Home / Thriller / Langkah Dewi : Warisan Rahasia / Bab 6 – Bandara Incheon

Share

Bab 6 – Bandara Incheon

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-10 07:16:48

“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.”

Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan.

Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil.

“Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya.

Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar.

Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok.

“Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara lembut seorang wanita paruh baya mengejutkannya.

“Oh, tidak… saya baik-baik saja,” jawab Dewi buru-buru, menunduk.

Wanita itu berlalu. Dewi menarik nafas panjang. Aku tak bisa percaya siapa pun. Bisa saja musuh menyamar jadi orang biasa.

Ia menuruni eskalator menuju Terminal 3. Jantungnya berdebar makin kencang. Di papan besar, deretan tulisan asing membuat kepalanya pening.

Saat ia pura-pura membaca peta bandara, bayangan bergerak di kaca besar. Seorang pria berjaket hitam berdiri tak jauh, matanya lurus ke arahnya.

Dewi menelan ludah. Ia meremas tali ransel. “Jangan panik… jangan panik…”

Ia berpura-pura tenang, lalu melangkah ke kios kecil. Namun saat menoleh, pria itu ikut bergerak. Jaraknya makin dekat.

“Kenapa mereka bisa sampai sini? Apa mereka sudah tahu tiket ini?” gumam Dewi dalam hati.

Suaranya tercekat saat koper besar jatuh di belakang. Semua orang menoleh. Dewi juga ikut refleks—dan saat kembali mencari, pria berjaket hitam itu sudah lenyap.

“Tidak mungkin…” bisiknya, nafas memburu.

Ia berjalan cepat ke pintu keluar. Seorang petugas bandara mendekat. “Miss, do you need help?” tanyanya dalam bahasa Inggris.

Dewi tersentak. “No… I’m fine,” katanya buru-buru, lalu kabur ke lorong samping.

Lorong itu lebih sepi, tapi langkah kaki lain menyusul di belakang. Dewi menoleh cepat.

Pria berjaket hitam itu muncul lagi. Kini jaraknya hanya beberapa meter. Tatapannya dingin, menusuk, tak melepaskan Dewi.

Dewi berdiri kaku. Tangannya meraih busur kecil dalam tas. Keramaian bandara mendadak sirna, hanya tersisa detak jantung dan tatapan pemburu.

Sebelum ia sempat bereaksi, pria itu membuka mulut pelan—

“Aku sudah menunggumu, Dewi.”

Dewi terpaku. Suara pria itu begitu jelas, seakan menusuk langsung ke dadanya. Ia tak pernah memberi tahu namanya pada siapa pun di sini.

“Bagaimana dia bisa tahu…?” bisiknya panik.

Pria itu melangkah lebih dekat. Sorot matanya tajam, tubuhnya tegap seperti orang yang terlatih. Dewi spontan mundur beberapa langkah, punggungnya hampir menabrak dinding kaca bandara.

“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Dewi dengan suara bergetar.

Pria itu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin tiket yang kau bawa.”

Dewi langsung meraih tasnya, menahannya di dada. “Tidak. Ini milikku.”

Senyum pria itu melebar, tapi dingin. “Kau tidak mengerti, kan? Kalau kau terus membawa tiket itu, kau hanya akan menjerumuskan dirimu sendiri.”

Suara langkah orang lain mendekat. Sekelompok penumpang melewati lorong. Dewi memanfaatkan momen itu untuk bergerak. Ia berpura-pura ikut berjalan bersama mereka, lalu berbelok cepat ke arah tangga darurat.

“Jangan kabur, Dewi!” suara pria itu bergema di belakangnya.

Jantung Dewi hampir pecah. Ia menuruni tangga darurat dengan terburu-buru, hampir terpeleset karena licin. Suara langkah berat terdengar mengejar dari atas.

Di lantai bawah, ia mendapati pintu darurat menuju area parkir. Udara malam menusuk kulitnya. Ratusan mobil berjejer, sebagian mesin masih menyala. Lampu redup membuat suasana semakin mencekam.

“Ke mana aku harus pergi sekarang?” Dewi memandang sekeliling, nafas terengah.

Tiba-tiba suara lain terdengar dari arah samping. “Hei! Kau!”

