Sekarjati selesai membersihkan badannya tengah bersantai di halaman belakang sembari melihat pohon beringin begitu rindang menambah kesejukan. Ia teringat akan Ranggalawe yang telah membantunya pergi ke puncak bukit Kendanamirah hingga membuatnya bertemu dengan Rara Lembayung Ijo.
"Ada makanan dari Bu Lasmi," ucap Sastra tiba-tiba muncul menunjukkan rantang baru yang dibawanya.
Sekarjati beranjak berdiri menghampiri Sastra dan keduanya menyiapkan keperluan alat makan. Mereka duduk berhadapan di ruang meja makan setelah semuanya siap. Aroma dupa harum membuat Sekarjati tersenyum tipis menatap Sastra.
"Sepertinya kamu telah meniru kebiasaanku untuk menyalakan dupa pengharum ruangan," ucap Sekarjati tertawa kecil.
"Aku mulai menyukai aroma dupa. Mungkin karena aku selalu berada di dekatmu," balas Sastra.
Keduanya makan dengan lahap untuk beberapa saat. Sastra menyelesaikannya terlebih dahulu membuat Sekarjati menggelengkan kepalanya heran.
"Sepertinya laki-laki ditakdirkan untuk makan begitu cepat dibandingkan perempuan, " balas Sekarjati dengan nada bercanda.
"Mungkin begitu," ucap Sastra menangkat bahunya tanda tak tahu.
Sekarjati tak begitu serius menaggapi balasan Sastra. Ia mengumpulkan alat makan kotor untuk di bawa ke belakang dan dicuci mengabaikan Sastra yang tengah menyanyi tak begitu jelas. Sekarjati berjalan hingga ke pelataran sumur. Pikirannya teringat akan kejadian Sastra kesurupan pada saat magrib tiba.
"Aku tak boleh membiarkan pikiranku kosong," ucap Sekarjati mengambil spons menuangkan sedikit sabun cuci piring dan mulai membersihkan peralatan makan yang digunakannya.
Waktu berlalu dan suasana menjadi begitu hening menyisakan hembusan angin sepoi-sepoi menerpa Sekarjati.
Tes..... Tes.... Tes....
Sekarjati mengerutkan dahi nya ketika mendengar suara tetesan air yang begitu jelas terdengar dan sangat dekat. Ia melihat sekelilingnya menghentikan aktivitas nya mendengarkan lebih seksama suara tetesan air beranjak berdiri mengikuti arah suara menempelkan telinga nya pada dinding pembatas sumur memastikan pendengarannya tak salah.
"Suaranya berasal dari dalam sumur," gumam Sekarjati.
Dengan rasa penasaran ia mengintip ke dalam sumur ketika suara tetesan air berubah menjadi gemericik yang tak lama kemudian Sekarjati beteriak nyaring hingga tanpa sadar kaki nya terpeleset oleh air sabun cucian nya masuk ke dalam sumur. Refleks tubuhnya begitu bagus ketika tangannya langsung meraih tali pengikat timba kemudian kakinya berpijak pada dinding sumur.
"Sastra.......!!!!!!!" teriaknya lantang.
Jantungnya berdetak kencang dan nafasnya memburu. Peluh membasahi seluruh tubuhnya ketika kematian berada di depan matanya. Suara gemericik air kian terdengar jelas menggema di dalam sumur membuat Sekarjati memejamkan matanya tak berani untuk melihat ke bawah.
"Kenapa kamu tak ingin melihatku? Kita sama-sama cantik bahkan seperti saudara," ucap seorang wanita dengan suara lembut mengalun tampak seperti tengah menggoda.
Sekarjati mengabaikan suara sosok perempuan tersebut berusaha memanjat menggunakan tali sembari menggerakkan kakinya layaknya tengah memanjat tebing. Terdengar tawa menggema di dalam sumur yang begitu dalam.
"Sekarjati! Tatap wajahku!" ucap wanita tersebut dengan nada marah.
Teriakan nyaring Sekarjati kembali terdengar ketika wanita mengerikan muncul tepat di depan wajahnya dengan air liur menetes mengenai wajahnya sendiri mengalir turun. Rasa jijik muncul di dalam hati Sekarjati begitu melihat sosok mengerikan seperti binatang aneh mengeluarkan air liur berbadan manusia dengan bagian bawahnya merupakan ekor ular hijau.
"Apakah kamu lupa denganku?" ucap wanita tersebut merubah wujudnya menjadi sosok yang pernah ditemui oleh Sekarjati hingga membuatnya tercengang.
"Bagaimana bisa kau ke luar dan melewati pembatas rumah ini!!" ucap Sekarjati beteriak melawan rasa takut dan putus asa.
Tenaganya hampir habis ketika tangannya mulai megendur hingga membuatnya terperosot lebih dalam. Wanita misterius yang dimaksud Sekarjati tak lain adalah Rara Lembayung Ijo yang sekarang tengah menggoda Sekarjati.
