Di sebuah hutan lebat di tepian timur Benua Yin, seorang pemuda berdiri di bawah naungan pohon yang rimbun. Suara gemerisik air sungai mengalir lembut di sampingnya, namun suasana hatinya tak selaras dengan kedamaian di sekitarnya.
Wajahnya keras, matanya tajam memandang ke depan, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan. Pemuda itu adalah Du Shen, yang kini telah tumbuh dewasa. Bertahun-tahun berlalu sejak peristiwa tragis yang merenggut semua yang ia cintai. Kini ia telah dewasa, dari seorang anak berusia sepuluh tahun, tumbuh lebih tinggi, berotot dan semakin tampan. Dia yang dulu jelas tak dapat dibandingkan dengan dirinya sekarang. Dulu ia sering sekali merengek setelah merasakan betapa pedih dan kerasnya ajaran dari gurunya. "Tunggu saja," gumam Du Shen dengan suara dingin, seraya menggenggam erat gagang pedang yang terselip di pinggangnya. "Mereka akan merasakan kepedihan yang telah lama mengakar di hatiku. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata." Ia berdiri, mengusap noda di celananya, lalu berjalan ke sebuah tempat di tengah hutan. Sebuah gundukan tanah berdiri di hadapannya, diapit oleh makam lainnya yang tampak lebih baru. Du Shen berlutut di depan dua makam tersebut. Matanya menatap tajam nisan sederhana yang tertulis dengan ukiran tangan. Di salah satu nisan tertulis: Du Liong. Sementara nisan lainnya berbunyi: Bai Shen, Sang Dewa Racun. "Ayah, guru..." bisik Du Shen dengan nada penuh penghormatan. "Terima kasih atas segalanya. Aku tidak akan pernah melupakan jasa dan kebaikan kalian." Ia menyentuh tanah di depan kedua makam tersebut, menunduk dengan wajah penuh rasa syukur dan dendam yang bercampur aduk. "Dulu aku hanyalah bocah lemah yang hanya bisa menangis di balik pohon, menyaksikan ayahku disiksa hingga tewas. Namun, sekarang berbeda. Guru telah membentukku menjadi orang yang bahkan iblis pun akan takut melihatku." Du Shen menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan pikirannya yang bergejolak. Ia teringat bagaimana kerasnya latihan yang ia jalani bersama gurunya, kakek Bai, seorang alkemis racun legendaris yang menguasai seni racun dan bela diri. Du Shen kembali mengingat hari-hari dimana ia dengan keras dilatih oleh kakek Bai. Senyum getir tersungging di sudut bibirnya. "Ayo, Du Shen! Racun ini tidak akan membunuhmu, tapi rasa sakitnya akan membuatmu ingin mati!" kakek Bai melemparkan sebuah botol kecil ke arah Du Shen muda, sambil tertawa aneh. Du Shen menjerit ketika cairan itu mengenai kulitnya. Sensasi terbakar menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya menggeliat kesakitan. "Aku... tidak! Sakit!" ujar Du Shen muda dengan air mata mengalir. "Kau tidak punya pilihan!" bentak kakek Bai, menatapnya tajam. "Jika kau ingin balas dendam, kau harus melawan keras rasa sakit itu. Dunia tidak peduli seberapa menderitanya dirimu. Kau harus melampaui batasmu!" Du Shen menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang luar biasa. Dalam hatinya, ia berteriak penuh kebencian, mengingat para bandit yang telah menghancurkan hidupnya. Ia terus bertahan, meskipun tubuhnya terasa seperti akan hancur. Du Shen tersenyum pahit mengingat masa-masa itu. "Guru, aku bahkan sering berpikir kau lebih kejam daripada para bandit itu," gumamnya. "Tapi aku tahu, semua itu kau lakukan agar aku bisa tetap berdiri di sini hari ini." Ia kembali menatap makam gurunya. "Terima kasih telah mengajarkan banyakhal padaku, guru. Aku akan membawa nama besarmu, guru, dan menjadikannya simbol ketakutan. Dunia akan mengenalku sebagai mala petaka yang menumpas kejahatan." Ia berdiri, menatap makam itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik. Matanya menatap dingin ke depan, ketika hal-hal yang dia benci melintasi pikirannya. Namun, pikirannya kembali dipenuhi oleh sosok ibunya, Mei Hua. Sosok wanita yang tak tergantikan, sosok dengan penuh kasih sayang yang tak pernah meminta balasa apapun dari Du Shen. Senyum lembut ibunya kembali terngiang di benak Du Shen, membuatnya bergetar karena rindu akan aksih sayangnya. "Guru pernah mengatakan bahwa tak ada wanita di antara tumpukan korban para bandit waktu itu," gumamnya pelan. "Jika ibu tidak di sana, lalu... kemana dia pergi? Apakah dia masih hidup?" Rasa penasaran dan kebencian bercampur dalam pikirannya. Ia mengepalkan tangan, menguatkan tekadnya. "Jika ibu masih hidup, aku akan menemukannya. Tapi pertama-tama..." Ia menatap ke kejauhan, ke arah hutan yang tampak semakin gelap di bawah sinar senja. "Aku akan memburu mereka. Para bandit itu harus membayar nyawa ayahku dengan darah mereka." *** Matahari mulai tenggelam di ufuk barat ketika Du Shen melangkah keluar dari hutan. Langkahnya mantap, membawa beban masa lalu yang ia ubah menjadi alasan perubahan besar dalam dirinya. Ia mengenakan jubah hitam sederhana, dengan pedang di pinggangnya dan sebuah tas selempang menggantung di balik punggungnya. Di luar hutan, sebuah jalan setapak membentang menuju desa kecil. Du Shen berhenti sejenak, mengamati pemandangan tersebut. "Delapan tahun berlalu," gumamnya. "Apakah dunia ini telah berubah, atau hanya aku saja yang berubah?" Ia melangkah menuju desa Yaocun yang tak berubah dari sisa-sisa kebakaran, tempat kelahiran yang menyimpan banyak kenangan, namun tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki dari arah yang berlawanan. Seorang pria berotot dengan wajah penuh bekas luka muncul dari balik tikungan, diikuti oleh dua pria lain yang terlihat seperti anak buahnya. "Heh, lihat siapa yang keluar dari hutan," ujar pria itu dengan nada mengejek. "Seorang bocah kecil yang tersesat?" Du Shen tidak menjawab, hanya menatap mereka dengan dingin. Melihat orang-orang beringas seperti itu, sesuatu tampak berkobar dalam dirinya. "Apa kau tidak mendengar kami bicara, hah?" bentak pria itu, berjalan mendekat. "Serahkan semua yang kau punya, atau—" Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, Du Shen bergerak. Dalam satu gerakan cepat, ia melesat ke arah pria itu dan menebaskan pedangnya. Sebuah luka kecil muncul di lengan pria itu, dan ia terhuyung mundur sambil mengerang. "Apa yang kau lakukan, bocah sialan?!" teriaknya. Du Shen tersenyum tipis. "Luka kecil itu? Jangan khawatir, kau akan segera tahu apa yang ada di baliknya." Pria itu menatap lengan yang terluka, wajahnya berubah pucat ketika ia melihat kulitnya mulai menghitam. Tubuhnya gemetar, dan dalam hitungan detik, ia terjatuh ke tanah, menggeliat kesakitan. "K-kau... apa yang kau lakukan padaku?!" jeritnya. "Aku baru saja memberimu sedikit barang yang kupunya," jawab Du Shen dengan tenang. "Jangan khawatir, aku masih menyimpan banyak barang lain." Melihat bos mereka terkapar, dua pria lainnya mundur dengan ketakutan. "T-tolong! Kami hanya pengikut! Jangan bunuh kami!" salah satu dari mereka memohon. Du Shen menatap mereka dengan dingin. "Apa kau berasal dari kelompok bandit Kapak Merah?" tanyanya. Mendengar ucapan itu pria yang satunya mendadak diam, tubuhnya seakan terpaku di kedalam tanah. "Kenapa kalian diam saja? Apa kalian ingin merasakan nasib yang sama sepertinya?" ujar Du Shen sambil menunjuk pria berotot yang tengah terkapar dengan ujung pedangnya. "T-tidak, tuan... k-kami tidak tau? K-kami tidak mengenal bandit Kapak Merah." ucapnya