MollyJay Bijou is a woman of almost 30 who works 3 jobs and has fewer friends, and as an orphan she has no family. Her life had been a perfect series of screw ups and disappointments, until an obnoxious stranger and his rowdy friends change all that. Werewolves from the moon? You have got to be joking...right? ***BOOK 1 COMPLETE**** Book 2: War of the Wolves will continue the story
Voir plusPukul sebelas malam pengunjung kafe masih ramai memadati ruangan. Muda-mudi yang kerap kali berkumpul bersama menghabiskan waktu, bahkan orang kantoran pun lebih memilih merilekskan tubuh dengan secangkir kopi di sini.
Kegaduhan di jalan raya sebentar lagi akan berangsur pudar, digantikan oleh kesunyian yang mengundang rasa kian mencekam. Erisca mengelap tumpahan minyak di atas meja kosong nomor sembilan. Mata gadis itu tak henti memandang sekeliling, menatap cowok remaja yang membuat dia kembali mengingat masa lalu kelam.
"Kapan dia balik?" batin Erisca. Tapi selepas itu dia menggeleng lemah. Percuma saja diharapkan, seseorang itu sudah menyakitinya dan tidak mungkin kembali.
Selesai membersihkan meja-meja kosong lainnya, Erisca beralih merapikan kursi karena sebentar lagi kafe akan tutup –menunggu pengunjung pulang. Jika tidak, mungkin orang-orang akan terus berdatangan sementara para pekerja di sini tentu perlu istirahat, termasuk Erisca.
"Mbak, kenapa kursinya malah diberesin? Udah tahu saya mau duduk! Ga becus banget, sih, jadi pekerja!" Cewek berpakaian minim menatap Erisca tajam, seolah menyatakan permusuhan.
Namun, Erisca bukan lawan sepadan. Cewek itu tidak bisa banyak tingkah di depan khalayak.
"Maaf, Kak, tapi kafe akan tutup lima belas menit lagi. Jadi saya beresin kursi dan mejanya agar pengunjung tahu jika kami tidak lagi menerima mereka, kecuali esok hari." Erisca menjelaskan dengan ekspresi lembut. Memang sudah semestinya bersikap baik walau hati tergores senjata tak terlihat alias perkataan.
"Wah ... wah ... wah .... Harusnya mbak bersyukur karena masih ada yang mau datang ke sini. Kalau enggak, mungkin kafenya udah bangkrut dan berdebu. Jadi, mbak mesti melayani saya karena pembeli adalah raja!" Cewek itu ngotot, bahkan ia tidak segan duduk sembari tumpang kaki layaknya juragan.
Sebisa mungkin Erisca tetap bersabar. Bukan sekali dua kali dia diperlakukan seperti ini. Oke, konsekuensi menjadi pelayan adalah direndahkan! Tapi jika tidak begini, Erisca akan mati kelaparan.
"Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Memang sudah peraturannya seperti itu. Percuma saja kakak duduk di sini, karena kami benar-benar akan tutup. Kecuali kalau kakak pesan makanan dibungkus, mungkin kami bisa melayaninya."
Tersenyum, tersenyum dan tersenyum. Mental lemah, hati rapuh, fisik lelah. Erisca dituntut untuk menjadi pribadi yang ramah, meski kenyataannya dia tidak terlalu pandai berekspresi.
"Saya tetep mau makan di sini! Se-ka-rang!" perintah cewek itu, sarkastik.
"Tapi, Kak, su–"
Plak!
"Jangan banyak omong! Cepetan bikinin saya makanan atau pukulan keras bakal melayang di pipi selanjutnya?!" Cewek itu mengancam, sementara Erisca hanya diam sambil menunduk.
Pengunjung yang hendak pulang pun sampai balik badan karena terkejut mendengar kegaduhan. Cewek itu ngos-ngosan, tangan mengepal kuat, keringat dingin bercucuran deras. Erisca mundur selangkah, menubruk tubuh seseorang. Sontak dia menoleh, mendapati pria tegap dengan rahang mengeras.
"Bakal saya adukan ke atasannya!" Cewek tadi mendesis, celingak-celinguk mencari ruangan pemilik kafe ini.
"Saya atasannya!" Pria berkemeja merah berjalan tiga langkah dari balik punggung Erisca. Urat-urat di tepian kening tampak keluar jelas. Ia marah, benar-benar marah!
"Pak, harusnya pekerja seperti dia tidak pantas diterima kerja di sini. Ada pelanggan, kok, malah ngusir. Lebih baik bapak pecat saja dia!" perintah cewek itu –lagi– seolah kafe ini adalah miliknya.
