Beranda / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 5 – Pesan dalam Hujan

Share

Bab 5 – Pesan dalam Hujan

Penulis: T.Y.LOVIRA
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-10 07:16:45

“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.”

Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah.

Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam.

Tok… tok… tok.

Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu.

Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan.

“Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar.

Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu.

Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?”

“Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya.

Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan begini jangan keluar, Dewi. Dunia makin berbahaya.”

“Ya, Mak…” jawabnya singkat.

Tapi hatinya sudah bulat. Kalau peta ini benar dari Ayah, ia tak bisa diam.

Begitu ibunya kembali tidur, Dewi mengenakan jaket tipis, menyelipkan busur di punggung, lalu membuka pintu perlahan.

Hujan mengguyur tanpa ampun. Lumpur menempel di kakinya ketika ia menyusuri sawah. Dari kejauhan, rumah reyot di tepi sawah tampak samar—gelap, sepi, menyeramkan.

Pintu rumah itu terbuka sedikit, berderit tertiup angin.

Dewi masuk, menyorot ruangan dengan senter kecil. Bau lembab menusuk hidung. Hanya ada meja tua patah di sudut.

Tiba-tiba sorotan senter menangkap tanda bercahaya samar di dinding. Seperti dilukis dengan tinta khusus.

Dewi mendekat. Tulisan samar terbaca:

“Percayai naluri. Musuh bisa memakai wajah keluarga.”

Mata Dewi membelalak. Itu kalimat yang sama dengan pesan dalam mimpinya.

“Ini… benar-benar dari Ayah,” bisiknya.

Namun kegembiraan itu langsung pudar. Pintu belakang rumah berderit pelan.

“Siapa di sana?!” suara Dewi pecah, busurnya terangkat.

Hanya suara hujan deras yang menjawab.

Ia cepat-cepat menyalin simbol ke buku kecil. Tangan gemetar, takut cahaya samar itu hilang.

Kilatan petir menyambar. Dari jendela retak, Dewi jelas melihat sepasang mata menatapnya.

Ia terperanjat, senter terjatuh. “Tunjukkan dirimu!” teriaknya.

Begitu cahaya petir padam, bayangan itu lenyap. Sunyi kembali.

Dewi meraih senter, nafasnya memburu. Nalurinya yakin, itu bukan ilusi. Ada seseorang di luar.

“Kalau kau musuh Ayah… aku harus siap,” bisiknya, menegakkan busur.

Pintu belakang kembali berdecit. Bayangan tegak muncul sekelebat saat petir menerangi ruangan.

“Siapa kau?!”

Bayangan itu menghilang. Pintu hanya berayun pelan.

Dewi menunduk ke simbol bercahaya di dinding, lalu meraih bukunya. “Aku harus pergi sekarang. Kalau mereka tahu aku di sini, habis aku.”

Ia keluar menembus hujan deras. Lumpur menyulitkan langkahnya, tapi ia terus berlari.

Saat menoleh sekali lagi, kilatan petir memperlihatkan sosok tinggi berdiri di bawah bambu, menatap lurus padanya.

Dewi berlari sekencang-kencangnya, sadar bahwa mulai malam itu—ia bukan lagi sekadar mencari jejak Ayah. Ia resmi menjadi buruan.

Dewi berlari menyusuri jalan becek, napasnya memburu, rambut basah menempel di wajah. Suara hujan menutupi detak jantungnya yang kacau. Sesekali ia menoleh, tapi gelap hanya memperlihatkan siluet pohon dan sawah yang tergenang.

Namun perasaan itu nyata—ada langkah lain di belakangnya. Ringan, cepat, dan mengikuti ritme langkahnya.

“Apa mereka benar-benar membuntutiku sampai sini?” bisiknya, gemetar.

Ia menambah kecepatan, menembus gang kecil yang mengarah ke jalan desa.

Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas cepat di depannya. Dewi terhenti mendadak, hampir tergelincir di lumpur.

“Siapa di sana?!”

Tidak ada jawaban. Hanya kilat yang menyambar, memperlihatkan siluet seseorang berdiri di pinggir jalan, tegap, tidak bergerak.

Dewi mengangkat busurnya, berusaha tegar. “Jangan mendekat! Aku bisa melukai!”

Suara berat menjawab samar dari balik hujan, “Kalau kau terus membawa itu… mereka akan menemukanmu lebih cepat.”

Dewi menelan ludah. “Apa maksudmu?”

Sosok itu tidak menjawab. Saat petir kembali menyambar, ia sudah menghilang, meninggalkan jejak kaki samar di lumpur.

Dengan tubuh basah kuyup, Dewi akhirnya sampai di rumah. Ia buru-buru masuk, menutup pintu rapat.

Mak Rini berdiri di ruang tengah, wajahnya tegang. “Kau dari mana malam-malam begini? Lihat dirimu, basah kuyup!”

