Beranda / Horor / Legenda Bunga Wijaya Kusuma / Semuanya Memiliki Alasan

Share

Semuanya Memiliki Alasan

Penulis: yoga surendra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-17 21:51:03

Sastra terlihat bingung ketika ekspresi Sekarjati yang terlihat senang dan terkesan berlebihan hingga ingin memeluknya.

“Eits... Stop!” ucap Sastra yang seketika menyadarkan sikap berlebihan dari Sekarjati.

“Maaf,” ucapnya canggung 

Sekarjati kembali duduk melihat Sastra yang tengah berdiri di depan pintu membawa air hangat sembari menghirup udara segar. Kebingungan terlintas di dalam pikirannya ketika melihatnya yang seperti tak ada kejadian aneh dialaminya sebelumnya.

“Kita kembali ke Jakarta,” ucap Sastra yang seketika membuat Sekarjati spontan terkejut dibuatnya.

“Kenapa?” tanya Sekarjati bingung.

“Rahasia telah diketahui dan tugas kita selesai,” jawab Sastra yang seketika mendapatkan respon penolakan.

“Tidak! Aku tidak setuju untuk kembali sebelum ditemukannya prasasti penguat keberadaan Kerajaan Lintang Pethak yang tidak tercatat dalam sejarah Nusantara. Penemuan prasati Watu Lirang telah membuka rahasia yang terkubur selama ini dan aku tak akan membiarkan semuanya berhenti begitu saja,” balas Sekarjati menaikkan nada bicaranya secara tegas.

“Terlalu berbahaya untuk dilanjutkan dan bukan ranah kita mendalami ini semua,” ucap Sastra menghela nafas panjang.

Sekarjati mengepalkan tangannya erat berjalan menghampiri Sastra dengan emosi membara memanggil namanya keras.

“Sastraaaa!!!!!” bentaknya dengan perasaan kecewa mendalam.

“Sekarrrrr!!!!!” balas Sastra meneriaki Sekarjati tepat di depan wajahnya membuatnya menitihkan air mata kemudian pergi.

Sastra seperti tak peduli terhadap Sekarjati melanjutkan aktivitasnya menikmati suasana pagi yang alami. Dengan perasaan kecewa, Sekarjati berjalan masuk ke dalam kamar menangis dalam diam bertanya-tanya kepada dirinya mengapa Sastra berubah drastis tak seperti dikenalnya dulu dengan lemah lembut.

“Mengapa Sastra berubah? Dia laki-laki yang lemah lembut bahkan semenjak awal aku mengenalnya dia tak pernah membentakku. Namun, hari ini semuanya seperti mimpi di siang hari. Perubahannya begitu drastis hingga aku tak mengenalinya seperti Sastra yang dahulu aku kenal,” gumam Sekarjati di sela-sela isak tangisnya.

Ia mencoba menenangkan diri mengatur nafas dalam-dalam kemudian beranjak berdiri untuk ke luar dari dalam kamar dan melihat Sastra tengah menyiapkan barang-barang. Sekarjati datang menghampirinya mencoba bertanya dengan kepala dingin.

“Sekar. Aku mengalami mimpi yang sangat buruk bahkan untuk seumur hidupku sampai detik ini," ucap Sastra pasrah menatap Sekarjati dengan raut wajah ketakutan.

“Maaf,” ucapnya menundukkan kepalanya merasa bersalah ketika membentak Sekarjati hingga membuatnya menangis.

Sastra menghela nafas panjang mengajak Sekarjati untuk duduk di kursi memintanya untuk tenang terlebih dahulu. 

"Katakan apa yang sebenarnya kamu alami?" tanya Sekarjati dengan nada lebih tenang tak berapi-api seperti sebelumnya.

"Aku mengalami mimpi buruk bahkan seburuk-buruknya mimpi yang pernah aku alami dalam hidupku. Pemandangan berdarah menakutkan tak pernah terbayang dalam pikiranku ketika semua mayat bergelimpangan dan darah mengalir bagaikan sungai kecil. Api membara sepanjang mata memandang dan semuanya berlatarkan sebuah kerajaan kuno," ucap Sastra menjelaskan apa yang ada dalam mimpinya dengan raut wajah ketakutan.

Sekarjati termenung mendengarnya dan menebak bahwa apa yang dilihat Sastra adalah sejarah Kerajaan Lintang Pethak.

"Selain itu, apa yang kau lihat dalam mimpi mu?" tanya Sekarjati penasaran mengulik lebih jauh tentang penglihatan yang di dapatkan Sastra di dalam mimpinya.

"Seorang laki-laki menatapku dengan penuh kebencian dan amarah. Akan tetapi samar-samar aku mengingat seorang wanita yang berada di samping laki-laki tersebut entah benar atau tidaknya. Sebuah kekuatan misterius datang ke arahku dan semuanya menjadi gelap," jawab Sastra yang seketika membuat Sekarjati menggebrak meja nya keras mengejutkan Sastra yang masih dalam keadaan tidak begitu baik.

