Home / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 4 – Genggaman Ibu

Share

Bab 4 – Genggaman Ibu

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-10 07:16:39

“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.”

Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai.

Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia.

“Mak…” suara Dewi lirih.

Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?”

“Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar.

Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?”

Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah.

Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. Bukan karena mau berbohong, tapi untuk melindungimu.”

“Aku sudah menemukan sesuatu,” balas Dewi cepat. “Busur Ayah, logam aneh… semua itu bukan kebetulan.”

Mata Mak Rini melebar. Ia bangkit, mengambil kotak kayu tua dari lemari, lalu menyerahkannya. “Kalau begitu, kau harus lihat ini.”

Dengan hati-hati Dewi membuka kotak itu. Isinya foto lama Rizal Rahman. Ayahnya berdiri tegak dengan jas semi-formal, mirip militer. Tatapannya tajam.

Dewi membeku. Di lengan jas, ada simbol samar—persis ukiran pada logam bundar.

“Mak… ini sama! Jadi Ayah… bukan orang biasa.”

Mak Rini menunduk. “Ayahmu terlibat dalam sesuatu yang besar. Sesuatu berbahaya. Itulah yang membuatnya hilang.”

Dewi menutup mulut dengan tangan. Semua firasatnya benar. Ayah tidak hilang begitu saja—ia disembunyikan.

“Mak yakin dia masih hidup?”

Mak Rini menatap putrinya lama sekali. “Emak tidak tahu pasti. Tapi Emak selalu percaya dia belum mati.”

Air mata Dewi jatuh. “Kalau begitu biarkan aku mencarinya. Aku tidak bisa duduk diam.”

“Jangan, Nak,” suara Mak Rini bergetar. “Dunia Ayahmu bukan dunia kita. Kau akan terseret bahaya yang tak bisa Emak lindungi.”

“Tapi kalau aku diam saja, mereka akan terus datang ke rumah. Aku harus tahu kebenarannya.”

Mak Rini akhirnya menggenggam tangan putrinya erat. “Kalau kau benar-benar pergi, jangan menoleh. Jangan berharap pulang dengan tenang. Jalan ini tidak punya ujung damai.”

Dewi terisak, tapi tekadnya jelas. “Aku tetap berangkat, Mak.”

Mak Rini memejamkan mata, air mata jatuh di pipi. Namun suaranya tegas: “Kalau begitu, dengar pesan Emak. Jangan percaya siapapun. Musuh bisa memakai wajah keluarga.”

Kalimat itu membuat tubuh Dewi merinding. Itu sama persis dengan pesan Ayah di kertas lusuh.

“Mak… kau tahu siapa orang-orang itu?” tanya Dewi hati-hati.

Mak Rini hanya menggeleng. “Yang Emak tahu, mereka tidak akan berhenti sampai dapat yang mereka cari. Dan itu ada padamu.”

Malamnya, Dewi berkemas diam-diam. Ia memasukkan logam, tiket, dan foto Ayah ke tas. Busur tua ia ikat dengan kain. Ia menatap kamar sederhana itu sekali lagi.

Tiba-tiba suara langkah terdengar di luar. Srek… srek… di tanah basah. Dewi menajamkan telinga.

Ia mengintip dari celah jendela. Seorang bayangan berdiri di bawah pohon. Tak bergerak, hanya menatap lurus ke rumah.

Dewi gemetar. “Mereka belum pergi…”

Bayangan itu mengangkat tangan, lalu menyelipkan secarik kertas di pagar bambu sebelum menghilang di gelap malam.

Dengan cepat Dewi keluar, mengambil kertas itu. Tangannya gemetar membaca tulisan singkat di dalamnya:

“Besok malam. Rumah kosong di pinggir sawah. Datang sendiri. Atau ibumu jadi korban.”

Dewi berdiri terpaku di beranda sambil menggenggam kertas ancaman itu. Tangannya gemetar, napasnya terengah. Dunia seolah menyempit.

Jika ia tidak datang ke rumah kosong itu, ibunya jadi korban. Tapi jika ia datang, itu jelas perangkap.

Ia kembali ke dalam, menyembunyikan kertas di balik saku. Mak Rini menoleh sebentar, alisnya berkerut.

“Kau kenapa, Nak? Wajahmu pucat sekali.”

“Tidak, Mak. Cuma lelah,” jawab Dewi cepat, mencoba tersenyum.

Mak Rini tidak bertanya lagi, tapi sorot matanya penuh curiga. Seakan tahu anaknya menyimpan sesuatu.

Malam semakin larut. Dewi duduk di lantai kamarnya, memandangi busur tua dan tiket pesawat ke Seoul. Pikirannya campur aduk.

“Ayah… apa ini semua sudah kau rencanakan? Kenapa harus aku yang menerima warisan ini?”

Suara angin di luar membuat bulu kuduknya berdiri. Ia berbaring sebentar, tapi matanya tak bisa terpejam. Setiap kali teringat kertas ancaman, tubuhnya tegang.

