Apa yang diucapkan oleh Vina benar. Selama Lily masih terikat dengan keluarga Kalandra, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Setelah menutup panggilan. Lily segera menelepon Max meski dia sendiri tahu Max tidak akan pernah menjawab panggilan darinya. Entah pria itu yang terlampau sibuk atau memang Lily tidak dipedulikannya, yang jelas pria itu tak pernah sekalipun menjawab panggilan apalagi meneleponnya. Jika Max ada urusan mendesak dengan Lily, dia akan menghubungkan panggilan melalui asistennya, Eddie. Panggilan dari Lily tidak dijawab, padahal Lily ingin segera membicarakan perihal perceraian dengan Max. Lily yakin jika Max pasti akan menyetujui persoalan itu, mengingat Antony sudah meninggal dua minggu yang lalu. Jadi tidak akan ada yang menghalangi mereka berdua untuk berpisah. Mengabaikan hal itu, Lily menekan tombol pada kursi rodanya supaya bisa memutar balik. Dia ingin segera istirahat jadi dia menekan interkom untuk meminta bantuan pada pelayan. "Tolong bantu aku untuk berbaring di kasur, Inda." "Baik, Nyonya." Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu, Lily mempersilahkannya untuk masuk. Wanita bertubuh gemuk yang bernama Inda itu datang dan membantu Lily untuk berbaring di atas kasur. "Terima kasih, Inda." "Sama-sama, Nyonya." Inda adalah satu-satunya pelayan yang memperlakukan Amarilis dengan baik. Berbeda halnya dengan pelayan-pelayan lain yang bersikap ketus padanya. Amarilis berpikir mungkin karena perlakuan Max yang tidak peduli terhadapnya, membuat para pelayan jadi bersikap tidak hormat. Inda masih berdiri di samping ranjang seraya memperhatikan tubuh Lily yang semakin kurus. "Nyonya, tolong jaga kesehatan anda. Saya rasa, tubuh anda jadi terasa sedikit ringan dibandingkan kemarin." Lily terkekeh kecil. "Bagaimana mungkin kamu bisa merasakan berat tubuh seseorang terasa berbeda hanya dalam waktu yang begitu singkat? Sepertinya kau hanya mengada-ada." "Entahlah, tapi saya merasa tubuh Nyonya semakin bertambah kurus. Padahal saat pertama kali Nyonya datang kesini, anda masih terlihat segar dan ideal. Saya dulu sampai kewalahan saat menggotong anda." Mendengar itu, Lily tersenyum getir. "Tidak apa, Inda. Anggap saja supaya tidak menyulitkanmu untuk menggendongku di saat aku membutuhkan bantuan." "Ah, jangan berkata seperti itu, Nyonya." Ucapan Lily barusan terdengar menyedihkan di telinganya. "Berat atau tidak itu sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai pelayan. Saya memang digaji untuk hal itu." "Terima kasih, Inda. Kau sangat baik terhadapku, tidak seperti pelayan-pelayan yang lain." Mendengar itu Inda menatap Lily dengan ragu. Kemudian dia mendekatkan diri ke arah Lily seraya berbisik, "Sebenarnya pelayan-pelayan itu bersikap ketus karena ada alasannya, Nyonya." Kening Lily mengerut dalam. "Emm... alasan? Apa maksudmu alasannya karena sikap Max yang cenderung tidak peduli terhadapku? Jadi semua pelayan jadi ikut-ikutan bersikap begitu?" "Tidak, tentu saja tidak. Meskipun Tuan Max terlihat tidak peduli terhadap anda, kami tetap akan menjalankan tugas selama kami dibayar. Para pelayan bersikap ketus karena Nona Olivia-lah yang menyuruh kami melakukan seperti itu, tapi tentu saja saya tidak mau menuruti perintahnya. Saya dibayar Tuan Max untuk melayani anda, bukan untuk mengabaikan anda." "Olivia?" Lily memiringkan kepalanya, masih mencerna dengan baik ucapan Inda. "Ta-tapi untuk apa dia melakukan hal itu? Maksudku apa dia tidak cukup dengan mengambil Max saja?" Mendengar pertanyaan itu, Inda hanya mampu menaikkan kedua bahunya. "Saya tidak tahu persis apa alasannya. Dugaan saya mungkin dia cemburu dengan status anda yang merupakan istri sah. Saya harap, anda bisa lebih berhati-hati dengan Nona Olivia." Setelah itu Inda pamit pergi dari keluar kamar. Sepanjang