"Sejak kapan kau berani menentangku!" bentak Gantara. Lelaki itu langsung mendekati Ningrum dan berniat melayangkan telapak tangan untuk yang kedua kalinya. Sebelum tangannya mendarat di pipi sang isteri, sesuatu tak terduga datang begitu saja seakan mengalihkan perhatian Gantara.
Bugh!
Tiba-tiba sebuah benda asing melesat ke arah Gantara, lalu membentur tubuhnya. Dan lelaki itu terguling hingga beberapa depa.
Sebelum sang bayi menyentuh tanah, dengan sigap Ningrum segera bergerak secepat kilat. Kemudian ia membawa pergi bayi itu dengan menggunakan caranya sendiri, walaupun suatu bahaya telah menantinya.
Melalui dimensi ruang hampa, Ningrum pergi bersama bayinya. Sebuah lubang hitam yang terbentuk dari kumpulan bambu ciptaannya.
Ningrum mendapatkan kekuatan itu dari seorang petapa yang masih hidup dan merupakan teman dekat kakek buyutnya.
Alasan petapa itu memberikan sebuah kekuatan, karena ia mengetahui bahwa suatu saat nanti Ningrum akan membutuhkannya.
Namun kekuatan dari petapa itu harus dibayar mahal dengan beberapa risiko yang akan terjadi.
Diantara risikonya itu ialah, Ningrum akan terjebak dalam dimensi hampa untuk selama-lamanya. Kemudian jika ia berhasil keluar dari dimensi itu, maka separuh kekuatan akan hilang dan ilmu tenaga dalamya tak akan bisa digunakan dalam waktu yang cukup lama.
"Sial, benda apa itu?" cibir Gantara sambil membersihkan tubuhnya dari kotoran tanah.
Anehnya tak ada sesuatu pun yang bisa terlihat setelah kemunculan benda asing itu, begitu pun dengan Ningrum. Wanita itu seakan hilang dari hadapan Gantara.
"Kemana mereka?" Gantara mencoba mengedarkan pandangan ke setiap sudut hutan, tapi hanya semak belukar yang ia lihat.
"Kurang ajar! Ternyata ... benar juga yang dikatakan penasehat kerajaan! Wanita dan anak itu memang suatu ancaman bagi Istanaku!"
Ancaman?
Bukankah usia pernikahan kalian sudah berumur sekian lama? Mengapa tiba-tiba mengatakan isteri sendiri sebagai ancaman?
***
1 tahun lalu, di saat kerajaan memperingati sebuah pesta tahunan. Tiba-tiba keramaian istana terganggu dengan kedatangan 2 orang pendekar yang mengenakan topeng di wajahnya.
Kedatangan 2 orang itu seakan mengejutkan sang raja dan seluruh isi Istana. Terutama setelah mereka mengatakan sebuah ramalan peringatan.
"Paduka Raja, sebentar lagi negeri kita akan mendapatkan petaka besar. Tapi itu tak akan terjadi, jika kerajaan ini memberikan sebuah persembahan untuk para arwah leluhur!" pekik seorang pria bertopeng dan mengenakan jubah hitam.
"Apa maksud kalian?" sahut Gantara. Kemudian ia berdiri dari kursi singgasananya lalu melipat tangan di dadanya.
"Persembahan paduka! Hanya itu yang bisa menyelamatkan negeri ini. Jika tidak, beberapa malapetaka akan menimpa kita semua!"
"Kalau pun memang benar apa yang kalian katakan, berikanlah aku sebuah bukti untuk dapat meyakini semua itu!"
"Baiklah ... dalam waktu dekat ini, akan terlahir seorang bayi yang mempunyai kelainan pada dirinya. Jika bayi itu sudah ada di tengah-tengah kita, maka siapa pun harus membunuhnya!"
"Hmp bayi ... bagaimana jika itu merupakan keturunanku?"
"Sama saja, ia harus segera dimusnahkan atau dipersembahkan pada arwah para leluhur!"
"Hahah, bodoh. Sudah jelas itu tak akan terjadi padaku!" seloroh Gantara.
Begitu mantap keteguhan hati lelaki ini, ia seakan percaya diri bahwa suatu ramalan bukanlah masalah besar bagi negerinya.
"Selain ini, apa maksud kedatangan kalian ke mari?" lanjut Gantara.