"Maaf....." ucapnya tersenyum polos,

Sekarjati mengambil peralatan tulis dan buku miliknya meminta Sastra untuk menggambar sosok pria yang berada di dalam mimpi nya. Sastra mulai menggoreskan pensil nya menggambar dengan serius sosok laki-laki yang menatapnya penuh kebencian. Sekarjati mengamati dengan seksama setiap guratan pensil yang perlahan-lahan membentuk sketsa wajah laki-laki.

"Dia yang menatapmu dengan kebencian?" tanya Sekarjati sedikit ragu.

Sastra menyerahkan sketsa miliknya kepada Sekarjati untuk diamatinya lebih lanjut. Sketsa wajah laki-laki dengan sorot mata tenang dan teduh serta memancarkan aura yang tak biasa sekalipun hanya sketsa wajahnya.

"Dia tak seperti yang diceritakan Sastra. Akan tetapi aura yang dipancarkan dari sorot mata nya mengandung misteri sekalipun hanya sketsa," batin Sekarjati bingung meletakkan kembali kertas di atas meja kemudian menatap Sastra.

"Aku yakin kamu tak mungkin berbohong kepadaku. Akan tetapi aku telah mendapatkan kesimpulan bahwa kamu termasuk dalam siklus karma masa lalu entah siapa kamu pada saat itu," ucap Sekarjati yang kemudian diangguki Sastra tanda setuju.

"Tugas kita untuk observasi Prasasti Watu Lirang beserta manuskrip kuno bisa dikatakan selesai. Kita harus kembali sebelum hal gila terjadi," ucap Sastra beranjak berdiri bersikap tak tenang terlihat dari gerakan tubuhnya begitu gelisah.

"Dia menyembunyikan sesuatu lebih dari apa yang diceritakannya," gumam Sekarjati menatap dalam Sastra.

"Tidak! Apakah kamu tak ingin mengetahui siapa dirimu di masa lalu dan mengapa takdir seperti ditentukan untuk mengulang hal yang kemungkinan sama?" ucap Sekarjati yang membuat Sastra terdiam dibuatnya.

Ia tampak berpikir sejenak menatap Sekarjati dan pemandangan luar rumah berulang kali sebelum tiba-tiba memeluk tubuh Sekarjati.

"Maaf. Aku akan menurutimu mulai saat ini," ucapnya tulus.

Sekarjati membeku melihat Sastra memeluknya erat mengucapkan kalimat permintaan maaf seakan-akan penyesalan mendalam dari lubuk hatinya.

"Sudah lah. Aku ingin membersihkan badan ku," balas Sekarjati melepas pelukan Sastra berjalan menuju kamar mandi.

Sastra terdiam menatap punggung Sekarjati kian menjauh darinya. Tatapan perasaan bersalah hingga ketakutan terpancar jelas dari sorot mata nya.

"Maaf kan aku menyembunyikannya dari mu dan sampai kapan pun aku tak ingin kamu mengetahuinya. Aku terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya," gumam Sastra.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Krisis Identitas

    Pak Ardira berlarian kecil kembali ke desa Nglimputan. Pemakaman telah usai dan monumen makam massal telah terpasang. Ia mencari-cari pusaka tombak dan keris di sekeliling nya dengan gelisah. "Apa yang kau cari wahai manusia," ucap seorang wanita yang seketika membuat Pak Ardira tersentak kemudian menoleh. "Sri Dyah Durgamaya," ucapnya pelan. Durgamaya berjalan mendekati Pak Ardira yang tak bisa bergerak entah karena apa. Jarak keduanya begitu dekat hingga nafas memburu terdengar begitu jelas. "Kau bukan berasal dari zaman ini," ucap Durgamaya membuat Pak Ardira terkejut. "Kau mengetahuinya?" balas Pak Ardira memberanikan diri untuk berbicara. "Tentu saja. Kembalilah ke tempat di mana kau berada dan jangan pernah ikut campur urusan ku dimari," ucap Durgamaya tersenyum kemudian tertawa tipis. Pak Ardira terdiam ditempat seakan-akan takut untuk bergerak menarik perhatian wanita iblis di depannya itu. Durgamaya tersenyum berjalan menjauhinya melihat makam massal membuatnya

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Kisah Sang Manusia Abadi

    Pak Ardira dan sang sopir masuk ke dalam setelah dipersilahkan. Mereka duduk di kursi anyaman rotan menunggu Ki Wahyu Prabawa segera kembali. "Siapa gerangan yang menemui ku saat ini?" tanya Ki Wahyu Prabawa. "Saya Ardira dari Balai Warisan Nusantara dan sopir saya Siswo" Ki Wahyu Prabawa menganggukkan kepalanya menuangkan air dari dalam kendi menyodorkannya kepada Pak Ardira dan sang sopir Siswo. "Minumlah, kalian telah jauh-jauh datang dari Jakarta kemari," ucapnya dengan senyuman tulus. Keduanya minum air dari gelas merasakan dahaga yang terpuaskan oleh air segar pegunungan. Pak Ardira kembali membuka topik pembicaraan kedatangannya kemari. "Aku tahu seseorang akan datang kemari dan oleh karena itu aku menyambut Anda," ucap Ki Wahyu Prabawa. "Syukurlah Anda tahu kedatangan saya dan berharap mendapatkan penjelasan mengenai kejadian malam itu," balas Pak Ardira. Ki Wahyu Prabawa menghela nafas panjang mengingat kejadian kelam pembantaian satu desa pada malam itu. "

