Masuk“Kunci itu bisa membuka hidupmu… atau menghancurkannya.”
Bisikan itu masih terngiang sejak pertemuan Dewi dengan Ji-hoon di pasar. Kata-kata asing itu menempel di benak, membuat malam-malamnya penuh gelisah. Di kamar kecil, ia menyalakan laptop usang milik sepupunya. Lampu minyak di meja hanya memberi cahaya temaram. Di sampingnya, logam bundar berukir aneh berkilau tipis, seolah punya kehidupan sendiri. Jari Dewi gemetar saat memindai pola itu dengan aplikasi ponsel. Layar hanya menampilkan tulisan dingin: “Akses Ditolak – Enkripsi Tingkat Tinggi.” “Apa maksudnya? Ini bukan QR biasa…” gumamnya resah. Ia mencoba situs pemindai online. Hasilnya nihil. Layar laptop bergetar, sempat mati sebentar. Dewi menatap logam itu lekat-lekat. Ada getaran aneh di dadanya, seperti benda itu menyimpan energi tak kasat mata. “Ayah… apa sebenarnya yang kau sembunyikan?” bisiknya. Kebuntuan itu membuatnya nekat. Esok siang, ia pergi ke warnet tua di Belilas. Warnet itu pengap, bau asap rokok bercampur debu. Monitor tua berjejer, sebagian kusam. Seorang operator dengan rambut acak acakan menatapnya curiga. “Mau main F******k, Dik?” tanyanya sambil menguap. Dewi menggeleng. “Nggak, Bang. Cuma mau coba buka kode.” Operator terkekeh. “Ya asal jangan bikin virus aja. Komputer sini gampang ngehang.” Dewi duduk di pojok. Ia membuka situs pemindai khusus, lalu mengarahkan kamera ke logam bundar itu. Tiba-tiba layar menampilkan teks singkat: “Input valid. Sesi dilacak. Lokasi terdeteksi.” Mata Dewi membelalak. “Apa… maksudnya?” Operator yang tadi cuek mendekat, wajahnya tegang. “Dik, dari mana kau dapat kode itu?” Tubuh Dewi kaku. “Kenapa? Kau tahu ini apa?” Operator menutup laptopnya dengan kasar. “Cepat pergi. Kalau kau terus buka itu, mereka bakal tahu kau di sini.” “Mereka? Siapa mereka?” Pria itu pucat, suaranya bergetar. “Pergi sekarang! Jangan balik lagi.” Dewi keluar tergesa. Jalan Belilas ramai seperti biasa, tapi baginya semua terasa asing. Setiap wajah seolah menyimpan mata yang mengintai. Ia berjalan cepat, menggenggam logam di saku. Bayangan pria asing di pasar kembali teringat. “Kalau benar mereka bisa melacak lewat kode ini… berarti aku sedang diburu.” Malamnya, Dewi sulit tidur. Hujan deras mengguyur atap. Ia akhirnya terlelap, lalu bermimpi. Dalam mimpi, ruangan gelap penuh layar berkedip. Wajah Ayahnya muncul di salah satunya—pucat, tapi tegas. “Dewi… jangan biarkan mereka membuka kunci itu sebelum kau siap. Percayalah pada nalurimu.” Dewi meraih layar itu, tapi gambarnya pudar, lenyap satu per satu. Ia terbangun, nafas terengah, keringat dingin membasahi pelipis. “Ayah… kau benar-benar meninggalkan pesan.” Pagi datang. Dewi duduk di beranda, menggenggam logam berat. Matanya sembab, tubuh lelah, tapi tekadnya tumbuh. “Ku Harus tahu kebenaran ini, meski harus melawan dunia,” gumamnya. Langkah kaki berat terdengar dari depan pagar. Dewi menajamkan telinga. Itu bukan suara tetangga. Ia cepat menyelipkan logam ke saku. Dari celah jendela, ia mengintip. Dua pria asing yang mengikutinya di pasar kini berdiri di depan rumah. Salah satunya berbicara lewat ponsel. Yang lain menatap tajam ke sekeliling. “Mereka… sampai ke rumahku,” bisik Dewi, wajah pucat. Ia melirik kamar ibunya. Mak Rini pasti masih tertidur. Kalau pria-pria itu mengetuk pintu, ibunya akan membuka tanpa curiga. “Tidak… aku tak boleh biarkan Mak terjebak.” Dengan cepat, Dewi meraih busur tua