Du Shen kembali berdiri perlahan. Napasnya tertahan, bahunya naik-turun menahan rasa sakit yang masih tertinggal usai menerima tekanan brutal dari Ming Yue. Meski tubuhnya masih berdenyut nyeri di tiap sendi, tekad yang terpancar dari sorot matanya membungkam rasa lemah itu. Ia menatap lurus ke depan, wajahnya serius, dan kali ini tak ada sedikit pun keraguan di matanya. Keteguhan itu jarang muncul pada dirinya, namun kini, setelah semua yang terjadi—terutama setelah Hao Yexin dibawa pergi—ia tak bisa lagi membiarkan diri terombang-ambing oleh keadaan.Sambil mengatur napas, ia mengepalkan tangan. Luka dalam tubuhnya perlahan mulai sembuh berkat latihan teknik kultivasi yang ia kuasai. Namun bukan luka fisik yang paling menyakitkan baginya saat ini, melainkan rasa bersalah yang menghantui pikirannya."Hao Yexin… semoga kau baik-baik saja ke mana pun wanita itu membawamu," batinnya. Ia menunduk, memikirkan ucapan terakhir gadis itu dan beban berat yang kini menggantung di pundaknya."
Langkah mereka berhenti di dasar ruang bawah tanah yang sunyi dan lembap. Aroma bebatuan tua dan hawa mistis yang pekat seakan menyambutnya. Di hadapannya berdiri sebuah patung batu yang hampir identik dengan yang sebelumnya mereka temukan di aula atas. Patung itu menggambarkan seorang pria tua berjanggut panjang, duduk dalam posisi bersila. Satu tangannya membentuk mudra, sementara tangan satunya menggenggam sebuah gulungan batu, seolah menyimpan rahasia dunia di dalamnya.Namun yang paling menarik adalah aura yang menguar dari patung itu—tenang, namun penuh dominasi yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada di hadapan entitas agung yang telah melampaui batas manusia fana."Apa sebenarnya ini? Kenapa patung ini muncul lagi di sini?" gumam Lu Tian, melangkah lebih dekat dengan kening berkerut. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa waspadanya.Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh permukaan dingin batu itu. Dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti cahaya putih menyila
Du Shen, seorang anak muda berusia sepuluh tahun, terlahir di sebuah tempat yang disebut desa Yaocun, desa terpencil di bagian timur Benua Yin. Desa yang dihuni oleh kebanyakan petani dan pengrajin, tempat yang begitu tenang, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Du Shen adalah anak yang penuh semangat dan cerdas, meskipun usianya masih muda. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Du Liong dan Mei Hua, di sebuah rumah kayu sederhana. Kehidupan mereka dipenuhi dengan rutinitas sehari-hari yang damai—berkebun, memelihara ternak, dan sesekali berburu di hutan untuk mencari bahan makanan. Suatu pagi yang cerah, Du Shen pergi ke hutan untuk mengambil kayu bakar atas perintah ibunya. Langkahnya ringan, disertai rasa bahagia karena hari itu cuaca begitu cerah nan indah. Pikirannya melayang, membayangkan sore nanti ia bisa duduk bersama orang tuanya di teras rumah sambil menikmati makanan ringan buatan ibunya dan menikmati secangkir teh hangat. Namun, kebahagiaan itu segera
Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya. Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusa
Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu. Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun.Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh.“Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal.Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi.“Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak b
Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Langkah mereka berhenti di dasar ruang bawah tanah yang sunyi dan lembap. Aroma bebatuan tua dan hawa mistis yang pekat seakan menyambutnya. Di hadapannya berdiri sebuah patung batu yang hampir identik dengan yang sebelumnya mereka temukan di aula atas. Patung itu menggambarkan seorang pria tua berjanggut panjang, duduk dalam posisi bersila. Satu tangannya membentuk mudra, sementara tangan satunya menggenggam sebuah gulungan batu, seolah menyimpan rahasia dunia di dalamnya.Namun yang paling menarik adalah aura yang menguar dari patung itu—tenang, namun penuh dominasi yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada di hadapan entitas agung yang telah melampaui batas manusia fana."Apa sebenarnya ini? Kenapa patung ini muncul lagi di sini?" gumam Lu Tian, melangkah lebih dekat dengan kening berkerut. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa waspadanya.Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh permukaan dingin batu itu. Dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti cahaya putih menyila
Du Shen kembali berdiri perlahan. Napasnya tertahan, bahunya naik-turun menahan rasa sakit yang masih tertinggal usai menerima tekanan brutal dari Ming Yue. Meski tubuhnya masih berdenyut nyeri di tiap sendi, tekad yang terpancar dari sorot matanya membungkam rasa lemah itu. Ia menatap lurus ke depan, wajahnya serius, dan kali ini tak ada sedikit pun keraguan di matanya. Keteguhan itu jarang muncul pada dirinya, namun kini, setelah semua yang terjadi—terutama setelah Hao Yexin dibawa pergi—ia tak bisa lagi membiarkan diri terombang-ambing oleh keadaan.Sambil mengatur napas, ia mengepalkan tangan. Luka dalam tubuhnya perlahan mulai sembuh berkat latihan teknik kultivasi yang ia kuasai. Namun bukan luka fisik yang paling menyakitkan baginya saat ini, melainkan rasa bersalah yang menghantui pikirannya."Hao Yexin… semoga kau baik-baik saja ke mana pun wanita itu membawamu," batinnya. Ia menunduk, memikirkan ucapan terakhir gadis itu dan beban berat yang kini menggantung di pundaknya."
"Huh? Kau bilang tak berasal dari benua ini? Lantas, dari manakah senior berasal?" tanya Du Shen dengan mata yang menyipit, menyiratkan kehati-hatian. Tekanan spiritual yang sejak awal ia pancarkan perlahan surut, seolah menyadari bahwa dominasi semacam itu takkan berguna melawan sosok di hadapannya.Wanita berjubah putih itu melirik sekilas padanya. Angin berdesir pelan di sekeliling mereka, membawa aroma samar yang entah berasal dari kabut spiritual atau auranya. Lalu, dengan suara pelan namun penuh otoritas, ia menjawab, "Aku berasal dari tempat yang jauh... tempat yang tak bisa kau temukan dalam peta manapun di Benua Yin ini. Tempat itu disebut Benua Yang—alam utama yang jauh lebih luas dan lebih kuat dari daratan rendah seperti benua ini."Mata Du Shen membelalak. Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ia mundur setengah langkah, bukan karena takut, tapi lebih karena terkejut.Benua Yang. Nama itu memang terdengar asing di telinga orang lain, namun baginya s
Aula utama itu, yang sebelumnya sunyi dan dipenuhi aura sakral, mendadak bergetar pelan. Langit-langitnya, terbuat dari batu giok yang mengilap, mulai beriak seperti permukaan danau yang dilempar kerikil.Riak-riak itu bukan lah ilusi, melainkan gelombang energi spiritual murni yang terpancar dari dimensi yang tersembunyi di balik tirai ruang dan waktu.Kilatan cahaya keemasan mulai merayap dari retakan-retakan tak kasat mata, membentuk pusaran yang perlahan membuka celah ke dimensi lain. Para kultivator yang semula duduk bersila dalam keheningan, langsung terjaga. Mata-mata mereka melebar penuh gairah. Ketenangan berubah jadi hiruk-pikuk dalam sekejap."Itu... Itu dia! Dimensi Langit Surgawi!" teriak seorang kultivator berpakaian hitam, matanya bersinar penuh antusias. "Pintu menuju peninggalan Dewa Kekacauan telah terbuka! Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya kita mendapat kesempatan langka ini!"Seruan itu memicu gelombang kegembiraan. Para kultivator dari berbagai sekte dan kl