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma    Pertemuan Kedua Kali

    Pak Ardira turun dari mobil berjalan menuju ke arah hutan tempat desa Nglimputan berada. Dengan mengenakan sepatu yang telah dibungkus plastik dan membawa payung hitam dirinya melewati barikade polisi yang mempersilahkannya masuk. Ia berjalan dengan tatapan datar melewati jalan satu-satunya menuju desa. Panggung wayang basah oleh hujan dan darah dari para penduduk desa mengalir mengikuti arus air hujan. "Benar-benar kejam," gumamnya melihat evakuasi mayat warga yang dilakukan relawan medis dan kepolisian untuk dimakamkan secara masal. Lubang besar telah digali dan mereka dimasukkan satu per satu ke dalamnya setelah dibersihkan. Pak Ardira mendekat melihatnya yang kemudian dihentikan oleh kemunculan seorang polisi. "Pak Ardira," ucap polisi tersebut ramah mengenali sosok di depannya. "Pak Angga yang menangani kasus ini?" balas Pak Ardira. "Benar. Saya yang menangani kasus pembantaian desa Nglimputan. Lama tidak bertemu dengan Pak Ardira," jawab Pak Angga sembari tersenyum.

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Kasus Pembantaian Desa Nglimputan

    Keesokan paginya berita akan pembantaian di desa Nglimputan termuat dalam media nasional. Kehebohan terjadi dan berbagai asumsi beredar di masyarakat. Pihak berwenang belum mengkonfirmasi motif pembantaian yang terjadi. Para jurnalis dari ibukota meluncur ke tempat kejadian mencoba menggali informasi langsung dari pihak kepolisian. Garis polisi membentang di tempat perkara dan para jurnalis mengenakan sepatu yang dilapisi plastik agar tidak menganggu ataupun mengubah tempat perkara. Sedangkan Sekarjati tengah dirawat di rumah sakit daerah kabupaten menjalani perawatan intensif dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Balai Warisan Nusantara. Bapak Ardira tengah duduk di ruangannya melihat berita yang tengah menyiarkan tayangan langsung dari tempat perkara dikejutkan dengan kemunculan Bu Paramita yang masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. "Pak! Semua ini di luar prediksi kita. Sekarjati tak sadarkan diri dan Sastra menghilang entah kemana. Kementrian menutup paksa renacana pe

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Pembantaian Desa Nglimputan

    "Kita bertemu kembali saudaraku," ucap Durgamaya tersenyum senang.Kemunculannya bersamaan dengan Sastra dan para pengikutnya. Langkasuma segera menarik Sekarjati untuk tetap berada di dekatnya."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sekarjati."Nyawamu," jawab Durgamaya melotot tajam dan tertawa pelan."Jangan libatkan warga desa dalam rencana busukmu itu!" bentak Sekarjati yang langsung mendapatkan respon buruk dari Durgamaya berupa tekanan kuat begerak ke arah Sekarjati kemudian pancaran cahaya emas melindunginya.Liontin merah melayang memancarkan cahayanya yang seketika membuat mereka mengerang kesakitan. Durgamaya mengepalkan tangannya menahan amarah begitu melihatnya."Pilihanmu hanya menyelamatkan mereka atau kau mati," ucapnya memberikan ancamannya."Aku memilih mati," jawab Sekarjati tegas.Langkasuma yang melihat tekad Sekarjati mengerutkan keningnya dengan kecepatan kilat menyentuh kening Sekarjati membuatnya pingsan."Baiklah. Pertempuran kali ini benar-benar di luar bayan

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Raja Kegelapan Bathara Kala Mandrapati

    "Siapa kau?" ucap Sekarjati dengan nada ketakutan. "Aku Bhatara Kala Mandrapati sang Raja Kegelapan. Bukankah lakon ini dipersembahkan untukku?" ucapnya tertawa keras berjalan menuju ke arah panggung berdiri di belakang sang dalang kemudian duduk yang seketika membuat tubuh sang dalang bergetar memegang wayang kulit tokoh Bathara Kala dengan erat. Suara gamelan kian keras terdengar dan para penabuhnya memainkannya begitu keras bertempo cepat. Sang dalang tertawa dengan suara beratnya menggerakkan tokoh Bathara Kala begitu lihai. Sekarjati beranjak berdiri ketika menyadari aura negatif begitu kental mengelilinginya. "Aku kelaparan dan membutuhkan makanan dan kalian semua adalah makananku," ucap sang dalang tertawa keras menancapkan wayang kulitnya begitu keras kemudian beranjak berdiri menatap semua orang dengan senyuman misterius. "Wahai pengikut setiaku. Datanglah kemari nikmati hidangan terbaik kalian," ucapnya lantanng terdengar merentang kedua tangannya yang seketika puluhan m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status