Langit semakin kelabu, awan hitam menggantung rendah di atas Kota Danau Hitam. Angin dingin yang menusuk tulang berhembus kencang, membawa aroma lembab dari danau yang menjadi pusat kota itu.
Suasana hiruk pikuk masih terasa di dalamnya, meski beberapa penduduk tampak bergegas menutup kios-kios mereka sebelum hujan deras turun. Setelah perjalanan yang melelahkan, Du Shen akhirnya tiba di gerbang kota yang megah. Pintu gerbang besar dari kayu ek yang kokoh menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan singa yang melambangkan kejayaan tiga klan aristokrat yang menguasai kota tersebut. Namun, alih-alih terkesan, Du Shen hanya meliriknya dengan acuh. “Berhenti di situ!” seru seorang penjaga gerbang, menghentikan langkahnya. Pria itu bertubuh besar dengan wajah kasar yang dihiasi janggut tebal. Du Shen mendongak sedikit, mengangkat caping bambu yang menutupi sebagian wajahnya. “Ada apa?” tanyanya singkat, suaranya datar tanpa emosi. “Dari mana asalmu?” tanya penjaga itu dengan nada yang tak bersahabat. “Dari desa kecil di timur,” jawab Du Shen, suaranya tetap tenang meskipun tatapannya mulai tajam. Penjaga itu tersenyum miring. “Orang asing harus membayar satu koin emas untuk masuk ke Kota Danau Hitam. Ini aturan baru,” ujarnya, nada suaranya penuh kelicikan. Du Shen memiringkan kepalanya sedikit. “Satu koin emas? Bukankah sebelumnya hanya satu koin perak?” tanyanya dingin. Penjaga itu terkekeh, matanya menyipit penuh tipu muslihat. “Kau pikir aku bercanda? Jika kau tak punya satu koin emas, enyahlah dari sini!” katanya sambil melambaikan tangan, menyuruh Du Shen pergi seperti mengusir anjing liar. Du Shen tetap tenang, meskipun dalam hatinya ia sudah muak dengan ulah para penjaga semacam ini. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Baiklah, aku akan bayar...” ucapnya, seolah menyerah. Ia merogoh saku jubahnya perlahan, menarik perhatian si penjaga yang kini menunggu dengan penuh harap. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat penjaga itu berteriak marah. Du Shen bersin dengan keras, air liurnya tak sengaja—atau sengaja—terciprat mengenai wajah penjaga tersebut. “Sialan kau! Apa-apaan ini?!” teriak si penjaga sambil mengusap wajahnya yang basah oleh air liur Du Shen. “M-maaf,” ucap Du Shen dengan nada polos yang hampir terdengar mengejek. “Cuacanya dingin, aku tak bisa menahannya.” Penjaga itu menatap Du Shen dengan wajah kesal. “Dasar bocah kurang ajar! Kau pikir ini lucu? Cepat bayar satu koin emas,” Du Shen buru-buru berkata, penuh kepura-puraan. "Tapi aku baru ingat kalau aku tak punya uang." ujar Du Shen dengan tampang polis yang dibuat-buatnya. Si penjaga mendengus lagi, tangannya terkepal erat, "Kalau begitu bermimpilah untuk masuk kota." ucapnya dengan wajah mencemooh. "Pergi sana, atau aku akan men—" Kata-katanya terhenti. Penjaga itu dengan sengaja menyentuh wajahnya yang tiba-tiba terasa panas dan gatal luar biasa. Ia menggaruk-garuk wajahnya dengan panik, tapi semakin digaruk, rasa gatalnya semakin parah. Tak butuh waktu lama, wajahnya mulai membengkak. “Apa ini?! Apa yang terjadi dengan wajahku?!” teriaknya histeris, menarik perhatian penjaga lain yang berdiri tak jauh darinya. “Eh, apa yang kau lakukan? Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” tanya penjaga kedua, mendekat dengan ekspresi khawatir. Du Shen hanya mengamati dengan tenang, senyum tipisnya diam-diam makin lebar. Melihat kelengahan penjaga itu, ia melangkah perlahan melewati gerbang tanpa seorang pun menyadarinya. Penjaga yang masih sibuk menggaruk wajah dan temannya yang panik tak menyadari bahwa pemuda misterius itu telah menghilang di antara kerumunan penduduk kota. *** Kota Danau Hitam berdiri megah dengan hiruk-pikuk aktivitas yang tak pernah padam walaupun cuaca terlihat mendung. Jalan-jalan kota itu dipenuhi kios-kios yang menjual berbagai barang: kain sutra lembut dengan pola-pola eksotis, rempah-rempah yang harum menguar, hingga deretan senjata berkilauan yang memikat mata para pakar bela diri. Di tengah keramaian itulah seorang pria bernama Du Shen melangkah pelan. Sosoknya tak terlalu mencolok di antara lautan manusia, dengan pakaian hijau gelap sederhana dan tas selempang lusuh yang menggantung di bahunya. Ia tak berbicara dengan siapa pun, hanya berjalan menuju sebuah kios kecil di sudut jalan. Kios itu sederhana, tapi dipenuhi aroma kuat alkohol bercampur masakan pedas. Tanpa bicara, Du Shen masuk, mencari tempat duduk di sudut ruangan yang sepi. Ia meletakkan tasnya di atas meja kayu usang, baru saja hendak mengendurkan otot-otot tubuhnya setelah perjalanan panjang. Namun, sesuatu yang tak biasa terjadi. Seorang gadis muncul entah dari mana, duduk di hadapannya tanpa izin. Rambutnya hitam legam dengan untaian perhiasan kecil di sela-sela ikatannya. Pakaiannya elegan, seperti seorang bangsawan. Meski penampilannya memikat, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang dalam. "Diamlah. Anggap saja aku tak ada," bisik gadis itu, suaranya penuh desakan. Ia menunduk, menutupi sebagian wajahnya dengan lengan baju panjang yang dihiasi bordir keemasan. Du Shen menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. Ia tak mengatakan apa pun, memilih mengikuti ucapan gadis itu. Pemahamannya tentang lagak hidup membuatnya peka terhadap situasi seperti ini—seseorang yang mencoba melarikan diri dari sesuatu. Hening sejenak, hingga suasana pecah oleh suara pintu toko yang berderit keras. Sekelompok pria bersenjata ringan masuk dengan langkah penuh percaya diri. Mata mereka tajam menyapu setiap sudut ruangan, seperti serigala yang mencium bau mangsa. Du Shen melirik tanpa menggerakkan kepala, menyadari gadis itu semakin meringkuk di tempat duduknya. Ia bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh gadis itu. Salah satu pria dalam kelompok itu berbicara kepada seorang pemuda yang tampaknya pemimpin mereka. "Tuan Muda, bukankah itu Putri Keluarga Hao, Hao Yexin?" ujarnya seraya menunjuk ke arah meja Du Shen. Pemuda yang dipanggil "Tuan Muda" menoleh. Senyumnya terbit—samar, angkuh, dan penuh maksud yang tak menyenangkan. Matanya menyipit saat memandangi gadis itu. "Pergilah. Pergilah. Jangan ke sini," gumam gadis itu dengan suara nyaris tak terdengar. Meski lirih, Du Shen mendengarnya dengan jelas. Du Shen diam. Tangannya yang semula santai di atas meja kini bergerak pelan, menggenggam gagang benda tajam kecil yang tersembunyi di balik jubahnya. Ia tak suka terlibat urusan orang lain, tapi untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padanya. Namun, Gadis itu jelas dalam bahaya, dan kelompok yang baru masuk tak tampak seperti orang yang tahu kapan harus berhenti. Pemuda sombong itu melangkah maju, mengabaikan tatapan penuh waspada dari para pelanggan lain di toko. "Hao Yexin, apa kau benar-benar berpikir bisa bersembunyi dariku lagi? Sudah kubilang, kau milikku," ucapnya sambil menyeringai. Hao Yexin mengangkat wajahnya sedikit, memperlihatkan sorot mata tajam yang tak lagi menyiratkan ketakutan. "Jaga