"Karena kamu yang datang ke rumahku maka penghalang itu melemah hingga aku bebas ke luar masuk," ucap Lembayung Ijo tertawa pelan mencengkeram dagu Sekarjati menjilati wajah nya menggunakan lidah panjang miliknya.
"Tidak! Kamu hanya berpura-pura ketika aku datang. Bukan aku yang membuat melemahkan penghalang ghaib melainkan orang lain!" balas Sekarjati membela diri. Ia menyadari ketika pertama kali kedatangannya di rumah ini telah merasakan hawa yang mirip dengan apa yang dimiliki Lembayung Ijo.
Tawa menggema begitu menyenangkan ke luar dari mulut Lembayung Ijo yang kemudian dirinya menempel ke dinding sumur menggunakan tangan binatang serta ekor ular milinya merangkak begitu cepat mengelilingi sumur mengintimidasi Sekarjati.
"Aku tak bisa meraih liontin ku," batin Sekarjati memaki dirinya sendiri atas ketidakberdayaan yang dialaminya.
"Pergi!!" ucap seorang laki-laki dengan murka meledakkan auranya mencengkeram leher Lembayung Ijo ketika hendak melompat menjatuhkan Sekarjati.
Langkasuma dengan murka mencengkeram erat leher Lembayung Ijo menekan menggunakan kekuatannya.
"Langkasuma!!" ucap Lembayung Ijo terbata-bata dengan sorot mata senang melihatnya.
"Aku tak berharap yang datang adalah dia."
"Wanita gila! Jangan harap kau lolos dari ku," balas Langkasuma melesat ke luar dari dalam sumur melemparkan Lembayung Ijo ke halaman yang seketika berubah menjadi wujud manusia nya.
Sastra datang dengan wajah panik berteriak memanggil nama Sekarjati yang kemudian mendapatkan balasan dan segera melihat ke dalam sumur mendapati Sekarjati yang sudah kelelahan berjuang sekuat tenaga menggenggam tali. Sastra segera menarik tali secepat mungkin membawa Sekarjati naik ke atas. Usahanya membuahkan hasil ketika Sekarjati berada dalam pelukannya dalam keadaan kelelahan. Sastra menoleh ke samping melihat Langkasuma dan Lembayung Ijo yang ternyata diperhatikan oleh Sekarjati.
"Apakah kamu bisa melihatnya?" tanya Sekarjati.
"Tidak," balas Sastra singkat menggendong Sekarjati masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana kau bisa ke luar dari alam Kendanamirah!" ucap Langkasuma dengan nada tinggi.
Lembayung Ijo tertawa pelan berjalan melenggak-lenggokkan tubuhnya mengedipkan matanya menggoda Langkasuma.
"Karena seseorang membebaskanku. Semakin dia mencari tahu maka semakin besar bahaya yang datang bahkan aku yakin kau tak mampu menghadapinya," ucap Lembayung Ijo
"Siapa orang yang kau maksud," balas Langkasuma mencoba memastikan sesuatu.
"Seorang pria tampan yang begitu mempesona memancarkan hawa yang memabukkan. Sangat disayangkan dia telah menjadi milik seseorang yang bahkan aku sendiri tak berani untuk merebutnya," ucap Lembayung Ijo tersenyum.
Pak Ardira berlarian kecil kembali ke desa Nglimputan. Pemakaman telah usai dan monumen makam massal telah terpasang. Ia mencari-cari pusaka tombak dan keris di sekeliling nya dengan gelisah. "Apa yang kau cari wahai manusia," ucap seorang wanita yang seketika membuat Pak Ardira tersentak kemudian menoleh. "Sri Dyah Durgamaya," ucapnya pelan. Durgamaya berjalan mendekati Pak Ardira yang tak bisa bergerak entah karena apa. Jarak keduanya begitu dekat hingga nafas memburu terdengar begitu jelas. "Kau bukan berasal dari zaman ini," ucap Durgamaya membuat Pak Ardira terkejut. "Kau mengetahuinya?" balas Pak Ardira memberanikan diri untuk berbicara. "Tentu saja. Kembalilah ke tempat di mana kau berada dan jangan pernah ikut campur urusan ku dimari," ucap Durgamaya tersenyum kemudian tertawa tipis. Pak Ardira terdiam ditempat seakan-akan takut untuk bergerak menarik perhatian wanita iblis di depannya itu. Durgamaya tersenyum berjalan menjauhinya melihat makam massal membuatnya
Pak Ardira dan sang sopir masuk ke dalam setelah dipersilahkan. Mereka duduk di kursi anyaman rotan menunggu Ki Wahyu Prabawa segera kembali. "Siapa gerangan yang menemui ku saat ini?" tanya Ki Wahyu Prabawa. "Saya Ardira dari Balai Warisan Nusantara dan sopir saya Siswo" Ki Wahyu Prabawa menganggukkan kepalanya menuangkan air dari dalam kendi menyodorkannya kepada Pak Ardira dan sang sopir Siswo. "Minumlah, kalian telah jauh-jauh datang dari Jakarta kemari," ucapnya dengan senyuman tulus. Keduanya minum air dari gelas merasakan dahaga yang terpuaskan oleh air segar pegunungan. Pak Ardira kembali membuka topik pembicaraan kedatangannya kemari. "Aku tahu seseorang akan datang kemari dan oleh karena itu aku menyambut Anda," ucap Ki Wahyu Prabawa. "Syukurlah Anda tahu kedatangan saya dan berharap mendapatkan penjelasan mengenai kejadian malam itu," balas Pak Ardira. Ki Wahyu Prabawa menghela nafas panjang mengingat kejadian kelam pembantaian satu desa pada malam itu. "