Akhirnya ia menyalakan ponsel, menatap foto Ayah yang baru saja diberikan Mak Rini. Tatapan pria itu terasa menembus layar.

Keesokan paginya, Dewi mencoba bersikap normal. Ia membantu Mak Rini menjemur pakaian, lalu menyiapkan sarapan sederhana. Tapi di hatinya, ketegangan semakin menumpuk.

“Mak,” katanya hati-hati, “kalau suatu hari aku pergi jauh… apa Mak akan marah?”

Mak Rini menoleh singkat. “Pergi jauh? Maksudmu merantau?”

“Semacam itu…” Dewi mencoba tersenyum.

Mak Rini menghela napas panjang. “Selama jalanmu benar, Emak hanya bisa mendoakan.”

Dewi menunduk, menahan air mata. Kata-kata ibunya terdengar seperti restu yang samar, meski ia belum berani bercerita soal ancaman itu.

Sore harinya, ia duduk di tepi sawah. Kertas ancaman itu ia baca berulang kali. Tinta hitamnya menodai jemarinya, tapi pesan singkat itu tetap jelas: “Datang sendiri. Atau ibumu jadi korban.”

Bayangan dua pria asing itu kembali muncul di kepalanya. Sorot mata mereka dingin, tak ragu melakukan apa pun.

“Kalau aku datang, aku mungkin mati. Kalau aku tidak datang, Mak yang jadi taruhannya,” gumam Dewi, gigi bawah menggigit bibir.

Busur tua di pangkuannya terasa berat, seakan menuntut keputusan cepat.

Malam turun dengan hujan deras. Petir sesekali menyambar, menerangi langit. Dewi sudah menyiapkan ransel kecil. Di dalamnya ada busur, logam bundar, tiket pesawat, dan foto Ayah.

Ia berdiri lama di depan pintu kamar, menatap Mak Rini yang sudah terlelap. Wajah ibunya damai, tidak tahu bahwa hidup mereka kini di ujung ancaman.

“Maaf, Mak,” bisik Dewi. “Aku harus pergi. Aku tidak bisa biarkan mereka menyentuhmu.”

Ia mengecup kening ibunya pelan, lalu melangkah keluar rumah.

Hujan mengguyur deras. Dewi berjalan menyusuri jalan setapak menuju sawah. Setiap langkah berat, tapi tekadnya sudah bulat.

Dari kejauhan, rumah kosong yang dimaksud terlihat samar. Atapnya bocor, dinding kayunya lapuk. Tapi di balik kegelapan, cahaya kecil berkelip. Ada yang menunggunya.

Dewi menggenggam busur lebih erat. Dadanya berdegup kencang.

Kilatan petir menyambar, memperlihatkan sepasang mata berkilat di balik jendela rumah kosong itu.

Mata itu menatap lurus ke arahnya—dan bergerak mendekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 55 – “Titian Terakhir”

    Malam itu menyeret bayangan panjang ke wajah Dewi. Ia berdiri di tepi jurang yang tak hanya mengancam nyawanya, tapi juga masa depan bangsa yang telah ia perjuangkan sejak lama. Suara deru angin menyapu sepi, seolah memberikan isyarat bahwa perjalanan panjang mereka sudah sampai pada titik kritis. “Ini bukan tentang siapa yang akan menang atau kalah,” bisik Dewi pada dirinya sendiri, “Ini soal menegakkan keadilan meskipun dunia berusaha membungkamnya.” Setiap langkahnya kini penuh kehati-hatian, namun tekadnya tetap membara seperti api yang enggan padam. Damar dan Rani berdiri di sampingnya, mata mereka tajam menatap ke depan, siap menghadapi apa pun yang menghadang. “Kita sudah melewati begitu banyak pengkhianatan dan jebakan,” kata Damar, “Tapi kali ini, kita harus benar-benar bersiap menghadapi gelombang terakhir.” Rani mengangguk, “Tidak ada ruang untuk kesalahan. Semua yang kita perjuangkan ada di ujung benang ini.” Tiba-tiba, suara notifikasi masuk di ponsel Dewi. Pesan itu

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 54-bayang Pengkhianatan

    “Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun, bahkan pada bayanganmu sendiri.” Dewi mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, seolah ungkapan itu menjadi mantra untuk mengendalikan kegelisahan yang mengoyak hatinya. Lampu ruang komando berpendar merah, memperlihatkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad di sekelilingnya. Bunyi alarm yang baru saja padam menyisakan getaran tegang di udara, menandakan bahwa bahaya masih mengintai dari segala arah. Di sudut ruangan, Rizal mengutak-atik perangkat hologram, mencoba mengekstrak data dari dokumen yang belum mereka selesaikan. Wajahnya menegang, matanya terpaku pada grafik kompleks yang berputar di depan layar. “Ini bukan hanya soal pengkhianatan kecil atau kesalahan operasional,” katanya pelan, “ini perang skala besar—serangan yang datang dari dalam dan luar, semua terkoordinasi dengan rapi.” Damar berjalan mondar-mandir, suaranya serak namun penuh urgensi. “Kalau ada pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. K