terbata-bata. Du Shen menyarungkan pedangnya, membuat orang-orang itu merasa sedikit lega, butiran keringat masih mengalir di dahi mereka. Nyatanya Du Shen tak berniat mengampuni mereka, ia justru meraih leher salah satu pria dan mencekiknya tinggi-tinggi. "Kau tau kan, apa akibatnya jika bohong?" ujar Du Shen, menatap tajam pria yang dicekiknya. Pria itu masih meronta-ronta, menahan rasa sakit di lehernya dan ia merasa sulit untuk bernafas. Matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan dingin itu, sejenak pria itu langsung ketakutan, rasanya bagaikan berada di bawah kaki binatang buas. "A-aku akan mengatangnya, t-tolong lepas-kan." ucap pria itu akhirnya. Du Shen diam sejenak sebelum melempar pria itu ke tanah. "Katakan!" ucapnya tegas. "B-baik... bandit Kapak Merah yang anda maksud, sudah lama pergi dari wilayah ini..." ucapnya dalam jeda sejenak, "M-mereka pergi entah kemana setelah menghancurkan desa Yaocun... Saya sudah mengatakan semuanya yang saya tahu, tolong lepaskan kami." Du Shen mengerutkan kening, masih dengan tatapan tajamnya yang menusuk. Dia dapat merasakan bahwa pria itu tak berbohong sedikitpun, tapi tetap saja ia kurang puas dengan jawaban itu. Du Shen buru-buru meredakan amarahnya, menghela nafas panjang dan kembali menatap pria itu. "Bawa temanmu dan jangan pernah kembai ke tempat ini." katanya sembari melempar sebotol ramuan kecil pada salah satu dari orang-orang itu. Tanpa pikir panjang, kedua pria itu berlari meninggalkan tempat itu dengan menggendong bosnya yang terlihat sekarat. "Kemana aku harus mencari bandit-bandit sialan itu lagi? Mereka sangat merepotkan," gumamnya. Dengan tekad yang membara, Du Shen melangkah ke dalam dunia yang penuh bahaya, membawa kebencian dan kekuatan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Perjalanan balas dendamnya baru saja dimulai.Yang paling histeris di antara para tetua adalah Luo Ming, seorang pria tua berjubah perak yang wajahnya dipenuhi kerutan tuanya, namun matanya menyala penuh kebencian saat melihat siapa yang berdiri tegak di udara."Itu kau, anak muda yang sombong waktu itu!" desis Luo Ming penuh dendam, suaranya gemetar antara murka dan kebencian. Tangannya mengepal, ingatannya langsung melayang pada peristiwa di Paviliun Dewa Kekacauan beberapa waktu lalu, sebuah kekalahan memalukan yang membuat harga dirinya tercabik.Du Shen, hanya menatap ke bawah dengan sorot mata dingin dan datar. Sama sekali tak ada tanda bahwa ia mengenali Luo Ming atau menganggapnya layak untuk diberi perhatian lebih. Ucapan maupun ejekan tak keluar dari bibirnya. Baginya, orang-orang seperti Luo Ming tak lebih seperti angin lalu yang tak penting.Salah satu di antara sepuluh tetua sekte, pria paruh baya dengan jenggot rapi dan jubah merah berbulu berdiri tegak tak jauh di hadapan Du Shen, sorot matanya memandang dengan taj
Di salah satu puncak gunung sekte Azure Dragon, kabut tipis bergelung pelan di antara pepohonan pinus tua yang berdiri tegak menghadap langit. Udara di sana begitu tenang, seakan waktu sendiri enggan bergerak. Di atas sebuah batu besar yang rata seperti altar kuno, Du Shen duduk dalam posisi bersila, tubuhnya tegak namun santai, napasnya teratur, dan auranya mengalir lembut, nyaris tak terdeteksi.Angin berhembus pelan, membawa guguran bunga kelopak plum yang jatuh dari pohon-pohon sekitarnya, melayang seperti serpihan mimpi. Bunga itu menari dalam diam, lalu mendarat tenang di atas permukaan tanah berumput.Du Shen tampak tak bergeming. Matanya terpejam, ekspresi wajahnya terlihat tenang, namun di balik ketenangan itu pikirannya terus bekerja, menggali misteri dunia yang sukar dimengerti."Hukum ruang dan waktu… terlalu misterius untuk dipahami," gumamnya pelan. "Sejauh ini, aku hanya bisa menyentuh permukaan dari hukum ruang. Bahkan petunjuk yang ditinggalkan oleh Leluhur Dewa Keka