ucapanmu Murong Chen. Jangan senaknya mendekatiku," ucapnya tegas, meski suaranya gemetar. Pemuda itu tertawa kecil, tetapi langkahnya terhenti. Tatapannya tertuju pada Du Shen yang kini duduk dengan tenang, menyilangkan kedua tangannya di dada. "Siapa pria ini? Hao Yexin, jangan bilang kau tengah berkencan dengan pria lusuh ini?" tanya Murong Chen dengan tatapan mencurigakan, matanya menyipit penuh penghinaan. Ia jelas meremehkan penampilan Du Shen yang tampak sederhana, hampir seperti pengembara biasa.Du Shen duduk tenang di bangkunya, hanya sesekali meneguk gelas minuman yang tersaji di depannya. Matanya tidak menunjukkan emosi apapun saat ia melirik ke arah Murong Chen. Sikapnya yang santai itu justru mempertegas aura dingin yang mengelilinginya."Aku di sini hanya untuk makan," ujarnya singkat. Suaranya tenang, hampir tak beremosi, namun setiap kata mengandung ketegasan. "Aku tak punya urusan dengan kalian."Hao Yexin yang duduk di depannya segera menangkap nada netral itu. Dia mendengus, mencoba mengalihkan perhatian Murong Chen. "Apa kalian dengar itu, Murong Chen? Kami tidak ada urusan dengan kalian. Jadi lebih baik kau pergi saja!" katanya, suaranya sedikit bergetar meski ia mencoba terdengar percaya diri.Murong Chen tertawa pelan, tawa yang penuh ejekan. Matanya menyipit, memandang Hao Yexin dan Du Shen seperti dua semut kecil di hadapannya. "Kalian dengar itu?" tanyanya kepada anak buahnya, suaranya meninggi. "Dua orang rendahan ini berani mengusirku, Tuan Muda Murong Ch
Dengan satu gerakan, Du Shen mendorong Murong Chen ke belakang. Pemuda itu terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, wajahnya memerah karena malu dan marah. Hao Yexin tersenyum tipis melihat kekalahan Murong Chen. "Sepertinya kau harus berpikir dua kali sebelum mengganggu orang lain, Murong Chen," katanya dengan nada mengejek. Murong Chen menatapnya dengan penuh kebencian. "Ini belum selesai, Hao Yexin! Kau pikir kau bisa sembunyi selamanya?! Aku akan memastikan kau menyesal telah mempermalukanku hari ini!" Setelah melontarkan ancaman itu, Murong Chen berdiri dan meninggalkan toko bersama anak buahnya yang masih mengerang kesakitan. Hening kembali menyelimuti toko setelah Murong Chen pergi. Walau begitu para pengunjung toko yang sebelumnya terdiam kini mulai berbisik-bisik. Mereka takjub melihat bagaimana seorang pemuda sederhana dan terlihat lusuh itu bisa mengalahkan tiga orang tanpa banyak usaha. Terlebih mereka adalah bagian dari Keluarga Murong di kota Danau Hitam ini. M
Hao Yexin menyeka butiran air matanya, setelah mempertimbangkan ucapan Du Shen, ia mulai sadar bahwa menangis tak akan menyelesaikan masalah. "Kau benar, tak ada gunanya meratapi dengan kesedihan.""Aku minta maaf karena menunjukkan tingkah memalukanku." lanjutnya sebelum berdiri perlahan.Hao Yexin melangkahkan kakinya keluar dari toko. Namun, kali ini sorot matanya sedikit lebih tajam dan bertekad."Aku bisa mempertimbangkan tawaranmu tadi. Tapi, ada syaratnya," ujar Du Shen, langsung menghentikan langkah Hao Yexin yang hendakk pergi.Gadis itu menoleh kembali dengan tatapan penuh akan tanda tanya. Walaupun masih ada jejak kesedihan dalam raut wajahnya, ia berusaha tetap tegar."Syarat?" gumamnya pelan, menatap ke lantai kayu di bawah kakinya sebelum kembali menatap Du Shen."Aku rasa tak ada gunanya mempertimbangkan ucapanku tadi. Aku hanya mengatakannya tanpa pikir panjang... kau bisa melupakannya." balas Hao Yexin akhirnya setelah memikirkan kembali beberapa hal.Du Shen menghela
