Home / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 3 – Jejak yang Tersisa

Share

Bab 3 – Jejak yang Tersisa

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-10 07:16:34

“Kunci itu bisa membuka hidupmu… atau menghancurkannya.”

Bisikan itu masih terngiang sejak pertemuan Dewi dengan Ji-hoon di pasar. Kata-kata asing itu menempel di benak, membuat malam-malamnya penuh gelisah.

Di kamar kecil, ia menyalakan laptop usang milik sepupunya. Lampu minyak di meja hanya memberi cahaya temaram. Di sampingnya, logam bundar berukir aneh berkilau tipis, seolah punya kehidupan sendiri.

Jari Dewi gemetar saat memindai pola itu dengan aplikasi ponsel. Layar hanya menampilkan tulisan dingin:

“Akses Ditolak – Enkripsi Tingkat Tinggi.”

“Apa maksudnya? Ini bukan QR biasa…” gumamnya resah.

Ia mencoba situs pemindai online. Hasilnya nihil. Layar laptop bergetar, sempat mati sebentar.

Dewi menatap logam itu lekat-lekat. Ada getaran aneh di dadanya, seperti benda itu menyimpan energi tak kasat mata.

“Ayah… apa sebenarnya yang kau sembunyikan?” bisiknya.

Kebuntuan itu membuatnya nekat. Esok siang, ia pergi ke warnet tua di Belilas.

Warnet itu pengap, bau asap rokok bercampur debu. Monitor tua berjejer, sebagian kusam. Seorang operator dengan rambut acak acakan menatapnya curiga.

“Mau main F******k, Dik?” tanyanya sambil menguap.

Dewi menggeleng. “Nggak, Bang. Cuma mau coba buka kode.”

Operator terkekeh. “Ya asal jangan bikin virus aja. Komputer sini gampang ngehang.”

Dewi duduk di pojok. Ia membuka situs pemindai khusus, lalu mengarahkan kamera ke logam bundar itu.

Tiba-tiba layar menampilkan teks singkat:

“Input valid. Sesi dilacak. Lokasi terdeteksi.”

Mata Dewi membelalak. “Apa… maksudnya?”

Operator yang tadi cuek mendekat, wajahnya tegang. “Dik, dari mana kau dapat kode itu?”

Tubuh Dewi kaku. “Kenapa? Kau tahu ini apa?”

Operator menutup laptopnya dengan kasar. “Cepat pergi. Kalau kau terus buka itu, mereka bakal tahu kau di sini.”

“Mereka? Siapa mereka?”

Pria itu pucat, suaranya bergetar. “Pergi sekarang! Jangan balik lagi.”

Dewi keluar tergesa. Jalan Belilas ramai seperti biasa, tapi baginya semua terasa asing. Setiap wajah seolah menyimpan mata yang mengintai.

Ia berjalan cepat, menggenggam logam di saku. Bayangan pria asing di pasar kembali teringat.

“Kalau benar mereka bisa melacak lewat kode ini… berarti aku sedang diburu.”

Malamnya, Dewi sulit tidur. Hujan deras mengguyur atap. Ia akhirnya terlelap, lalu bermimpi.

Dalam mimpi, ruangan gelap penuh layar berkedip. Wajah Ayahnya muncul di salah satunya—pucat, tapi tegas.

“Dewi… jangan biarkan mereka membuka kunci itu sebelum kau siap. Percayalah pada nalurimu.”

Dewi meraih layar itu, tapi gambarnya pudar, lenyap satu per satu. Ia terbangun, nafas terengah, keringat dingin membasahi pelipis.

“Ayah… kau benar-benar meninggalkan pesan.”

Pagi datang. Dewi duduk di beranda, menggenggam logam berat. Matanya sembab, tubuh lelah, tapi tekadnya tumbuh.

“Ku Harus tahu kebenaran ini, meski harus melawan dunia,” gumamnya.

Langkah kaki berat terdengar dari depan pagar. Dewi menajamkan telinga. Itu bukan suara tetangga.

Ia cepat menyelipkan logam ke saku. Dari celah jendela, ia mengintip. Dua pria asing yang mengikutinya di pasar kini berdiri di depan rumah.

Salah satunya berbicara lewat ponsel. Yang lain menatap tajam ke sekeliling.

“Mereka… sampai ke rumahku,” bisik Dewi, wajah pucat.

Ia melirik kamar ibunya. Mak Rini pasti masih tertidur. Kalau pria-pria itu mengetuk pintu, ibunya akan membuka tanpa curiga.

“Tidak… aku tak boleh biarkan Mak terjebak.”

Dengan cepat, Dewi meraih busur tua di dapur. Tangannya gemetar, tapi genggamannya mantap.

Suara gesekan keras terdengar. Gerbang bambu depan rumah digeser paksa.

Dewi merunduk, menempel ke dinding. Jantungnya berdegup liar, peluh dingin menetes di pelipis.

“Coba kau cek pintunya,” terdengar suara berat pria asing.

“Baik. Kalau ada orang di dalam, kita tangkap,” jawab rekannya.

Dewi menutup mata sebentar, mengingat pesan Ayah dalam mimpi: Percayalah pada nalurimu.

Ia membuka mata dengan sorot tegas. Jika pintu itu jebol, ia tahu apa yang harus dilakukan.

Langkah pria asing mendekat. Lantai berderit. Pintu depan bergetar.

Dewi menggenggam busur lebih erat. “Aku harus bertahan… atau lari malam ini juga.”

Pintu bergetar semakin keras, lalu—

Brak! Suara keras mendobrak pintu mengguncang seluruh rumah.

Dewi membeku. Dan saat teriakan Mak Rini pecah dari kamar, ia sadar—malam ini musuh sudah masuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 9 – Tidak Ada Jalan Pulang

    “Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 8 – Buruan di Negeri Asing

    “Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 7 – Orang Asing di Terminal 3

    “Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 6 – Bandara Incheon

    “Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 5 – Pesan dalam Hujan

    “Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 4 – Genggaman Ibu

    “Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status