Dewi menoleh cepat. Seorang pria muda Korea dengan hoodie abu-abu berdiri tak jauh, menatapnya cemas.

“Kau… Dewi, kan?” tanyanya dengan suara rendah.

Dewi membeku. “Kenapa semua orang di sini tahu namaku?”

Pria itu mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan. “Tenang, aku bukan musuh. Aku kenal ayahmu.”

Deg. Jantung Dewi berdegup kencang. “Ayahku?”

Hoodie itu mengangguk cepat. “Namaku Ji-hoon. Rizal Rahman pernah menolong keluargaku. Dia suruh aku menunggu seseorang di bandara… dan sekarang aku tahu orang itu adalah kau.”

Suara langkah berat semakin dekat dari arah tangga darurat. Dewi panik, tapi matanya menatap Ji-hoon dengan ragu.

“Kalau kau memang kenal Ayahku… buktikan,” tantangnya, suaranya bergetar.

Ji-hoon menatap lurus ke matanya. “Rizal Rahman selalu bilang satu hal: ‘Jangan pernah percaya pada senyum pertama seseorang.’ Kau ingat?”

Dewi terperangah. Itu kalimat yang juga pernah ia dengar dari mulut Mak Rini.

Pintu tangga darurat terbuka keras. Pria berjaket hitam muncul lagi, matanya langsung mengunci pada Dewi.

“Kau tidak akan bisa lari kali ini,” ucapnya dingin.

Ji-hoon bergerak cepat, menarik tangan Dewi. “Ikut aku kalau kau mau hidup!”

Dewi ragu sejenak. Tapi suara langkah musuh semakin dekat. Nafasnya tercekat, ia tahu tidak ada waktu untuk berpikir panjang.

Dengan hati berdegup, Dewi menggenggam tiketnya erat-erat, lalu mengikuti Ji-hoon berlari menembus area parkir yang gelap.

Baru beberapa langkah, cahaya senter menyapu punggung mereka—dan suara teriakan meledak tepat di belakang:

“Tangkap mereka hidup-hidup!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   BAB 9 – Tidak Ada Jalan Pulang

    “Kunci itu bukan sekadar benda. Itu tiket ke neraka, Dewi.” Suara Ji-hoon terngiang di kepala Dewi, bahkan ketika napasnya kini tersengal di balik tembok beton sebuah gedung tak berlampu. Bau asap mesiu masih melekat di udara. Di kejauhan, sirine polisi menggema, bercampur dengan dengung baling-baling helikopter yang perlahan menjauh—untuk sementara. Dewi meremas busurnya erat-erat. Jemarinya gemetar, tapi matanya menatap lurus ke Ji-hoon yang sedang menutup luka di lengannya dengan kain sobekan. Darah merembes, warnanya gelap di bawah cahaya kota yang temaram. “Berapa lama kita aman di sini?” bisik Dewi. Ji-hoon menoleh, pandangannya dingin. “Sepuluh menit, paling lama. Mereka pasti sudah tahu kita bergerak ke utara.” Park berdiri tak jauh dari mereka, matanya liar menatap sekitar. “Gedung ini punya akses ke jalur bawah tanah. Kalau kita bisa—” “Tidak ada bawah tanah yang aman kalau ada pengkhianat di antara kita,” potong Ji-hoon tajam. Park terdiam. Rahangnya mengeras. “Kau p

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 8 – Buruan di Negeri Asing

    “Tidak ada tempat aman di negeri asing. Bahkan jalan tol pun bisa berubah jadi medan eksekusi.” Sirine mobil polisi terdengar samar dari kejauhan, bercampur dengan deru mesin mobil hitam yang terus menempel di belakang van putih Ji-hoon. Jalan tol Seoul yang basah membuat ban berdecit setiap kali Ji-hoon memutar setir. “Pegangan erat!” teriak Ji-hoon. Van berbelok tajam ke jalur kiri, hampir menabrak pembatas jalan. Dewi menjerit kecil, tubuhnya terhempas ke pintu. Dari kaca spion, ia melihat mobil hitam itu tidak goyah—bahkan semakin dekat. “Siapa mereka?!” desis Dewi panik. “Unit eksekutor. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau ditangkap hidup-hidup,” balas Ji-hoon cepat. Dewi menggenggam logam bundar di saku jaketnya. Rasanya panas, seperti benda itu sedang memanggil bahaya. Peluru tiba-tiba menghantam kaca belakang. Pecahannya beterbangan. Dewi menunduk, menahan teriak. Ji-hoon menekan pedal gas, wajahnya tegang. “Kita harus menghilang dari radar. Kalau tidak, Seou

