Share

Lebih baik janda, daripada menderita!
Lebih baik janda, daripada menderita!
Penulis: Desti Anggraini

1. Awal luka

"Tidak! Aku tidak mau dimadu, Mas!" teriakku lantang pada lelaki yang bergelar suami itu. Kutekan dada ini yang terasa begitu sakit, sambil mengendong buah hati kami yang baru berumur satu bulan. Dengan air mata yang jatuh bergulir dengan sendirinya.

Yah ... baru satu bulan yang lalu aku merasakan dinginnya meja operasi, bertaruh nyawa untuk menghadirkan buah cinta yang hampir selama satu tahun kami dambakan. Namun kenyataanya ... apa yang kudapatkan?

Bukannya ucapan terima kasih yang kudapat, melainkan rasa sakit hati. Aku tatap perempuan yang berdiri di luar kamarku itu dengan rasa benci. Perempuan itu ... perempuan yang Mas Dito perkenalkan sebagai calon istri keduanya.

"Keputusanku sudah bulat, Indah! Aku akan menikah dengan Retno," ujar Mas Dito tegas. Membuat batin ini semakin meringis sakit.

"Kamu tega sama aku, Mas? Aku baru saja melahirkan anak kita, bahkan luka bekas operasiku saja belum mengering, tapi kamu ... kamu sudah membawa perempuan lain ke rumah ini sebagai maduku!" teriakku lantang. Aku tatap pria yang dulu berjanji akan membahagiakanku itu dengan rasa kecewa.

Suaraku yang keras membuat bayi yang ada di gendongan ini menangis. Aku kuatkan tubuh ini untuk berdiri dan mengayunkan tangan ke kiri dan ke kanan untuk mendiamkan tangis anakku. Ahh ... jangankan mendiamkan bayinya, menatap anaknya ini saja Mas Dito tak Sudi.

Perih dari luka operasiku tidak sebanding dengan sakitnya hati yang kurasakan kini.

"Semua ini juga karena kamu, Indah! Coba kamu melahirkan bayi laki-laki, aku juga tidak akan berniat menikah lagi. Namun kenyataannya apa? Bayi yang kamu lahirkan itu bayi perempuan, tidak berguna! Hanya akan menyusahkan saja! Ditambah lagi, rahim kamu sekarang bermasalah, membuat kamu tidak ada harapan lagi memberikanku anak laki-laki!" jawab Mas Dito. Semakin tersayat hatiku mendengarnya.

Teganya ia mengatakan perkataan itu pada bayinya, darah dagingnya sendiri! Apa baginya aku hanyalah pencetak bayi?Jika rusak maka akan dengan mudahnya ia ganti dengan mesin yang baru.

"Semua itu bukan salahku, Mas! Bukan salahku jika anak kita yang lahir itu perempuan, itu mutlak kuasa-nya! Lagi pula perempuan dan laki-laki itu sama saja. Seharusnya kamu bersyukur, Mas! Banyak di luaran sana yang sangat menginginkan anak, tapi Tuhan tidak memberi, sedangkan kamu yang sudah mendapatkannya, justru mempermasalahkan hal yang sepele," ucapku mencoba membela diri.

Kutatap bayi yang mulai tenang dalam gendonganku ini dengan perasaan hati yang sedih, betapa terlukanya hati ini melihat bayi cantik yang aku lahirkan ini, tidak diharapkan oleh ayahnya sendiri.

"Sepele katamu?! Kamu itu melahirkan bayi perempuan Indah! Aku menginginkan bayi laki-laki sebagai penerus keluargaku! Jika saja rahim kamu itu tidak bermasalah dan dapat hamil lagi! Mungkin aku akan bersabar menunggu kamu hamil anak kedua kita, tapi nyatanya sekarang kamu mandul!" sungut Mas Dito.

"Tapi, Mas! Tidak bisakah ..."

"Cukup, Indah! Aku tidak mau mendengar apapun lagi! Aku kesini cuma mau mengatakan itu padamu. Perkara kamu setuju atau tidak! Itu tidak penting, karena dalam hukum agama, lelaki diperbolehkan menikahi empat orang istri!" ujar Mas Dito lagi.

