Share

Lebih baik janda, daripada menderita!
Lebih baik janda, daripada menderita!
Penulis: Desti Anggraini

1. Awal luka

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-18 23:04:31

"Tidak! Aku tidak mau dimadu, Mas!" teriakku lantang pada lelaki yang bergelar suami itu. Kutekan dada ini yang terasa begitu sakit, sambil mengendong buah hati kami yang baru berumur satu bulan. Dengan air mata yang jatuh bergulir dengan sendirinya.

Yah ... baru satu bulan yang lalu aku merasakan dinginnya meja operasi, bertaruh nyawa untuk menghadirkan buah cinta yang hampir selama satu tahun kami dambakan. Namun kenyataanya ... apa yang kudapatkan?

Bukannya ucapan terima kasih yang kudapat, melainkan rasa sakit hati. Aku tatap perempuan yang berdiri di luar kamarku itu dengan rasa benci. Perempuan itu ... perempuan yang Mas Dito perkenalkan sebagai calon istri keduanya.

"Keputusanku sudah bulat, Indah! Aku akan menikah dengan Retno," ujar Mas Dito tegas. Membuat batin ini semakin meringis sakit.

"Kamu tega sama aku, Mas? Aku baru saja melahirkan anak kita, bahkan luka bekas operasiku saja belum mengering, tapi kamu ... kamu sudah membawa perempuan lain ke rumah ini sebagai maduku!" teriakku lantang. Aku tatap pria yang dulu berjanji akan membahagiakanku itu dengan rasa kecewa.

Suaraku yang keras membuat bayi yang ada di gendongan ini menangis. Aku kuatkan tubuh ini untuk berdiri dan mengayunkan tangan ke kiri dan ke kanan untuk mendiamkan tangis anakku. Ahh ... jangankan mendiamkan bayinya, menatap anaknya ini saja Mas Dito tak Sudi.

Perih dari luka operasiku tidak sebanding dengan sakitnya hati yang kurasakan kini.

"Semua ini juga karena kamu, Indah! Coba kamu melahirkan bayi laki-laki, aku juga tidak akan berniat menikah lagi. Namun kenyataannya apa? Bayi yang kamu lahirkan itu bayi perempuan, tidak berguna! Hanya akan menyusahkan saja! Ditambah lagi, rahim kamu sekarang bermasalah, membuat kamu tidak ada harapan lagi memberikanku anak laki-laki!" jawab Mas Dito. Semakin tersayat hatiku mendengarnya.

Teganya ia mengatakan perkataan itu pada bayinya, darah dagingnya sendiri! Apa baginya aku hanyalah pencetak bayi?Jika rusak maka akan dengan mudahnya ia ganti dengan mesin yang baru.

"Semua itu bukan salahku, Mas! Bukan salahku jika anak kita yang lahir itu perempuan, itu mutlak kuasa-nya! Lagi pula perempuan dan laki-laki itu sama saja. Seharusnya kamu bersyukur, Mas! Banyak di luaran sana yang sangat menginginkan anak, tapi Tuhan tidak memberi, sedangkan kamu yang sudah mendapatkannya, justru mempermasalahkan hal yang sepele," ucapku mencoba membela diri.

Kutatap bayi yang mulai tenang dalam gendonganku ini dengan perasaan hati yang sedih, betapa terlukanya hati ini melihat bayi cantik yang aku lahirkan ini, tidak diharapkan oleh ayahnya sendiri.

"Sepele katamu?! Kamu itu melahirkan bayi perempuan Indah! Aku menginginkan bayi laki-laki sebagai penerus keluargaku! Jika saja rahim kamu itu tidak bermasalah dan dapat hamil lagi! Mungkin aku akan bersabar menunggu kamu hamil anak kedua kita, tapi nyatanya sekarang kamu mandul!" sungut Mas Dito.

"Tapi, Mas! Tidak bisakah ..."

"Cukup, Indah! Aku tidak mau mendengar apapun lagi! Aku kesini cuma mau mengatakan itu padamu. Perkara kamu setuju atau tidak! Itu tidak penting, karena dalam hukum agama, lelaki diperbolehkan menikahi empat orang istri!" ujar Mas Dito lagi.