di dapur. Tangannya gemetar, tapi genggamannya mantap. Suara gesekan keras terdengar. Gerbang bambu depan rumah digeser paksa. Dewi merunduk, menempel ke dinding. Jantungnya berdegup liar, peluh dingin menetes di pelipis. “Coba kau cek pintunya,” terdengar suara berat pria asing. “Baik. Kalau ada orang di dalam, kita tangkap,” jawab rekannya. Dewi menutup mata sebentar, mengingat pesan Ayah dalam mimpi: Percayalah pada nalurimu. Ia membuka mata dengan sorot tegas. Jika pintu itu jebol, ia tahu apa yang harus dilakukan. Langkah pria asing mendekat. Lantai berderit. Pintu depan bergetar. Dewi menggenggam busur lebih erat. “Aku harus bertahan… atau lari malam ini juga.” Pintu bergetar semakin keras, lalu— Brak! Suara keras mendobrak pintu mengguncang seluruh rumah. Dewi membeku. Dan saat teriakan Mak Rini pecah dari kamar, ia sadar—malam ini musuh sudah masuk.“Terkadang, bahaya terbesar bukan yang mengejarmu…tetapi yang berdiri tepat di belakangmu saat kau memilih.”Dewi membeku.Tangan dingin itu menggenggam pergelangannya—kokoh, tenang, dan terasa… nyata. Bukan seperti ilusi cahaya di ruang lingkaran. Semua suara cahaya, semua kesadaran digital, bahkan gema ayahnya—mendadak redup. Seolah sosok yang memegangnya memiliki otoritas lebih tinggi di ruang ini.Dewi berbalik perlahan.Dan nafasnya hampir patah.Seorang pria berdiri di sana. Tinggi, berwajah teduh namun misterius, tubuhnya memantulkan cahaya seolah ia bukan manusia… tapi bukan pula entitas data. Matanya hitam pekat, tanpa bayangan, seakan menelan seluruh cahaya ruang itu.Kesadaran Ayah Dewi bereaksi pertama kali.“Kau… tidak seharusnya ada di sini.”Suara Rizal retak, terdistorsi seolah ruangan menolak kehadiran pria itu.Sosok itu tidak menoleh.Ia hanya menatap Dewi.“Jika kau memilih salah satu dari tiga takdir itu… dunia akan hancur lebih cepat dari yang mereka rancang.”D
“Setiap badai punya pusat.Dan di pusat itulah… kebenaran berhenti bersembunyi.”Cahaya hijau keemasan memeluk tubuh Dewi seperti kabut hidup saat ia melangkah ke dalam lingkaran itu. Angin berhenti. Waktu seolah terbelah. Di luar, markas NURANI seperti dunia yang terjebak dalam jeda, membeku antara teriakan dan kepanikan.Namun di dalam lingkaran itu, Dewi merasa seperti memasuki ruang yang tak tunduk pada hukum bumi.Hanya ada bisikan.Hanya ada gema masa depan.Dan suara yang sama—suara yang memanggilnya sejak badai pecah.Dewi membuka mata. Ia berdiri di sebuah ruang lingkaran luas yang tampak seperti perpustakaan hampa dengan dinding berisi aliran cahaya data. Ribuan angka berlari di udara, seolah GENESIS, BLACK LOTUS, dan seluruh jaringan bumi diperas menjadi titik tunggal informasi.Namun yang paling mencolok adalah tiga lingkaran cahaya di depannya—masing-masing menampilkan kemungkinan masa depan:🔸 Masa depan pertama:Bumi stabil, lautan tenang, Indonesia menjadi pusat energ
“Badai tidak tercipta untuk menghancurkan. Kadang… ia datang untuk memanggil seseorang.”Suara itu datang entah dari mana—entah dari Qadr, entah dari ingatan ayahnya, atau dari bumi yang kini bergetar tepat di bawah kaki mereka. Tapi Dewi merasakannya seperti bisikan yang menyentuh tulang belakangnya.Markas NURANI bergetar keras.Lampu-lampu berkedip, alarm melolong, dan layar utama menunjukkan spiral badai raksasa yang sedang turun dari langit seperti makhluk hidup yang marah.Rin menatap angka-angka tekanan udara yang anjlok.“Ini bukan badai biasa! Tekanannya… gila, Dewi! Ini badai kategori yang bahkan belum pernah dicatat NOAA!”Arka berdiri tak stabil, memegangi layar agar tidak jatuh.“Tidak ada model cuaca yang bisa menjelaskan ini!”Damar menarik Dewi ke belakang meja besi, matanya tegang penuh proteksi.“Dewi, katakan apa yang kau lihat. Jangan tahan lagi.”Dewi menatap langit yang retak melalui kaca markas.Retakan halus itu seperti mengintip dunia ke dunia lain—ke masa dep
