Home / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 1 – Bayangan Ayah 

Share

Langkah Dewi : Warisan Rahasia
Langkah Dewi : Warisan Rahasia
Author: T.Y.LOVIRA

Bab 1 – Bayangan Ayah 

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-10 07:16:27

“Ayahmu tidak hilang. Dia disembunyikan.”

Kalimat itu selalu terngiang di kepala Dewi. Entah desas-desus di warung kopi, bisikan tetangga, atau sekadar mimpi—semuanya bercampur. Yang pasti, sore itu ia kembali merasakan kekosongan yang sama.

Desa Batu Taba di lereng Gunung Singgalang tampak damai, tapi bagi Dewi, ketenangan itu hanyalah selimut tipis yang menutupi rahasia kelam keluarganya.

Gudang tua di belakang rumah panggung menyambutnya dengan bau kayu lapuk. Di sana tergantung busur panah usang—peninggalan terakhir Ayahnya, Rizal Rahman.

“Kenapa Emak nggak pernah membuang?” gumam Dewi sambil menyentuh busur.

Klik. Suara mekanis terdengar. Dari celah tersembunyi jatuh sebuah logam bundar seukuran koin, berukir pola aneh. Bersamanya, selembar kertas lusuh.

Tulisan tangan membuat napas Dewi tercekat:

“Jika kau membaca ini, berarti waktuku habis. Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri. Cari kebenaran lewat tanda ini.”

“Ayah… apa maksudmu?” bisiknya.

Belum sempat mencerna, terdengar ranting patah di luar. Dua pria asing berdiri di halaman. Wajah serius, gerak-gerik kaku—jelas bukan orang kampung. Salah satunya menempelkan jari ke telinga, seakan menerima instruksi dari alat komunikasi. Tatapannya lurus ke arah rumah Dewi.

Busur di tangannya terasa berat. Logam kecil itu berdenyut panas di telapak. Langkah mereka makin mendekat.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Dewi sadar—ia bukan lagi gadis biasa.

Ia buru-buru masuk rumah, menyembunyikan logam dan kertas ke saku baju. Saat melangkah ke dapur, Mak Rini menoleh.

“Dari mana kau? Basah kuyup begitu,” tegurnya.

“Dari… kebun belakang, Mak,” jawab Dewi cepat.

Tatapan ibunya tajam, seolah tahu ada yang ia sembunyikan. Tapi Mak Rini hanya mendesah. “Jangan keluyuran malam-malam. Dunia sekarang beda.”

Dewi ingin bertanya soal Ayah, tapi takut. Kata-kata di kertas—bahkan darah sendiri—membuat lidahnya kelu.

Malam semakin larut. Dewi menyalakan lampu kecil di kamar, mengamati logam bundar itu. Pola ukirannya berkilau tipis, seperti hidup. Kertas lusuh masih ia genggam, kalimat “bahkan darah sendiri” berulang kali ia baca.

Pikirannya kacau. Bagaimana kalau pria asing tadi ada hubungannya dengan pesan ini? Bagaimana kalau Mak Rini juga tahu?

Ia mencoba mengetik simbol itu di ponselnya, tapi hasil nihil. Hanya QR code biasa. Rasa frustasi membuatnya menggigit bibir.

Sekitar tengah malam, suara ketukan pelan terdengar di jendela. Dewi terlanjur. Ia membuka tirai sedikit—tak ada siapa-siapa. Hanya hujan.

Tapi di sela jendela, terselip kertas basah. Tangannya gemetar saat membacanya:

“Kami tahu kau menemukannya. Jangan melawan.”

Dewi buru-buru menyembunyikan kertas itu di bawah bantal. Jantungnya berpacu. Ada orang yang mengawasi setiap geraknya sejak ia menemukan busur.

Esok paginya, pasar Belilas ramai seperti biasa. Anak-anak berlarian, pedagang berteriak. Dewi mencoba tenang, membeli beras dan cabai. Tapi tatapannya terus mencari.

Lalu ia melihat mereka. Dua pria asing itu berdiri di kerumunan, pura-pura berbelanja, tapi mata mereka tajam, mengikuti setiap langkahnya.

Dewi panik, menyelinap ke lorong sempit pasar. Tapi langkah cepat terdengar dari belakang. Mereka mengejar.

Lorong buntu. Nafas Dewi tercekat. Saat bingung mencari jalan keluar, seorang lelaki tua penjual buku bekas menghampiri.

“Ini titipan. Cepat bawa,” bisiknya, menyerahkan amplop tipis.

“Dari siapa, Pak?”

Lelaki itu menghilang begitu saja.

Dengan tangan gemetar, Dewi membuka amplop. Matanya membelalak: tiket pesawat ke Seoul. Nama penumpang: R.R.

“Rizal Rahman…” suara Dewi bergetar.

Jeritan keras memecah suasana pasar. “Tangkap dia!”

Dewi menoleh. Dua pria asing menerobos kerumunan, langsung menuju ke arahnya.