Dewi terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menunduk, menyembunyikan buku kecil yang berisi salinan simbol.

“Kalau kau terus begini, kau hanya akan mengulang jalan Ayahmu,” ucap Mak lirih, hampir seperti menyesal.

Dewi menatap ibunya, mata penuh air. “Mungkin itu memang takdirku, Mak.”

Malam itu ia bersembunyi di kamar, menatap simbol salinan dengan tangan gemetar. Kata-kata di dinding rumah kosong masih terngiang: Percayai naluri. Musuh bisa memakai wajah keluarga.

“Kalau Ayah benar menulis ini, berarti orang yang dekat denganku pun bisa berbahaya,” gumamnya.

Dewi menggenggam busur erat-erat, lalu menatap amplop tiket ke Seoul. Hatinya penuh ketakutan, tapi juga tekad.

Menjelang subuh, ia kembali mendengar suara aneh dari luar. Bukan hujan kali ini, melainkan ketukan ritmis di pagar bambu.

Tok… tok… tok.

Dewi menyingkap tirai jendela. Tak ada siapa pun. Tapi ketika ia membuka pintu perlahan, sebuah benda kecil tergeletak di tanah—peluru kosong, berkilau terkena sisa hujan.

Dadanya sesak. Itu jelas peringatan: musuh benar-benar tahu ia sudah mulai bergerak.

Dewi menutup pintu cepat-cepat, wajah pucat. “Aku tidak punya waktu lagi. Aku harus pergi… sebelum mereka menutup semua jalan.”

Ia berbalik, menatap busur, logam bundar, dan tiket pesawat.

Lalu suara ketukan keras tiba-tiba menghantam jendela—diikuti bisikan dari luar:

“Kami sudah menemukanmu, Dewi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 101 — “Sosok Tanpa Bayangan”

    “Terkadang, bahaya terbesar bukan yang mengejarmu…tetapi yang berdiri tepat di belakangmu saat kau memilih.”Dewi membeku.Tangan dingin itu menggenggam pergelangannya—kokoh, tenang, dan terasa… nyata. Bukan seperti ilusi cahaya di ruang lingkaran. Semua suara cahaya, semua kesadaran digital, bahkan gema ayahnya—mendadak redup. Seolah sosok yang memegangnya memiliki otoritas lebih tinggi di ruang ini.Dewi berbalik perlahan.Dan nafasnya hampir patah.Seorang pria berdiri di sana. Tinggi, berwajah teduh namun misterius, tubuhnya memantulkan cahaya seolah ia bukan manusia… tapi bukan pula entitas data. Matanya hitam pekat, tanpa bayangan, seakan menelan seluruh cahaya ruang itu.Kesadaran Ayah Dewi bereaksi pertama kali.“Kau… tidak seharusnya ada di sini.”Suara Rizal retak, terdistorsi seolah ruangan menolak kehadiran pria itu.Sosok itu tidak menoleh.Ia hanya menatap Dewi.“Jika kau memilih salah satu dari tiga takdir itu… dunia akan hancur lebih cepat dari yang mereka rancang.”D

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 100 — “Lingkaran yang Membelah Takdir”

    “Setiap badai punya pusat.Dan di pusat itulah… kebenaran berhenti bersembunyi.”Cahaya hijau keemasan memeluk tubuh Dewi seperti kabut hidup saat ia melangkah ke dalam lingkaran itu. Angin berhenti. Waktu seolah terbelah. Di luar, markas NURANI seperti dunia yang terjebak dalam jeda, membeku antara teriakan dan kepanikan.Namun di dalam lingkaran itu, Dewi merasa seperti memasuki ruang yang tak tunduk pada hukum bumi.Hanya ada bisikan.Hanya ada gema masa depan.Dan suara yang sama—suara yang memanggilnya sejak badai pecah.Dewi membuka mata. Ia berdiri di sebuah ruang lingkaran luas yang tampak seperti perpustakaan hampa dengan dinding berisi aliran cahaya data. Ribuan angka berlari di udara, seolah GENESIS, BLACK LOTUS, dan seluruh jaringan bumi diperas menjadi titik tunggal informasi.Namun yang paling mencolok adalah tiga lingkaran cahaya di depannya—masing-masing menampilkan kemungkinan masa depan:🔸 Masa depan pertama:Bumi stabil, lautan tenang, Indonesia menjadi pusat energ

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 99 — “Badai yang Memanggil Nama Dewi”

