"Apa-apaan ini?" tiba-tiba terdengar suara Ibu. Membuat aku dan Mas Dito terkejut, aku menoleh ke arah malaikat pelindungku itu. Entah sejak kapan, wanita yang telah melahirkanku itu, sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Apa Ibu sudah mendengar semuanya?
"Oh ... Ibu sudah pulang dari pasar? Bagus kalau gitu, jadi ... Ibu bisa jadi saksi di sini!" ujar Mas Dito seakan tak berdosa. Entah terbuat dari apa hati pria yang kupilih sebagai imamku ini."Saksi? Saksi bahwa kamu telah menceraikan putriku? Tega sekali kamu Dito! Apa kesalahan Indah, sehingga kamu menceraikannya? Apalagi disaat bayi kalian baru saja lahir?" tanya Ibu dengan suara lantang dan keras.Deghh!Aku sedikit terkejut mendengar suara Ibu yang begitu lantang. Selama menjadi anaknya, baru kali ini aku mendengar Ibu berbicara dengan nada tinggi seperti itu."Putri Ibu itu tidak becus menjadi seorang Istri! Dia tidak bisa memberikan aku anak laki-laki. Dan sekarang ia justru tidak dapat mengandung lagi, jadi apa salah jika aku memutuskan untuk menikah lagi?" sahut Mas Dito suamiku.Mendengar Mas Dito mengucapkan kata itu dengan santainya, membuat mata Ibu terbelalak. Cukup membuatku khawatir dengan kesehatan Ibuku yang memiliki riwayat penyakit darah tinggi."Tapi, dia sudah memberikanmu seorang putri, apa itu tidak cukup?! Laki-laki dan perempuan itu sama saja, Dito! Tidak ada bedanya!" balas Ibu. Dadanya naik turun seakan sedang menahan gemuruh emosi di dadanya. Aku lihat mata tua dan keriput itu berkaca-kaca."Tentu saja beda, Bu! Ibu mana tahu, karena anak-anak Ibu semuanya perempuan! Lihat saja Ibu, di hari tua hidup masih susah. Sangat berbeda dengan Mama, karena anak Ibu semuanya perempuan, tidak bisa diandalkan sebagai penerus keluarga," sungut Mas Dito. Ia sukses memancing emosi wanita tua yang masih terlihat cantik serta fisik yang bugar itu walau di usianya yang mulai menua.Ibuku memang memiliki dua orang putri, Kakakku bernama Sania. Sania tinggal di luar kota, bersama suaminya yang bekerja di perusahaan batu bara. Kehidupan mereka sangat mapan, setiap bulan Sania selalu mengirimkan uang saku untuk Ibu. Walaupun Ibu selalu menolak, tetapi Kakakku itu tetap kekeuh mengirimkannya setiap bulan. Membuatku iri sekaligus malu padanya.Sedangkan Aku yang anak bungsu, justru menyusahkan Ibu dengan menumpang di rumah ini."Kamu salah, walaupun anak-anakku perempuan tapi mereka selalu bisa aku andalkan. Lagi pula, aku memang bukan tipe orang tua yang merongrong pada anak dan berlaku zalim pada menantu!" balas Ibu geram."Sudahlah, Bu! Aku tidak mau berdebat panjang lebar dengan Ibu. Karena percuma! Indah itu kan putri Ibu, pasti Ibu akan lebih membela dia dari pada menantu Ibu ini. Toh ... Indah juga yang meminta untuk aku talak, jadi aku dan dia bukan suami dan istri lagi. Untuk masalah nafkah! Aku tidak akan memberikan uangku sepeserpun untuk anak perempuan yang tak berguna itu!" ujar Mas Dito yang terdengar begitu kejam di telinga. Pria itu menarik lengan calon istrinya, menatap kami sinis sambil berlalu pergi."Suatu saat kau akan menyesal, Dito! Jangan pernah injakkan kakimu di rumahku lagi!" hardik Ibu, ia terlihat mengelus dadanya.Aku menangis pilu meratapi nasib ini, Ibu berjalan ke arahku. Duduk di sampingku sambil mengusap kepala ini lembut."Maaf, Bu! Maaf jika aku tidak mendengarkan perkataan Ibu, dulu! Ibu benar, Mas Dito bukan pria yang tepat untuk pendamping hidup," tangisku pecah di hadapannya.Tidak pernah sedikitpun kubayangkan akan bernasib seperti ini, pada awal menikah tidak ada yang terasa aneh dengan tubuhku. Tapi ... saat aku hamil barulah