Kali ini ia mulai membawa dalil Agama sebagai pembenaran akan tindakannya itu. Membuat hatiku semakin tercabik-cabik perih, tega sekali ia berkata seperti itu padaku. Tidakkah ada sedikit rasa kasihan dirinya terhadapku?

Dengan tangan gemetar aku usap air mata di pipi ini, sambil menarik napas menenangkan diri sendiri.

"Aku tidak mau dimadu, Mas. Keputusanku itu juga bulat! Jika Mas mau menikahi perempuan itu, silahkan! Tapi tolong talak aku sekarang juga!"

Saat aku mengeluarkan kata-kata keramat itu, Mas Dito langsung menatapku dengan menyalang. Mungkin ia tidak menyangka aku akan mengambil keputusan itu.

"Kamu yakin lebih memilih berpisah dari pada dimadu? Jika kita berpisah, aku tidak akan memberikanmu nafkah sepeserpun. Memang kamu mau menghidupi bayimu itu dengan apa? Hah!" ujar Mas Dito. Pria itu mengeluarkan seringai merendahkan di sudut bibirnya.

Kupejam mata ini sesaat, mencoba meredam gemuruh di dada yang membuat sesak. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Aku mengangguk sembari kembali menatap suamiku dengan penuh keyakinan.

"Baik, jika itu keputusanmu, Mas! Aku tidak akan menuntut sepeserpun nafkah darimu. Namun ingat, jangan pernah kamu menyesalinya nanti!"

"Menyesal? Tidak akan pernah! Justru aku bersyukur karena terlepas dari kamu dan ibumu yang benalu itu!" jawab Mas Dito seraya tersenyum sinis. Mataku membesar mendengar ucapannya pada ibuku.

"Jaga ucapanmu, Mas! Walau bagaimanapun ia ibuku, mertuamu! Justru kau lah yang benalu di rumah ini. Apa kau lupa ini rumah kedua orang tuaku, ibuku yang memenuhi makan dan minum kita selama kita tinggal di sini. Sedangkan gaji yang kau berikan, habis untuk memenuhi keinginan ibumu yang gila belanja itu!" teriakku lantang. Meluapkan segala uneg-uneg yang mengganjal di hati.

"Jangan mengada-ngada kamu, Indah! Selama ini aku memberikan semua gajiku padamu!"

"Memang itu lah kenyataannya!"

Dua tahun menikah dengannya tidak pernah aku bisa menikmati nafkah yang ia berikan untukku. Ibu Mas Dito akan setiap saat datang hanya untuk meminta uang gaji anaknya dengan alasan arisan, pembayaran kuliah dan lainnya. Sehingga gaji yang di berikan oleh Mas Dito tidak pernah cukup untuk kebutuhan kami.

"Ternyata benar kata Ibu, kamu menantu yang suka memburuk-burukkan mertua! Aku telah salah memilih istri," hardik Mas Dito tak terima. Membuat perasaanku semakin sakit.

"Aku yang telah salah memilih suami, aku yang salah telah percaya janji mulut manismu, dan sekarang aku tidak mau menjadi wanita bodoh lagi! Ceraikan aku jika kamu lebih memilih dia!" Jariku menunjuk wanita yang masih setia berdiri diam, di depan pintu kamarku yang sedikit terbuka itu.

"Baik, kutalak satu siang ini engkau Indah Savitri! Sejak hari ini, kau bukan istriku lagi!" ucap Mas Dito lantang.

Ya Allah, begitu kejam lelaki yang kau berikan sebagai pendampingku ini. Begitu tega ia membuangku disaat aku telah memberikannya permata hati. Kuciumi bayi yang ada di pelukanku ini.

Jangan khawatir sayang, walau ayahmu tidak menginginkanmu, tapi Mama dan Nenek sangat menyayangi kamu, Nak.

šŸ€šŸ€šŸ€šŸ€šŸ€

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 67. ending yang bahagia.

    pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 66. Kado terindah dari Tuhan.

    Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 65. Akhir sebuah kisah.

    Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 64. Semua sudah terlambat.

    Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 63. Berjumpa kembali.

    Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i

  • Lebih baik janda, daripada menderita!Ā Ā Ā 62. Penyesalan Nina.

    Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status