Du Shen terdiam. Sorot matanya yang biasanya dingin kini tampak terguncang, seolah terjadi badai di dalam dirinya yang tak terlihat dari luar. Keningnya berkerut dalam, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menunduk, membiarkan pikirannya tenggelam dalam pusaran rasa frustrasi dan kegelisahan."Sepuluh tahun ya..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar. "Apa tak ada cara lain? Waktu selama itu terlalu panjang bagiku. Aku... tak bisa menunggu selamanya."Nada suaranya merendah, tapi tak kehilangan keteguhan. Ada banyak hal yang harus ia lakukan di Benua Yang. Hal-hal yang menuntut penyelesaian. Orang-orang yang menunggunya, bukan dengan sambutan, melainkan dengan darah dan pedang.Lu Yan memandang pemuda itu dengan tatapan tenang, wajahnya masih tetap anggun meski dilingkupi ketegangan yang perlahan menyusup ke udara di antara mereka. Setelah jeda yang seakan membentang panjang, ia berkata pelan, "Sebenarnya... ada satu cara lain. Tapi jalannya tidak mudah dan terlalu beresiko. Bah
"Apa kau tahu cara agar aku bisa sampai ke tempat itu?" tanya Du Shen, suaranya datar, nyaris tanpa emosi. Namun, di balik nada acuh tak acuhnya, matanya memancarkan sinar tajam penuh rasa penasaran yang membara.Ia duduk diam di kursi batu, tubuhnya tegap dan tak bergerak, seperti patung dewa perang yang menunggu jawaban dari semesta. Di hadapannya, di seberang meja kayu panjang yang terpahat indah dengan motif naga langit, duduk seorang wanita berwajah lembut dan anggun, tak lain adalah ketua sekte Azure Dragon, Lu Yan.Angin sore bertiup pelan, menyapu halaman Paviliun Dao Langit yang dipenuhi bunga plum putih yang tengah gugur satu per satu. Di tengah ketenangan itu, Lu Yan menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir giok hijau, aroma melati halus terangkat bersama uapnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak Du Shen membantai habis sisa-sisa kelompok bandit Kapak Merah, tapi luka batinnya belum sepenuhnya sembuh. Kebencian itu masih menyala jauh di dalam hatinya, bagaikan bara yang b
Du Shen berdiri diam, tak terpengaruh oleh tatapan penuh amarah dari pria kekar di hadapannya itu. Sorot matanya dingin, tak menyiratkan sedikit pun rasa gentar atau simpati. Kebencian yang membara dalam dirinya tak meledak hanya lewat kata-kata belaka, melainkan dalam keheningan yang mengerikan. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya terkunci rapat, seperti menahan gelombang emosi yang terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Yang ada di benaknya kini hanya satu hal—menghancurkan sekte Kapak Darah sampai ke akar, hingga tak tersisa satu pun dari mereka yang bisa melihat hari esok. Wu Zhang, pemimpin sekte itu, mungkin mengira hanya dialah yang setara dan cocok melawannnya. Namun Du Shen bahkan tidak menoleh ke arahnya. Dalam sekejap mata, tubuhnya menghilang, dan sebelum siapa pun menyadari, ia telah berada di belakang Wu Zhang. Namun ia tak mengincar pria paruh baya itu, melainkan mengincar ke arah ratusan anggota sekte yang masih terpana di atas tanah. La