diketahui aku memiliki tumor yang tumbuh bersama dengan janinku di dalam rahim. Lebih tepatnya tumbuh di tuba falopi.Segala upaya serta pengobatan telah Ibuku lakukan untuk kesembuhanku serta keselamatan bayi yang ada di kandunganku. Sedangkan Mas Dito hanya sibuk mengurus keluarganya itu. Jangankan bertanya, menjengukku dirumah sakit saja tidak.Seminggu aku berada di rumah sakit dalam keadaan kritis, hingga dokter putuskan untuk mempercepat kelahiran anakku. melakukan operasi agar bayi yang kukandung selamat, dan pemotongan salah satu saluran tuba falopi, agar tumor itu tidak merambat dan merusak jaringan yang lain.Akibat dari operasi itu, aku kehilangan kemampuan untuk memiliki anak kembali. Bagaimana bisa wanita yang tidak subur bisa hamil lagi dengan mudah hanya dengan satu indung telur yang tersisa.Namun, Alhamdulillah anak yang kukandung bisa lahir dengan selamat serta sehat, walau harus dua minggu bayiku berada di ruangan inkubator. Dengan tubuh tua itu, Ibu berjalan kesitu kemari mengurusku serta bayiku. Sedangkan mas Dito, pergi entah ke mana? Nomornya pun sulit sekali dihubungi.Sedangkan keluarganya, mendengar aku melahirkan bayi perempuan. Tidak da sedikit pun respon. Ibu mertuaku hanya datang sebentar untuk menjenguk, itu pun tidak lepas dari sindiran pedasnya yang mengatakan aku menantu yang gagal.Ya Allah ya Robby ... kuatkan hati ini untuk menjalani segala ujian ini ya Allah!"Sudah ... sudah, Nak! Tidak perlu kamu tangisi lagi, itu semua bukan salahmu. Dasar suamimu saja yang tidak tahu bersyukur!" hibur ibuku, ia mengambil alih putriku kedalam gendongannya."Tapi, Bu ... bagaimana nasib Indah dan anak Indah nanti kedepannya? Indah malu selalu membebankan hari tua Ibu dengan semua masalah Indah, Bu." Air mataku kembali luruh ke pipi. Tangan lembut itu membelai wajah ini dengan penuh kasih sayang."Masih ada Ibu, Indah. Kamu jangan khawatir, isyaallah ada jalan keluarnya, Nak. Tetap semangat untuk putri kecilmu."Nasehat itu terasa seperti air yang dingin membasahi hati ini. Sungguh aku bersyukur memiliki pelita hati sepertimu Ibu, andai tidak ada dirimu, entah bagaimana nasib hidupku."Tadi ibu beli sayur Mateng kesukaanmu, Nak. Ayo kita makan, kamu perlu makan yang sehat agar asimu tetap lancar dan anakmu sehat, ayo!" ajak Ibu sambil meletakkan Naira, putriku yang sudah mulai tertidur lelap diatas ranjang. Ibu berdiri dan beranjak keluar dari kamar."Iya, Bu," jawabku singkat.Aku masih ingin duduk di kamar ini menatap putri kecilku yang sedang terlelap tidur, tangan ini mengusap kepala kecil itu dengan lembut. Sungguh malang nasibmu, Nak. Semoga kelak saat dirimu dewasa, engkau mendapatkan pria yang begitu mencintaimu dan menerima kekuranganmu dengan hati yang ikhlas dan semoga hidupmu selalu bahagia, Nak.Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertengkaranku dan mas Dito. Tidak ada sekalipun ia menghubungiku, walau hanya untuk sekedar bertanya tentang putrinya ini. Walau kami sudah bukan suami istri lagi, tapi anak ini tetaplah anaknya, apa sebagai seorang Ayah, tidak adakah rindunya sedikitpun pada Putri kecilnya ini?Akan tetapi, apa yang bisa aku harapkan dari lelaki yang tak punya hati sepertinya. Setelah menyusui putriku hingga ia terlelap, aku memilih duduk di teras, menghirup udara untuk menata hatiku yang masih hancur remuk ini. Sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga, membantu masak untuk pengajian malam jum'at nanti. Hal itu biasa diadakan di kampungku ini. Para Ibu-Ibu bergantian membantu masak di rumah yang mendapat jatah giliran, membuat acara doa wirid untuk bapak-bapak yang diselenggarakan pada malam harinya.Saat sedang memikirkan kelanjutan hidupku dan putriku saat ini, tiba-tiba sebuah motor masuk kedalam pekarangan rumah ini. Aku mengerutkan kening melihat kedatangan per
