Pagi menjelang, Max sudah bersiap mengenakan setelan kerjanya. Dia sudah keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ke ruang makan.
Sambil berjalan, dia melihat layar ponsel. Dia meneliti kembali beberapa panggilan yang masuk dalam ponselnya. Pekerjaan yang banyak, membuatnya terkadang melewatkan panggilan dari seseorang. Saat menggulir layar, netranya langsung tertuju pada satu panggilan tak terjawab yang membuat jarinya berhenti. Itu panggilan dari Lily kemarin malam. "Katakan, apa saja yang dilakukan si wanita lumpuh sepanjang hari kemarin?" ujar Max pada seorang pelayan begitu dia masuk ke dalam ruang makan. Pelayan tersebut menundukkan kepala sambil berkata, "Seperti biasa, Tuan. Hanya terdiam di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa." Kening Max mengerut dalam. Selama tiga hari berturut-turut dia mendengar dari pelayan bahwa Lily hanya merenung di balkon kamar tanpa melakukan apa-apa. Apa kiranya Lily sedang mengalami gangguan jiwa? Tepat setelah dia berpikir seperti itu, Lily terlihat masuk ke dalam ruang makan dan berhenti di sudut meja, agak jauh dari Max--tepatnya berjarak tiga kursi dari tempat Max duduk. Lily hanya terdiam, memperhatikan Max yang sudah sibuk pada ponsel dan makanan yang tersaji di atas piringnya. Max memang seperti itu, selalu menganggapnya seperti tak ada. Sejenak Lily merasa ragu untuk menyampaikan keinginannya untuk bercerai. Dia hanya menatap Max cukup lama hingga membuat Max kesal. "Apa kau tetap ingin seperti itu? Menatapku tanpa malu?" Ucapan Max membuat Lily menjadi kikuk. "Ah, e... maaf." Lily menundukkan kepalanya takut. Namun sesaat kemudian, dia berpikir mengapa dirinya harus takut pada Max? Bukankah dia ingin bercerai dari Max? Tak perlu ada lagi yang harus dia takutkan. "Max, ayo kita bercerai." Max langsung tersedak makanan hingga terbatuk-batuk. Dia segera mengambil segelas air putih yang berada di depannya dan meminumnya hingga tandas. Lalu menatap Lily dengan kedua matanya yang nampak memerah. "Rupanya kau benar-benar sudah gila." Kedua mata Lily membulat terkejut. "A-apa?" "Apa ini yang membuatmu merenung selama tiga hari? Kau ingin bercerai dariku rupanya." "Merenung? Tiga hari?" gumam Lily, tak mengerti dengan ucapan Max. "Sepertinya kau sudah mulai tak waras karena terlalu lama mengurung diri di dalam kamar." Max mengelap mulutnya yang terkena sedikit makanan dengan tisu makan. "Mulai hari ini, kau harus berkunjung ke dokter spesialis jiwa. Aku tak ingin menghirup udara yang sama dengan orang gila sepertimu." Mulut Lily menganga mendengarnya. Apa Max barusan menganggapnya sakit jiwa? "Tapi aku tidak gila!" pekiknya tak terima. "Lalu? Apa alasanmu tiba-tiba meminta cerai? Apa kau kekurangan uang akhir-akhir ini?" Memang benar. Salah satu alasan Lily meminta cerai memang karena uang. Selama dua tahun ini dia tak menggunakan uang bulanan dari Max sepeserpun. Namun bukan hanya itu satu-satunya alasan dia meminta cerai. "Diam darimu itu sudah membenarkan dari apa yang aku pertanyakan tadi." Max langsung mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hanya dalam hitungan detik, ponsel Lily pun bergetar. Kedua mata Lily terbelalak lebar mendapati notifikasi pesan masuk dari bank. [Dana Rp 50.000.000 masuk ke dalam rekening...] "Sudah cukup, bukan? Seharusnya itu sudah lebih dari cukup mengingat kau tidak melakukan apapun selama ini." Max segera berdiri setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Mood-nya memburuk setelah berbicara dengan Lily barusan. "Tunggu, kau mau kemana?" Seolah tuli, Max mengabaikan pertanyaan Lily dan terus berjalan. Lily pun memutar balik kursi rodanya dan mengikuti langkah kaki Max. "Aku belum selesai bicara." Gerakan dari kursi rodanya yang lamban