Tetua Zhang yang masih mempertahankan senyum tipisnya menatap gadis muda itu seakan peluang besar telah terbuka. "Kau harus menikah dengan Tuan Muda Murong Chen. Dengan begitu mereka akan membantu menghubungi Tabib Surgawi dengan koneksi mereka di Sekte Azure Dragon." Seketika Hao Yexin kembali membeku, kali ini pikirannya mengembara kemana-mana. Ia tak menyangka bahwa syarat yanng dikatakan Tetua Zhang adalah hal buruk yang tak pernah ia bayangkan.'J-jadi ini tujuan Tetua Zhang? Bagaimana bisa, dia memanfaatkan keadaan ini dan menyeretku demi keuntungannya.' batin Hao Yexin.Wajahnya tampak memerah menahan kemarahan yang seketika tumbuh dalam hatinya. Ia melirik pria tua itu dengan tatapan benci dan kesal.Namun, matanya yang kembali melirik Kepala keluarga terbaring di atas ranjang, membuat pendirian Hao Yexin mulai goyah. Butiran air di pelupuk matanya semkin tak tertahankan, perlahan tumpah membasahi pipinya yang mulus."Kau harus memutuskan, Tuan Putri. Jika tidak, keselamatan
Du Shen malah tersenyum sederhana, ia mengangguk sesaat, namun gelak tawa cekikikan terdengar dari arah samping mereka.Tetua Zhang dan Tabib Liu tampak menahan perut mereka yang sakit karena tawa."Anda dengar, Tabib Liu? Pemuda ini benar-benar menganggap dirinya sebagai tabib." ujar Tetua Zhang menahan tawanya.Sedangkan Tabib Liu mengusap butiran air mata yang keluar setelah tawa terbahak-bahak. "Aku sendiri yang telah berlatih teknik pengobatan selama puluhan tahun, mengaku tak mampu menyembuhkan penyakit Kepala keluarga Hao." ucapnya dalam jeda, "namun, kau yang tak lebih dari setengah umurku, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tabib." lanjutnya."Benar, apa yang bisa dilakukan pemuda lusuh sepertimu?" sambung Tetua Zhang kali ini dengan tatapan serius, ucapannya penuh penghinaan.Du Shen menatap kedua pria paruh baya itu dengan tatapan dingin dan seringai tipis."Kepala keluarga Hao tak menderita penyakit, melainkan menderita karena racun." ujar Du Shen membuat Tetua Zhang dan
Menghina gurunya berarti orang itu siap untuk mati. Namun, Du Shen menahan gejolak emosinya yang tumbuh seketika, mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada penyembuhan Kepala keluarga Hao.Tabib Liu dan Tetua Zhang masih tertawa penuh penghinaan, tapi mereka tak tahu bahwa nama mereka telah masuk ke dalam daftar hitam di lubuk hati Du Shen.Mengabaikan cemohan mereka, Du Shen kembali membuka tutup botol kecil di tangannya. Tampak asap kehijauan yang samar keluar, memberikan sensasi dingin dan mematikan dari racun itu."T-tunggu." potong Hao Yexin dengan tatapan ragu. "Apakah ini akan baik-baik saja?" tanyanya kehawatir.Bagaimanapun jika Du Shen gagal dalam mengobati ayahnya, maka semua akan menjadi lebih buruk dari apa yang dia harapkan. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan membiarkan Du Shen memenuhi harapannya.Segera cairan dalam botol itu di tuangkan ke dalam mulut Hao Jifeng, Du Shen menutup hidungnya agar racun itu tertelan sepenuhnya.Tak berselang lama, Kepala keluatga Hao menun