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 53: “Semua Rahasia Akan Terbuka”

    “Ini bukan tentang kita lagi, Dewi. Ini tentang masa depan bangsa yang sedang bertaruh,” suara Rizal bergetar, menembus keheningan ruang bawah tanah yang remang. Dewi menatap tajam ke arahnya, mata mereka bertemu dalam keseriusan yang sulit diungkapkan kata-kata. Di luar dinding beton itu, suara langkah dan gemericik hujan membuat malam semakin kelam, seakan alam pun menyesuaikan dirinya dengan ketegangan yang menggumpal. “Kau yakin kita siap?” tanya Dewi pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena sekali kita mulai, tidak akan ada jalan kembali.” Rizal mengangguk, menggenggam tangan Dewi dengan erat. “Sudah terlalu lama kita bermain dalam bayang-bayang. Waktunya menerangi kegelapan.” Lampu-lampu tanda bahaya berkedip, mendapatkan ketenangan sebelum badai. Dari layar hologram, peta jaringan konspirasi membentang luas; aliran dana gelap, tokoh-tokoh tak terlihat, dan jebakan-jebakan yang sudah disiapkan. Dewi melangkah ke jendela kecil yang memperlihatkan kota yang tertutup aw

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 52 – “Bayang-Bayang Pengkhianatan

    Suara pintu besi terkunci rapat meninggalkan gema yang mendalam di ruang sempit itu. Dewi dan timnya berdiri dalam hening penuh ketegangan, napas mereka saling bertaut dalam irama yang sama—antara perjuangan dan ketakutan. Di balik layar monitor yang terus menampilkan wajah Dewi dengan label ‘Target Utama’, mereka sadar bahwa satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya. “Sekarang, kita benar-benar mulai,” ujar Dewi pelan, matanya berkilat dengan tekad kuat. “Pengkhianatan ada lebih dekat dari yang kita duga, dan kita harus temukan sebelum terlambat.” Rani membuka file di laptopnya, mencoba memindai data dan pola komunikasi untuk mencari jejak mata-mata. “Ada sinyal aneh dalam jaringan kita yang sama sekali tidak bisa dijelaskan. Seseorang sengaja mengaburkan informasi dan mengalihkan perhatian.” Damar mengangguk, “Dia bermain di medan ini sejak lama. Kita harus belajar bermain lebih cerdik.” Ketika mereka membahas langkah berikutnya, pintu ruangan bergetar perlahan, suara l

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 51 – ““Kepercayaan Hancur, Musuh Memanggil””

    “Tidak semua yang kau anggap teman, adalah penyelamat. Kadang, mereka adalah pembunuh dalam selimut,” suara berat itu berbisik di telinga Dewi saat ia berdiri dalam ruang gelap, dikelilingi bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam. Dewi menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik tirai, matanya menangkap keraguan dan pengkhianatan yang lama tersembunyi. “Kenapa kau tidak bicara dari awal? Jika kau mengkhianati kami, aku ingin tahu alasannya,” suaranya tegas tapi bergetar oleh perasaan sakit yang mendalam. Sosok itu tersenyum dingin, menanggapi dengan lirih, “Kadang kebenaran terlalu pahit untuk diterima. Aku melakukan ini demi sesuatu yang lebih besar—yang mungkin kau belum siap mengerti.” Rani dan Damar berdiri di belakang Dewi, waspada, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. “Kita harus segera putuskan, apakah dia musuh atau sekutu,” kata Damar dengan nada serius, melihat ke arah Dewi. Dewi menarik napas panjang, menyadari bahwa perang sejati bukan h

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 50 – “Teror di Balik Pintu Tertutup”

    “Kalian pikir ini akan mudah? Ini baru permulaan, dan kegelapan tak akan pernah pudar,” suara dingin itu menggema memenuhi ruang bawah tanah, membuat udara semakin berat dan menusuk ke dalam tulang. Dewi menatap ke sekeliling, dengan napas terengah dan mata yang tetap waspada, memeriksa setiap sudut yang mungkin menjadi jalan keluar. “Kita harus berpikir jernih, walau terjepit,” bisiknya kepada Damar dan Rani yang berdiri tak jauh darinya. Damar mengepalkan tangan, menatap pintu logam yang tertutup perlahan. “Ini jebakan yang tak terduga. Musuh semakin ganas dan siap untuk memusnahkan siapa saja yang menghalangi mereka.” Dewi mengangguk, “Kematian atau keadilan—ini bukan lagi soal pilihan, tapi konsekuensi dari setiap langkah kita.” Suasana mencekam menekan mereka, tapi tekad untuk melawan justru makin membara. Lampu merah yang menyala redup memantulkan bayangan panjang di dinding sempit ruang bawah tanah. Udara pengap terasa membungkus, namun Dewi dan yang lain menahan diri dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status