Share

2. Penderitaan Indah

"Apa-apaan ini?" tiba-tiba terdengar suara Ibu. Membuat aku dan Mas Dito terkejut, aku menoleh ke arah malaikat pelindungku itu. Entah sejak kapan, wanita yang telah melahirkanku itu, sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Apa Ibu sudah mendengar semuanya?

"Oh ... Ibu sudah pulang dari pasar? Bagus kalau gitu, jadi ... Ibu bisa jadi saksi di sini!" ujar Mas Dito seakan tak berdosa. Entah terbuat dari apa hati pria yang kupilih sebagai imamku ini.

"Saksi? Saksi bahwa kamu telah menceraikan putriku? Tega sekali kamu Dito! Apa kesalahan Indah, sehingga kamu menceraikannya? Apalagi disaat bayi kalian baru saja lahir?" tanya Ibu dengan suara lantang dan keras.

Deghh!

Aku sedikit terkejut mendengar suara Ibu yang begitu lantang. Selama menjadi anaknya, baru kali ini aku mendengar Ibu berbicara dengan nada tinggi seperti itu.

"Putri Ibu itu tidak becus menjadi seorang Istri! Dia tidak bisa memberikan aku anak laki-laki. Dan sekarang ia justru tidak dapat mengandung lagi, jadi apa salah jika aku memutuskan untuk menikah lagi?" sahut Mas Dito suamiku.

Mendengar Mas Dito mengucapkan kata itu dengan santainya, membuat mata Ibu terbelalak. Cukup membuatku khawatir dengan kesehatan Ibuku yang memiliki riwayat penyakit darah tinggi.

"Tapi, dia sudah memberikanmu seorang putri, apa itu tidak cukup?! Laki-laki dan perempuan itu sama saja, Dito! Tidak ada bedanya!" balas Ibu. Dadanya naik turun seakan sedang menahan gemuruh emosi di dadanya. Aku lihat mata tua dan keriput itu berkaca-kaca.

"Tentu saja beda, Bu! Ibu mana tahu, karena anak-anak Ibu semuanya perempuan! Lihat saja Ibu, di hari tua hidup masih susah. Sangat berbeda dengan Mama, karena anak Ibu semuanya perempuan, tidak bisa diandalkan sebagai penerus keluarga," sungut Mas Dito. Ia sukses memancing emosi wanita tua yang masih terlihat cantik serta fisik yang bugar itu walau di usianya yang mulai menua.

Ibuku memang memiliki dua orang putri, Kakakku bernama Sania. Sania tinggal di luar kota, bersama suaminya yang bekerja di perusahaan batu bara. Kehidupan mereka sangat mapan, setiap bulan Sania selalu mengirimkan uang saku untuk Ibu. Walaupun Ibu selalu menolak, tetapi Kakakku itu tetap kekeuh mengirimkannya setiap bulan. Membuatku iri sekaligus malu padanya.

Sedangkan Aku yang anak bungsu, justru menyusahkan Ibu dengan menumpang di rumah ini.

"Kamu salah, walaupun anak-anakku perempuan tapi mereka selalu bisa aku andalkan. Lagi pula, aku memang bukan tipe orang tua yang merongrong pada anak dan berlaku zalim pada menantu!" balas Ibu geram.

"Sudahlah, Bu! Aku tidak mau berdebat panjang lebar dengan Ibu. Karena percuma! Indah itu kan putri Ibu, pasti Ibu akan lebih membela dia dari pada menantu Ibu ini. Toh ... Indah juga yang meminta untuk aku talak, jadi aku dan dia bukan suami dan istri lagi. Untuk masalah nafkah! Aku tidak akan memberikan uangku sepeserpun untuk anak perempuan yang tak berguna itu!" ujar Mas Dito yang terdengar begitu kejam di telinga. Pria itu menarik lengan calon istrinya, menatap kami sinis sambil berlalu pergi.

"Suatu saat kau akan menyesal, Dito! Jangan pernah injakkan kakimu di rumahku lagi!" hardik Ibu, ia terlihat mengelus dadanya.