Kali ini ia mulai membawa dalil Agama sebagai pembenaran akan tindakannya itu. Membuat hatiku semakin tercabik-cabik perih, tega sekali ia berkata seperti itu padaku. Tidakkah ada sedikit rasa kasihan dirinya terhadapku?

Dengan tangan gemetar aku usap air mata di pipi ini, sambil menarik napas menenangkan diri sendiri.

"Aku tidak mau dimadu, Mas. Keputusanku itu juga bulat! Jika Mas mau menikahi perempuan itu, silahkan! Tapi tolong talak aku sekarang juga!"

Saat aku mengeluarkan kata-kata keramat itu, Mas Dito langsung menatapku dengan menyalang. Mungkin ia tidak menyangka aku akan mengambil keputusan itu.

"Kamu yakin lebih memilih berpisah dari pada dimadu? Jika kita berpisah, aku tidak akan memberikanmu nafkah sepeserpun. Memang kamu mau menghidupi bayimu itu dengan apa? Hah!" ujar Mas Dito. Pria itu mengeluarkan seringai merendahkan di sudut bibirnya.

Kupejam mata ini sesaat, mencoba meredam gemuruh di dada yang membuat sesak. Kutarik napas dan membuangnya perlahan. Aku mengangguk sembari kembali menatap suamiku dengan penuh keyakinan.

"Baik, jika itu keputusanmu, Mas! Aku tidak akan menuntut sepeserpun nafkah darimu. Namun ingat, jangan pernah kamu menyesalinya nanti!"

"Menyesal? Tidak akan pernah! Justru aku bersyukur karena terlepas dari kamu dan ibumu yang benalu itu!" jawab Mas Dito seraya tersenyum sinis. Mataku membesar mendengar ucapannya pada ibuku.

"Jaga ucapanmu, Mas! Walau bagaimanapun ia ibuku, mertuamu! Justru kau lah yang benalu di rumah ini. Apa kau lupa ini rumah kedua orang tuaku, ibuku yang memenuhi makan dan minum kita selama kita tinggal di sini. Sedangkan gaji yang kau berikan, habis untuk memenuhi keinginan ibumu yang gila belanja itu!" teriakku lantang. Meluapkan segala uneg-uneg yang mengganjal di hati.

"Jangan mengada-ngada kamu, Indah! Selama ini aku memberikan semua gajiku padamu!"

"Memang itu lah kenyataannya!"

Dua tahun menikah dengannya tidak pernah aku bisa menikmati nafkah yang ia berikan untukku. Ibu Mas Dito akan setiap saat datang hanya untuk meminta uang gaji anaknya dengan alasan arisan, pembayaran kuliah dan lainnya. Sehingga gaji yang di berikan oleh Mas Dito tidak pernah cukup untuk kebutuhan kami.

"Ternyata benar kata Ibu, kamu menantu yang suka memburuk-burukkan mertua! Aku telah salah memilih istri," hardik Mas Dito tak terima. Membuat perasaanku semakin sakit.

"Aku yang telah salah memilih suami, aku yang salah telah percaya janji mulut manismu, dan sekarang aku tidak mau menjadi wanita bodoh lagi! Ceraikan aku jika kamu lebih memilih dia!" Jariku menunjuk wanita yang masih setia berdiri diam, di depan pintu kamarku yang sedikit terbuka itu.

"Baik, kutalak satu siang ini engkau Indah Savitri! Sejak hari ini, kau bukan istriku lagi!" ucap Mas Dito lantang.

Ya Allah, begitu kejam lelaki yang kau berikan sebagai pendampingku ini. Begitu tega ia membuangku disaat aku telah memberikannya permata hati. Kuciumi bayi yang ada di pelukanku ini.

Jangan khawatir sayang, walau ayahmu tidak menginginkanmu, tapi Mama dan Nenek sangat menyayangi kamu, Nak.

🍀🍀🍀🍀🍀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status