“Kalau seorang anak autis dari Swedia saja bisa mengguncang dunia… kenapa kita tidak?”Kalimat itu muncul begitu saja di benak Dewi ketika hologram terakhir padam.Ruang markas hening, tapi di dalam kepala Dewi, suara-suara bumi masih bergema:suara angin puting beliung yang memotong kota, suara banjir bandang menerjang Padang, suara Sumatra retak perlahan dari selatan ke utara.Damar menatapnya gelisah.“Dewi, kau pucat. Apa lagi yang kau lihat?”Dewi menarik napas berat.“Aku melihat sesuatu yang… jauh lebih besar dari kita.”Rin mendekat, membawa grafik cuaca yang naik seperti jantung planet yang sedang panik.“Ini… ini bukan cuaca normal lagi, Dewi. Ini chaos.”Arka menimpali, “Seperti dunia sedang diaduk dari bawah. Suhu laut naik mendadak. Arah angin berbalik. Dan tekanan udara—ya Tuhan…”Ia menatap Dewi.“Ini bukan kebetulan. Ada pola yang sama dengan keruntuhan penyangga bumi.”Dewi memejamkan mata.Dalam sekejap—ia melihat hutan Papua dipreteli seperti kulit buah.Gunung Moro
“Empat kampung hilang dalam semalam, Dewi. Dan kali ini bukan bencana. Ini… pembunuhan yang dilegalkan.”Rin melempar layar hologram ke tengah meja. Gambar-gambar berganti cepat: seorang gubernur Aceh menangis di depan kamera; tanah longsor menelan rumah-rumah; sungai berubah warna seperti tinta gelap; anak kecil berdiri sendirian di antara lumpur yang masih panas.Dewi menatapnya tanpa berkedip.Ada sesuatu di dadanya yang retak pelan—seolah bumi sendiri meminjam suaranya.Damar mendekatkan tubuhnya, membisik pelan, “Ini yang mereka sembunyikan dari data Genesis. Semua laporan itu ditenggelamkan, disensor oleh izin tambang kelas kakap.”Hologram memperbesar citra hutan yang terkelupas, membentuk luka besar di punggung Sumatra.Helikopter-helikopter kecil terbang rendah membawa alat pengeboran. Sungai berubah jalur. Gunung yang dulu hijau, kini berlubang seperti paru-paru yang dipaksa berhenti bernapas.“Ini bukan salah alam,” kata Dewi, suaranya rendah.“Ini salah manusia.”Rin mengg
“Kau bukan orang yang sama lagi, Dewi.”Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Damar begitu ia berhasil menangkap tubuh Dewi sebelum jatuh menyentuh tanah.Dewi mengerjap, napasnya pendek dan panas. Aura cahaya yang tadi mengelilinginya kini meresap ke kulit, menyisakan kilau tipis yang hanya terlihat ketika Damar berdiri sangat dekat.“Aku masih aku,” bisik Dewi. “Tapi… ada sesuatu yang dibangunkan.”Drone asing masih membeku di udara, seolah dunia menahan napas menunggu perintah. Damar memandang ke langit dengan waspada.“Apa yang mereka lakukan padamu di dalam gerbang itu?”Dewi menutup mata sejenak—mengumpulkan memori—tetapi yang muncul justru tumpang tindih: Sudan berdarah, Afrika bangkit bersama Ibrahim Tidore, ruang rapat para elit migas dunia yang sedang menandatangani kontrak untuk masa depan manusia, dan wajah-wajah orang Indonesia yang kehilangan hak atas tanah mereka sendiri.“Mereka tidak memberiku kekuatan,” katanya pelan.“Mereka memberiku… pilihan.”Damar menegang.