Tabib Liu tersenyum sinis mengira tindakannya akan berhasil. Tapi, sebuah aliran Qi kehijauan melenghentikan jarum itu di tengah udara, membuat pandangan semua orang teralihkan."Kau lihat itu, Nona Hao? Tabib bodoh ini mencoba membunuh ayahmu dengan trik kecil." ujar Du Shen tertawa getir sembari meraih jarum itu yang mengambang di udara.Mata Hao Yexin membulat tak percaya, ia menatap tajam Tabib Liu dengan tatapan penuh amarah. "Beraninya kau, tabib penipu ingin membunuh ayahku!" tegasnya, suaranya terdengar tajam.Hao Yexin meraih pedang di samping dinding ruangan, menghunusnya sebelum menebas ke arah Tabib Liu berdiri.Walaupun Hao Yexin bukanlah seniman bela diri ahli, namun gerakannya cukup cepat di mata orang biasa."Berhenti!" seru Tetua Zhang, menahan tebasan pedang itu dengan telapak tangannya yang diselimuti energi Qi."Apa kau sadar dengan tindakanmu, Tuan Putri! Bagaimana bisa kau mengancungkan pedang ke a
Di kediaman keluarga Murong, suasana tegang menyelimuti ruang utama. Murong Chen, seorang pemuda dengan aura angkuh, duduk di atas kursi kayu berukir di samping meja bundar kecil. Matanya yang tajam memancarkan kemarahan, sementara urat-urat di pelipisnya tampak menonjol. Wajahnya kini terlihat mengeras, menyiratkan kekecewaan dan rasa frustrasi yang memuncak."Tabib bodoh! Bagaimana bisa kau gagal membuat Kepala Keluarga Hao sekarat, kau benar-benar merusak segalanya!" suaranya menggema tajam di ruangan itu, membuat seorang pria paruh baya yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan.Tabib Liu membungkukkan tubuhnya lebih dalam, keningnya menghantam lantai dengan bunyi pelan namun terdengar jelas. "T-tuan Muda! Mohon ampuni saya! Saya telah melakukan semua yang diperintahkan. Namun, jika bukan karena pemuda itu, rencana ini pasti sudah berhasil," katanya dengan nada penuh permohonan.Murong Chen menggeram, tangannya yang memegang cangkir teh bergetar hebat hingga cangkir itu retak
Langkah mereka berhenti di dasar ruang bawah tanah yang sunyi dan lembap. Aroma bebatuan tua dan hawa mistis yang pekat seakan menyambutnya. Di hadapannya berdiri sebuah patung batu yang hampir identik dengan yang sebelumnya mereka temukan di aula atas. Patung itu menggambarkan seorang pria tua berjanggut panjang, duduk dalam posisi bersila. Satu tangannya membentuk mudra, sementara tangan satunya menggenggam sebuah gulungan batu, seolah menyimpan rahasia dunia di dalamnya. Namun yang paling menarik adalah aura yang menguar dari patung itu—tenang, namun penuh dominasi yang sulit dijelaskan. Rasanya seperti berada di hadapan entitas agung yang telah melampaui batas manusia fana. "Apa sebenarnya ini? Kenapa patung ini muncul lagi di sini?" gumam Lu Tian, melangkah lebih dekat dengan kening berkerut. Rasa ingin tahunya mengalahkan rasa waspadanya. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh permukaan dingin batu itu. Dan dalam sekejap, tubuhnya diselimuti cahaya putih meny
Du Shen kembali berdiri perlahan. Napasnya tertahan, bahunya naik-turun menahan rasa sakit yang masih tertinggal usai menerima tekanan brutal dari Ming Yue. Meski tubuhnya masih berdenyut nyeri di tiap sendi, tekad yang terpancar dari sorot matanya membungkam rasa lemah itu. Ia menatap lurus ke depan, wajahnya serius, dan kali ini tak ada sedikit pun keraguan di matanya. Keteguhan itu jarang muncul pada dirinya, namun kini, setelah semua yang terjadi—terutama setelah Hao Yexin dibawa pergi—ia tak bisa lagi membiarkan diri terombang-ambing oleh keadaan.Sambil mengatur napas, ia mengepalkan tangan. Luka dalam tubuhnya perlahan mulai sembuh berkat latihan teknik kultivasi yang ia kuasai. Namun bukan luka fisik yang paling menyakitkan baginya saat ini, melainkan rasa bersalah yang menghantui pikirannya."Hao Yexin… semoga kau baik-baik saja ke mana pun wanita itu membawamu," batinnya. Ia menunduk, memikirkan ucapan terakhir gadis itu dan beban berat yang kini menggantung di pundaknya."