Tanpa pikir panjang, Dewi lari sekencang-kencangnya, menggenggam tiket itu erat. Suara gaduh pasar berubah jadi arena perburuan.

Dan saat langkahnya hampir goyah di jalanan licin, Dewi tahu satu hal: hidupnya sudah tidak akan pernah sama lagi.

Kerumunan pasar makin riuh. Orang-orang berteriak heran melihat Dewi berlari. Seorang pedagang sampai menjatuhkan dagangannya karena tersenggol.

“Kenapa dikejar?” teriak salah satu warga, tapi Dewi tak sempat menjawab.

Ia hanya fokus menjaga tiket itu tetap aman.

Nafasnya tersengal ketika masuk ke gang belakang pasar. Dinding sempit berlumut, aroma anyir menusuk. Ia menempelkan tubuh ke tembok, berusaha mengatur napas.

Langkah sepatu berat mendekat. Suara pria asing itu terdengar jelas.

“Dia nggak mungkin jauh. Cari ke setiap lorong!”

Dewi menutup mulut dengan tangan, menahan suara. Jantungnya berdegup kencang, seakan bisa terdengar sampai ke luar.

Tiba-tiba, suara lain muncul di belakangnya. “Kau cari jalan keluar lewat sini.”

Dewi menoleh cepat. Seorang pemuda berpakaian lusuh menunjuk pintu kayu kecil di antara kios tertutup. Ia tak mengenalnya.

“Siapa kau?” tanya Dewi waspada.

Pemuda itu mendesah, “Bukan waktunya tanya-tanya. Kalau kau tetap di sini, mereka bakal menemukanmu. Ayo cepat.”

Ragu hanya sebentar. Dewi akhirnya mendorong pintu kayu itu dan masuk ke lorong gelap yang tembus ke jalan samping pasar. Saat ia menoleh kembali, pemuda tadi sudah menghilang.

Di jalan samping, suasana lebih sepi. Dewi berlari keluar, baru berhenti setelah cukup jauh dari keramaian. Lututnya lemas, keringat bercampur dengan hujan tipis.

Ia membuka amplop lagi, memastikan tiket itu nyata. Tanggal keberangkatan tertera jelas—dua hari lagi. Maskapai internasional, tujuan Incheon, Seoul.

“Kenapa ke Korea… dan kenapa atas nama Ayah?” gumamnya.

Semua terasa terlalu aneh. Busur rahasia, logam misterius, pesan ancaman, sekarang tiket pesawat.

Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk.

Dengan tangan gemetar, ia membuka. Satu kalimat pendek membuat darahnya membeku:

“Kalau kau ingin tahu kebenaran Ayahmu, naiklah ke pesawat itu.”

Dewi menatap layar lama, mulutnya kering. Ia bahkan tidak tahu siapa pengirim pesan. Nomornya asing, tak ada identitas.

“Ini jebakan?” bisiknya.

Tapi dalam hatinya, ada dorongan kuat. Ayah. Semua ini pasti berkaitan dengan Ayah.

Langkah kaki mendekat lagi dari arah pasar. Dewi buru-buru menyimpan tiket ke dalam baju, lalu menunduk berjalan cepat ke arah rumah.

Kali ini ia sadar, hidupnya benar-benar diawasi. Dan ia tidak bisa lagi menganggap semua hanya bayangan atau gosip.

Begitu sampai di rumah, Mak Rini sudah menunggunya di beranda. Wajahnya cemas.

“Kau dari mana? Orang-orang bilang kau dikejar-kejar di pasar. Apa yang terjadi, Dewi?”

Dewi menelan ludah. “Nggak… nggak ada, Mak. Cuma salah paham.”

Tatapan ibunya dalam, seolah mencari kebenaran. Tapi Dewi memilih diam. Ia tak bisa menceritakan tiket, logam, atau pesan ancaman. Kata-kata Ayah di surat masih terngiang: “Jangan percaya siapapun, bahkan darah sendiri.”

Malam itu, Dewi duduk di kamarnya dengan jendela tertutup rapat. Tiket pesawat ia genggam erat-erat.

Ia sadar satu hal: jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Entah jebakan atau jalan menuju kebenaran, ia harus melangkah.

Dan di luar rumah panggung itu, dua pria asing masih berdiri di bawah pohon. Salah satunya berbicara dingin lewat alat komunikasi:

“Target sudah menerima umpan. Perintah selanjutnya?”

Tiba-tiba, dari belakang pasar terdengar teriakan menggema.

“Tangkap dia!”

Dewi membeku. Tiket di tangannya bergetar, dan sebelum sempat berpikir, dua pria asing itu sudah menerobos kerumunan—tepat ke arahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 9 – Tidak Ada Jalan Pulang

    “Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 8 – Buruan di Negeri Asing

    “Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 7 – Orang Asing di Terminal 3

    “Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 6 – Bandara Incheon

    “Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 5 – Pesan dalam Hujan

    “Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 4 – Genggaman Ibu

    “Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status