Pak Ardira turun dari mobil berjalan menuju ke arah hutan tempat desa Nglimputan berada. Dengan mengenakan sepatu yang telah dibungkus plastik dan membawa payung hitam dirinya melewati barikade polisi yang mempersilahkannya masuk. Ia berjalan dengan tatapan datar melewati jalan satu-satunya menuju desa. Panggung wayang basah oleh hujan dan darah dari para penduduk desa mengalir mengikuti arus air hujan. "Benar-benar kejam," gumamnya melihat evakuasi mayat warga yang dilakukan relawan medis dan kepolisian untuk dimakamkan secara masal. Lubang besar telah digali dan mereka dimasukkan satu per satu ke dalamnya setelah dibersihkan. Pak Ardira mendekat melihatnya yang kemudian dihentikan oleh kemunculan seorang polisi. "Pak Ardira," ucap polisi tersebut ramah mengenali sosok di depannya. "Pak Angga yang menangani kasus ini?" balas Pak Ardira. "Benar. Saya yang menangani kasus pembantaian desa Nglimputan. Lama tidak bertemu dengan Pak Ardira," jawab Pak Angga sembari tersenyum.
Keesokan paginya berita akan pembantaian di desa Nglimputan termuat dalam media nasional. Kehebohan terjadi dan berbagai asumsi beredar di masyarakat. Pihak berwenang belum mengkonfirmasi motif pembantaian yang terjadi. Para jurnalis dari ibukota meluncur ke tempat kejadian mencoba menggali informasi langsung dari pihak kepolisian. Garis polisi membentang di tempat perkara dan para jurnalis mengenakan sepatu yang dilapisi plastik agar tidak menganggu ataupun mengubah tempat perkara. Sedangkan Sekarjati tengah dirawat di rumah sakit daerah kabupaten menjalani perawatan intensif dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Balai Warisan Nusantara. Bapak Ardira tengah duduk di ruangannya melihat berita yang tengah menyiarkan tayangan langsung dari tempat perkara dikejutkan dengan kemunculan Bu Paramita yang masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. "Pak! Semua ini di luar prediksi kita. Sekarjati tak sadarkan diri dan Sastra menghilang entah kemana. Kementrian menutup paksa renacana pe
"Kita bertemu kembali saudaraku," ucap Durgamaya tersenyum senang.Kemunculannya bersamaan dengan Sastra dan para pengikutnya. Langkasuma segera menarik Sekarjati untuk tetap berada di dekatnya."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sekarjati."Nyawamu," jawab Durgamaya melotot tajam dan tertawa pelan."Jangan libatkan warga desa dalam rencana busukmu itu!" bentak Sekarjati yang langsung mendapatkan respon buruk dari Durgamaya berupa tekanan kuat begerak ke arah Sekarjati kemudian pancaran cahaya emas melindunginya.Liontin merah melayang memancarkan cahayanya yang seketika membuat mereka mengerang kesakitan. Durgamaya mengepalkan tangannya menahan amarah begitu melihatnya."Pilihanmu hanya menyelamatkan mereka atau kau mati," ucapnya memberikan ancamannya."Aku memilih mati," jawab Sekarjati tegas.Langkasuma yang melihat tekad Sekarjati mengerutkan keningnya dengan kecepatan kilat menyentuh kening Sekarjati membuatnya pingsan."Baiklah. Pertempuran kali ini benar-benar di luar bayan
"Siapa kau?" ucap Sekarjati dengan nada ketakutan. "Aku Bhatara Kala Mandrapati sang Raja Kegelapan. Bukankah lakon ini dipersembahkan untukku?" ucapnya tertawa keras berjalan menuju ke arah panggung berdiri di belakang sang dalang kemudian duduk yang seketika membuat tubuh sang dalang bergetar memegang wayang kulit tokoh Bathara Kala dengan erat. Suara gamelan kian keras terdengar dan para penabuhnya memainkannya begitu keras bertempo cepat. Sang dalang tertawa dengan suara beratnya menggerakkan tokoh Bathara Kala begitu lihai. Sekarjati beranjak berdiri ketika menyadari aura negatif begitu kental mengelilinginya. "Aku kelaparan dan membutuhkan makanan dan kalian semua adalah makananku," ucap sang dalang tertawa keras menancapkan wayang kulitnya begitu keras kemudian beranjak berdiri menatap semua orang dengan senyuman misterius. "Wahai pengikut setiaku. Datanglah kemari nikmati hidangan terbaik kalian," ucapnya lantanng terdengar merentang kedua tangannya yang seketika puluhan m