Share

Legenda Bumi Langit
Legenda Bumi Langit
Author: Fariha

Pengasingan

Siang hari di Pulau Labodia terasa canggung. Teriknya sinar matahari tak bisa dirasakan. Awan mendung hitam yang bergulung-gulung di langit menutupi pancaran sang surya.

Di jalan-jalan pulau yang merupakan wilayah Kerajaan Tanah Barat itu, penduduk ramai membicarakan kelahiran seorang pangeran. Bayi yang ditunggu-tunggu itu telah lahir. Seorang bayi laki-laki, anak bungsu Sang Maharaja Gantara.

Akan tetapi, berbeda dengan suasana gembira yang menyelimuti perasaan segenap rakyat, istana justru dipenuhi ketegangan semenjak kelahiran bayi tersebut. Pasalnya, pangeran yang baru dilahirkan Ningrum, Sang Permaisuri, membawa cacat pada kakinya.

"Tuan Raja, apakah keputusan Tuan sudah bulat?" tanya Ningrum pada Gantara hari itu.

Sang Permaisuri tengah mempertanyakan niat suaminya. Ia dapat memaklumi jika Maharaja Kerajaan Tanah Barat itu merasa menanggung aib besar atas kelahiran si bayi. Tapi sebagai ibu, rencana Gantara tak mungkin ia setujui begitu saja.

"Ya, walaupun sudah berusaha mencoba menerimanya selama dua purnama, rasanya aku tak tahan lagi dengan keadaan anak ini!" sahut Gantara dengan ketus.

Dengan perasaan memelas pada bayinya, Ningrum coba membujuk sang suami agar membatalkan niatnya.

“Tapi dia masih terlalu kecil, Tuan. Tidakkah kau merasa kasihan padanya?" kata Ningrum yang masih mempunyai tabiat lebih baik dari suaminya.

"Tidak, Ningrum! Aku sudah benar-benar muak dengan anak itu. Lagi pula, sejak kapan aku punya rasa kasihan?” sahut Gantara, tetap dengan nada sinis.

Ningrum menghela napas panjang. Wanita itu tahu benar watak suaminya. Keras, tak bisa dibantah, serta segala ucapannya harus dituruti.

Tapi yang membuat Ningrum tak habis pikir, keputusan Gantara kali ini menyangkut kehidupan darah dagingnya sendiri. Mengapa bisa seorang ayah membuat keputusan yang begitu kejam untuk anaknya sendiri?

Bagi Ningrum sendiri, anak tetaplah anak tidak peduli bagaimana pun keadaannya. Kasih sayang seorang ibu pada anaknya bagaikan udara. Tak akan pernah habis meskipun dihirup oleh semua makhluk hidup yang ada di dunia.

“Baiklah, Tuan. Jika memang itu sudah jadi keputusanmu, ijinkan aku turut bersama. Agar tetap bisa mengurusnya. Bayi ini masih butuh minum susu dariku,” kata Ningrum lagi, coba memberi penawaran lain.

Gantara mendengus tidak senang mendengar ucapan sang isteri.

“Tidak! Kau hanya akan ikut mengantar, tapi akan kembali ke istana ini. Dan ingatlah, hanya kau dan aku yang mengetahui tentang hal ini!" Gantara tetap mengelak, dan teguh pada pendiriannya.

Kemudian sambil menatap sinis bayi mungil di depannya, lelaki itu pergi meninggalkan kamar terlebih dahulu. Namun baru saja Sang Maharaja sampai di ambang pintu, terdengar isterinya berteriak memanggil.

"Maaf, Tuan, aku tidak bisa mengikuti keinginanmu!" seru Ningrum sembari mengejar kepergian suaminya.

Gantara menggeram murka. Tapi ditahannya amarah yang mulai menggelegak itu.

"Omong kosong! Cepatlah berkemas dan kita pergi sekarang juga!" bentaknya.

Ningrum menggeleng. Bayi mungil dalam gendongannya dipeluk erat-erat.

"Tidak, aku tidak mau pergi denganmu!" sahut Sang Permaisuri.

Mendengar perkataan Ningrum, Gantara langsung mendekat. Sebelah tangannya terangkat tinggi-tinggi, lalu ....

Plak!

Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi sang Permaisuri.

"Jika kamu tak bisa pergi denganku, maka aku akan pergi sendiri!" geram Gantara. Kedua matanya melotot dan memerah.

Kemudian dengan kasar Gantara mencoba merebut bayi dalam gendongan Ningrum. Tentu saja Ningrum menolak memberikan. Ucapan suaminya barusan memunculkan bayangan-bayangan ketakutan tentang apa yang akan terjadi pada si bayi.

Wanita itu memikirkan keselamatan bayinya. Ia tidak yakin suaminya bakal memperlakukan bayi itu dengan baik. Gantara sangat benci pada si jabang bayi.

"Baiklah, aku akan ikut denganmu!" putus Ningrum dengan terpaksa.

Sang Permaisuri tidak ingin terjadi hal buruk pada si bayi. Karena itu ia memilih ikut pergi. Meski di dalam hatinya begitu sedih. Bayi yang baru berusia dua purnama itu sudah harus berpisah dengannya.

Tanpa mempedulikan kesedihan isterinya, Gantara segera mengajak Ningrum pergi ke suatu tempat. Mereka hendak membawa si bayi ke suatu daerah terpencil, lalu meninggalkannya di sana.

Ya, Gantara ingin membuang jauh-jauh bayi cacat yang baginya hanyalah sebuah aib tersebut.

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
opening yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status