malam, Lily tidak bisa memejamkan matanya untuk terlelap. Banyak hal yang memenuhi ruang pikirannya. Selain rencananya tentang sekolah di luar negeri, dirinya juga berencana hendak melakukan terapi untuk kedua kakinya yang lumpuh. Beberapa dokter bilang masih ada harapan untuk kakinya agar bisa kembali berjalan, namun tentu saja memerlukan biaya yang tidak murah. Jika uang bulanan dari Max dia kumpulkan sampai sekarang, sudah pasti dia bisa berjalan normal dengan menjalani terapi perawatan dari ahlinya. Tapi apa lagi yang mau dikata? Uang bulanannya sudah habis oleh ibu tirinya yang egois. *** Tepat pukul dua dini hari, Lily yang masih terjaga mendengar suara deru mobil di tengah sunyinya malam. Lily menyibak jendelanya yang kebetulan berjarak beberapa senti saja dari kasurnya. Dia mengintip ke arah bawah--tepatnya pekarangan rumah. Di sana mobil mewah sudah terparkir rapi, namun Lily tak tahu mobil tersebut milik siapa. Lily hapal mana saja mobil milik Max yang sering digunakannya dan itu bukan miliknya. Hanya saja, setelah beberapa saat Lily menunggu, Max keluar dari mobil dan terlihat berbicara dengan penumpang yang masih ada di dalam. Tak lama, penumpang itu menyembulkan kepalanya keluar mobil untuk berbicara dengan Max. Olivia…. Tangan Lily mengepal. Tentu saja, ia tak dapat mendengar apa yang telah mereka perbincangkan, tapi yang jelas Max nampak bahagia karena selalu tersenyum saat berbicara dengan Olivia. Persis seperti di sebuah foto yang dikirimkan Vina beberapa saat yang lalu. Melihat Olivia, Lily menjadi teringat dengan ucapan Inda. Apakah benar Olivia yang membuat para pelayan menjadi tidak hormat padanya? Padahal jika dilihat-lihat, Olivia memiliki wajah yang polos dan baik hati. Atau mungkin, wajah polos itulah yang meluluhkan hati semua orang, termasuk Max? “Tidak apa, Lily. Sebentar lagi, kamu akan lepas dari sangkar emas ini,” lirihnya menguatkan diri.Pagi menjelang, Max sudah bersiap mengenakan setelan kerjanya. Dia sudah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke ruang makan. Sambil berjalan, dia melihat layar ponsel. Dia meneliti kembali beberapa panggilan yang masuk dalam ponselnya. Pekerjaan yang banyak, membuatnya terkadang melewatkan panggilan dari seseorang.Saat menggulir layar, netranya langsung tertuju pada satu panggilan tak terjawab yang membuat jarinya berhenti. Itu panggilan dari Lily kemarin malam. "Katakan, apa saja yang dilakukan si wanita lumpuh sepanjang hari kemarin?" ujar Max pada seorang pelayan begitu dia masuk ke dalam ruang makan.Pelayan tersebut menundukkan kepala sambil berkata, "Seperti biasa, Tuan. Hanya terdiam di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa."Kening Max mengerut dalam. Selama tiga hari berturut-turut dia mendengar dari pelayan bahwa Lily hanya merenung di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa. Apa kiranya Lily sedang mengalami gangguan jiwa?Tepat setelah dia berpikir seperti it
"Tidak mungkin..." lirih Lily bergumam. "Tapi kenapa-" Belum sempat Lily menanyakan alasannya, Max sudah berjalan jauh dari hadapannya. Lily merasa kesal tapi tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun, ini adalah kesalahannya sendiri yang tidak teliti.Drrrt. Drrrt.Ponselnya yang berada dalam saku terasa bergetar. Saat Lily melihat, itu panggilan dari Vina."Ada apa?" Suara Lily yang lirih membuat Vina bertanya-tanya."Kenapa suaramu begitu? Kau sakit?"Lily menghela napasnya lelah. "Vina, sepertinya meminta cerai dari Max tidak akan mudah.""Kenapa begitu?""Jika aku meminta cerai, maka aku harus membayar dua puluh milyar kepada keluarga Kalandra. Itu sudah tertulis dalam surat perjanjian dua tahun yang lalu dan aku telah menandatanganinya.""Br*ngs*k!" Umpatan Vina sedikit membuat Lily terkejut. "Kalandra memang keluarga bejat! Anak mereka telah membuatmu kehilangan ayah dan kedua kakimu. Tak hanya itu, mereka juga mengurungmu dalam mansion selama dua tahun. Lalu sekarang... mereka
