LOGIN“Langkah pertama di tanah asing selalu terasa seperti masuk ke sarang musuh.”
Pesawat mendarat di Incheon dengan hentakan yang membuat dada Dewi bergetar. Ia meraih ranselnya, tangan sedikit gemetar. Dari balik jendela, lampu Seoul berkilau menusuk malam—indah, tapi menakutkan. Saat keluar dari pesawat, hawa dingin langsung menyergap. Bandara megah itu terasa asing. Layar digital penuh huruf Korea berkelip, suara pengumuman bersahut-sahutan, ribuan wajah tak dikenal lalu-lalang. Dewi merasa dirinya kerdil. “Jadi ini dunia Ayah?” bisiknya. Ia menyerahkan paspor ke petugas imigrasi. Lelaki berseragam hanya menatapnya singkat lalu mengembalikan dokumen tanpa senyum. Dewi tersenyum kaku. “Terima kasih,” gumamnya, meski tak yakin didengar. Setelah melewati pemeriksaan, ia berjalan pelan. Suara koper bergerak, langkah kaki berisik, aroma kopi internasional menusuk hidungnya. Dewi memegang erat tiketnya: inisial “R.R.” tertera samar di pojok. “Permisi, apakah kau butuh bantuan?” suara lembut seorang wanita paruh baya mengejutkannya. “Oh, tidak… saya baik-baik saja,” jawab Dewi buru-buru, menunduk. Wanita itu berlalu. Dewi menarik nafas panjang. Aku tak bisa percaya siapa pun. Bisa saja musuh menyamar jadi orang biasa. Ia menuruni eskalator menuju Terminal 3. Jantungnya berdebar makin kencang. Di papan besar, deretan tulisan asing membuat kepalanya pening. Saat ia pura-pura membaca peta bandara, bayangan bergerak di kaca besar. Seorang pria berjaket hitam berdiri tak jauh, matanya lurus ke arahnya. Dewi menelan ludah. Ia meremas tali ransel. “Jangan panik… jangan panik…” Ia berpura-pura tenang, lalu melangkah ke kios kecil. Namun saat menoleh, pria itu ikut bergerak. Jaraknya makin dekat. “Kenapa mereka bisa sampai sini? Apa mereka sudah tahu tiket ini?” gumam Dewi dalam hati. Suaranya tercekat saat koper besar jatuh di belakang. Semua orang menoleh. Dewi juga ikut refleks—dan saat kembali mencari, pria berjaket hitam itu sudah lenyap. “Tidak mungkin…” bisiknya, nafas memburu. Ia berjalan cepat ke pintu keluar. Seorang petugas bandara mendekat. “Miss, do you need help?” tanyanya dalam bahasa Inggris. Dewi tersentak. “No… I’m fine,” katanya buru-buru, lalu kabur ke lorong samping. Lorong itu lebih sepi, tapi langkah kaki lain menyusul di belakang. Dewi menoleh cepat. Pria berjaket hitam itu muncul lagi. Kini jaraknya hanya beberapa meter. Tatapannya dingin, menusuk, tak melepaskan Dewi. Dewi berdiri kaku. Tangannya meraih busur kecil dalam tas. Keramaian bandara mendadak sirna, hanya tersisa detak jantung dan tatapan pemburu. Sebelum ia sempat bereaksi, pria itu membuka mulut pelan— “Aku sudah menunggumu, Dewi.” Dewi terpaku. Suara pria itu begitu jelas, seakan menusuk langsung ke dadanya. Ia tak pernah memberi tahu namanya pada siapa pun di sini. “Bagaimana dia bisa tahu…?” bisiknya panik. Pria itu melangkah lebih dekat. Sorot matanya tajam, tubuhnya tegap seperti orang yang terlatih. Dewi spontan mundur beberapa langkah, punggungnya hampir menabrak dinding kaca bandara. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Dewi dengan suara bergetar. Pria itu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin tiket yang kau bawa.” Dewi langsung meraih tasnya, menahannya di dada. “Tidak. Ini milikku.” Senyum pria itu melebar, tapi dingin. “Kau tidak mengerti, kan? Kalau kau terus membawa tiket itu, kau hanya akan menjerumuskan dirimu sendiri.” Suara langkah orang lain mendekat. Sekelompok penumpang melewati lorong. Dewi memanfaatkan momen itu untuk bergerak. Ia berpura-pura ikut berjalan bersama mereka, lalu berbelok cepat ke arah tangga darurat. “Jangan kabur, Dewi!” suara pria itu bergema di belakangnya. Jantung Dewi hampir pecah. Ia menuruni tangga darurat dengan terburu-buru, hampir terpeleset karena licin. Suara langkah berat terdengar mengejar dari atas. Di lantai bawah, ia mendapati pintu darurat menuju area parkir. Udara malam menusuk kulitnya. Ratusan