“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.”
Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan begini jangan keluar, Dewi. Dunia makin berbahaya.” “Ya, Mak…” jawabnya singkat. Tapi hatinya sudah bulat. Kalau peta ini benar dari Ayah, ia tak bisa diam. Begitu ibunya kembali tidur, Dewi mengenakan jaket tipis, menyelipkan busur di punggung, lalu membuka pintu perlahan. Hujan mengguyur tanpa ampun. Lumpur menempel di kakinya ketika ia menyusuri sawah. Dari kejauhan, rumah reyot di tepi sawah tampak samar—gelap, sepi, menyeramkan. Pintu rumah itu terbuka sedikit, berderit tertiup angin. Dewi masuk, menyorot ruangan dengan senter kecil. Bau lembab menusuk hidung. Hanya ada meja tua patah di sudut. Tiba-tiba sorotan senter menangkap tanda bercahaya samar di dinding. Seperti dilukis dengan tinta khusus. Dewi mendekat. Tulisan samar terbaca: “Percayai naluri. Musuh bisa memakai wajah keluarga.” Mata Dewi membelalak. Itu kalimat yang sama dengan pesan dalam mimpinya. “Ini… benar-benar dari Ayah,” bisiknya. Namun kegembiraan itu langsung pudar. Pintu belakang rumah berderit pelan. “Siapa di sana?!” suara Dewi pecah, busurnya terangkat. Hanya suara hujan deras yang menjawab. Ia cepat-cepat menyalin simbol ke buku kecil. Tangan gemetar, takut cahaya samar itu hilang. Kilatan petir menyambar. Dari jendela retak, Dewi jelas melihat sepasang mata menatapnya. Ia terperanjat, senter terjatuh. “Tunjukkan dirimu!” teriaknya. Begitu cahaya petir padam, bayangan itu lenyap. Sunyi kembali. Dewi meraih senter, nafasnya memburu. Nalurinya yakin, itu bukan ilusi. Ada seseorang di luar. “Kalau kau musuh Ayah… aku harus siap,” bisiknya, menegakkan busur. Pintu belakang kembali berdecit. Bayangan tegak muncul sekelebat saat petir menerangi ruangan. “Siapa kau?!” Bayangan itu menghilang. Pintu hanya berayun pelan. Dewi menunduk ke simbol bercahaya di dinding, lalu meraih bukunya. “Aku harus pergi sekarang. Kalau mereka tahu aku di sini, habis aku.” Ia keluar menembus hujan deras. Lumpur menyulitkan langkahnya, tapi ia terus berlari. Saat menoleh sekali lagi, kilatan petir memperlihatkan sosok tinggi berdiri di bawah bambu, menatap lurus padanya. Dewi berlari sekencang-kencangnya, sadar bahwa mulai malam itu—ia bukan lagi sekadar mencari jejak Ayah. Ia resmi menjadi buruan. Dewi berlari menyusuri jalan becek, napasnya memburu, rambut basah menempel di wajah. Suara hujan menutupi detak jantungnya yang kacau. Sesekali ia menoleh, tapi gelap hanya memperlihatkan siluet pohon dan sawah yang tergenang. Namun perasaan itu nyata—ada langkah lain di belakangnya. Ringan, cepat, dan mengikuti ritme langkahnya. “Apa mereka benar-benar membuntutiku sampai sini?” bisiknya, gemetar. Ia menambah kecepatan, menembus gang kecil yang mengarah ke jalan desa. Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas cepat di depannya. Dewi terhenti mendadak, hampir tergelincir di lumpur. “Siapa di sana?!” Tidak ada jawaban. Hanya kilat yang menyambar, memperlihatkan siluet seseorang berdiri di pinggir jalan, tegap, tidak bergerak. Dewi mengangkat busurnya, berusaha tegar. “Jangan mendekat! Aku bisa melukai!” Suara berat menjawab samar dari balik hujan, “Kalau kau terus membawa itu… mereka akan menemukanmu lebih cepat.” Dewi menelan ludah. “Apa maksudmu?” Sosok itu tidak menjawab. Saat petir kembali menyambar, ia sudah menghilang, meninggalkan jejak kaki samar di lumpur. Dengan tubuh basah kuyup, Dewi akhirnya sampai di rumah. Ia buru-buru masuk, menutup pintu rapat. Mak Rini berdiri di ruang tengah, wajahnya tegang. “Kau dari mana malam-malam begini? Lihat dirimu, basah kuyup!” Dewi terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menunduk, menyembunyikan buku kecil yang berisi salinan simbol. “Kalau kau terus begini, kau hanya akan mengulang jalan Ayahmu,” ucap Mak lirih, hampir seperti menyesal. Dewi menatap ibunya, mata penuh air. “Mungkin itu memang takdirku, Mak.” Malam itu ia bersembunyi di kamar, menatap simbol salinan dengan tangan gemetar. Kata-kata di dinding rumah kosong masih terngiang: Percayai naluri. Musuh bisa memakai wajah keluarga. “Kalau Ayah benar menulis ini, berarti orang yang dekat denganku pun bisa berbahaya,” gumamnya. Dewi menggenggam busur erat-erat, lalu menatap amplop tiket ke Seoul. Hatinya penuh ketakutan, tapi juga tekad. Menjelang subuh, ia kembali mendengar suara aneh dari luar. Bukan hujan kali ini, melainkan ketukan ritmis di pagar bambu. Tok… tok… tok. Dewi menyingkap tirai jendela. Tak ada siapa pun. Tapi ketika ia membuka pintu perlahan, sebuah benda kecil tergeletak di tanah—peluru kosong, berkilau terkena sisa hujan. Dadanya sesak. Itu jelas peringatan: musuh benar-benar tahu ia sudah mulai bergerak. Dewi menutup pintu cepat-cepat, wajah pucat. “Aku tidak punya waktu lagi. Aku harus pergi… sebelum mereka menutup semua jalan.” Ia berbalik, menatap busur, logam bundar, dan tiket pesawat. Lalu suara ketukan keras tiba-tiba menghantam jendela—diikuti bisikan dari luar: “Kami sudah menemukanmu, Dewi.”“Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p
“Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou
“Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa
“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara
“Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan
“Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B