"Huh? Kau bilang tak berasal dari benua ini? Lantas, dari manakah senior berasal?" tanya Du Shen dengan mata yang menyipit, menyiratkan kehati-hatian. Tekanan spiritual yang sejak awal ia pancarkan perlahan surut, seolah menyadari bahwa dominasi semacam itu takkan berguna melawan sosok di hadapannya.Wanita berjubah putih itu melirik sekilas padanya. Angin berdesir pelan di sekeliling mereka, membawa aroma samar yang entah berasal dari kabut spiritual atau auranya. Lalu, dengan suara pelan namun penuh otoritas, ia menjawab, "Aku berasal dari tempat yang jauh... tempat yang tak bisa kau temukan dalam peta manapun di Benua Yin ini. Tempat itu disebut Benua Yang—alam utama yang jauh lebih luas dan lebih kuat dari daratan rendah seperti benua ini."Mata Du Shen membelalak. Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ia mundur setengah langkah, bukan karena takut, tapi lebih karena terkejut.Benua Yang. Nama itu memang terdengar asing di telinga orang lain, namun baginya s
Aula utama itu, yang sebelumnya sunyi dan dipenuhi aura sakral, mendadak bergetar pelan. Langit-langitnya, terbuat dari batu giok yang mengilap, mulai beriak seperti permukaan danau yang dilempar kerikil.Riak-riak itu bukan lah ilusi, melainkan gelombang energi spiritual murni yang terpancar dari dimensi yang tersembunyi di balik tirai ruang dan waktu.Kilatan cahaya keemasan mulai merayap dari retakan-retakan tak kasat mata, membentuk pusaran yang perlahan membuka celah ke dimensi lain. Para kultivator yang semula duduk bersila dalam keheningan, langsung terjaga. Mata-mata mereka melebar penuh gairah. Ketenangan berubah jadi hiruk-pikuk dalam sekejap."Itu... Itu dia! Dimensi Langit Surgawi!" teriak seorang kultivator berpakaian hitam, matanya bersinar penuh antusias. "Pintu menuju peninggalan Dewa Kekacauan telah terbuka! Setelah sekian tahun menunggu, akhirnya kita mendapat kesempatan langka ini!"Seruan itu memicu gelombang kegembiraan. Para kultivator dari berbagai sekte dan kl
"Nak, jangan sekali-kali bermain-main denganku. Kau tahu siapa kami,bukan? Kami berasal dari Sekte Pedang Bulan. Jadi kuperingatkan sekali lagi, lepaskan muridku, dan kuanggap kejadian hari ini sebagai kesalahpahaman yang tak perlu diperpanjang lebih jauh." Suara Luo Ming menggema tegas, meski ada nada getar samar dalam intonasinya. Ia berdiri dengan dada tegak, berusaha menunjukkan wibawa, namun dari matanya yang sedikit menyipit terlihat jelas bahwa tekanan energi dari pemuda di hadapannya telah mengguncang jiwanya. Aura Luo Ming memang masih kuat, tetapi bayangan samar kekalahan barusan membuat keberaniannya terikat. Ia menahan amarah dalam-dalam, hanya demi keselamatan muridnya. Du Shen tidak segera menjawab. Ia menatap pria tua itu dengan sorot mata sedingin salju abadi di puncak gunung. Sejenak ia menghela napas pelan, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah tapi berat, setiap katanya seolah menggema di benak siapa pun yang mendengarnya. "Dan kau harus tahu… aku tak pe
Namun sebelum Luo Ming sempat melangkah lebih dekat, sebuah ledakan Qi yang sangat kuat tiba-tiba terpancar dari tubuh Du Shen. Gelombang kejut yang tak terlihat itu meledak ke satu arah dalam sekejap mata, menghantam tubuh Luo Ming seperti palu raksasa yang tak kasatmata.BUGH!Tubuh pria tua itu terlempar ke belakang sejauh beberapa meter. Suara gesekan kaki di lantai marmer menggema keras, meninggalkan jejak retakan yang lurus dan dalam, seolah baru saja diiris oleh pedang tak terlihat. Punggung Luo Ming membentur salah satu pilar batu di sisi aula, membuat retakan halus menjalar ke atas dinding pilar tersebut.Ia tersungkur dengan lutut menyentuh lantai. Wajahnya menegang. Sebuah ekspresi keterkejutan yang amat jarang terlihat pada wajah seorang tetua dari Sekte Pedang Bulan. Nafasnya memburu. Pandangannya tertuju pada sosok Du Shen yang masih berdiri di tempat, bahkan tanpa sedikit pun memutar badan untuk melihat serangannya sendiri. Seolah, semuanya itu hanya gangguan kecil bag