"Nak, jangan sekali-kali bermain-main denganku. Kau tahu siapa kami,bukan? Kami berasal dari Sekte Pedang Bulan. Jadi kuperingatkan sekali lagi, lepaskan muridku, dan kuanggap kejadian hari ini sebagai kesalahpahaman yang tak perlu diperpanjang lebih jauh." Suara Luo Ming menggema tegas, meski ada nada getar samar dalam intonasinya. Ia berdiri dengan dada tegak, berusaha menunjukkan wibawa, namun dari matanya yang sedikit menyipit terlihat jelas bahwa tekanan energi dari pemuda di hadapannya telah mengguncang jiwanya. Aura Luo Ming memang masih kuat, tetapi bayangan samar kekalahan barusan membuat keberaniannya terikat. Ia menahan amarah dalam-dalam, hanya demi keselamatan muridnya. Du Shen tidak segera menjawab. Ia menatap pria tua itu dengan sorot mata sedingin salju abadi di puncak gunung. Sejenak ia menghela napas pelan, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah tapi berat, setiap katanya seolah menggema di benak siapa pun yang mendengarnya. "Dan kau harus tahu… aku tak pe
Namun sebelum Luo Ming sempat melangkah lebih dekat, sebuah ledakan Qi yang sangat kuat tiba-tiba terpancar dari tubuh Du Shen. Gelombang kejut yang tak terlihat itu meledak ke satu arah dalam sekejap mata, menghantam tubuh Luo Ming seperti palu raksasa yang tak kasatmata.BUGH!Tubuh pria tua itu terlempar ke belakang sejauh beberapa meter. Suara gesekan kaki di lantai marmer menggema keras, meninggalkan jejak retakan yang lurus dan dalam, seolah baru saja diiris oleh pedang tak terlihat. Punggung Luo Ming membentur salah satu pilar batu di sisi aula, membuat retakan halus menjalar ke atas dinding pilar tersebut.Ia tersungkur dengan lutut menyentuh lantai. Wajahnya menegang. Sebuah ekspresi keterkejutan yang amat jarang terlihat pada wajah seorang tetua dari Sekte Pedang Bulan. Nafasnya memburu. Pandangannya tertuju pada sosok Du Shen yang masih berdiri di tempat, bahkan tanpa sedikit pun memutar badan untuk melihat serangannya sendiri. Seolah, semuanya itu hanya gangguan kecil bag
"Siapa bocah itu? Sombong sekali, berani menunjukkan tekanan energi Qi sekuat itu di tempat seperti ini. Apa dia tidak takut mati?" bisik seorang pria tua berambut kelabu yang duduk bersila di pinggir ruangan aula, matanya menyipit ke arah sumber tekanan yang menegangkan udara."Dia pasti punya latar belakang yang kuat. Tak mungkin seseorang pemuda berani bertindak seperti itu tanpa dukungan dari kekuatan besar di baliknya," sahut pria lain, suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh kehati-hatian."Sudahlah," ucap pria ketiga dengan nada lebih serius, "jangan ikut campur. Dunia ini luas, menyimpan banyak ahli misterius. Satu langkah yang salah bisa menyeret kita ke dalam jurang neraka." Ia kemudian kembali menutup matanya, mencoba masuk kembali ke dalam meditasi, meskipun hawa Qi yang menegang masih terasa menyesakkan di dada.Di dalam aula besar yang redup itu, hanya cahaya samar yang berpendar dari batu kristal di dinding-dinding. Namun atmosfer ruangan jauh dari tenang. Udara ter
Qin Chen melangkah maju, sepatu kulit halusnya menjejak lantai batu yang dingin, mengeluarkan suara pelan namun mantap. Tubuhnya tegak dengan dada membusung, seolah setiap langkahnya membawa gengsi dan martabat sebagai murid terhormat dari salah satu sekte besar di benua ini. Ia berhenti sekitar tiga langkah di depan Du Shen, menatap pemuda itu dari atas ke bawah dengan tatapan menilai dan sorot mata yang dingin seperti es.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan ejekan tersembunyi, seolah ia sedang menatap seekor serangga yang tiba-tiba muncul di hadapan makan malamnya.Du Shen, yang sedari tadi hanya berdiri santai dengan tangan di balik punggung, melirik pemuda itu sekilas. Tatapannya acuh tak acuh, bahkan sedikit malas, seolah sedang menilai seseorang yang tak layak untuk diperhatikan. Ia tidak mengatakan apa pun. Wajahnya tetap tenang, seperti permukaan danau di musim gugur yang tak terusik apapun.Qin Chen akhirnya angkat suar
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu. "Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?" Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya. Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada. Satu