya data. Ribuan angka berlari di udara, seolah GENESIS, BLACK LOTUS, dan seluruh jaringan bumi diperas menjadi titik tunggal informasi.Namun yang paling mencolok adalah tiga lingkaran cahaya di depannya—masing-masing menampilkan kemungkinan masa depan:🔸 Masa depan pertama:Bumi stabil, lautan tenang, Indonesia menjadi pusat energ
“Badai tidak tercipta untuk menghancurkan. Kadang… ia datang untuk memanggil seseorang.”Suara itu datang entah dari mana—entah dari Qadr, entah dari ingatan ayahnya, atau dari bumi yang kini bergetar tepat di bawah kaki mereka. Tapi Dewi merasakannya seperti bisikan yang menyentuh tulang belakangnya.Markas NURANI bergetar keras.Lampu-lampu berkedip, alarm melolong, dan layar utama menunjukkan spiral badai raksasa yang sedang turun dari langit seperti makhluk hidup yang marah.Rin menatap angka-angka tekanan udara yang anjlok.“Ini bukan badai biasa! Tekanannya… gila, Dewi! Ini badai kategori yang bahkan belum pernah dicatat NOAA!”Arka berdiri tak stabil, memegangi layar agar tidak jatuh.“Tidak ada model cuaca yang bisa menjelaskan ini!”Damar menarik Dewi ke belakang meja besi, matanya tegang penuh proteksi.“Dewi, katakan apa yang kau lihat. Jangan tahan lagi.”Dewi menatap langit yang retak melalui kaca markas.Retakan halus itu seperti mengintip dunia ke dunia lain—ke masa dep
“Kalau seorang anak autis dari Swedia saja bisa mengguncang dunia… kenapa kita tidak?”Kalimat itu muncul begitu saja di benak Dewi ketika hologram terakhir padam.Ruang markas hening, tapi di dalam kepala Dewi, suara-suara bumi masih bergema:suara angin puting beliung yang memotong kota, suara banjir bandang menerjang Padang, suara Sumatra retak perlahan dari selatan ke utara.Damar menatapnya gelisah.“Dewi, kau pucat. Apa lagi yang kau lihat?”Dewi menarik napas berat.“Aku melihat sesuatu yang… jauh lebih besar dari kita.”Rin mendekat, membawa grafik cuaca yang naik seperti jantung planet yang sedang panik.“Ini… ini bukan cuaca normal lagi, Dewi. Ini chaos.”Arka menimpali, “Seperti dunia sedang diaduk dari bawah. Suhu laut naik mendadak. Arah angin berbalik. Dan tekanan udara—ya Tuhan…”Ia menatap Dewi.“Ini bukan kebetulan. Ada pola yang sama dengan keruntuhan penyangga bumi.”Dewi memejamkan mata.Dalam sekejap—ia melihat hutan Papua dipreteli seperti kulit buah.Gunung Moro
“Empat kampung hilang dalam semalam, Dewi. Dan kali ini bukan bencana. Ini… pembunuhan yang dilegalkan.”Rin melempar layar hologram ke tengah meja. Gambar-gambar berganti cepat: seorang gubernur Aceh menangis di depan kamera; tanah longsor menelan rumah-rumah; sungai berubah warna seperti tinta gelap; anak kecil berdiri sendirian di antara lumpur yang masih panas.Dewi menatapnya tanpa berkedip.Ada sesuatu di dadanya yang retak pelan—seolah bumi sendiri meminjam suaranya.Damar mendekatkan tubuhnya, membisik pelan, “Ini yang mereka sembunyikan dari data Genesis. Semua laporan itu ditenggelamkan, disensor oleh izin tambang kelas kakap.”Hologram memperbesar citra hutan yang terkelupas, membentuk luka besar di punggung Sumatra.Helikopter-helikopter kecil terbang rendah membawa alat pengeboran. Sungai berubah jalur. Gunung yang dulu hijau, kini berlubang seperti paru-paru yang dipaksa berhenti bernapas.“Ini bukan salah alam,” kata Dewi, suaranya rendah.“Ini salah manusia.”Rin mengg
“Kau bukan orang yang sama lagi, Dewi.”Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Damar begitu ia berhasil menangkap tubuh Dewi sebelum jatuh menyentuh tanah.Dewi mengerjap, napasnya pendek dan panas. Aura cahaya yang tadi mengelilinginya kini meresap ke kulit, menyisakan kilau tipis yang hanya terlihat ketika Damar berdiri sangat dekat.“Aku masih aku,” bisik Dewi. “Tapi… ada sesuatu yang dibangunkan.”Drone asing masih membeku di udara, seolah dunia menahan napas menunggu perintah. Damar memandang ke langit dengan waspada.“Apa yang mereka lakukan padamu di dalam gerbang itu?”Dewi menutup mata sejenak—mengumpulkan memori—tetapi yang muncul justru tumpang tindih: Sudan berdarah, Afrika bangkit bersama Ibrahim Tidore, ruang rapat para elit migas dunia yang sedang menandatangani kontrak untuk masa depan manusia, dan wajah-wajah orang Indonesia yang kehilangan hak atas tanah mereka sendiri.“Mereka tidak memberiku kekuatan,” katanya pelan.“Mereka memberiku… pilihan.”Damar menegang.