"Anda tidak diperbolehkan untuk keluar, Nyonya." Salah satu pelayan paruh baya bernama Mira tiba-tiba menghadang Lily untuk keluar."Aku akan pergi ke sebuah acara bersama Max. Dia sudah menyuruh seseorang untuk menjemputku di luar mansion." Lily berusaha merancang alasan palsu, seperti yang disuruh Vina."Tapi Tuan Max sama sekali tidak memberitahu apapun soal itu. Lebih baik Anda kembali masuk ke dalam kamar sebelum Tuan Max marah." Mira hendak mengambil alih Inda untuk mendorong kursi roda Lily namun segera dicegah oleh Inda."Biar aku saja yang mengantarnya," ujar Inda.Mira menatap tajam ke arah Inda."Tunggu, aku tidak akan kembali masuk ke kamar karena aku akan pergi!" kekeh Lily."Tapi, Nyonya..."Lily langsung menunjukkan ponsel. "Kalau kau masih mencegahku, aku akan menghubungi Max untuk mengadukan sikapmu."Alih-alih takut, Mira tersenyum sinis sambil berkata, "Apa Anda pikir saya takut? Tuan Max tidak pernah memperhatikan Anda. Lebih baik Anda tidak berbuat nekat atau Anda
Setelah perdebatan dengan Mira, akhirnya Lily bisa keluar dari mansion. Dia menyerahkan soal Mira pada Inda karena dia sudah kehilangan banyak waktu untuk pergi. Saat menghirup udara luar, entah mengapa Lily merasakan aroma yang berbeda dibanding saat terkurung di dalam mansion, yaitu aroma kebebasan.Sebuah mobil mewah sudah terparkir rapi di jalanan depan mansion. Lily yakin jika mobil itu pasti dari Vina. Saat Lily hampir mendekat, seorang pria berseragam keluar dari mobil dan menghampirinya."Apa Anda Nyonya Lily Orlantha?" tanya pria itu dengan sopan."Betul.""Nona Vina sudah lama menunggu Anda." Kemudian pria itu meminta izin untuk mendorong kursi roda Lily lalu membukakan pintu mobil.Setelah Lily berhasil masuk dan siap, mobil segera melaju dengan kecepatan sedang. Lily mencoba menikmati suasana jalanan luar dengan membuka sedikit jendelanya untuk meredakan degup jantungnya yang terasa lebih kencang.Angin kencang dari arah luar yang mengenai wajah membuatnya sedikit tenang
Lily mengerjapkan matanya saat mendengar pria yang menyelamatkannya itu malah tertawa. "Apa aku terlihat seperti malaikat sampai kau mengira sudah mati?" tanya pria itu.Dalam hati Lily membenarkan. Wajah pria yang bernama Finley itu memang mirip seperti malaikat dalam cerita dongeng. Kulitnya putih pucat dengan bola mata hijau serta tatapan mata yang teduh. Garis rahangnya tegas dengan bentuk bibir yang sempurna. Finley memang lebih pantas disebut malaikat dibandingkan manusia."Oh maaf, aku kira tadi aku tertabrak mobil atau apa." Lily membetulkan anak rambutnya yang berantakan. "Terima kasih karena sudah menolongku.""Sama-sama." Finley menatap ke sekeliling. "Apa kau sendirian? Kau nyaris saja tertabrak mobil kalau aku tidak menahan kursi rodamu.""Ya, temanku sudah masuk ke dalam gedung itu." Lily menunjuk ke arah pintu utama gedung. "Aku ingin masuk tapi aku tidak bisa karena penjaga bilang aku tidak memiliki undangan." Lily memainkan jari-jemarinya untuk menenangkan perasaannya
Acara pesta sedang berlangsung saat Lily berhasil memasuki gedung. Alunan suara musik klasik yang menenangkan segera terdengar. Lily menatap takjub pada pertunjukan musik klasik yang terlihat mewah. "Sebenarnya ini acaranya siapa? Kenapa bisa begitu mewah?"Melihat wajah Lily yang terkagum-kagum membuat Vina terkekeh kecil. "Anniversary pernikahan Tuan Kenneth dan Nyonya Wina yang dua puluh lima. Kau tahu mereka bukan?""Tentu saja." Siapa yang tidak tahu tentang Kenneth Willem? Seorang pengusaha kaya raya kedua se-Asia yang terkenal sangat mencintai istrinya, Wina Atmaja."Dengar-dengar ini adalah acara di hari ketiga setelah sebelumnya mengadakan pesta besar-besaran selama dua hari di Dubai," bisik Vina yang membuat Lily terkejut."Pasti Nyonya Wina bahagia karena diperlakukan begitu istimewa oleh Tuan Kenneth. Lihat saja cara dia membuat acara pernikahan untuk istrinya yang begitu mewah," tukas Lily merasa iri.Vina menatap sahabatnya dengan prihatin