    “Badai tidak tercipta untuk menghancurkan. Kadang… ia datang untuk memanggil seseorang.”Suara itu datang entah dari mana—entah dari Qadr, entah dari ingatan ayahnya, atau dari bumi yang kini bergetar tepat di bawah kaki mereka. Tapi Dewi merasakannya seperti bisikan yang menyentuh tulang belakangnya.Markas NURANI bergetar keras.Lampu-lampu berkedip, alarm melolong, dan layar utama menunjukkan spiral badai raksasa yang sedang turun dari langit seperti makhluk hidup yang marah.Rin menatap angka-angka tekanan udara yang anjlok.“Ini bukan badai biasa! Tekanannya… gila, Dewi! Ini badai kategori yang bahkan belum pernah dicatat NOAA!”Arka berdiri tak stabil, memegangi layar agar tidak jatuh.“Tidak ada model cuaca yang bisa menjelaskan ini!”Damar menarik Dewi ke belakang meja besi, matanya tegang penuh proteksi.“Dewi, katakan apa yang kau lihat. Jangan tahan lagi.”Dewi menatap langit yang retak melalui kaca markas.Retakan halus itu seperti mengintip dunia ke dunia lain—ke masa dep

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 98 — “Pesan dari Masa Depan Bumi”

    “Kalau seorang anak autis dari Swedia saja bisa mengguncang dunia… kenapa kita tidak?”Kalimat itu muncul begitu saja di benak Dewi ketika hologram terakhir padam.Ruang markas hening, tapi di dalam kepala Dewi, suara-suara bumi masih bergema:suara angin puting beliung yang memotong kota, suara banjir bandang menerjang Padang, suara Sumatra retak perlahan dari selatan ke utara.Damar menatapnya gelisah.“Dewi, kau pucat. Apa lagi yang kau lihat?”Dewi menarik napas berat.“Aku melihat sesuatu yang… jauh lebih besar dari kita.”Rin mendekat, membawa grafik cuaca yang naik seperti jantung planet yang sedang panik.“Ini… ini bukan cuaca normal lagi, Dewi. Ini chaos.”Arka menimpali, “Seperti dunia sedang diaduk dari bawah. Suhu laut naik mendadak. Arah angin berbalik. Dan tekanan udara—ya Tuhan…”Ia menatap Dewi.“Ini bukan kebetulan. Ada pola yang sama dengan keruntuhan penyangga bumi.”Dewi memejamkan mata.Dalam sekejap—ia melihat hutan Papua dipreteli seperti kulit buah.Gunung Moro

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 97 — “Pena-Pena yang Menenggelamkan Nyawa”

    “Empat kampung hilang dalam semalam, Dewi. Dan kali ini bukan bencana. Ini… pembunuhan yang dilegalkan.”Rin melempar layar hologram ke tengah meja. Gambar-gambar berganti cepat: seorang gubernur Aceh menangis di depan kamera; tanah longsor menelan rumah-rumah; sungai berubah warna seperti tinta gelap; anak kecil berdiri sendirian di antara lumpur yang masih panas.Dewi menatapnya tanpa berkedip.Ada sesuatu di dadanya yang retak pelan—seolah bumi sendiri meminjam suaranya.Damar mendekatkan tubuhnya, membisik pelan, “Ini yang mereka sembunyikan dari data Genesis. Semua laporan itu ditenggelamkan, disensor oleh izin tambang kelas kakap.”Hologram memperbesar citra hutan yang terkelupas, membentuk luka besar di punggung Sumatra.Helikopter-helikopter kecil terbang rendah membawa alat pengeboran. Sungai berubah jalur. Gunung yang dulu hijau, kini berlubang seperti paru-paru yang dipaksa berhenti bernapas.“Ini bukan salah alam,” kata Dewi, suaranya rendah.“Ini salah manusia.”Rin mengg

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 96 — “Dua Puluh Empat Jam Terakhir”

    “Kau bukan orang yang sama lagi, Dewi.”Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Damar begitu ia berhasil menangkap tubuh Dewi sebelum jatuh menyentuh tanah.Dewi mengerjap, napasnya pendek dan panas. Aura cahaya yang tadi mengelilinginya kini meresap ke kulit, menyisakan kilau tipis yang hanya terlihat ketika Damar berdiri sangat dekat.“Aku masih aku,” bisik Dewi. “Tapi… ada sesuatu yang dibangunkan.”Drone asing masih membeku di udara, seolah dunia menahan napas menunggu perintah. Damar memandang ke langit dengan waspada.“Apa yang mereka lakukan padamu di dalam gerbang itu?”Dewi menutup mata sejenak—mengumpulkan memori—tetapi yang muncul justru tumpang tindih: Sudan berdarah, Afrika bangkit bersama Ibrahim Tidore, ruang rapat para elit migas dunia yang sedang menandatangani kontrak untuk masa depan manusia, dan wajah-wajah orang Indonesia yang kehilangan hak atas tanah mereka sendiri.“Mereka tidak memberiku kekuatan,” katanya pelan.“Mereka memberiku… pilihan.”Damar menegang.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status