"Keputusanku sudah bulat Mbak, aku lebih baik menjanda asal batinku tenang, dari pada hidup dimadu!"Mbak Rini menatapku dengan seringai kecut, seolah mengejekku. Kutarik lagi napas ini dan menghembusnya secara perlahan. Berusaha untuk tenang dan berpikir jernih."Yakin batinmu akan tenang, jika untuk makan saja kamu susah? Seharusnya kamu itu sadar, Indah! Kamu itu sekarang mandul, mana ada lelaki yang mau dengan janda satu anak tapi tidak bisa memberikan mereka anak lagi. Ya ... walau kuakui kamu cantik, tapi cantikmu itu tidak ada gunanya. Jika kamu tidak bisa memberikan mereka anak, ibaratnya kamu itu ladang yang gersang," ucap Mbak Rini menghinaku. Mulutnya seakan tak di filter oleh otaknya terlebih dahulu. Menambah luka di hati ini."Biarlah itu menjadi urusanku nantinya, Mbak! Mbak gak usah khawatir tentang nasibku kedepannya. Lebih baik Mbak urus saja hidup Mbak! Semoga Mbak tidak bernasib lebih buruk dari pada diriku saat ini," ucapku. Dada ini sudah naik turun sebenarnya, t
🍁🍁🍁🍁🍁Two Month later🍀🍀🍀"Nduk, sini, biar Ibu saja yang bereskan jualanmu, kamu Istirahat sana!" perintah Ibuku. Ia baru saja datang menghampiriku, saat para pembeli sudah pada mulai pergi dan hanya tersisa aku di sini dengan perkakas jualan yang kotor. Sudah hampir dua minggu ini aku berjualan nasi uduk, gado-gado serta gorengan dan membuat pondok kecil di depan rumah Ibu. Semenjak resmi bercerai dari mas Dito, aku harus berjuang sendiri mencari nafkah untuk anakku. Karena aku hanya bisa masak, jadi kuputuskan berjualan sarapan pagi di kampung ini. Berbekal uang yang kupinjam dari Ibu sebagai modal awal jualanku.Alhamdulillah tuhan merestui langkahku, memberikanku kemudahan dalam mencari rezeki untuk buah hatiku."Ndak usah, Bu. Biar Indah saja yang bereskan semua ini, Ibu pasti sudah capek ngasuh Naira dari tadi. Maaf ya, Bu. Jika Indah merepotkan Ibu terus," ucapku sambil membereskan jualanku siang ini. Mata ini rasanya mulai memanas, andai tidak kutahan, mungkin sud
"Apa kabar, Indah? Gimana keadaanmu sekarang?" ujar Mas Dito berbasa-basi di hadapanku. Ia memindai penampilanku dari atas ke bawah, dengan senyum mengejek. Kuakui tampilanku saat ini begitu lecek dan dekil, dengan rambut yang dijepit keatas persis seperti pembantu. Berbeda jauh dengan istrinya saat ini yang memakai pakaian bagus, bersih, dengan perhiasan yang lengkap di tubuhnya, membuat dandanannya tampak begitu cetar dan glowing.Bak langit dan bumi denganku saat ini. Sebenarnya ada sedikit rasa iri di hati ini, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku, agar tampak biasa saja di hadapan mereka."Seperti yang kamu lihat saat ini, Mas. Sangat baik!" jawabku santai. Mata ini menangkap ada yang berbeda dari penampilan wanita di sebelah mantan suamiku itu. Tubuhnya yang jauh lebih berisi dari terakhir aku bertemu dengannya, serta perut yang membukit tampak seperti sedang mengandung lima bulan.Hal itu membuatku tersentak kaget, bukankah mereka menikah baru dua bulan yang lalu?Astagfirul