Para tamu yang berkumpul menjadi berisik setelah mendengar ucapan Tamara. Beberapa diantaranya menunjuk ke arah Lily dan menatapnya tajam.Tangan Lily mengepal erat, menatap Tamara dengan kesal. Tamara layaknya provokator yang memanas-manasi situasi. Padahal memang pelayan itu sendiri yang terjatuh karena kakinya tersandung lantai. Bagaimana mungkin malah situasi ini menjadi kesialan bagi Lily hanya dengan kesaksian palsu dari Tamara Lim?"Tapi aku tidak menabraknya sama sekali. Aku yakin diantara orang-orang yang berkumpul di sini pasti ada yang melihatku tidak menabrak pelayan itu, bukan?" tanya Lily menatap ke semua orang.Namun respon orang-orang justru tak acuh pada ucapan Lily. Mereka masih saling berbisik, membicarakan sosok Lily yang belum pernah mereka lihat."Hei, kau..." Lily mendekati si pelayan yang masih bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. "...aku tadi tidak menabrakmu kan? Kau sendiri yang tersandung lantai sampai terjatuh dan menumpahkan semu
"A-apa?" Lily terkejut mendengar ucapan Kenneth. "Tapi aku tidak bersalah.""Bersalah atau tidak. Biar polisi nanti yang menentukan."Vina yang tidak menyangka akan menjadi runyam pun ikut membuka suaranya. "Tuan, saya berani menjadi saksi jika Lily tidak membuat kekacauan. Pelayan itulah yang telah menuduh Lily.""Kau anak dari Vins Prajaya bukan? Apa kau ingin keluargamu juga ikut terseret dalam urusan ini? Aku tak menjamin jika ayahmu akan kuat menanggung akibatnya kalau kau ikut terlibat." Ucapan Kenneth membuat Vina menahan napasnya.Ayahnya memiliki hubungan kerja sama bisnis dengan Kenneth. Jika dia membuat kekacauan, sudah pasti hubungan bisnis mereka akan hancur. Vina tidak yakin keluarganya akan kuat menanggung akibat itu."Vina..." Lily menggenggam tangan Vina, menatapnya dalam sambil menggelengkan kepala seolah mengisyaratkan agar Vina tidak ikut campur.Vina menatap sedih pada sahabatnya karena tidak bisa berbuat apa-apa. "Maafkan aku, Lily," lir
Di bawah gelapnya langit malam, hamparan bintang-bintang dan juga bulan sabit yang benderang, Lily dan Max duduk di antara sekian banyaknya meja kursi yang ditata rapi di atas tanah perbukitan luas.Sengaja Max mengajaknya ke tempat yang terbuka karena ingin menikmati indahnya langit malam yang gelap dan romantis.Tadi Max datang tiba-tiba, tanpa memberitahu Lily terlebih dahulu karena ingin mengejutkan wanita itu. Memang dirinya sempat merasa tidak yakin saat memikirkan akan mendatangi rumah Kenneth dan meminta izin padanya.Namun rasa cinta yang sudah lama dia pendam tak bisa lagi dia tahan. Max harus segera memberitahu Lily bahwa di hatinya sudah lama terpatri nama wanita itu dan memiliki tempat tersendiri.Max sempat membeberkan sedikit cerita saat dia membujuk Kenneth agar bisa mengajak Lily keluar. Tak dia sangka kalau Lily bereaksi dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Apa aku telah berbuat salah? Kalau iya katakan saja," kata Max saat mereka masih berada di dalam mobil."Tida