cukup membuatnya sulit untuk mengejar Max yang memiliki langkah panjang. "Max, dengarkan aku dulu!" Max masih terus berjalan, enggan untuk berbalik badan. "Bukankah kau ingin segera menikahi Olivia?" Hal itu berhasil membuat Max menghentikan langkahnya. Lily tersenyum senang lalu mendekati Max. "Tuan Antony sudah meninggal. Jadi sebaiknya kita bercerai, lalu kau bisa-" Ucapan Lily terhenti karena Max yang tiba-tiba membalikkan badan dan mendekatkan wajahnya. "Kau pikir semudah itu untuk bercerai?" Lily mengerjapkan matanya, terkejut dengan bola mata hazel milik Max yang begitu menawan. Selama ini dia hanya memperhatikan Max dari kejauhan saja. Ini adalah kali pertama baginya menatap wajah Max begitu dekat. "Bu-bukankah tinggal menandatangani surat cerai lalu kita bisa bercerai?" Max menyipitkan kedua matanya, curiga jika Lily tidak tahu menahu soal isi perjanjian dua tahun yang lalu. "Apa kau benar-benar membaca isi dari surat perjanjian yang kau tanda tangani dua tahun lalu?" "Untuk apa kau menanyakannya?" Max mendecakkan lidahnya kesal lalu menjauhkan wajahnya. "Jawab saja. Kau membacanya sampai tuntas atau tidak?" "Aku membaca, tapi hanya sampai di halaman depan saja." Jawaban dari Lily membuat Max menghela napasnya panjang. "Memang apa hubungannya antara surat perjanjian dengan keinginanku untuk bercerai?" "Di surat itu tertulis kalau kau meminta cerai, kau harus membayar sejumlah uang pada keluarga Kalandra." "Se-sejumlah uang?" "Ya. Tidak banyak, hanya dua puluh milyar."Max dan Kenneth terperangah, melihat penampilan pasangan mereka masing-masing yang nampak sederhana tapi cantik dan begitu mempesona."Wow, cantik sekali," puji Max secara terang-terangan."Terima kasih, Max." Lily tersenyum malu sambil menyelipkan anak rambutnya ke arah belakang.Hari ini dia dan Wina sama-sama mengenakan gaun polos selutut dengan potongan dada yang agak rendah berlengan pendek. Lily mengenakan gaun berwarna lilac, sedang ibunya mengenakan warna merah.Desain gaun sama, yang membedakan aksesoris yang mereka pakai.Meski begitu, Lily dan Wina sama-sama mempesona dengan gaun yang memamerkan lekuk tubuh mereka yang indah."Sayang, kenapa kamu diam saja?" tanya Wina pada Kenneth. Jujur dia juga ingin mendapat pujian yang sama seperti Lily. "Bagaimana dengan gaunku? Apa bagus juga?"Bukannya menjawab, Kenneth malah berdeham dan membalikkan badannya. "Sudahlah, ayo cepat berangkat. Nanti keburu telat." Setelahnya Kenneth berjalan duluan ke arah mobil.Tak mendapat pujian
"Aku akan segera menikah dengan Finley." Ucapan dari Vina membuat Lily sedikit terkejut. Saat ini mereka sudah duduk berdua di sebuah ruangan pribadi milik Lily. Pintu sengaja Lily kunci agar tidak ada orang yang menguping atau menginterupsi. Sebelum ini dia dan Vina sudah membicarakan soal basa-basi, hingga topik yang serius ini terlontar, membuat Lily sangat terkejut."Kau yakin dengan keputusanmu, Vina? Kau yakin akan menikah dengannya?"Vina menunduk setelah mendengar rentetan pertanyaan dari Lily, memandangi dan mengelus perutnya yang semakin membesar. "Aku harus yakin demi anak yang ada di kandunganku, Lily. Empat bulan lagi dia akan terlahir di dunia ini, aku tidak mau dia lahir tanpa ada sosok ayah di sampingnya nanti."Lily menatap iba lalu memeluk Vina dari samping. Tumbuh dewasa bersama, Lily tahu kalau sahabatnya itu hampir tidak pernah menjalin hubungan yang serius dengan seorang pria karena mementingkan pendidikan dan karir. Namun sekali dia berkenalan dengan pria, dia