"Mas, mantan istrimu itu benar-benar kurang ajar! Berani-beraninya dia menghinaku di depan orang banyak. Pokoknya kamu harus kasih mantan istrimu itu perhitungan, Mas!" oceh Retno penuh emosi.Kami sudah sampai di rumah beberapa menit yang lalu, tapi Retno masih saja mengoceh tentang apa yang terjadi di pasar tadi. Membuat kepalaku menjadi pusing saja."Sudahlah, gak usah dipikirkan lagi, manusia tak penting itu! Ingat, kamu itu sedang hamil, jadi jaga sedikit emosimu!" jawabku padanya."Tapi Mas ...""Tak ada tapi ... tapian, Retno! Cepat masuk kamar, istirahat! Aku gak mau terjadi apa-apa sama anakku yang ada di kandunganmu," perintahku tegas. Dengan langkah kasar, Retno masuk kedalam kamar kami. Retno Dwi Astuti adalah wanita yang aku temui saat pesta perayaan perusahaan. Untuk merayakan keberhasilan kami yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan tender besar. Itu sebabnya kami merayakannya di tempat karaoke dengan memesan beberapa LC.Di sanalah aku bertemu dengan
"Nak, Indah gado-gadonya masih ada? Ibu pesan gado-gadonya dua, dibungkus, ya! Dan jangan terlalu pedas, juga!" ujar Bu'de Narmi, tetanggaku yang rumahnya berada di ujung gang sana."Masih, Bu, tunggu sebentar Indah buatkan," Bu Narmi mengangguk dan mengambil posisi, duduk di bangku panjang yang sudah kusediakan untuk para pembeliku. Jika mereka ingin makan di tempatku.Kebetulan hari ini, Alhamdulillah jualanku laris manis. Hari masih pagi, jam juga baru menunjukkan pukul sembilan, tapi jualanku sudah hampir habis.Tanganku dengan lihai menggoyang batu giling untuk menghaluskan kacang goreng, dan meraciknya menjadi bumbu gado-gado yang enak. Dari sudut mataku, aku menangkap pandangan mata Bu Narmi fokus menatapku.Sambil sekali-sekali senyum terukir diwajahnya, entah apa yang sedang ia pikirkan tentangku saat ini."Indah, Ibu boleh nanya sesuatu sama kamu? Tapi jika kamu gak mau jawab, juga gak apa-apa, Nak." ujar Bu Narmi dengan raut wajah segan. Mungkin ia takut pertanyaan yang aka
"Seratus ... dua ratus ... tiga ratus ..." jemari ini lincah menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berwarna-warni itu. Merah, biru, hijau, ungu, coklat, serta abu-abu. Makin kebawah, semakin gelap warna lembaran uang kertas di tanganku ini, seakan gambar Bapak Mohammad Husni Thamrin itu merengut padaku, padahal apa salahku padanya? "Ah ... hanya satu juta dua ratus enam ribu," gumamku lirih, aku menghembus napas berat. Bukannya tak bersyukur, hanya saja, aku merasa sedih. Uang yang kukumpulkan dari hasil jualan selama dua bulan ini, hanya satu juta dua ratusan saja. Itu belum termasuk untuk beli susu dan keperluan Naira yang lainnya, jikaku belanjakan mungkin uang yang tersisa tidak akan sampai satu juta. Dengan lemas kumasukkan kembali uang yang ada di tanganku kedalam dompet, lalu meletakkannya kedalam laci nakas yang ada di sebelah ranjangku.Aku jadi teringat dengan apa yang ditawarkan Bu Narmi tadi pagi, apa aku terima saja tawaran itu, ya? Siapa tahu itu memang jalan rezeki
🍀🍀🍀🍀🍀Sehabis jualan, aku bersiap untuk pergi kerumah Bu Narmi. Juragan kontrakan di kampung ini. Dengan pakaian seadanya yang cukup layak dan bersih, aku melangkahkan kaki dengan santai hingga kerumahnya. Sebenarnya jarak tempuh yang kulalui cukup jauh, sekitar dua puluh menit perjalanan. Tidak ada ojek atau angkot yang lewat di sini, sedangkan motor atau sepeda aku tak punya. Jadi hanya bisa mengandalkan kakiku saja.Dengan tubuh yang sedikit berkeringat karena panasnya cuaca, aku memasuki gerbang yang menjulang tinggi ini. Sebagai juragan kontrakan, tentu rumah Bu Narmi adalah rumah yang paling mewah di kampung ini. Bangunan tingkat dua yang berdiri kokoh, itu membuat siapa saja yang melihat sudah mengetahui jika yang memilikinya adalah orang kaya.Ahh ... beruntung sekali nasib Nina, menikah dengan anak orang kaya, dan memiliki mertua yang baik seperti Bu Narmi. Aku tidak kebayang jika aku berada di posisinya, pasti hidupku akan sangat bahagia saat ini.Setelah berbicara pada