Aku menangis pilu meratapi nasib ini, Ibu berjalan ke arahku. Duduk di sampingku sambil mengusap kepala ini lembut.

"Maaf, Bu! Maaf jika aku tidak mendengarkan perkataan Ibu, dulu! Ibu benar, Mas Dito bukan pria yang tepat untuk pendamping hidup," tangisku pecah di hadapannya.

Tidak pernah sedikitpun kubayangkan akan bernasib seperti ini, pada awal menikah tidak ada yang terasa aneh dengan tubuhku. Tapi ... saat aku hamil barulah diketahui aku memiliki tumor yang tumbuh bersama dengan janinku di dalam rahim. Lebih tepatnya tumbuh di tuba falopi.

Segala upaya serta pengobatan telah Ibuku lakukan untuk kesembuhanku serta keselamatan bayi yang ada di kandunganku. Sedangkan Mas Dito hanya sibuk mengurus keluarganya itu. Jangankan bertanya, menjengukku dirumah sakit saja tidak.

Seminggu aku berada di rumah sakit dalam keadaan kritis, hingga dokter putuskan untuk mempercepat kelahiran anakku. melakukan operasi agar bayi yang kukandung selamat, dan pemotongan salah satu saluran tuba falopi, agar tumor itu tidak merambat dan merusak jaringan yang lain.

Akibat dari operasi itu, aku kehilangan kemampuan untuk memiliki anak kembali. Bagaimana bisa wanita yang tidak subur bisa hamil lagi dengan mudah hanya dengan satu indung telur yang tersisa.

Namun, Alhamdulillah anak yang kukandung bisa lahir dengan selamat serta sehat, walau harus dua minggu bayiku berada di ruangan inkubator. Dengan tubuh tua itu, Ibu berjalan kesitu kemari mengurusku serta bayiku. Sedangkan mas Dito, pergi entah ke mana? Nomornya pun sulit sekali dihubungi.

Sedangkan keluarganya, mendengar aku melahirkan bayi perempuan. Tidak da sedikit pun respon. Ibu mertuaku hanya datang sebentar untuk menjenguk, itu pun tidak lepas dari sindiran pedasnya yang mengatakan aku menantu yang gagal.

Ya Allah ya Robby ... kuatkan hati ini untuk menjalani segala ujian ini ya Allah!

"Sudah ... sudah, Nak! Tidak perlu kamu tangisi lagi, itu semua bukan salahmu. Dasar suamimu saja yang tidak tahu bersyukur!" hibur ibuku, ia mengambil alih putriku kedalam gendongannya.

"Tapi, Bu ... bagaimana nasib Indah dan anak Indah nanti kedepannya? Indah malu selalu membebankan hari tua Ibu dengan semua masalah Indah, Bu." Air mataku kembali luruh ke pipi. Tangan lembut itu membelai wajah ini dengan penuh kasih sayang.

"Masih ada Ibu, Indah. Kamu jangan khawatir, isyaallah ada jalan keluarnya, Nak. Tetap semangat untuk putri kecilmu."

Nasehat itu terasa seperti air yang dingin membasahi hati ini. Sungguh aku bersyukur memiliki pelita hati sepertimu Ibu, andai tidak ada dirimu, entah bagaimana nasib hidupku.

"Tadi ibu beli sayur Mateng kesukaanmu, Nak. Ayo kita makan, kamu perlu makan yang sehat agar asimu tetap lancar dan anakmu sehat, ayo!" ajak Ibu sambil meletakkan Naira, putriku yang sudah mulai tertidur lelap diatas ranjang. Ibu berdiri dan beranjak keluar dari kamar.

"Iya, Bu," jawabku singkat.

Aku masih ingin duduk di kamar ini menatap putri kecilku yang sedang terlelap tidur, tangan ini mengusap kepala kecil itu dengan lembut. Sungguh malang nasibmu, Nak. Semoga kelak saat dirimu dewasa, engkau mendapatkan pria yang begitu mencintaimu dan menerima kekuranganmu dengan hati yang ikhlas dan semoga hidupmu selalu bahagia, Nak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status