Hari-hari terus berlalu semenjak kasus Jauhari mencuat di berbagai media sosial. Media terus membahas kasus itu namun bukan tentang Jauhari, melainkan Lily Orlantha yang menjadi pusat perhatian banyak publik.Mulai dari kisah hidupnya bahkan bakatnya yang luar biasa soal merancang gaun wanita.Melihat hal itu, Lily bersyukur setidaknya dampak dari pemberitaan soal dirinya lebih condong ke arah positif. Dia banyak mendulang simpati dari berbagai kalangan bahkan banyak dari kaum menengah ke atas yang berlomba-lomba untuk memesan gaun darinya.Alhasil, Lily menjadi sangat sibuk dan cukup kewalahan. Max yang selalu ingin bertemu dengan Lily pun jadi tidak bisa karena saking sibuknya. Selain itu, karena pemberitaan soal Lily, Max jadi mendapat banyak kecaman dari warga sosial media atas langkahnya dulu yang menceraikan Lily.Mau tak mau, Max harus menjauhkan diri dulu dari Lily agar Lily tak ikut terkena dampaknya. Selain Max, ada Fernita yang juga ikut terkena imbasnya. Banyak teman sosia
"Jika di pikir-pikir, ini semua memang kesalahanku yang selalu menutupi segala perbuatannya," lanjut Kenneth berbicara. Penyesalan memang selalu datang di akhir.Jika diingat-ingat, sudah dari dulu Wina mencurigai Jauhari namun Kenneth selalu tutup mata dan tidak mau menyelidikinya.Bagi Kenneth, Jauhari adalah saudara yang cukup dekat dengannya meski mereka hanyalah saudara tiri. Namun karena Lily terus dalam bahaya dan dia menyadari ada sesuatu yang salah, maka Kenneth mulai menyelidikinya.Hasil penyelidikan tidak disangka-sangka. Banyak kejahatan yang diperbuat Jauhari dan keluarganya di belakang Kenneth. Mulai dari penculikan Lily sejak bayi, penggelapan dana, mencelakakan Lily dan masih ada kejahatan lain yang sulit bagi Kenneth untuk terima.Beberapa bukti kejahatan masih ada yang belum bisa Kenneth kumpulkan, seperti saat penculikan Lily sewaktu bayi. Itu karena kasusnya yang sudah lama dan Jauhari benar-benar menghapus jejak keterlibatan dengan rapi.Tetapi tetap tidak akan
Sebuah tamparan keras juga melayang di pipi Melani setelahnya, kali ini dari Wina."Cukup! Tutup mulutmu yang kotor itu!" Melani memegang pipinya yang berdenyut nyeri sambil tertegun ke arah Wina. Tak pernah dia sangka, wanita yang selama ini diam kini nampak murka bahkan berani menampar wajahnya.Leni, Lubis dan Layla juga terkejut lalu mendekati kedua orang tua mereka untuk membela."Kenapa Paman dan Tante tega melakukan ini? Apa kesalahan kami?" tanya Leni dengan kedua mata yang berkaca-kaca."Kesalahan kalian?" Tiba-tiba ada suara yang menyahut dari belakang kerumunan.Semua orang menoleh dan melihat Lily berjalan mendekat dengan Max yang menggandeng tangannya."Kamu ingin tahu kesalahan keluargamu apa?" tanya Lily begitu dia sudah berada di depan kerumunan.Melihat Lily datang bersama Max, orang-orang yang mengetahui hubungan diantara keduanya kembali bergosip."Kudengar pria yang ada di sampingnya itu mantan suaminya, kenapa tiba-tiba dia datang dengan pria itu? Apa mereka suda
Pesta yang diadakan oleh keluarga Leni telah tiba. Beberapa hari sebelumnya, Lily sudah menyelesaikan pesanan gaun-gaun yang dipesan oleh saudara sepupunya--termasuk Leni. Dia juga sudah menyuruh orang untuk mengantar gaun ke rumah masing-masing.Malam ini Lily datang terlambat ke tempat acara. Sedang Kenneth dan Wina telah datang terlebih dahulu.Suasana di dalam aula pesta sudah nampak ramai oleh banyak tamu. Para pelayan juga nampak sibuk berjalan ke sana kemari mengantar minuman untuk para tamu.Awalnya Kenneth tidak menjumpai sesuatu yang aneh saat dia baru pertama kali masuk. Beberapa kenalan rekan kerja datang menyambut dan berbincang santai dengannya. Namun begitu dia dan Wina sudah berjalan ke arah yang lebih tengah, dia baru menyadari telah terjadi sesuatu sejak sebelum dirinya datang."Ada apa ini?" tanyanya begitu melihat kerumunan orang-orang yang nampak berisikPara tamu menoleh ke arah Kenneth lalu salah seorang keponakan Kenneth mendatanginya sambil berkata, "Paman sud