mobil berjejer, sebagian mesin masih menyala. Lampu redup membuat suasana semakin mencekam. “Ke mana aku harus pergi sekarang?” Dewi memandang sekeliling, nafas terengah. Tiba-tiba suara lain terdengar dari arah samping. “Hei! Kau!” Dewi menoleh cepat. Seorang pria muda Korea dengan hoodie abu-abu berdiri tak jauh, menatapnya cemas. “Kau… Dewi, kan?” tanyanya dengan suara rendah. Dewi membeku. “Kenapa semua orang di sini tahu namaku?” Pria itu mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan. “Tenang, aku bukan musuh. Aku kenal ayahmu.” Deg. Jantung Dewi berdegup kencang. “Ayahku?” Hoodie itu mengangguk cepat. “Namaku Ji-hoon. Rizal Rahman pernah menolong keluargaku. Dia suruh aku menunggu seseorang di bandara… dan sekarang aku tahu orang itu adalah kau.” Suara langkah berat semakin dekat dari arah tangga darurat. Dewi panik, tapi matanya menatap Ji-hoon dengan ragu. “Kalau kau memang kenal Ayahku… buktikan,” tantangnya, suaranya bergetar. Ji-hoon menatap lurus ke matanya. “Rizal Rahman selalu bilang satu hal: ‘Jangan pernah percaya pada senyum pertama seseorang.’ Kau ingat?” Dewi terperangah. Itu kalimat yang juga pernah ia dengar dari mulut Mak Rini. Pintu tangga darurat terbuka keras. Pria berjaket hitam muncul lagi, matanya langsung mengunci pada Dewi. “Kau tidak akan bisa lari kali ini,” ucapnya dingin. Ji-hoon bergerak cepat, menarik tangan Dewi. “Ikut aku kalau kau mau hidup!” Dewi ragu sejenak. Tapi suara langkah musuh semakin dekat. Nafasnya tercekat, ia tahu tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Dengan hati berdegup, Dewi menggenggam tiketnya erat-erat, lalu mengikuti Ji-hoon berlari menembus area parkir yang gelap. Baru beberapa langkah, cahaya senter menyapu punggung mereka—dan suara teriakan meledak tepat di belakang: “Tangkap mereka hidup-hidup!”Malam itu menyeret bayangan panjang ke wajah Dewi. Ia berdiri di tepi jurang yang tak hanya mengancam nyawanya, tapi juga masa depan bangsa yang telah ia perjuangkan sejak lama. Suara deru angin menyapu sepi, seolah memberikan isyarat bahwa perjalanan panjang mereka sudah sampai pada titik kritis. “Ini bukan tentang siapa yang akan menang atau kalah,” bisik Dewi pada dirinya sendiri, “Ini soal menegakkan keadilan meskipun dunia berusaha membungkamnya.” Setiap langkahnya kini penuh kehati-hatian, namun tekadnya tetap membara seperti api yang enggan padam. Damar dan Rani berdiri di sampingnya, mata mereka tajam menatap ke depan, siap menghadapi apa pun yang menghadang. “Kita sudah melewati begitu banyak pengkhianatan dan jebakan,” kata Damar, “Tapi kali ini, kita harus benar-benar bersiap menghadapi gelombang terakhir.” Rani mengangguk, “Tidak ada ruang untuk kesalahan. Semua yang kita perjuangkan ada di ujung benang ini.” Tiba-tiba, suara notifikasi masuk di ponsel Dewi. Pesan itu
“Jangan pernah percaya sepenuhnya pada siapa pun, bahkan pada bayanganmu sendiri.” Dewi mengucapkan kalimat itu dengan suara berat, seolah ungkapan itu menjadi mantra untuk mengendalikan kegelisahan yang mengoyak hatinya. Lampu ruang komando berpendar merah, memperlihatkan wajah-wajah lelah namun penuh tekad di sekelilingnya. Bunyi alarm yang baru saja padam menyisakan getaran tegang di udara, menandakan bahwa bahaya masih mengintai dari segala arah. Di sudut ruangan, Rizal mengutak-atik perangkat hologram, mencoba mengekstrak data dari dokumen yang belum mereka selesaikan. Wajahnya menegang, matanya terpaku pada grafik kompleks yang berputar di depan layar. “Ini bukan hanya soal pengkhianatan kecil atau kesalahan operasional,” katanya pelan, “ini perang skala besar—serangan yang datang dari dalam dan luar, semua terkoordinasi dengan rapi.” Damar berjalan mondar-mandir, suaranya serak namun penuh urgensi. “Kalau ada pengkhianat, kita tidak bisa membiarkannya berjalan begitu saja. K