"Kami berdua, menginginkan paduka menerima kami sebagai penasihat kerajaan! Andai pun tak berkenan, maka ... jangan salahkan kami jika bencana benar terjadi pada negeri ini!"
"Baiklah aku akan menganggap kalian sebagai penasihat kerajaan ku. Tapi jika selama 2 tahun ke depan tak ada bayi aneh terlahir seperti ramalan kalian. Itu artinya, kalian bukan penasihat kerajaan ku lagi!" tutur Gantara dengan keteguhan hatinya.
Semua rasa percaya dirinya bisa timbul, karena isterinya memang sedang tidak dalam masa kandungan.
Jadi sudah dipastikan bahwa bayi aneh yang diramalkan 2 orang bertopeng itu bukanlah keturunannya. Andai kata bayi aneh itu terlahir ke muka bumi, maka sang raja tak akan segan untuk menghabisinya karena itu merupakan bayi orang lain.
Setelah kesepakatan antara Gantara dan 2 orang yang masih belum diketahui dari mana asalnya. Sang Raja segera membubarkan pesta yang tengah diselenggarakannya.Hampir satu pekan penuh, Gantara memikirkan ucapan yang berbentuk ramalan itu. Terkadang ia ragu dan tak percaya, tapi sewaktu-waktu kegelisahan datang menghantuinya.Walaupun sang permaisuri tidak dalam masa kandungan. Namun entah mengapa firasat dari hati terdalam sang raja, seakan mempunyai pendapat lain."Mengapa aku harus memikirkan omong kosong itu?" bisik Gantara pada dirinya. Selama satu pekan juga, Gantara lebih memilih untuk menyepi. Firasat buruk dalam batinnya seakan makin menjadi.Beberapa orang yang memang berniat menemui sang raja kala itu, terpaksa harus menundanya. Sebab Gantara telah memberi perintah kepada pengawal pribadinya, supaya siapapun yang hendak bertamu ke istana agar di pulangkan saja dan kembali lagi dilain kesempatan.Tak terasa, seiring berjalannya waktu
Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu. Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi. Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian. Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini. "Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu
Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik."Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.Dado merupakan seorang
Saat puluhan tentara kerajaan tiba di Desa Purbawati. Mereka langsung menyebar dan menghampiri rumah para penduduk. Hal itu dianggapnya bisa menghemat waktu. Setiap rumah di datangi 2 tentara saja.'Inikah kesatria yang sering kakek ceritakan?' gumam Sadarga dalam batinnya. 2 pria dewasa saat ini tengah mendekatinya.Di setiap pelosok Negri, para kesatria seakan terlahir dengan sendirinya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki ilmu bela diri, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.Kemudian, para Kesatria itu terbagi menjadi 2 golongan. Sebagian bergolongan putih, sebagian lagi bergolongan hitam. Para Kesatria di golongan putih, pasti mempunyai watak kepribadian yang baik, mereka selalu bersedia melindungi sesamanya. Tapi, para Kesatria di golongan hitam mempunyai watak sebaliknya. Mereka lebih condong mempunyai watak jahat.Kesatria golongan hitam sering menggunakan kemampuannya untuk mencari keuntungan sendiri, terkadang mereka merampas hak
"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!""Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga."Hem
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Nak, sepertinya tempat ini lumayan aman," ucap Tanu sembari menurunkan Sadarga yang masih dalam gendongannya. "Ia, Kek!" sahut Sadarga. "Sebaiknya kita istirahat sejenak di tempat ini ... karena perjalanan kita tak akan ada akhirnya!" ucap Tanu dengan nada semakin pelan. Kakek tua itu segera membaringkan tubuh pada tanah yang di pijaknya. "Hah, tak ada akhir?" tanya Sadarga penuh penasaran. Mungkin dari tadi bocah itu menunggu kepastian, kemana tujuan Tanu sebenarnya? "Oh, tidak! Maksudku kita tak tahu arah tujuan kita," celetuk Tanu yang menggaruk kepalanya walau tak gatal. Namun kepekaan Sadarga nampaknya lebih dewasa dari usianya. Bocah itu seakan menyadari bahwa Tanu sedang menyembunyikan sesuatu. "Ayolah Kek! Jangan anggap aku masih kecil. Sebenarnya aku selalu mencurigai ibu dan Kakek. Tapi aku menunggu waktu untuk menanyakan kecurigaan itu pada kalian," cela Sadarga dengan alis mata naik sebelah. Sorot mata Sada