Keesokannya saat malam datang, Lily menatap ke arah jam yang bertengger di dinding ruang tengah. Perasaannya penuh harap namun juga ada keresahan yang dirasakannya. Dia ingin Max datang namun juga ragu kalau Max berani meminta izin pada papanya."Kenapa kamu masih ada di sini?" Lily menoleh, mendapati Kenneth berdiri di belakangnya."Memang kita mau kemana?" tanya Lily.Kenneth diam sejenak."Bukannya kamu ada janji dengan Max?" tanyanya kemudian.Kedua mata Lily membulat. Dia mengedarkan pandangannya ke arah belakang Kenneth. "Dia sudah datang? Dimana dia?""Di teras depan," jawab Kenneth dengan enggan.Lily menatap sang Papa dengan mata berbinar. "Apa papa mengizinkan dia untuk mengajakku keluar?"Kenneth membuang pandangannya, tak suka melihat Lily yang begitu gembira karena Max. "Yah, apa boleh buat...""Apa boleh buat gimana maksudnya?" Lily menatap mata Kenneth dengan lekat, sengaja menggoda Papanya meski sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya apa.Kedua mata Kenneth mulai
"Cukup, Max. Kamu membuatku mual." Meski nada suara Lily terdengar ketus namun sebenarnya dia sangat salah tingkah.Memang, ucapan Max tidak terduga baginya. Jika Max mengucapkan gombalan itu sewaktu mereka masih menjadi suami istri, pasti Lily akan mengadakan syukuran selama tujuh hari karena perubahan Max yang sangat drastis.Max terkekeh pelan. "Maaf, soalnya kamu keterlaluan. Aku sudah menunda beberapa jadwal meeting di kantor karena ingin berduaan lagi denganmu."Wajah Lily langsung memerah. Dia berpikir, sepertinya dia butuh obat karena tiba-tiba suhu tubuhnya yang terasa hangat. Selain itu, sepertinya dia semakin gila karena mulai menyukai gombalan Max."Sepertinya kamu butuh obat, Max. Kamu mulai sinting," kata Lily tegas. "Ya. Dan aku yakin obatnya adalah kamu.""Max..." Lily memejamkan matanya sejenak untuk menstabilkan denyut jantung yang semakin berdegup kencang. Hembusan napas yang panjang keluar dari mulut Lily lalu dia melanjutkan ucapannya, "...kalau kau meneleponku h
"Mencoba gimana? Pernikahan bukan untuk dicoba-coba, Finley." sahut Vina kesal. "Bukannya aku udah pernah bilang?"Vina beranggapan, sepertinya pria itu hanya menaruh ucapan Vina di telinga kanan lalu dikeluarkan lewat telinga kirinya."Huh, untung dia tampan. Kalau tidak, sudah kuremas itu mukanya," batin Vina mencoba menahan diri."Sedari awal aku sudah mengajakmu serius, Vina. Tapi kamu yang selalu menolak." Tatapan Finley lurus ke arah Vina yang malah memundurkan wajahnya.Pipi Vina memerah karena tak sengaja menatap bola mata Finley yang begitu indah. Ditambah wajahnya yang mulus dengan garis rahangnya tegas dan aroma maskulin yang menguar, membuat degup jantung Vina berpacu lebih kencang.Finley terus mengamati Vina yang wajahnya lebih berwarna, tidak lagi begitu pucat."Ke-kenapa terus menatapku seperti itu?" tanya Vina, tiba-tiba saja merasa gugup. Dia bahkan sampai mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut terpesona oleh ketampanan Finley yang memang dapat menghilangkan ak
Di sisi lain, di rumah Vina.Sudah lebih dari sepuluh menit Vina hanya mampu berbaring di atas ranjang, tangannya terus memegangi perutnya yang terasa sakit. Tadi sehabis sarapan, dia merasakan perutnya melilit dan mual-mual. Lalu beberapa menit setelahnya dia benar-benar muntah.Dia pikir, itu hanyalah gejala kehamilan yang sering dia rasakan seperti awal kehamilan bulan lalu. Namun semakin lama, rasa sakit malah semakin hebat. Keringat dingin juga mulai bermunculan.Rasanya Vina seperti tidak sanggup untuk sekedar beranjak dari kasurnya.Di rumah yang sebesar itu, Vina hanya sendirian. Kebetulan seluruh keluarga sedang menghadiri acara keluarga inti di puncak dan para asisten rumah tangga juga sedang libur.Tadi dia sempat menghubungi Lily untuk datang, namun belum sempat dia menerima jawaban, ponselnya mati kehabisan baterai.Tak ada cara lain, Vina memaksakan diri beranjak dari kasur untuk berjalan ke ruang dapur. Di sana ada kotak obat-obatan yang selalu disediakan asisten rumah