“Ini bukan tentang kita lagi, Dewi. Ini tentang masa depan bangsa yang sedang bertaruh,” suara Rizal bergetar, menembus keheningan ruang bawah tanah yang remang. Dewi menatap tajam ke arahnya, mata mereka bertemu dalam keseriusan yang sulit diungkapkan kata-kata. Di luar dinding beton itu, suara langkah dan gemericik hujan membuat malam semakin kelam, seakan alam pun menyesuaikan dirinya dengan ketegangan yang menggumpal. “Kau yakin kita siap?” tanya Dewi pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Karena sekali kita mulai, tidak akan ada jalan kembali.” Rizal mengangguk, menggenggam tangan Dewi dengan erat. “Sudah terlalu lama kita bermain dalam bayang-bayang. Waktunya menerangi kegelapan.” Lampu-lampu tanda bahaya berkedip, mendapatkan ketenangan sebelum badai. Dari layar hologram, peta jaringan konspirasi membentang luas; aliran dana gelap, tokoh-tokoh tak terlihat, dan jebakan-jebakan yang sudah disiapkan. Dewi melangkah ke jendela kecil yang memperlihatkan kota yang tertutup aw
Suara pintu besi terkunci rapat meninggalkan gema yang mendalam di ruang sempit itu. Dewi dan timnya berdiri dalam hening penuh ketegangan, napas mereka saling bertaut dalam irama yang sama—antara perjuangan dan ketakutan. Di balik layar monitor yang terus menampilkan wajah Dewi dengan label ‘Target Utama’, mereka sadar bahwa satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya. “Sekarang, kita benar-benar mulai,” ujar Dewi pelan, matanya berkilat dengan tekad kuat. “Pengkhianatan ada lebih dekat dari yang kita duga, dan kita harus temukan sebelum terlambat.” Rani membuka file di laptopnya, mencoba memindai data dan pola komunikasi untuk mencari jejak mata-mata. “Ada sinyal aneh dalam jaringan kita yang sama sekali tidak bisa dijelaskan. Seseorang sengaja mengaburkan informasi dan mengalihkan perhatian.” Damar mengangguk, “Dia bermain di medan ini sejak lama. Kita harus belajar bermain lebih cerdik.” Ketika mereka membahas langkah berikutnya, pintu ruangan bergetar perlahan, suara l
“Tidak semua yang kau anggap teman, adalah penyelamat. Kadang, mereka adalah pembunuh dalam selimut,” suara berat itu berbisik di telinga Dewi saat ia berdiri dalam ruang gelap, dikelilingi bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam. Dewi menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari balik tirai, matanya menangkap keraguan dan pengkhianatan yang lama tersembunyi. “Kenapa kau tidak bicara dari awal? Jika kau mengkhianati kami, aku ingin tahu alasannya,” suaranya tegas tapi bergetar oleh perasaan sakit yang mendalam. Sosok itu tersenyum dingin, menanggapi dengan lirih, “Kadang kebenaran terlalu pahit untuk diterima. Aku melakukan ini demi sesuatu yang lebih besar—yang mungkin kau belum siap mengerti.” Rani dan Damar berdiri di belakang Dewi, waspada, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. “Kita harus segera putuskan, apakah dia musuh atau sekutu,” kata Damar dengan nada serius, melihat ke arah Dewi. Dewi menarik napas panjang, menyadari bahwa perang sejati bukan h
“Kalian pikir ini akan mudah? Ini baru permulaan, dan kegelapan tak akan pernah pudar,” suara dingin itu menggema memenuhi ruang bawah tanah, membuat udara semakin berat dan menusuk ke dalam tulang. Dewi menatap ke sekeliling, dengan napas terengah dan mata yang tetap waspada, memeriksa setiap sudut yang mungkin menjadi jalan keluar. “Kita harus berpikir jernih, walau terjepit,” bisiknya kepada Damar dan Rani yang berdiri tak jauh darinya. Damar mengepalkan tangan, menatap pintu logam yang tertutup perlahan. “Ini jebakan yang tak terduga. Musuh semakin ganas dan siap untuk memusnahkan siapa saja yang menghalangi mereka.” Dewi mengangguk, “Kematian atau keadilan—ini bukan lagi soal pilihan, tapi konsekuensi dari setiap langkah kita.” Suasana mencekam menekan mereka, tapi tekad untuk melawan justru makin membara. Lampu merah yang menyala redup memantulkan bayangan panjang di dinding sempit ruang bawah tanah. Udara pengap terasa membungkus, namun Dewi dan yang lain menahan diri dari







