“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.”
Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. Bukan karena mau berbohong, tapi untuk melindungimu.” “Aku sudah menemukan sesuatu,” balas Dewi cepat. “Busur Ayah, logam aneh… semua itu bukan kebetulan.” Mata Mak Rini melebar. Ia bangkit, mengambil kotak kayu tua dari lemari, lalu menyerahkannya. “Kalau begitu, kau harus lihat ini.” Dengan hati-hati Dewi membuka kotak itu. Isinya foto lama Rizal Rahman. Ayahnya berdiri tegak dengan jas semi-formal, mirip militer. Tatapannya tajam. Dewi membeku. Di lengan jas, ada simbol samar—persis ukiran pada logam bundar. “Mak… ini sama! Jadi Ayah… bukan orang biasa.” Mak Rini menunduk. “Ayahmu terlibat dalam sesuatu yang besar. Sesuatu berbahaya. Itulah yang membuatnya hilang.” Dewi menutup mulut dengan tangan. Semua firasatnya benar. Ayah tidak hilang begitu saja—ia disembunyikan. “Mak yakin dia masih hidup?” Mak Rini menatap putrinya lama sekali. “Emak tidak tahu pasti. Tapi Emak selalu percaya dia belum mati.” Air mata Dewi jatuh. “Kalau begitu biarkan aku mencarinya. Aku tidak bisa duduk diam.” “Jangan, Nak,” suara Mak Rini bergetar. “Dunia Ayahmu bukan dunia kita. Kau akan terseret bahaya yang tak bisa Emak lindungi.” “Tapi kalau aku diam saja, mereka akan terus datang ke rumah. Aku harus tahu kebenarannya.” Mak Rini akhirnya menggenggam tangan putrinya erat. “Kalau kau benar-benar pergi, jangan menoleh. Jangan berharap pulang dengan tenang. Jalan ini tidak punya ujung damai.” Dewi terisak, tapi tekadnya jelas. “Aku tetap berangkat, Mak.” Mak Rini memejamkan mata, air mata jatuh di pipi. Namun suaranya tegas: “Kalau begitu, dengar pesan Emak. Jangan percaya siapapun. Musuh bisa memakai wajah keluarga.” Kalimat itu membuat tubuh Dewi merinding. Itu sama persis dengan pesan Ayah di kertas lusuh. “Mak… kau tahu siapa orang-orang itu?” tanya Dewi hati-hati. Mak Rini hanya menggeleng. “Yang Emak tahu, mereka tidak akan berhenti sampai dapat yang mereka cari. Dan itu ada padamu.” Malamnya, Dewi berkemas diam-diam. Ia memasukkan logam, tiket, dan foto Ayah ke tas. Busur tua ia ikat dengan kain. Ia menatap kamar sederhana itu sekali lagi. Tiba-tiba suara langkah terdengar di luar. Srek… srek… di tanah basah. Dewi menajamkan telinga. Ia mengintip dari celah jendela. Seorang bayangan berdiri di bawah pohon. Tak bergerak, hanya menatap lurus ke rumah. Dewi gemetar. “Mereka belum pergi…” Bayangan itu mengangkat tangan, lalu menyelipkan secarik kertas di pagar bambu sebelum menghilang di gelap malam. Dengan cepat Dewi keluar, mengambil kertas itu. Tangannya gemetar membaca tulisan singkat di dalamnya: “Besok malam. Rumah kosong di pinggir sawah. Datang sendiri. Atau ibumu jadi korban.” Dewi berdiri terpaku di beranda sambil menggenggam kertas ancaman itu. Tangannya gemetar, napasnya terengah. Dunia seolah menyempit. Jika ia tidak datang ke rumah kosong itu, ibunya jadi korban. Tapi jika ia datang, itu jelas perangkap. Ia kembali ke dalam, menyembunyikan kertas di balik saku. Mak Rini menoleh sebentar, alisnya berkerut. “Kau kenapa, Nak? Wajahmu pucat sekali.” “Tidak, Mak. Cuma lelah,” jawab Dewi cepat, mencoba tersenyum. Mak Rini tidak bertanya lagi, tapi sorot matanya penuh curiga. Seakan tahu anaknya menyimpan sesuatu. Malam semakin larut. Dewi duduk di lantai kamarnya, memandangi busur tua dan tiket pesawat ke Seoul. Pikirannya campur aduk. “Ayah… apa ini semua sudah kau rencanakan? Kenapa harus aku yang menerima warisan ini?” Suara angin di luar membuat bulu kuduknya berdiri. Ia berbaring sebentar, tapi matanya tak bisa terpejam. Setiap kali teringat kertas ancaman, tubuhnya tegang. Akhirnya ia menyalakan ponsel, menatap foto Ayah yang baru saja diberikan Mak Rini. Tatapan pria itu terasa menembus layar. Keesokan paginya, Dewi mencoba bersikap normal. Ia membantu Mak Rini menjemur pakaian, lalu menyiapkan sarapan sederhana. Tapi di hatinya, ketegangan semakin menumpuk. “Mak,” katanya hati-hati, “kalau suatu hari aku pergi jauh… apa Mak akan marah?” Mak Rini menoleh singkat. “Pergi jauh? Maksudmu merantau?” “Semacam itu…” Dewi mencoba tersenyum. Mak Rini menghela napas panjang. “Selama jalanmu benar, Emak hanya bisa mendoakan.” Dewi menunduk, menahan air mata. Kata-kata ibunya terdengar seperti restu yang samar, meski ia belum berani bercerita soal ancaman itu. Sore harinya, ia duduk di tepi sawah. Kertas ancaman itu ia baca berulang kali. Tinta hitamnya menodai jemarinya, tapi pesan singkat itu tetap jelas: “Datang sendiri. Atau ibumu jadi korban.” Bayangan dua pria asing itu kembali muncul di kepalanya. Sorot mata mereka dingin, tak ragu melakukan apa pun. “Kalau aku datang, aku mungkin mati. Kalau aku tidak datang, Mak yang jadi taruhannya,” gumam Dewi, gigi bawah menggigit bibir. Busur tua di pangkuannya terasa berat, seakan menuntut keputusan cepat. Malam turun dengan hujan deras. Petir sesekali menyambar, menerangi langit. Dewi sudah menyiapkan ransel kecil. Di dalamnya ada busur, logam bundar, tiket pesawat, dan foto Ayah. Ia berdiri lama di depan pintu kamar, menatap Mak Rini yang sudah terlelap. Wajah ibunya damai, tidak tahu bahwa hidup mereka kini di ujung ancaman. “Maaf, Mak,” bisik Dewi. “Aku harus pergi. Aku tidak bisa biarkan mereka menyentuhmu.” Ia mengecup kening ibunya pelan, lalu melangkah keluar rumah. Hujan mengguyur deras. Dewi berjalan menyusuri jalan setapak menuju sawah. Setiap langkah berat, tapi tekadnya sudah bulat. Dari kejauhan, rumah kosong yang dimaksud terlihat samar. Atapnya bocor, dinding kayunya lapuk. Tapi di balik kegelapan, cahaya kecil berkelip. Ada yang menunggunya. Dewi menggenggam busur lebih erat. Dadanya berdegup kencang. Kilatan petir menyambar, memperlihatkan sepasang mata berkilat di balik jendela rumah kosong itu. Mata itu menatap lurus ke arahnya—dan bergerak mendekat.“Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p
“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou
“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa
“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara
“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan
“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B