"Siapa bocah itu? Sombong sekali, berani menunjukkan tekanan energi Qi sekuat itu di tempat seperti ini. Apa dia tidak takut mati?" bisik seorang pria tua berambut kelabu yang duduk bersila di pinggir ruangan aula, matanya menyipit ke arah sumber tekanan yang menegangkan udara."Dia pasti punya latar belakang yang kuat. Tak mungkin seseorang pemuda berani bertindak seperti itu tanpa dukungan dari kekuatan besar di baliknya," sahut pria lain, suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh kehati-hatian."Sudahlah," ucap pria ketiga dengan nada lebih serius, "jangan ikut campur. Dunia ini luas, menyimpan banyak ahli misterius. Satu langkah yang salah bisa menyeret kita ke dalam jurang neraka." Ia kemudian kembali menutup matanya, mencoba masuk kembali ke dalam meditasi, meskipun hawa Qi yang menegang masih terasa menyesakkan di dada.Di dalam aula besar yang redup itu, hanya cahaya samar yang berpendar dari batu kristal di dinding-dinding. Namun atmosfer ruangan jauh dari tenang. Udara ter
Qin Chen melangkah maju, sepatu kulit halusnya menjejak lantai batu yang dingin, mengeluarkan suara pelan namun mantap. Tubuhnya tegak dengan dada membusung, seolah setiap langkahnya membawa gengsi dan martabat sebagai murid terhormat dari salah satu sekte besar di benua ini. Ia berhenti sekitar tiga langkah di depan Du Shen, menatap pemuda itu dari atas ke bawah dengan tatapan menilai dan sorot mata yang dingin seperti es.Senyum tipis muncul di sudut bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan ejekan tersembunyi, seolah ia sedang menatap seekor serangga yang tiba-tiba muncul di hadapan makan malamnya.Du Shen, yang sedari tadi hanya berdiri santai dengan tangan di balik punggung, melirik pemuda itu sekilas. Tatapannya acuh tak acuh, bahkan sedikit malas, seolah sedang menilai seseorang yang tak layak untuk diperhatikan. Ia tidak mengatakan apa pun. Wajahnya tetap tenang, seperti permukaan danau di musim gugur yang tak terusik apapun.Qin Chen akhirnya angkat suar
Namun ia tak begitu peduli pada patung itu dan mengalihkan perhatian ke segala arah di dalam aula yang luas itu. "Hmm?" Du Shen bergumam lirih sambil menatap sekeliling ruangan luas yang terasa sunyi. Pilar-pilar batu yang menjulang tinggi tampak kokoh menopang langit-langit aula, ia memandangi sekitar seolah tengah mencari seseorang. "Pak tua Zhao... Dia tak ada di sini. Apakah dia masih terjebak dalam dimensi ilusi sebelumnya? Atau jangan-jangan ada ruangan lain selain tempat ini?" Pikirannya terus bergulir, mencoba mencari jawaban. Namun tepat saat ia hendak bergerak untuk menyelidiki lebih jauh, seberkas aura yang familiar tiba-tiba muncul dari sisi timur aula. Aura itu samar namun mengandung nuansa yang tak asing baginya. Du Shen menoleh cepat. Matanya menajam, menyapu arah tempat datangnya aura tersebut. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, sesosok gadis perlahan muncul dari balik kerumunan. Ia tidak sendiri—di dekatnya berdiri dua orang asing yang tampak waspada. Satu