"Siapa kamu berani menunjuk saya?" Guntur berlagak sombong, memasukan satu tangan ke dalam saku celana.
Cewek yang hendak mengeluarkan perkataan pedas itu pun hanya bisa bungkam. Gigi atas dan bawahnya saling beradu dengan tekanan kuat. Ia juga sama-sama marah.
"Lebih baik anda pergi sebelum saya bertindak jauh." Guntur mendesis, tatapan tajamnya membuat siapa pun merasa waswas.
"Kalian sama-sama gak profesional! Saya nyesel datang ke sini!" Cewek itu pergi dengan hati dongkol. Sepanjang jalan sampai keluar dari kafe, ia menghentakkan kakinya karena kesal.
"Kamu baik-baik aja?" Guntur membalikkan tubuh Erisca dengan gerakan gesit sampai cewek itu terkejut.
"Saya enggak apa-apa, kok, Pak," balas Erisca, hendak berlalu, tapi Guntur malah meraih tangannya.
"Tapi pipi kamu merah." Perlahan Guntur mengelus pipi kanan Erisca penuh kasih sayang.
Erisca mematung, tidak percaya jika Guntur akan memperlakukannya seperti itu. Sudah lama hati tak tersentuh getaran ajaib. Tapi kali ini dia merasakannya lagi.
"Kita obati." Tanpa permisi Guntur menarik pelan Erisca menuju ruangan khusus yang ada di belakang kafe.
Guntur memang baik serta pandai. Ia sengaja menyiapkan dua ruangan luas dan bersih untuk para pekerja. Di sana juga disediakan lemari sebagai wadah pakaian, alat solat, atau obat-obatan.
"Sebentar, saya ambil dulu air hangat." Guntur berlalu keluar sementara Erisca sudah duduk manis di atas sofa empuk.
Sepeninggal pria itu, Erisca memegang pipinya. Kenapa Guntur sangat baik? Padahal dia tidak terluka parah. Aneh bin heran, Guntur berwatak tegas kepada siapa saja. Tapi mengapa hanya Erisca yang diperhatikan?
"Jangan banyak bergerak, biar saya kompres dulu lukanya supaya cepat pulih." Guntur mengusap pipi Erisca menggunakan handuk super halus. Dalam wajah tersirat kekhawatiran yang begitu kentara.
Erisca dibuat bertanya-tanya oleh tingkah pria itu. Apakah ia menyukainya? Atau hanya kasihan saja?
"Lain kali kalau ada pelanggan sewot kayak tadi, kamu pergi dan temui saya. Jangan diladeni karena kamu juga yang bakalan sakit." Guntur sangat fokus mengobati pipi Erisca. Meski tak ada luka berat, tetapi tampak memerah bagai pewarna wajah.
Dulu kala, ada satu orang yang selalu bisa memulihkan kesakitan. Orang itu adalah penolong di saat kesusahan berkunjung ke dalam jiwa dan raga. Baik Erisca mau pun Guntur saling melempar pandang. Mereka kembali mengingat masa lalu.
Dari atas sampai bawah, tubuh Erisca bagai disengat listrik saat tiba-tiba Guntur memajukan wajahnya. Jika ada yang mendorong, mungkin mereka sudah menyatu. Tapi untung saja Erisca lebih cepat menghindar hingga kejadian terlarang tidak terlaksana.
"Em ... maaf, saya gak bermaksud seperti itu. Tadi saya hanya–"
"Gak apa-apa, Pak. Lebih baik saya ke depan lagi, soalnya ada beberapa meja yang belum diberesin." Erisca mengelak. Dia berjalan keluar ruangan, tapi Guntur menghentikannya.
"Kamu marah?" tanya Guntur, khawatir jika Erisca akan berubah drastis karena kejadian tadi.
"Oh, enggak, kok. Saya cuma kaget aja." Menunduk malu, menggigit bibir bawah karena dia mendadak grogi.
"Oke, sekali lagi saya minta maaf. Sekarang kamu boleh ke depan buat beresin kafe. Nanti setelah itu kita pulang bareng." Tanpa menunggu persetujuan, Guntur kembali memasuki ruangan lantas menutup pintu.
Erisca semakin bingung. Tapi akhirnya dia tersadar saat salah satu cewek imut menepuk pundak, "Ayo, kerja! Malah ngelamun." Erisca terkekeh pelan. Mereka berjalan bersamaan ke depan untuk bergabung dengan yang lain.
Sementara itu, ada jantung yang berdetak hebat akibat tatapan lembut seorang karyawan. Guntur memukuli kepalanya sendiri, berusaha menghilangkan getaran dalam dada agar bisa bersikap normal.