Energi Qi yang pekat dan suram mulai merembes dari tubuh ketujuh Tetua Agung sekte Kapak Darah. Masing-masing dari mereka dikelilingi aura kelam yang membentuk pusaran, seolah mereka menghidupkan kembali roh-roh terkutuk dari dunia bawah. Aura mereka tidak hanya menggetarkan tanah dan langit, tetapi juga menghantarkan hawa kematian yang membuat para anggota sekte lainnya mundur beberapa langkah, menggigil oleh rasa takut yang menancap langsung ke dalam jiwa mereka. Dalam sekejap, ketujuh tetua melesat ke langit, tubuh mereka membentuk pola melingkar sempurna dalam jarak puluhan meter. Tubuh mereka seolah menjadi penopang dari formasi iskripsi yang kini mulai terbentuk di udara. Garis-garis ungu gelap bersinar menyambung satu titik ke titik lainnya, membentuk lingkaran sihir raksasa dengan inskripsi kuno yang berdenyut seperti jantung iblis. Inskripsi-inskripsi itu berkilau, memancarkan kekuatan dari perpaduan teknik kuno. Wu Zhang berdiri gagah di belakang, senyum tipis teruk
Di suatu tempat terpencil di Benua Yin, tersembunyi di antara barisan pegunungan terjal yang menjulang seperti dinding batu raksasa dan hutan belantara yang nyaris tak terjamah manusia, di sana berdiri sebuah paviliun megah nan gelap. Bangunan itu tampak seperti kota kecil yang dibangun dengan arsitektur kasar namun kuat, dihiasi lentera merah yang menggantung di setiap sisi atap dan menebar cahaya temaram ke seluruh lembah.Tempat itu dikenal oleh sebagian kecil kalangan dunia bawah sebagai markas dari Sekte Kapak Darah, sebuah kekuatan di balik bayang-bayang yang belum banyak menonjolkan diri di permukaan Benua Yin. Sekte ini bukanlah kelompok penganut tradisi seperti Sekte Pedang Bulan atau sekte Azure Dragon—melainkan sebuah aliansi tersembunyi yang yerdiri dari kelompok-kelompok bandit gunung yang dulunya tersebar tanpa arah dan kendali. Walaupun mereka kini membentuk aliansi dalam sebuah sekte, tetap saja mereka adalah bandit gunung.Semua bandit itu disatukan di bawah satu pa
Tiba-tiba, suara ketukan ringan menggema dari luar kediaman. Sebuah ketukan pelan namun jelas, menyela malam yang nyaris sunyi.Hao Jifeng membuka matanya perlahan. Alisnya mengernyit, bukan karena terganggu, melainkan karena merasa aneh. Ia tak bisa mengetahui dengan jelas siapa yang mengetuk pintu itu. Seolah kultivasinya terlalu rendah untuk mengetahuinya.Ia bangkit dan melangkah ke pintu tanpa suara. Begitu ia membukanya, sinar lentera di sekitar menyinari sesosok pemuda tinggi dengan rambut perak yang memantulkan cahaya samar. Pemuda itu berdiri tegak, mengenakan jubah hijau tua yang membuat auranya terkesan misterius dan kuat.Sejenak, mata Hao Jifeng menyipit tajam. Refleks pertahanan bangkit dalam benaknya. Siapa orang asing yang berani datang ke halaman utama kediamannya saat malam begini? Tapi… wajah itu. Ada sesuatu yang familiar.Begitu matanya fokus dan ingatannya berputar cepat, ia pun terkejut mengenali siapa itu."Tu-Tuan Muda Shen!?" serunya, suaranya memecah kesunyi
Malam itu terasa berat dan sunyi. Langit diselimuti awan pekat, mengaburkan cahaya bulan hingga hanya bias temaram samar yang menerangi. Angin dingin berhembus pelan, membawa serta aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara. Jalanan berbatu yang tersusun rapi di pekarangan utama sebuah kediaman tampak lengang.Seorang pria berusia tiga puluhan melangkah dengan mantap di bawah cahaya lentera yang tergantung di tiang-tiang halaman. Jubah gelapnya berkibar pelan setiap kali angin berembus. Dengan wajah serius dan langkah yang berat, ia berhenti di depan sebuah pintu kediaman megah.Tangannya terangkat perlahan dan mengetuk pelan tiga kali.Tak berselang lama pintu terbuka. Di baliknya berdiri seorang pria paruh baya mengenakan hanfu kelabu yang elegan namun sederhana. Rambutnya yang sebagian telah memutih diikat rapi ke belakang, dan sorot matanya tampak tajam namun terlihat sedikit letih. Wajah Hao Jifeng, kepala klan Hao—memancarkan kekhawatiran yang mendalam, seperti