Atas instruksi sang sopir, Lily berhasil mengemudikan mobil sampai ke rumah sakit yang paling dekat. Sang sopir langsung ditangani oleh dokter dan dijadwalkan operasi untuk mengambil sisa peluru yang masuk ke dalam kaki.Sesaat kemudian, Lily dijemput oleh Kenneth dan beberapa pengawal. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Kenneth sambil meneliti tubuh Lily dengan seksama. "Tidak ada yang terluka, Kan?"Lily menggelengkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, Pa. Hanya Pak sopir yang terluka di bagian kaki karena terkena tembakan."Helaan napas berat keluar dari mulut Kenneth. "Syukurlah. Dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik."Mendengar itu, Lily menatap Kenneth dengan air muka serius. "Pa, sebenarnya apa yang terjadi?""Masuk dulu ke dalam mobil. Akan Papa ceritakan semuanya di dalam nanti," jawab Kenneth.Mereka pun masuk ke dalam mobil. Saat beberapa meter mobil sudah berjalan, Lily mendesak Kenneth untuk berbicara."Begini, Lily. Sebenarnya dari dulu Papa sudah mengetahui ada sesuatu yang
Di tengah perjalanan pulang, Lily masih memikirkan soal ucapan Inda. Sengaja dia pulang tanpa berpamitan dengan Max karena ingin menghindar dulu. Untuk saat ini, Lily sendiri tidak tahu apakah bisa menahan diri jika bertemu dengan Max lagi. Pesona yang dipancarkannya sekarang sangat berbeda dengan dulu.Kalau dulu Max nampak dingin, tak tersentuh dan juga kaku. Kalau sekarang, Max terlihat lebih hangat dan juga terang-terangan terus menggoda Lily. Bagi Lily itu tentu saja bahaya. Mereka adalah pasangan mantan suami-istri, bukan suami-istri yang saling mencintai.Ponselnya yang sudah dia charge sebelumnya terus berdering. Lily melihat layar ponsel sejenak lalu mengabaikan dering tersebut.Panggilan telepon itu datang dari Max. Lily ingin menghindarinya sejenak sampai dia sudah siap.Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berdenting singkat. Sebuah pesan dari Vina masuk.[Aku tahu kamu sibuk, tapi bisakah kamu datang ke rumah untuk menemaniku? Aku sangat sedang butuh seseorang seka
Lamunan Lily buyar saat Max menurunkan Lily di depan bath tub. Selimut langsung terlepas karena Lily tidak memeganginya. Otomatis, Lily memegangi tubuhnya dengan kedua tangan.Max kembali tertawa lalu meraih dagu Lily dengan lembut."Ngapain ditutupin? Aku udah melihat semuanya, Lily. Sekujur tubuhmu itu rasanya... sangat manis."Ucapan Max terdengar sangat lembut dan mesra. Apalagi sorot matanya yang nampak berkabut dan penuh gairah, membuat Lily membayangkan lagi adegan saat mereka bermesraan di atas ranjang. Seharusnya Lily segera menjauh karena tidak ingin terlena lagi oleh bualan manis dari mantan suaminya itu. Tapi apa daya, Lily ingin sekali lagi merasakan kehangatan yang ditawarkan oleh Max.Alhasil, saat bibir Max mendarat di bibirnya, Lily langsung membalas dan terjadi pergulatan lagi di dalam kamar mandi.Entah mereka melakukannya yang ke-berapa kali, yang jelas perlakuan Max membuat Lily menjadi candu.Inikah yang dinamakan gairah? Membuat candu dan begitu dahsyatnya hin
Pagi menjelang. Matahari masih nampak malu-malu untuk keluar, angin dingin berhembus kencang yang membuat Inda merapatkan jaketnya untuk menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan.Semalam hujan terus turun yang membuat jalanan masih basah, membuat Inda yang baru pulang dari kampung halaman berjalan perlahan memasuki rumah agar tidak terpeleset.Keningnya mengernyit saat melihat ada dua mobil yang terparkir rapi di depan rumah. Seingatnya, hanya Max yang seharusnya datang ke rumah untuk menemani Arsan. "Yang satu mobil milik Tuan Max dan yang satunya lagi milik siapa?" Inda bertanya dalam gumaman.Mengabaikan hal itu, Inda segera masuk agar mengetahui siapa yang datang ke rumah selain Max.Begitu masuk, Inda terkejut melihat ada seorang pria yang tertidur di atas sofa. Dari seragamnya, Inda yakin kalau dia hanyalah seorang sopir.Firasatnya menjadi tidak baik. Tempat pertama yang dia tuju adalah kamar Arsan. Inda selalu khawatir pada Arsan karena telah meninggalkannya selama sehari