Setelah pudar kegelisahannya, Guntur dapat bernapas lega.
******* I will upload Chapter 1 under Legacy of the wolf but it will be a seperate book, Legacy of the wolf: War of the Wolves******** The haunted sounds of a wolf's broken-hearted song lit up the darkness inside Dante’s mind, just like it had done every night since he left his mate asleep in their bed almost a year ago. Dante turned his head on a swivel in the obscurity, even though he knew he was still asleep. “Why do you do this to me every night, Theo! Do you enjoy torturing me?” Dante spat the words into the darkness and was only answered by the forlorn echo of a pathetic whimper as Theron’s vast body sulked into view. The normally large majestic beast now looked ragged and old, his head hung low between his shoulders and the wolf walked with such an exaggerated bow in his back that his knuckles drug the ground like lifeless attachments, “you torture us all, ignorant boy.” Dante scowl
In the months following Dante’s leaving the pack Mj learned he surrendered himself to Alpha Talia as a peace offering for the pack member Mj killed in the challenge, and that she had not only accepted his offer but had agreed to make him the Alpha after their mating bond.Mj had kept herself busy in the kitchens, pulling every shift she could to fill her days. She tried several times to pack her clothes and ask Azreal to move to a different room but she just couldn't tear herself away from the fading scent that still lingered, and as much as it broke her heart to be near him she couldn't make herself leave him the way he left her.Mj no longer sat at the Alpha’s table for meals she simply ate between kitchen shifts, the only time she saw any of the other hunters was during training and even then she would be cordial dur
Mj knew the guest house was code for a dungeon or prison but she had not expected it to actually be underground, Azreal had opened a door in the ground surrounded by bushes and guards with spot lights lining the perimeter. The hatch had led them down a stone staircase to a galley hallway that had singular cells lining it, the doors were metal with small slit windows and the entire place felt cold, as Mj reached out to touch a door Azreal grabbed her hand, “mercury and silver Mj...I wouldn't unless you wear gloves.” Mj pulled her hand back and Azreal motioned toward a room at the end of the galley, “she is behind the door on the end,” Mj took a few steps forward and Azreal touched her shoulder, causing her to turn her head to look at him. “She was part of this pack Mj, and she betrayed us all...her fate is upon you little sister, it was agreed by the pack as a whole.” Mj looked at Azreal and then be
Dante caught up to Mj quickly and although he could see the tears streaming from her face as they ran he didn't try to stop her, he could feel her desperate anger and hurt, the feeling surprised him a little because Mj had not been brought up on the stories of wolves but she still felt such an intense connection to her own ancestors she was grieving them now. After running for almost three miles Mj’s sprinting came to a slow stop and she turned around, burying her face into Dante’s chest. Mj wrapped her arms around his waist and cried silently into the hollow of Dante’s torso before she leaned back and let a blood curdling howl explode from her chest. Dante squeezed her tightly and they both looked toward the slumbering moon before releasing another cry to the listening sky above. Dante pulled Mj back into his chest and kissed the top of her head, “
**TRIGGER WARNING**Some of the events discussed in this chapter are NOT fictional and are extremely violent, reader beware Dante gingerly opened the door to his room and the crisp chirp of the first birds of the morning made it painfully clear he had been gone all night. After shutting the door he turned and his heart sank into his feet, Mj was asleep on his side of the bed with a book splayed open in one hand and his pillow clutched tightly to her chest with the other. Dante toed off his shoes and softly padded toward the bed with his prize held gingerly between his fingers, as Dante approached the bed he lifted his hand and began to stroke Mj’s face gingerly with a few white long stem lilies. The soft white curved flowers brushed across Mj’s cheek and she smiled slightly as a satisfied hum left her throat and she curled tighter Dante’s pillow, he
Briella did not need much time to corroborate the intruders story, they were also able to keep her identity a complete secret by simply blindfolding him while Dante and Lila rattled off questions they had already asked him twenty or so times and waiting for Briella to either nod her head yes that he was calm and truthful or shake it no that his thermal temperature gave away dishonesty or fear. After about half an hour of back and forth Lila began to sway on her feet and sigh with fatigue, Mj slid her hands underneath Lila’s elbows and leaned her chest into the Beta’s back. Lila hummed in appreciation as she leaned into her newest pack member to relieve some of the pressure on her feet, “would it be weird if I offered to be your chair.” Mj almost whispered in her ear and Lila pursed her lips as she hummed small giggles. “Normally I would say don't worry about me, bu
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Commentaires