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 7 – Orang Asing di Terminal 3

    “Jangan menoleh. Ikut aku sekarang.” Suara asing itu terdengar tepat di telinga Dewi saat pria berjaket hitam hampir menyentuh bahunya. Sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya ke arah pintu darurat kecil di sisi lorong bandara. Dewi hampir berteriak, tapi tatapan pemuda itu begitu serius hingga ia menahan suara. Wajahnya muda, rambut hitamnya sedikit berantakan, sorot matanya tajam. “Apa—siapa kau?!” desis Dewi terengah. “Diam, kalau tidak mereka dengar,” jawabnya singkat sambil berlari menuruni tangga darurat. Tangga berbau besi dan cat tua bergema oleh langkah kaki mereka. Dari atas, suara sepatu keras terdengar semakin dekat. Dewi menoleh panik. “Mereka ikut masuk!” “Aku tahu. Karena itu kau harus cepat.” Pemuda itu mendorong sebuah pintu besi di bawah. Mereka keluar ke area servis bandara. Lampu temaram memantulkan bayangan kargo besar. Udara malam lembab, membuat Dewi makin gelisah. Ia melepaskan tangannya dari genggaman sang pemuda. “Aku tidak mengenalmu. Kenapa

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 6 – Bandara Incheon

    “Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.” Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 5 – Pesan dalam Hujan

    “Jangan percaya pada siapa pun. Bahkan darah sendiri.” Kalimat itu menghantui kepala Dewi setiap kali ia memejamkan mata. Restu samar dari Mak Rini seolah tak cukup menenangkan, justru membuat hatinya makin gelisah. Malam itu hujan deras mengguyur Batu Taba. Petir menyambar, angin dingin merayap masuk dari celah dinding rumah panggung. Dewi berbaring gelisah, matanya tak kunjung terpejam. Tok… tok… tok. Suara aneh terdengar di teras. Seperti benda kecil menghantam papan kayu. Dewi menahan napas, lalu perlahan berjalan ke pintu. Di sana, sebuah plastik bening tergeletak, melindungi secarik kertas dari hujan. “Apa ini…” gumamnya, meraih plastik itu dengan tangan gemetar. Isinya peta sederhana dengan lingkaran merah di pinggir sawah dekat hutan bambu. Mak Rini muncul dari ruang tengah, curiga. “Apa itu, Nak?” “Bukan apa-apa, Mak. Sampah kena angin.” Dewi buru-buru menyisipkan peta ke balik bajunya. Ibunya memandang lekat, lalu hanya menarik napas panjang. “Malam hujan

  • Langkah Dewi : Warisan Rahasia   Bab 4 – Genggaman Ibu

    “Kau tidak akan pernah siap, tapi jalan itu sudah memilihmu.” Kalimat itu terus bergema di kepala Dewi sejak semalam. Dua pria asing hampir memasuki rumah, dan hanya suara motor tetangga yang membuat mereka mundur. Dewi sadar, ancaman itu belum selesai. Pagi harinya, ia memberanikan diri mendekati Mak Rini. Ibunya sedang duduk di ruang tengah, menyiangi cabai dengan tenang. Cahaya matahari menyorot wajah penuh keriput, menyimpan kelelahan sekaligus rahasia. “Mak…” suara Dewi lirih. Mak Rini menoleh, tersenyum samar. “Kenapa wajahmu pucat sekali, Nak? Kau sakit?” “Bukan. Aku harus tanya sesuatu,” ucap Dewi, menahan gemetar. Ibunya berhenti, tatapan berubah serius. Dewi menarik napas dalam. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayah? Kenapa semua orang bilang dia hilang begitu saja? Mak tahu siapa sebenarnya Ayah, kan?” Keheningan menekan ruangan. Hanya suara ayam berkokok di belakang rumah. Akhirnya Mak Rini meletakkan cabai di pangkuannya. “Dewi… ada hal-hal yang Emak simpan. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status